Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis

PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA
DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS

ANNISA SITA LARASATI
F24070004

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Umur Simpan
Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis adalah benar karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Annisa Sita Larasati
NIM F24070004

ABSTRAK
ANNISA SITA LARASATI. Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya
dengan Metode Kadar Air Kritis. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan
BUDI NURTAMA.
Tanaman lidah buaya (Aloe vera) banyak digunakan dalam industri farmasi
dan pangan. Pengolahan lidah buaya menjadi tepung lidah buaya merupakan salah
satu upaya pemanfaatan dan pengawetan tanaman lidah buaya. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui nilai umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga
jenis kemasan plastik, yaitu LDPE, OPP, dan metalized plastic dengan metode
akselerasi model kadar air kritis. Paramater mutu kritis yang diamati pada produk
tepung lidah buaya adalah perubahan tekstur yaitu penggumpalan. Penelitian ini
terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi dan pelatihan panelis terlatih
dan tahap kedua adalah tahap penentuan umur simpan. Hasil perhitungan umur
simpan dengan kemasan LDPE pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut

adalah 38, 33, dan 29 hari. Untuk kemasan OPP pada kondisi RH 75, 80, dan 85%
berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, untuk kemasan
metalized plastic pada kondisi RH 75, 80, dan 85 % berturut-turut adalah 2095,
1828, dan 1624 hari. Berdasarkan hasil penelitian, faktor kemasan dan RH
penyimpanan berpengaruh dalam memperpanjang umur simpan produk tepung
lidah buaya. Kemasan dengan permeabilitas terkecil, yaitu metalized plastic,
memberikan umur simpan yang lebih panjang dibandingkan kemasan yang lain.
Namun, berdasarkan pertimbangan segi ekonomi dan umur simpannya, tepung
lidah buaya sebaiknya disimpan dalam kemasan OPP pada RH 75% yang
memberikan umur simpan selama 255 hari.
Kata kunci: kadar air kritis, penggumpalan, tepung lidah buaya, umur simpan

ABSTRACT
ANNISA SITA LARASATI. Shelf Life Predicting of Aloe vera Powder Using
Critical Water Content Method. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan
BUDI NURTAMA.
Aloe vera is widely used in pharmaceutical and food industries. Aloe vera
processing into Aloe vera powder is one of the utilization and preservation efforts
of Aloe vera. The main objective of this research is to determine the shelf life of
Aloe vera powder in the three types of plastic packaging, that are LDPE, OPP,

and metalized plastic with acceleration method critical water content models.
Critical quality parameter of Aloe vera powder was observed in this research is
the change in texture, mainly caking. This research consists of two stages. First
stage was the selection and training of panelists and the second stage was the
determination of Aloe vera powder shelf life. Shelf life of Aloe vera powder in

LDPE packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 38, 33,
and 29 days. In OPP packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively
were 255, 222, and 197 days. Meanwhile, in metalized plastic packaging with RH
condition 75, 80, and 85 % respectively were 2095, 1828, and 1624 days.
Packaging and RH condition are influential to prolong shelf life of Aloe vera
powder. Metalized plastic, packaging with the smallest permeability, give the
longer shelf life than the other packaging. But, based on economical factor and its
shelf life factor, Aloe vera powder should be stored in OPP packaging in RH 75%
which provides shelf life 255 days.
Keywords: Aloe vera powder, caking, critical water content, shelf life

PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA
DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS


ANNISA SITA LARASATI
F24070004

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode
Kadar Air Kritis
Nama
: Annisa Sita Larasati

NIM
: F24070004

Disetujui oleh

Dosen Pembimbing I,

Dosen Pembimbing II,

(Prof. Dr. Winiati P.Rahayu)
NIP : 195608131982012001

(Dr.Ir. Budi Nurtama, MAgr)
NIP : 195904151986011001

Diketahui oleh
Ketua Departemen

(Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc)
NIP. 19680526 199303 1 004


Tanggal Lulus:

Februari 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur
Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis dengan baik
dan semaksimal mungkin. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salam
kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Dengan telah diselesaikannya
penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu,
mendukung, dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai,
terutama kepada :
1. Prof. Dr.Winiati P. Rahayu sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan nasihat, motivasi, segala pelajaran hidup dari awal penulis
menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
2. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas

kesabaran, nasihat, saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang
membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
4. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam
mendidik penulis. Terima kasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan
perhatian yang telah diberikan selama ini. Keluarga besar dari Bapak dan Ibu
yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan
dan kelancaran penulis selama menyelesaikan pendidikan di IPB.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta
laboran-laboran ITP (Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin,
Bu Rub, Bu Sri, dan Mbak Vera) yang banyak membantu penulis dalam
melakukan penelitian.
6. Sahabat-sahabat saya, Dhina, Reny, Lia, Tami, Imel, Ria, Alya, Chintya
‘Dono’, Fitri, Hanna, Irwan, Desir, Mike, Lukman dan seluruh teman-teman
ITP 44. Terimakasih banyak atas segala suka dan duka yang telah dialami
bersama.
7. Seluruh teman-teman ITP 45, terima kasih atas kebersamaan dan
kerjasamanya.

