Kualitas kokon hasil silangan ulat sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA
(Bombyx mori L.)
L RAS CINA DENGAN RAS JEPANG
SECARA RESIPROKAL

SKRIPSI
ROFIKA ROCHMAWATI

DEPARTEMEN
EN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI
TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

RINGKASAN
Rofika Rochmawati. D14070138. 2011. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat
Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan Ras Jepang secara Resiprokal.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

: Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si.
: Dra. Lincah Andadari, M.Si.

Sutera merupakan serat yang dihasilkan oleh ulat sutera, salah satu ulat sutera
yang sangat terkenal dengan produksi suteranya ialah Bombyx mori L. Cara untuk
memperoleh bibit ulat sutera yang baik diantaranya adalah dengan melakukan seleksi
dan persilangan. Salah satu metode persilangan yang perlu mendapat perhatian dari
aspek penurunan sifat secara maternal adalah persilangan resiprokal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi kualitas kokon hasil Persilangan ulat sutera ras Cina
dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan bibit komersial
yang sudah ada.
Penelitian ini menggunakan enam perlakuan yang terdiri atas empat jenis
persilangan secara resiprokal, yaitu persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras
Cina jantan 808 (P1), persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108
(P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras
Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan dua jenis
bibit komersial, yaitu BS09 (P5) dan C301 (P6). Sifat yang akan diamati yaitu bobot
kokon, persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon

normal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh persilangan
resiprokal terhadap bobot kokon pada P1 dan P2 yang merupakan persilangan
resiprokal pertama. Namun pada P3 dan P4 tidak terdapat pengaruh persilangan
resiprokal terhadap semua sifat yang diamati. Berdasarkan hasil analisis P1, P2, P3
dan P4 memiliki nilai bobot kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan P6 dan
memiliki nilai persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan dan persentase kokon
normal yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P6. Di sisi lain, P1, P3, dan
P4 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P5 pada semua
sifat yang diamati. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
kualitas benang yang dihasilkan.
Kata-kata kunci : Bombyx mori L., persilangan resiprokal, kualitas sutera.

ABSTRACT
Cocoon’s Quality of Silkworm (Bombyx mori L.) Crossbreed between Chinesse
Silkworm Race and Japanesse Silkworm Race Reciprocally
Rochmawati, R., Jakaria, L. Andadari
This research aimed to evaluate the results of reciprocal crossbreeding between
Chinesse silkworm race with Japanesse silkworm race reciprocally, and then
compared them with the commercial silkworm races. There were six crossings to

evaluate, the silkworm reciprocal crossbreed were female 108 Japanesse crossed
male 808 Chinesse (P1), female 808 Chinesse crossed male 108 Japanesse (P2),
female Chinesse 806 crossed male 903 Japanesse (P3), female 903 Japanesse crossed
male 806 Chinesse (P4) and the commercial silkworm races BS09 (P5) and C301
(P6). There were four variables evaluated, including weight of cocoon, percentage of
cocoon’s shell, rendement of rearing, and percentage of normal cocoon. The results
showed that reciprocal gave significant effect on weight of cocoon in the first
reciprocal (P1 and P2). In the other hand, it gave no significant effect on percentage
of cocoon’s shell, rendement of rearing and percentage of normal cocoon. In the
second reciprocal (P3 and P4) there was not significant different on every observed
variables. The reciprocal crossbreeds (P1, P2, P3, and P4) had higher weight of
cocoon than P6. The reciprocal crossbreeds were also had no significant difference
with P6 in percentage of cocoon’s shell, rendement of rearing and percentage of
normal cocoon. Even though, only P1, P3, and P4 had no significant difference with
P5 on all observed variables.
Keywords: Bombyx mori L., reciprocal crossing, silk quality.