8. Teman-teman sebimbingan, Jeslyn, Wiwit, Punjung, dan Reggy atas
kebersamaan dan dukungan kalian.
9. Para panelis terlatih atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini
berlangsung.
10. Teman-teman TPB dan Nabila Community, Irin, Vidya, Risty, Zuzu, Ana,
Citra, Nia, Leni, terima kasih atas kebersamaannya.
11. Sahabat–sahabat di Pontianak, Jurista, Astrid, Lely, Donna, Migi, Via, terima
kasih karena selalu ada dan member dukungan dalam hidup penulis hingga
saat ini.

12. Para dokter dan suster di Normah Medical Specialis Centre, serta seluruh

pihak yang telah membantu selama penulis berjuang melawan penyakit di
Kuching, Malaysia.
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan
terimakasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang
kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2013


Annisa Sita Larasati

DAFTAR ISI
ABSTRAK

iii

HALAMAN PENGESAHAN

vi

KATA PENGANTAR

iiv

DAFTAR ISI

ix


DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya

3

Tepung Lidah Buaya

5

Pendugaan Umur Simpan

6

Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)

8

Kadar Air dan Aktivitas Air

11

Kurva Sorpsi Isotermis Air

12

Penggumpalan (Caking)

14

METODE

15

Bahan dan Alat

15

Metode Penelitian

15

Rancangan Percobaan

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

22

Seleksi dan Pelatihan Panelis

22

Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal dan Aktivitas Air) 23
Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya

23

Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan

25

Kondisi Penyimpanan Tepung Lidah Buaya

30

Umur Simpan Tepung Lidah Buaya

31

SIMPULAN DAN SARAN

35

Simpulan

35

Saran

35

DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan
Nutrisi dalam lidah buaya
Spesifikasi tepung lidah buaya
Kelembaban relatif dan a w pada berbagai larutan garam jenuh pada
suhu 30oC
Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD panelis
terlatih
Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan
garam jenuh pada suhu 30oC
Linearisasi persamaan sorpsi isotermis
Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan
berbagai model sorpsi isotermis
Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan
kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Nilai permeabilitas (k/x) tiga jenis kemasan
Variabel umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan
pada RH 75, 80, dan 85%
Umur simpan tepung lidah buaya pada tiga jenis kemasan dan berbagai
nilai RH

4
4
6
19
22
26
28
28
28
30
31
32
33

DAFTAR GAMBAR

1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot
plan
2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum
3 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis
4 Diagram alir penelitian
5 Grafik kadar air kritis tepung lidah buaya
6 Grafik tingkat penggumpalan tepung lidah buaya berdasarkan uji rating
panelis terlatih
7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah
buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam
8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model
persamaan
10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk
penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis

7
13
14
17
24
24
25
27
29
30

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Formulir uji segitiga seleksi panelis terlatih
Lembar kerja uji segitiga seleksi panelis terlatih
Formulir uji rating skala garis dalam penentuan kadar air kritis
Hasil penilaian panelis uji segitiga
Kadar air awal tepung lidah buaya
Kadar air dalam penentuan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Hasil pengukuran kadar air kritis tepung lidah buaya
Hasil uji rating kadar air kritis
Hasil uji ANOVA penilaian uji rating kadar air kritis tepung lidah
buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20
Data perubahan kadar air tepung lidah buaya dalam berbagai
kelembaban relatif (RH)
Contoh perhitungan mencari konstanta model sorpsi isotermis
Hasil perhitungan bobot padatan per kemasan (Ws)
Hasil perhitungan luas kemasan (A)
Hasil pengukuran aktivitas air tepung lidah buaya
Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya
Rekapitulasi faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan umur
simpan tepung lidah buaya
Hasil uji ANOVA pengaruh jenis kemasan dan RH penyimpanan
terhadap umur simpan tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS
Statistics Version 20

41
42
43
44
45
45
46
47
49
51
52
54
54
55
55
56

57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman lidah buaya (Aloe vera) telah lama dikenal sebagai tanaman yang
berkhasiat bagi kesehatan. Sejak dahulu lidah buaya telah digunakan sebagai
penyubur rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tanaman ini digunakan
sebagai bahan baku dalam industri kosmetik dan farmasi. Dalam
perkembangannya, lidah buaya juga telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan
makanan dan minuman kesehatan karena kandungan senyawa nutrisi dan
komponen aktifnya yang baik bagi kesehatan manusia.
Tanaman lidah buaya dari jenis Aloe vera chinensis merupakan salah satu
komoditi spesifik Kalimantan Barat dan produk unggulan yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah
tanaman/luas tanam dan produksi lidah buaya di Kalimantan Barat terus
meningkat. Tahun 1996 jumlah populasi tanaman sebanyak 109520 pohon atau
sekitar 14.80 Ha dengan produksi 140.18 ton/bulan dan jumlah ini terus
meningkat pada tahun 2000 menjadi 397750 pohon atau 53.75 Ha dengan
produksi 509.12 ton/bulan (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan
Barat 2009). Semakin meningkatnya produksi tanaman lidah buaya ini menuntut
pula dilakukannya pengolahan yang lebih lanjut untuk meningkatkan nilai
ekonomisnya.
Kandungan nutrisi dan komponen aktif lidah buaya banyak terkandung di
dalam daging daun lidah buaya atau yang biasa disebut gel lidah buaya. Namun,
sifat gel lidah buaya ini mudah rusak dan tercemar bakteri sehingga tidak tahan
lama. Hal ini mendorong dilakukannya upaya untuk mempertahankan kandungan
dalam gel yaitu dengan cara mengolahnya menjadi bubuk atau tepung. Selain itu,
pengolahan gel lidah buaya ini menjadi tepung dapat meningkatkan nilai tambah
atau ekonomisnya.
Lidah buaya dalam bentuk tepung mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
kandungan nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan.
Penggunaan tepung lidah buaya saat ini tidak hanya terbatas pada industri
kosmetik dan farmasi, tetapi juga untuk produksi makanan dan minuman
kesehatan.
Salah satu parameter mutu produk yang sangat kritis untuk diperhatikan
adalah umur simpan produk. Pencantuman waktu kedaluwarsa atau umur simpan
pada label produk pangansangat bermanfaat bagi konsumen. Dari pencantuman
waktu kedaluwarsa tersebut maka konsumen mendapat informasi tentang batas
waktu penggunaan produk tersebut. Produsen dan distributor produk juga
memperoleh manfaat dari ketersediaan informasi mengenai umur simpan ini. Bagi
produsen dapat membantu dalam pengawasan mutu barang tersebut, sedangkan
bagi distributor atau penjual dapat mengatur stok barangnya di pasaran. Oleh
karena itu, ketersediaan informasi mengenai tanggal kedaluwarsa yang tercantum
pada label produk perlu diperhatikan oleh produsen, tidak terkecuali produsen
pengolah tepung lidah buaya
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT).