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA
(Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG
SECARA RESIPROKAL


ROFIKA ROCHMAWATI
D14070138

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina
dengan Ras Jepang Secara Resiprokal
Nama : Rofika Rochmawati
NRP


: D14070138

Menyetujui,
Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,

Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si.
NIP. 196605011993031001

Dra. Lincah Andadari, M.Si
NIP. 196304131990032002

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc
NIP.19591212 198603 1 004


Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 21 Januari 1990. Penulis
merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Zainal Arifin dan
Rochana.
Pada tahun 1994, Penulis mengawali pendidikan dengan bersekolah di Taman
Kanak-Kanak Aisyah Bustanul Athfal XI Bandung, dan melanjutkannya ke SD
Negeri Sarijadi Selatan II Bandung serta lulus pada tahun 2001. Di tahun yang sama,
Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bandung dan lulus pada tahun 2004.
Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 7 Bandung pada tahun yang sama dan
lulus pada tahun 2007. Di tahun yang sama pula, Penulis di terima di IPB melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Selama kuliah di IPB, Penulis aktif di beberapa organisasi di IPB, yaitu
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) 2009 dan menjabat
sebagai staff Sosial Lingkungan dan Masyarakat. Penulis juga aktif dalam EMULSI
Majalah Pangan dan Gizi 2009 dan menjabat sebagai staff Pengembangan Sumber

Daya Manusia, serta Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER)
2010 sebagai anggota Club Satwa Harapan. Penulis juga berkesempatan menjadi
penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) 2008-2011.

KATA PENGANTAR
Saat ini, kegiatan persuteraan alam telah dilakukan oleh lebih dari 50 negara.
Negara-negara yang memiliki spesialisasi dalam teknologi persuteraan alam antara
lain Cina, India, Jepang, Korea, Brazil, Turki, dan Asia bagian tengah. Sutera alam
merupakan sekresi dari saliva kering yang diproduksi oleh larva saat ulat sutera yang
sudah tumbuh maksimum dan memproduksi benang yang disebut kokon selama
sebelum menjadi pupa. Benang ini disebut benang emas dari ratu emas tekstil dan
dikagumi oleh seluruh dunia karena kelembutan dan kilauannya. Produk ini sangat
ringan dan lembut namun kuat dan halus. Secara umum, produk ini diterima oleh top
fashion designer kelas dunia karena keanggunan, penyerapan warna, toleransi
terhadap panas dan daya serap airnya yang sangat baik. Tak heran jika angka
permintaan sutera tinggi di mata dunia. Namun, terdapat kendala dalam
pengembangan sutera khususnya di Indonesia. Salah satu kendala tersebut adalah
bibit ulat yang kurang baik, sehingga masih dibutuhkan banyak penelitian mengenai
bibit ulat sutera yang berkualitas agar membantu pengembangan sutera di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil silangan ulat sutera ras

Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan ras ulat
sutera komersial yang sudah ada. Setiap persilangan akan menghasilkan keturunan
yang berbeda sehingga perlu dilakukan persilangan resiprokal, dan sebagai hasilnya
dapat benar-benar diketahui tetua mana yang harus digunakan dalam suatu
persilangan untuk menghasilkan keturunan yang terbaik. Penulis berharap penelitian
ini, dapat menjadi informasi bagi masyarakat secara umum dan mahasiswa secara
khusus yang memperlajari Ilmu Genetika serta para Breeder mengenai persilangan
ulat sutera antara ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal.

Bogor, Juni 2011

Penulis,

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................... i
ABSTRACT........................................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................................vi

DAFTAR ISI..................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xi
PENDAHULUAN................................................................................................1
Latar Belakang............................................................................................ 1
Tujuan

............................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................3
Ulat Sutera (Bombyx mori L.) ..................................................................... 3
Siklus Ulat Sutera ....................................................................................... 4
Telur Ulat Sutera............................................................................... 5
Tahapan Larva .................................................................................. 5
Tahapan Pupa.................................................................................... 5
Tahapan Ngengat .............................................................................. 5
Ras Ulat Sutera ............................................................................................. 6
Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera ............................................................. 7
Seleksi


............................................................................................... 8

Persilangan

............................................................................................... 9

Efek Heterosis dan Maternal ......................................................................... 9
Kualitas Kokon ......................................................................................... 11
MATERI DAN METODE..................................................................................13
Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 13
Materi

........................................................................................... 13