Metode ESS adalah penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara menyimpan
produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutu hingga mencapai mutu kedaluwarsa. Metode ini sangat akurat
dan tepat, namun pelaksanaannya lama dan analisis karakteristik mutu yang
dilakukan relatif banyak. Metode ASLT adalah penentuan waktu kedaluwarsa
dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi penurunan
mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan metode ini adalah
waktu pengujian yang relatif singkat.
Penentuan umur simpan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah
dengan metode ASLT. Model yang dipakai adalah dengan pendekatan kadar air
kritis. Pemakaian metode ini didasarkan pada waktu pelaksanaan yang singkat dan
metode pengukuran yang sederhana.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai umur simpan tepung lidah
buaya dalam tiga jenis kemasan plastik untuk menjamin mutu produk. Adapun
tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1.
Mempelajari model pendugaan umur simpan dengan metode ASLT
pendekatan kadar air kritis pada parameter mutu perubahan tekstur
(penggumpalan atau caking) untuk menentukan umur simpan tepung lidah
buaya.
2.
Mengetahui pengaruh tiga jenis kemasan (LDPE, OPP, dan metalized
plastic) terhadap umur simpan tepung lidah buaya dalam kondisi
penyimpanan pada suhu ruang (30 ± 1 oC).

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
1.
Memperoleh informasi mengenai umur simpan (hari) tepung lidah buaya
berdasarkan parameter mutu perubahan tekstur (penggumpalan atau caking)
pada penyimpanan suhu ruang (30 ± 1 oC).
2.
Memperoleh rekomendasi jenis kemasan untuk menyimpan tepung lidah
buaya pada penyimpanan suhu ruang (30 ± 1 oC).

TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya
Tanaman lidah buaya sangat potensial dibudidayakan di lahan gambut
seperti di Propinsi Kalimantan Barat khususnya di Kotamadya Pontianak yaitu di
Siantan Hulu. Tanaman lidah buaya yang telah diusahakan seluas 75 Ha dan
potensi pengembangannya mencapai 19,950 Ha yang tersebar di empat kabupaten.
Produksi lidah buaya rata-rata 6 - 7.5 ton/ha setiap kali panen dan dapat dipanen 3
- 4 kali per tahun. Pemasaran lidah buaya selain untuk pasar lokal juga sudah
banyak dijual keluar Kalimantan Barat yaitu Jakarta dan Malaysia dalam bentuk
daun segar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat 2009).
Tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak merupakan varietas
terunggul di Indonesia bahkan diakui keunggulannya di dunia. Tanaman jenis ini
setiap pelepahnya memiliki berat sekitar 0.8 – 1.2 kg dan dapat dipanen setiap
bulan sejak bulan ke 10 -12 setelah penanaman hingga tahun ke 5. Mutu panen
setiap pelepah sebagian besar tergolong mutu A yaitu tanpa cacat atau terhindar
dari serangan hama penyakit daun. Berbeda dengan tanaman lidah buaya yang
dibudidayakan di luar Pontianak, seperti di Amerika dan Cina, setiap pelepahnya
memiliki berat hanya berkisar 0.5 - 0.6 kg dan dipanen hanya 1 kali setahun
karena kendala musim dingin (Sulaeman 2008).
Bagian dari tanaman lidah buaya yang sering dimanfaatkan dalam berbagai
macam industri adalah bagian pelepah atau daunnya. Penggunaan tanaman lidah
buaya yang cukup besar di dalam industri dikarenakan komponen-komponen yang
dimilikinya cukup lengkap dan bermanfaat. Komponen tersebut terdapat dalam
cairan bening yang seperti jeli dan cairan yang berwarna kekuningan. Cairan
bening seperti jeli ini diperoleh dengan membelah daun lidah buaya atau biasa
disebut gel lidah buaya. Gel lidah buaya merupakan bagian daging daun lidah
buaya yang terdapat di bawah kulit, tidak berwarna, kenyal, bergetah, dan saling
berikatan membentuk jaringan.
Wahjono (2002) mengungkapkan bahwa daun lidah buaya sebagian besar,
95%, mengandung air, sisanya mengandung bahan aktif (active ingredients)
sebanyak 75 komponen, seperti: minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin,
enzim dan glikoprotein. Daun lidah buaya ini juga banyak mengandung senyawa
nutrisi yang sangat dibutuhkan tubuh, seperti asam amino (essensial dan non
essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon
(Morsy 1982).
Dalam gel lidah buaya ini mengandung zat anti bakteri dan anti jamur
yang dapat menstimulasi fibroblast yaitu sel-sel kulit yang berfungsi
menyembuhkan luka. Selain kedua zat tersebut, gel lidah buaya juga mengandung
salisilat, zat peredam sakit, dan anti bengkak seperti yang terdapat dalam aspirin
(Furnawanthi, 2003).
Komponen-komponen aktif yang terdapat dalam daun lidah buaya bekerja
secara sinergis di tingkat sel tubuh, sehingga terkesan tubuh dapat menyembuhkan
diri sendiri (biodefense) menghadapi serangan penyakit. Hal ini karena khasiat gel
lidah buaya ditimbulkan oleh interaksi antara beberapa zat yang dapat
menghasilkan suatu potensi yang baik bagi kesehatan (Morsy 1982).

Pada setiap 100 gram gel lidah buaya terdapat komponen nutrisi seperti
yang tertera pada Tabel 1. Secara lengkap komponen-komponen nutrisi yang
terkandung dalam lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan
No.
1.
2.
a.
b.
c.
d.
e.

Komponen
Air (%)
Total Padatan terlarut, terdiri atas:
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Vitamin A (IU)
Vitamin C (mg)
Sumber : Aloevera Center 2004

Nilai
95.51
0.0670
0.0430
0.0380
4.5940
3.4760

Tabel 2 Nutrisi dalam lidah buaya
No. Item
1.
Vitamin
2.
Mineral

Nutrisi
A, B1, B2, B12, C, E
kolin, inositol, asam folat, kalsium,
magnesium,
potassium,
sodium,
manganese, cooper, chloride, iron, zinc,
chromium
3.
Enzim
amylase,
catalase,
cellulose,
carboxypedidas, dan carboxyphelolase
4.
Asam amino
arginine, asparagine, aspartate acid,
analine, serine, glutamic acid, theorinine,
valine,
glycine,
lycine,
tyrosine,
phenylalanine, proline, histidine, leucine,
dan isoleucine
Sumber: Aloevera Center 2004

Berdasarkan beberapa sifat fisikokimia tersebut lidah buaya dapat
digunakan di dalam industri yang secara garis besar dapat dibagi menjadi empat
jenis industri (Aloevera Center 2004), yaitu:
1. Industri pangan, sebagai makanan tambahan (food supplement), produk yang
langsung dikonsumsi dan sebagai penghasil flavour.
2. Industri farmasi dan kesehatan, sebagai anti inflamasi, anti oksidan, laksatif,
anti mikrobial dan molusisidal, anti kanker, imunomodulator dan
hepatoprotector. Paten yang telah dilakukan beberapa negara maju antara lain:
CAR 1000, CARN 750, Polymannoacetate, Aliminase, Alovex dan Carrisyn.
3. Industri kosmetika, sebagai bahan baku lotion, krem, lipstik, shampo dan
kondisioner.
4. Industri pertanian, sebagai pupuk, suplemen hidroponik, suplemen untuk media
kultur jaringan dan penambah nutrisi pakan ternak.

Namun, di samping manfaatnya yang sangat banyak, gel lidah buaya
memiliki kelemahan dalam proses pengolahannya. Gel lidah buaya merupakan
bahan yang mudah mengalami kerusakan terutama oleh peristiwa oksidasi.
Oksidasi menyebabkan gel lidah buaya mengalami reaksi pencoklatan browning.
Oleh karena itu, pada proses pengolahan lidah buaya, terjadinya perubahan sifat
fisikokimia tersebut dihindari semaksimal mungkin agar kualitas produk terjaga
dan kandungan senyawa nutrisinya tidak rusak (Morsy 1982).
Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak ini mendorong dilakukannya
upaya-upaya pengolahan lidah buaya menjadi bubuk atau tepung (Aloe powder).
Upaya-upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan dalam gel juga
untuk memberikan nilai tambah, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam
bentuk daun segar yang harganya relatif murah (Furnawanthi 2003).
Tepung Lidah Buaya
Lidah buaya diolah menjadi tepung lidah buaya sebagai produk
intermediate atau komponen campuran yang digunakan secara luas dalam
berbagai macam makanan dan minuman, misalnya minuman kesehatan, dodol,
dan kerupuk. Bentuk bubuk yang mudah larut sangat menguntungkan karena
selain praktis, juga lebih stabil dan tidak mudah rusak sehingga memungkinkan
digunakan sebagai bahan campuran dalam produk makanan dan minuman instan
dibandingkan dalam bentuk cairan atau gel.
Tepung lidah buaya mempunyai beberapa keuntungan, yaitu kandungan
nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan dan
transportasi. Rasio bahan baku dan tepung yang dihasilkan yaitu sekitar 150:1
atau 150 kg daun menghasilkan 1 kg tepung (Furnawanthi 2003).
Saat ini, kebutuhan pokok lidah buaya di dunia, terutama dalam bentuk
tepung, masih didatangkan dari Amerika dan Australia. Adapun standar mutu dari
tepung lidah buaya yang berasal dari salah satu penghasil tepung lidah buaya,
Terry Laboratories, Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tepung lidah buaya dapat dibuat dengan pengeringan secara freeze drying
dan spray drying. Tepung lidah buaya yang dibuat dengan menggunakan freeze
drying menggunakan alat freeze dryer yang bekerja pada suhu dan tekanan yang
sangat rendah. Dengan suhu rendah ini, komponen yang mudah rusak terhadap
panas dapat dipertahankan dan mempunyai sifat rekonstitusi yang baik. Sementara
itu, cara spray drying dilakukan dengan mengalirkan udara panas baik secara
searah atau berlawanan arah. Dilihat dari produk yang dihasilkan, produk hasil
freeze drying memiliki kualitas yang lebih baik namun harganya relatif lebih
mahal daripada spray drying.
Pada pembuatan tepung lidah buaya dilakukan penambahan tepung gula dan
filler. Tepung gula adalah gula yang dihancurkan hingga berukuran 100-200 mesh
(Gestner dalam Sulistyo 1988). Dalam pembuatan tepung lidah buaya diperlukan
penambahan filler karena total padatan terkandung dalam lidah buaya sangat kecil
(2%). Oleh karena itu, filler berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang terkandung
dalam lidah buaya (Widodo dan Widiantara 2005). Beberapa filler yang dikenal
adalah maltodekstrin, dekstrin, gum arab, dan CMC (karboksimetilselulosa).
Tabel 3 Spesifikasi tepung lidah buaya