Ulat Sutera ...................................................................................... 13
Bahan.............................................................................................. 13
Alat ................................................................................................. 14
Prosedur
........................................................................................... 14

Persiapan Ruangan Pemeliharaan .................................................... 14

Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera ............................................. 14
Penetasan dan Pemindahan Ulat ...................................................... 15
Perlakuan Saat Pergantian Kulit ...................................................... 16
Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit ...................... 16
Pengokonan..................................................................................... 16
Pengambilan Sampel ....................................................................... 17
Rancangan Percobaan ............................................................................... 17
Perlakuan ........................................................................................ 17
Model.............................................................................................. 17
Peubah yang Diamati....................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................................19
Bobot Kokon ........................................................................................... 19
Persentase Kulit Kokon............................................................................. 22
Rendemen Pemeliharaan........................................................................... 25
Persentase Kokon Normal......................................................................... 27
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................31
Kesimpulan

........................................................................................... 31

Saran

........................................................................................... 31

UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................33
LAMPIRAN.......................................................................................................35

viii

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Persyaratan Kelas Mutu Kokon...……………………………………………. 12

2.

Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepang
serta Bibit Komersial………………………………………………………… 19

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Siklus Hidup Ulat Sutera……………………………………………………….4

2.

Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta
Kokonnya……………………………………………………………………....7

3.

Bobot Kokon pada Setiap Perlakuan….……………………………………...22

4.

Persentase Kulit Kokon pada Setiap Perlakuan………………………………24

5.

Ulat Terserang Grasserie..................................................................................26

6.

Persentase Rendemen Pemeliharaan pada Setiap Perlakuan…………………27

7.

Persentase Kokon Normal pada Setiap Perlakuan…………………………....29

8.

Jumlah Kokon Cacat pada Setiap Perlakuan………………………………....30

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Hasil Perhitungan Sidik Ragam ………………………….................................35

2.

Catatan Pemberian Pakan……………....……………………………………...38

3.

Catatan Umur Pemeliharaan Ulat…………………………..……………….....39

4.

Catatan Suhu dan Kelembaban………………………………………………..40

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan persuteraan alam merupakan usaha yang memiliki prospek sangat
baik. Benang sutera yang terkenal sebagai barang mewah dan mahal ternyata
memiliki tingkat permintaan yang tinggi termasuk di Indonesia. Produksi benang
sutera alam dunia mencapai sekitar 83.393 ton per tahun yang dihasilkan oleh
negara-negara produsen terbesar yaitu Cina yang diikuti oleh India, Jepang, Korea,
dan Brazil, sementara kebutuhan dunia yaitu sekitar 92.743 ton per tahun sehingga
masih terdapat kekurangan mencapai 10% dari total permintaan. Hal ini merupakan
peluang besar bagi negara lain termasuk Indonesia yang memiliki potensi dalam
pengembangan persuteraan alam, karena produksinya baru mencapai kurang lebih
500 ton per tahun jauh di bawah kebutuhan dalam negeri sendiri yaitu sekitar 2.000
ton per tahun (Bank Indonesia, 1999).
Angka produksi sutera mentah pada tahun 1999 di Indonesia, hanya mencapai
74 ton, sedangkan pada tahun 2001 meningkat hingga 110 ton. Produksi sutera
mentah terus menurun mencapai angka 47 ton, dan kembali meningkat pada tahun
2007 mencapai 65 ton. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2009 yaitu 19 ton
(Ditjen RLPS, 2010). Penurunan produksi yang drastis dari tahun ke tahun sangat
disayangkan, padahal kegiatan persuteraan alam pernah menjadi penggerak
masyarakat sebagai usaha meningkatkan penghasilan masyarakat pada tahun 1960an. Namun, hingga saat ini usaha persuteraan alam cenderung mengalami penurunan
karena berbagai faktor teknis maupun nonteknis (Nurhaedah et al., 2006). Mengingat
kendala dan prospek usaha kegiatan persuteraan alam ini, maka diperlukan peran
serta pemerintah dalam upaya menggerakkan kembali kegiatan persuteraan alam
Indonesia agar dapat berkembang kembali.
Pengadaan bibit ulat sutera yang unggul adalah salah satu hal penting untuk
meningkatkan produksi sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam yang bergerak di bawah koordinasi Badan
Litbang Kehutanan, secara terus-menerus mengembangkan pembibitan ulat sutera
dengan menyilangkan beberapa ras ulat sutera yang ada, seperti ras Cina, Jepang dan
Tropis dengan tujuan untuk menghasilkan bibit unggul yang dapat tahan di berbagai