Spray dried gel Freeze dried gel aloe
aloe powder
powder
Penampakan
Fine Crystaline
Fine Crystaline
powder
powder
Warna
Krem muda, coklat Putih, coklat keabukeabu-abuan
abuan (light beige)
(beige)
Kadar air maks.(%)
8
8
Kecepatan dispersi pada 5
5
o
25 C (menit)
Total padatan (%)
100
50
Keasaman / pH
3,5-5,0
3,5-5,0
Densitas pada 25oC
0,990-1,010
0,990-1,010
Kapang dan kamir (cfu/g) < 100
< 100
Patogen
Negatif
Negatif
Sumber: Terry Laboratories (2002) diacu dalam Furnawanthi (2003)
Spesifikasi

Menurut Widodo dan Widiantara (2005), tepung instan lidah buaya yang
dibuat menggunakan spray drier skala pilot plan terbaik pada suhu 150oC dengan
konsentrasi maltodekstrin 7% dan konsentrasi tepung gula 3%. Pada kondisi
tersebut, diperoleh tepung berwarna putih, tidak lengket, tingkat kandungan
kalsiumnya 54,54% dan tingkat kelarutannya 96,90%, dan rendemen yang
dihasilkan 1,5%. Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala
pilot plan dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses pembuatan tepung lidah buaya instan komersial ini juga tidak banyak
berbeda dengan proses pembuatan tepung lidah buaya menurut Widodo dan
Widiantara (2005). Perbedaannya hanya pada proses perendaman dalam larutan
CaCl 2 1% yang tidak dilakukan di perusahaan tersebut, serta komposisi filler dan
suhu spray drier. Dalam pembuatan tepung lidah buaya komersial ini suhu spray
drier yang digunakan adalah 120oC dan filler yang digunakan hanya gula
sebanyak 30% (b:b) dari total daging lidah buaya.
Efek dari proses pengeringan dalam pengolahan tepung lidah buaya menurut
Krokida et al. (2011) adalah kerusakan sebagian komponen polisakarida
acemannan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap konsentrasi mineralmineral yang terkandung di dalamnya, terutama kalsium (Ca). Oleh karena itu,
proses pengeringan dapat dilakukan untuk proses pengawetan gel lidah buaya dan
pengolahan lainnya.

Pendugaan Umur Simpan
Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk
pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana
produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa,
aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association
mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat

diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan
pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).
Daun lidah buaya

Pengupasan dan pemotongan

Pencucian

Perendaman dalam larutan CaCl2
1%, 10 menit

Pencucian menggunakan air
mengalir
Pemblansiran suhu 80oC, 5 menit

Pemblenderan

Penyaringan
Tepung gula 3%
Maltodekstrin 7%

Pencampuran menggunakan
mixer

Air 1:1 (v:v)
Pengeringan dengan spray drier
suhu 150oC

Pengayakan 80 mesh

Tepung lidah buaya

Gambar 1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot
plan (Widodo dan Widiantara 2005)

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi
kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible
selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut
mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi
hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut
sebagai jangka waktu kedaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila mutu gizi
pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus yang berarti
bahan pangan tersebut telah kedaluwarsa atau telah melampaui masa simpan
optimum.
Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk
dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk
tersebut menjadi rusak (Spiegel 1992). Penentuan umur simpan sangat penting
dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan
suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu
produk tersebut.
Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan produk pangan yang dikemas antara lain:
1. Kondisi atmosfer ruangan (terutama suhu dan kelembaban) dimana produk
pangan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan
seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya
perubahan kimia dan fisik.
3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air,
gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang
terlipat.
Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis
produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya
berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam
kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk
berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya.
Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah
satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)
Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka
digunakan metode ASLT atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada
metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk
dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan
Syarief 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan
keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis
1994). Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada
kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk
mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan (metode
akselerasi).