kondisi lingkungan dan dapat menghasilkan kokon yang baik. Sehubungan dengan
hal tersebut, dari beberapa ras ulat sutera yang ada di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam, perlu
dilakukan evaluasi terhadap ras-ras ulat sutera yang ada untuk calon bibit unggul ulat
sutera yang berkualitas. Misalnya, dilakukannya evaluasi terhadap kualitas kokon
persilangan galur 108 dan 903 dari ras Jepang, serta 808 dan 806 dari ras Cina yang
masing-masing memiliki keunggulan dalam persentase kulit kokon dibandingkan
galur lainnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil persilangan ras Cina dan
ras Jepang secara resiprokal, serta membandingkannya dengan bibit ulat sutera
komersial yang sudah ada.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutera (Bombyx mori L.)
Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera,
yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga
holometabola, yaitu hewan yang mengalami metamorfosa sempurna. Hal ini berarti
bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut
“ulat”), pupa dan ngengat, yang lebih dikenal sebagai “kupu”. Selama metamorfosa,
stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, merupakan masa yang
sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et
al., 2000). Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut :
Phylum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Familia

: Bombycidae

Genus

: Bombyx

Species

: Bombyx mori L.

Tetua atau moyang dari ulat sutera Bombyx mori L. adalah Bombyx
mandarina, yang ditemukan di pohon murbei Cina, Jepang dan negara lain di Asia
Timur. Ulat sutera, karena sudah sejak lama didomestikasi, menyebabkan kehilangan
kemampuan untuk hidup mandiri di alam bebas. Rasa penciumannya sudah sangat
tumpul, sudah tidak mengenal lagi tanaman murbei dalam jarak beberapa meter, juga
tidak dapat bergerak dari batang ke batang lain untuk mendapatkan daun, karena
kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegangnya juga sangat lemah,
sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, atau
oleh sebab-sebab lain. Selain itu, ulat sudah tidak dapat lagi melindungi diri dari
musuh dan tidak bisa bergerak cepat. Ngengatnya tidak bisa terbang untuk
berkopulasi, dan ngengat betina sulit untuk bertelur di daun murbei (Atmosoedarjo et
al., 2000).
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), setelah dipelihara selama beberapa ribu
tahun di banyak daerah, maka ulat sutera mempunyai banyak varietas yang
diklasifikasikan berdasarkan sifat, yang berhubungan erat dengan ekonomi dan

teknik pemeliharaan sebagai berikut : (1) klasifikasi berdasarkan negara asal yaitu ras
Cina, ras Jepang, ras Eropa, dan ras Tropik, (2) klasifikasi berdasarkan jumlah
generasi pertahun, yaitu univoltin, bivoltin, dan polivoltin, dan (3) klasifikasi
berdasarkan frekuensi ganti kulit, yaitu three molter, four molter, dan five molter.
Berdasarkan sifat-sifat biologi, kebutuhan ruangan, kebutuhan pakan, dan
lain-lain, maka sistem pemeliharaan untuk ulat kecil dan ulat besar harus dibedakan.
Ulat kecil adalah ulat yang berumur 1 hari hingga 11 hari atau 12 hari, sedangkan
ulat besar adalah fase sejak ulat berumur 12 hari hingga 22 hari dimana ulat akan
memasuki fase pengokonan. Pada fase ulat kecil dapat dibagi lagi menjadi tiga instar,
yaitu: (1) instar I: ulat berumur 1-4 hari, (2) instar II: ulat berumur 5-7 hari, (3) instar
III: ulat berumur 8-11 hari (Guntoro, 1994).
Siklus Ulat Sutera
Ulat sutera merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna.
Selama hidupnya, ulat sutera melewati empat tahap kehidupan yang berbeda, yaitu
telur, larva (ulat), pupa, dan dewasa (ngengat). Umur kehidupan ulat sutera antara 50
hingga 60 hari termasuk periode inkubasi, tahapan larva, tahapan pupa, dan tahapan
ngengat, dan akan berakhir saat setelah ngengat berkopulasi. Siklus hidup ulat sutera
seperti yang digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera
Sumber : Tazima (1964)

4

Telur Ulat Sutera
Telur ulat sutera berbentuk kecil, rata, dan elips, dilapisi dengan lapisan keras
(kulit telur). Bentuk dan ukurannya sangat kecil. Pada ujung telur terdapat micropyle
yaitu tempat sperma memasuki sel telur. Warna dari telur yang baru ditetaskan
adalah putih susu atau kuning keruh yang terdiri dari warna chorion (kulit telur),
serosa dan kuning telur (komponen dalam isi telur). Setelah hari ke-2 atau ke-3,
warna telur mulai berubah, hari ke-6 dan ke-7 setelah ditelurkan, warna telur berubah
menjadi abu-abu dengan ungu gelap (Sinchaisri, 1993).
Tahapan Larva
Menetasnya ulat sutera dari telurnya disebut penetasan, larva yang baru
menetas sepanjang 3 mm, diselimuti oleh rambut-rambut tipis dan berwarna hitam.
Selama masa larva, ulat sutera mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali.
Selama masa pergantian kulit, larva mangalami masa tidur selama kurang lebih 24
jam tanpa makan. Fenomena ini disebut moulting. Selama moulting pertama, ulat
sutera memproduksi kulit baru untuk dirinya untuk menggantikan kulit lamanya.
Setelah itu, larva kembali makan, tumbuh dan memasuki instar selanjutnya. Instar I
hingga instar III biasa disebut ulat kecil, sedangkan instar IV dan V disebut ulat
besar. Total periode larva dari penetasan hingga mengokon yaitu 25 hingga 30 hari
(Sinchaisri, 1993).
Tahapan Pupa
Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera
berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa,
pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah
mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993).
Tahapan Ngengat
Biasanya, waktu keluarnya ngengat terjadi di pagi hari. Ngengat membasahi
kulit kokon dengan sekresi alkalin dan merusak kokon, mendorong kokon hingga
dapat keluar. Ngengat kemudian melebarkan sayap dan mengeringkannya. Ngengat
betina kemudian akan membiarkan kelenjar seksual mengembung untuk memikat
ngengat jantan (Sinchaisri, 1993).

5

Ras Ulat Sutera
Terdapat empat jenis ulat sutera unggul yang memiliki produksi kokon yang
tinggi dan dapat menghasilkan benang sutera dengan kualitas yang baik. Keempat ras
ulat sutera tersebut adalah ras Cina, ras Jepang, ras Eropa dan ras Tropika. Di
Indonesia yang telah banyak dikembangkan adalah ulat sutera ras Cina, ras Jepang,
dan hasil persilangan dari ras Jepang dengan ras Cina. Ras Cina dan ras Jepang ini
disamping memiliki keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti kokon
yang tipis, tidak rentan terhadap penyakit dan umur produksi yang panjang. Tetapi
dengan menyilangkan kedua ras tersebut kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi
dan sifat unggulnya lebih menonjol (Guntoro, 2004).
Ciri-ciri ulat sutera ras Jepang antara lain : (1) umur produksinya relatif lebih
panjang atau lama dibandingkan dengan ras Cina; (2) lebih lemah, sehingga lebih
rentan terhadap serangan penyakit; (3) bentuk kokon tebal, seperti kacang tanah; (4)
lapisan kokon tebal, sehingga produksi kokon lebih tinggi dibandingkan ras Cina
(Guntoro, 2004). Ras Jepang mempunyai varietas univoltin dan bivoltin. Banyak
galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk kacang,
ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et al., 2000).
Ras Cina memiliki ciri-ciri antara lain : (1) umur produksinya lebih pendek
atau cepat; (2) bentuk kokon bulat; (3) lapisan kokon tipis, sehingga produksi serat
suteranya lebih rendah dibandingkan ulat sutera ras Jepang; dan (4) daya tahannya
terhadap penyakit lebih baik (Guntoro, 2004). Ras Cina juga terdiri dari univoltin
dan bivoltin yang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon
oval. Ras Cina ini memiliki kecepatan tumbuh yang cepat.
Ras Eropa hanya mencakup jenis univoltin, dengan larva yang besar dan
kokon oval. Ras Eropa ini tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat
dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropik saja. Banyak galur yang
dipelihara pada saat ini merupakan hibrid dari ketiga ras tersebut di atas, yang telah
diperbaiki