Dalam menganalisa penurunan mutu perlu dilakukan beberapa pengamatan,
yaitu harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter
tersebut mencerminkan keadaan mutu produk yang dikemas. Parameter tersebut
dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji sensori, uji kadar vitamin C, uji cita
rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Pada produk pangan kering,
seperti bubuk dan tepung-tepungan, parameter penurunan mutu didasarkan pada
parameter yang paling sensitif terhadap mutu suatu produk (Syarief dan Halid
1993).
Adanya perbedaan faktor yang menyebabkan kerusakan produk, maka
penggunaan metode ASLT dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model
kadar air kritis dan model Arrhenius.
Pendekatan Model Kadar Air Kritis
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis
umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat
penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan
produk didasarkan semata-mata pada kerusakan produk akibat menyerap air dari
luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara sensori. Kadar air
pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara sensori
disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu
sensori yang akan spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh
produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk
pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis
antara lain biskuit, wafer, produk konfeksioneri, makanan ringan (snack dan
chips), dan produk instan.
a.

Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis
Bahan pangan bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara
sekelilingnya (adsorpsi), dan juga sebaiknya dapat melepaskan sebagian air yang
dikandungnya ke udara (desorpsi). Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat
diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan
dengan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat
digambarkan dalam sebuah kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan
hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang
ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air (a w ) pada suhu tertentu
(Syarief dan Halid 1993). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva
sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan (Winarno 2004).
Kurva sorpsi isotermis yang didapat dapat diasumsikan linear, kemudian
dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva sorpsi isotermis.
Selanjutnya Labuza (1982) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan
dengan model kadar air kritis sebagai berikut:
�=

��−��

��−��

��

� �� �� �

� ��

dimana:
t
= umur simpan produk (hari)

ln�

(1.1)

Me
Mi
Mc
k/x
A
Ws
Po
b

= kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan)
= kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
= kadar air kritis produk (g H2O/g padatan)
= konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
= luas permukaan kemasan (m2)
= berat kering produk dalam kemasan (g)
= tekanan uap jenuh (mmHg)
= kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara Mi dan
Mc)

Parameter-parameter persamaan Labuza (1982) diatas dapat dikelompokkan
ke dalam tiga unsur, yaitu : unsur sifat fisik produk (Me, Mi, Mc, Ws, dan b),
unsur pengemas (k/x dan A), dan unsur lingkungan (RH penyimpanan dan b).
b.

Pendekatan Kadar Air Kritis yang Dimodifikasi
Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi digunakan untuk produk
pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang memiliki
kandungan sukrosa tinggi (Labuza and Schimdl 1985). Pada kondisi akselerasi,
kadar air kesetimbangan sulit tercapai, hal ini dapat dilihat dengan semakin
naiknya kadar air tanpa batas pada RH tertentu. Pada kondisi tersebut kurva
sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier. Oleh karena itu, Labuza and
Schimdl (1985) memodifikasi persamaan Labuza menjadi seperti berikut :

�=

(��−��)��



� �(�)∆�

(1.2)

dimana :
t
= umur simpan produk (hari)
∆P = selisih tekanan udara di luar dan di dalam produk
Mc = kadar air kritis produk (g H2O/g padatan)
Mi = kadar air awal produk (g H2O/ g padatan)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)
Pendekatan Model Arrhenius
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk
pangan. Dalam menduga kecepatan penurunan mutu produk pangan selama
penyimpanan, faktor suhu dapat diperhitungkan. Pendugaan umur simpan dengan
pendekatan model Arrhenius menggunakan perubahan suhu kondisi penyimpanan
produk. Kenaikan suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusakan yang
memperpendek umur simpan dari bahan pangan (Syarief dan Halid 1993). Pada
model ini produk pangan disimpan pada suhu yang ekstrim sehingga terjadi
penurunan mutu produk. Pada umumnya model ini digunakan untuk menduga
umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya
produk pangan yang mudah mengalami oksidasi, pencoklatan, atau kerusakan

vitamin C. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model
Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk
snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instan, tepung-tepungan,
kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau
mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi
lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar 2006).
Untuk menganalisis penurunan mutu diperlukan beberapa pengamatan, yaitu
parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus
mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Pada umumnya model ini
menggunakan tiga kombinasi suhu dan selama penyimpanan suhu dijaga tetap
stabil. Apabila keadaan suhu dianggap stabil, maka laju penurunan mutu dapat
dicari dengan menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut:
� = �0 ���(−��/��)

(1.3)

dimana :
k
= konstanta laju penurunan mutu
k0
= konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)
Ea
= energi aktivasi
T
= suhu mutlak (oC+273)
R
= konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986 kal/mol.K)
Menurut Syarief dan Halid (1993), semakin sederhana model yang
digunakan untuk menduga umur simpan suatu produk, maka semakin banyak
asumsi yang dipakai. Asumsi yang digunakan untuk menggunakan model
Arrhenius adalah:
1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.
3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses
yang terjadi sebelumnya.
4. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap.
Kadar Air dan Aktivitas Air
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen
selain ikut serta sebagai bahan pereaksi. Peranan air dalam bahan pangan biasanya
dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air adalah persentase
kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet
basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai
batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat
kering dapat lebih dari 100 persen (Syarief dan Halid 1993).
Kadar air dan konsentrasi larutan dalam bahan pangan hanya sedikit
berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak
dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan bahan
pangan meskipun sangat berpengaruh dalam menentukan umur simpan. Oleh
karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat
atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi.

Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan
dengan besaran aktivitas air (water activity = a w ), yaitu perbandingan tekanan
parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu, a w dapat
pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi a w suatu
bahan, maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya mikroba dalam bahan
pangan tersebut (Syarief dan Halid 1993).
Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara a w dan mutu pangan yang
dikemas:
1. Produk dikatakan tidak aman pada selang a w sekitar 0.7 sampai 0.75 dan di atas
selang tersebut mikroba berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi
beracun.
2. Pada selang a w sekitar 0.6 sampai 0.7 kapang dapat mulai tumbuh.
3. Pada selang a w sekitar 0.35 sampai 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan
hilang kerenyahannya.
4. Pada selang a w sekitar 0.4 sampai 0.5, produk pasta yang terlalu kering selama
pengeringan atau kehilangan air selama distribusi atau penyimpanan, akan
mudah hancur, rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.
Kurva Sorpsi Isotermis Air
Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik
fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara
sekitarnya. Secara umum, kondisi tersebut digambarkan dengan kurva sorpsi
isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan
kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau
a w pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Andrade et al. (2011) juga
menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermis bahan pangan menggambarkan
hubungan termodinamika antara aktivitas air dan kelembaban relatif
kesetimbangan dari suatu produk pangan pada suhu dan tekanan yang konstan.
Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat
membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan
memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa
simpannya (Mir dan Nath 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering
menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari. Selain itu berguna juga
untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan
dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias
1978).
Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid atau
menyerupai huruf S (Syarief dan Halid 1993). Kurva sorpsi isotermis dapat
menggambarkan proses adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (melepaskan air)
dari suatu bahan pangan. Perbedaan atau ruang yang terdapat diantara dua kurva
tersebut didefinisikan sebagai proses hysteresis (Gambar 2).
Adsorpsi air oleh bahan pangan adalah proses dimana molekul-molekul air
secara progresif dan bolak balik bercampur dengan padatan dalam pangan melalui
proses chemosorption, adsorpsi fisik, dan kondensasi multilayer (Andrade et al.
2011). Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung
pada faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama

perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan
selama desorpsi (Fennema 1985). Oleh karena itu, bentuk kurva sorpsi isotermis
ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 2004).

Keterangan: A = daerah monolayer
B = daerah multilayer
C = daerah kondensasi kapiler
Gambar 2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum (diolah dari
Mathlouthi dan Roge 2003)
Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung dari tujuan pemakai
(Labuza 1968). Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang
dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi
isotermis pada keseluruhan selang a w yang ada dan dapat diaplikasikan untuk
berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut:
1. Perubahan a w pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam
faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang a w yang berbeda.
2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis
yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara
komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses
pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan
tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan
lainnya.
Berdasarkan Mathlouthi dan Roge (2003), Brunauer et al. (1940)
mengklasifikasikan kurva sorpsi isotermis menjadi lima tipe berdasarkan bentuk
dan proses adsorpsi multilayer-nya. Lima tipe kurva sorpsi isotermis (Gambar 3)
ini dijelaskan oleh Brunauer et al. (1940), sebagai berikut: Tipe 1 adalah model
sorpsi isotermis Langmuir yang diperoleh dari adsorpsi monomolekuler gas oleh
padatan berpori dalam volume yang tak terbatas. Tipe 2 adalah sorpsi isotermis

sigmoid yang terdapat pada bahan yang mudah larut dan menunjukkan a w dengan
kecenderungan tren asymptotic dibandingkan tipe 1. Tipe 3 dikenal sebagai sorpsi
isotermis Flory-Huggins menunjukkan proses adsorpsi dari pelarut atau plasticizer,
seperti gliserol, yang berada di atas suhu transisi gelas. Tipe 4 kurva isotermisnya
mendeskripsikan proses adsorpsi padatan hidrofilik yang menggembung hingga
hidratasi maksimum tercapai. Tipe 5 adalah model sorpsi isotermis B.E.T
(Brunauer, Emmet, Teller), adsorpsi multilayer tipe ini digunakan untuk proses
adsorpsi uap air pada arang dan berhubungan dengan sorpsi isotermis tipe 2 dan 3.
Jenis kurva sorpsi isotermis yang biasa ditemukan pada produk pangan adalah
sorpsi isotermis tipe 2 dan 4.

Gambar 3 Tipe – tipe kurva sorpsi isotermis (Brunauer et al. 1940 diacu dalam
Mathlouthi dan Roge 2003)

Penggumpalan (Caking)
Penggumpalan merupakan masalah serius bagi industri tepung. Pada tepung
instan kering seperti bumbu instan, sup instan, dan kopi instan, fenomena
penggumpalan dapat menurunkan kelarutan, aktivitas enzim, oksidasi lemak,
perubahan aroma dan kekambaan. Bagi konsumen, fenomena penggumpalan
adalah indikator rendahnya mutu dan keamanan produk (Chung et al. 2000).
Penggumpalan adalah aglomerasi partikel yang kecil ke dalam potongan
massa solid yang lebih besar. Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya gumpalan pada padatan dengan kadar air rendah (Johanson dan Paul
1996). Penggumpalan yang disebabkan oleh migrasi uap air dipengaruhi oleh
siklus adsorpsi dan desorpsi uap air yang terjadi antara udara dan partikel padatan.
Individu partikel tepung akan bergabung membentuk suatu aglomerat bilamana
tersedia cukup air diantaranya yang menjembatani dan memplastisasinya. Pada