dengan

menghimpun

kelebihan-kelebihannya.

Hibrid

ini

untuk

memudahkan pemakaian, diklasifikasikan berdasarkan darah Jepang, darah Cina dan
darah Eropa, dan disebut sebagai ras masing-masing, yang paling umum pada saat ini
adalah galur dari ras Jepang dan ras Cina. Para petani biasanya memelihara generasi
pertama (F1) dari ras-ras tersebut (Atmosoedarjo et al., 2000).
6

Ras Tropik merupakan jenis polivoltin, mempunyai telur kecil dan ringan,
larvanya kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat. Bentuk kokon seperti kumparan,
mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis, sehingga produksinya
rendah (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta Kokonnya
Sumber: Andadari (1998)

Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera
Ulat sutera merupakan hewan penelitian yang ideal sehingga mendapat
perhatian besar dari para ahli genetika di seluruh dunia. Hal ini dilihat dari
banyaknya sifat yang diturunkan, baik pada telur, larva, pupa, maupun pada stadia
dewasa. Selain itu, ulat sutera mempunyai siklus hidup yang pendek, sehingga dapat
dipelihara 7-8 generasi per tahun (Atmosoedarjo et al., 2000). Ulat sutera
mempunyai sifat kualitatif dan kuantitatif, dengan jumlah kromosom 56 buah yang
terdiri dari 27 pasang kromosom tubuh dan 1 pasang kromosom seks (penentu jenis
kelamin). Kromosom seks betina adalah heterogamet dengan formula kromosom
“ZW”, sedangkan yang jantan homogamet dengan formula “ZZ”. Kromosom yang
menentukan jenis kelamin betina adalah kromosom “W” (Atmosoedarjo et al., 2000).
Menurut Brasla dan Matei (1997) tujuan dan sasaran pemuliaan ulat sutera
adalah untuk meningkatkan hasil kokon dan benang sutera serta untuk mendapatkan
7

jenis ulat sutera yang sesuai dengan masing-masing kondisi lingkungan. Peningkatan
kualitas bibit ulat sutera masih perlu dilaksanakan di Indonesia, terutama karena bibit
yang digunakan sekarang merupakan dari daerah sub-tropik, yang biasa dipelihara
pada kondisi optimum. Untuk kondisi tropik seperti Indonesia yang agroklimatnya
berfluktuasi, kualitas daun rendah dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas,
diperlukan jenis ulat yang lebih kuat. Untuk meningkatkan kualitas bibit ulat sutera
ada beberapa cara yang sudah dikenal yaitu dengan seleksi, persilangan, gabungan
antara persilangan dan seleksi, serta rekayasa genetika (Atmosoedarjo et al., 2000).
Seleksi
Dipandang dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk
membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak
diberi kesempatan bereproduksi. Seleksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu seleksi alam
dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan
ternak-ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan
proses reproduksi. Ternak yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan bisa
bertahan hidup adalah ternak-ternak yang memiliki peluang lebih besar untuk
bereproduksi. Kemampuan ternak untuk bertahan hidup dipengaruhi oleh faktor
genetik (Noor, 2008).
Pada ulat sutera, seleksi dilakukan bertahap pada galur induk, dimulai dari
telur, ulat, kokon, pupa, dan ngengat. Sehingga hanya individu yang baik saja yang
terpilih untuk bibit. Tujuan seleksi pada setiap stadia berlainan. Pada stadia telur
untuk mendapatkan jumlah telur per induk yang tinggi, penetasan yang seragam dan
prosentase penetasan yang baik. Sementara seleksi ulat bertujuan untuk mendapatkan
keseragaman pertumbuhan, umur ulat yang pendek, dan rendemen pemeliharaan
yang tinggi. Dalam seleksi harus diperhatikan, bahwa sifat yang penting secara
ekonomi, dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam
pemeliharaan untuk galur terseleksi, efek lingkungan harus diusahakan sekecil
mungkin, sedang variasi genetik harus dianalisa dan dievaluasi dalam rangka
memilih galur yang spesifik secara efisien, ketika didapatkan telur dari induk unggul,
kokon galur induk berbentuk kacang dan oval disilangkan untuk menguji sifat dari
hibrid, karena meskipun galur murninya unggul tidak selalu menghasilkan hibrid
yang berkualitas baik (Atmosoedarjo et al., 2000)
8