tahap aglomerasi, dimana fenomena penggumpalan belum dapat dideteksi secara
kasat mata, pengaruhnya pada sifat fisik tepung dapat meningkatkan densitas
kamba, penurunan dispersibility dan flowability (Chung et al. 2000). Perubahan
awal sifat fisik seperti ini dapat meningkatkan biaya pengolahan dan distribusi.
Faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kinetika penggumpalan dapat
dipengaruhi oleh bubuk itu sendiri (distribusi ukuran partikel, higroskopisitas dan
muatan partikel, keadaan bahan, kotoran) dan faktor eksternal seperti suhu,
kelembaban relatif dan tekanan mekanik. Untuk mempertahankan sifat-sifat
aliran yang tepat dari bubuk dan mencegah penggumpalan serbuk, dapat
diterapkan: (a) pengeringan hingga kadar air yang rendah, (b) pengkondisian
bubuk pada kelembaban atmosfer rendah dan kemasan dengan permeabilitas
rendah, (c) penyimpanan pada suhu rendah, (d) penggunaan dessicant pada
kemasan, (e) aglomerasi, dan (f) penambahan anti-caking agent (Johanson dan
Paul 1996).

METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian,
yaitu (i) tepung lidah buaya diperoleh dari sumber komersial yang diproduksi di
Kecamatan Siantan Hulu, Pontianak, Kalimantan Barat (ii) bahan pengemas untuk
analisis pendugaan umur simpan tepung lidah buaya dengan metode ASLT yang
berupa kemasan jenis oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE),
dan metalized plastic, (iii) tepung beras merk Rose Brand untuk uji sensori, serta
(iv) bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan larutan garam jenuh yang
terdiri dari: akuades, NaOH, MgCl 2 , K 2 CO 3 , NaBr, NaCl, KCl, dan K 2 SO 4 .
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain alat untuk analisis
penentuan umur simpan, yaitu oven, a w -meter, neraca analitik, hot plate, desikator,
cawan porselen, cawan aluminium, glass chamber, pencapit logam, aluminium
foil, ayakan 80 dan 100 mesh, peralatan gelas dan lainnya.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan metode. Tahap-tahap
metode penelitian yang dilakukan berdasarkan Gambar 4.
Seleksi dan pelatihan panelis (Meilgaard et al. 1999)

Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperoleh
delapan orang panelis yang bersedia dilatih. Menurut Meilgaard et al. (1999),
tahap-tahap seleksi panelis meliputi pre-screening dan acuity test. Langkah prescreening ditempuh melalui pengisian kuesioner. Tujuan pre-screening adalah
untuk menjaring individu yang dapat menskala dan berfikir secara terkonsep.
Acuity test yang dilakukan pada penelitian ini hanya menggunakan satu
metode pengujian, yaitu uji segitiga. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini
mutu sensori yang diamati hanya berupa mutu tekstur (caking). Oleh karena itu,
seleksi yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan
dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur.
a.

Uji segitiga
Uji segitiga dilakukan untuk menyeleksi 24 orang panelis menjadi 8-12
orang kandidat panelis terlatih. Uji segitiga ini dilakukan dengan menggunakan
sampel berupa tepung beras dengan dua ukuran mesh yang berbeda yaitu 80 dan
100 mesh. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan untuk melihat konsistensi
panelis dalam memberikan jawaban. Pada uji segitiga panelis diminta untuk
mengidentifikasi 1 sampel berbeda dari 3 sampel yang disediakan berdasarkan
atribut tekstur. Lembar kerja dan formulir uji segitiga untuk penyeleksian panelis
dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Panelis yang terpilih menjadi kandidat
panelis terlatih adalah panelis yang menjawab dengan benar sekurang-kurangnya
50% dari semua uji segitiga yang dilakukan.

Panelis

T
A
H
A
P

Sampel tepung lidah
buaya

Seleksi panelis:

• Uji segitiga

Pendugaan umur simpan
model kadar air kritis

T
Calon panelis

Pelatihan calon panelis
terlatih

1

Penentuan kadar air awal

Penentuan kadar air kritis

Pembuatan pola kurva
sorpsi isotermis air

A
H
A
P

Panelis terlatih

Uji sensori

Penentuan variabelvariabel pendukung dalam
penentuan umur simpan

2

Penentuan umur simpan
tepung lidah buaya

Gambar 4 Diagram alir penelitian
b.

Pelatihan Panelis
Setelah seleksi dilakukan, diperoleh delapan orang kandidat panelis terlatih,
maka dilakukanlah serangkaian proses pelatihan dalam bentuk Focus Grup
Discussion (FGD) dan uji rating. Pelatihan panelis dilakukan selama 1 minggu (5
kali tatap muka, 2 jam). Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan
meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut tekstur (penggumpalan
atau daya mawur).
Diskusi fokus grup (FGD) dilakukan oleh panel leader bersama dengan para
panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk
tepung lidah buaya menjadi tidak diterima. Dalam proses pelatihan, panelis
pertama-tama diberikan penjelasan mengenai tujuan dari pelatihan dan hal-hal apa
saja yang dilakukan ketika pelatihan dan pengujian sampel. Panelis juga diberi
penjelasan dan pengenalan mengenai tepung lidah buaya, proses pengolahan, dan

karakteristiknya. Kemudian, panelis melakukan FGD untuk menentukan
karakteristik awal dari tepung lidah buaya tersebut.
Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau mengidentifikasi produk
yang diperkirakan sudah tidak