Persilangan
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki kualitas genetik
hewan/ternak, yaitu dengan sistem persilangan. Persilangan adalah perkawinan antar
individu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan
biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki
tingkat kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut
dengan heterosis atau keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993).
Pada ulat sutera, persilangan dilakukan antar galur yang berasal dari daerah
yang berbeda agar sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing
galur dapat bergabung pada hibridnya. Persilangan digunakan secara luas dalam
rangka memperbaiki kualitas jenis ulat dengan mengeksploitasi gen-gen unggul
(Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Razdan et al. (1994) yang paling penting
diperhatikan dalam persilangan untuk membentuk galur baru maupun hibrid baru
adalah karakter spesifik dari masing-masing ras. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan
dalam persilangan adalah sifat yang dipilih, sistem persilangan, induk yang
digunakan, lingkungan, gender, dan seleksi. Guna mendapatkan galur unggul
terdapat masalah dalam pemilihan induk untuk persilangan, mengingat daya gabung
tergantung dari interkasi yang kompleks dari gen-gen yang tidak dapat ditentukan
hanya dari penampilan induk-induknya, Oleh karena itu perlu dicoba sebanyak
mungkin macam persilangan, sebelum hasil terbaik dapat ditentukan.
Efek Heterosis dan Maternal
Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang
heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot namun tidak
mempengaruhi frekuensi genotip. Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari
hubungan kekerabatan ternak yang disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki
hubungan keluarga disilangkan, maka keturunannya cenderung menampilkan
performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu.
Fenomena ini disebut hibrid vigor yang nilainya dapat diukur. Pengukuran kuantitatif
hibrid vigor disebut heterosis yang didefinisikan sebagai persentase peningkatan
performa dari ternak-ternak hasil persilangan di atas rataan tetuanya (Noor, 2005)
Heterosis dikatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan
melebihi rataan tetua. Laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung
9

pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara
kedua ternak tersebut maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar
pula tingkat heterozigositasnya (Noor, 2005). Nilai heterosis untuk setiap sifat
berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifat pun ternyata tidak konsisten,
atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan
berlainan (Atmosoedarjo et al., 2000).
Pewarisan maternal terdapat apabila faktor yang menentukan sifat keturunan
terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui
sitoplasma. Pengaruh maternal ada apabila genotipe diwariskan dari induk betina
menentukan fenotipe dari keturunan. Faktor-faktor keturunan berupa gen-gen yang
berasal dari inti nukleair dipindahkan oleh kedua jenis kelamin, dan dalam
persilangan-persilangan tertentu sifat-sifat keturunan itu mengalami segregasi
mengikuti pola Mendel. Pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang
telah dimodifikasi oleh gen-gen yang dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995).
Cara untuk mengetahui adanya pengaruh maternal, biasanya para pemulia
ulat sutera melakukan perkawinan secara resiprokal untuk menghasilkan hasil
silangan yang paling baik. Menurut Welsh (1991) persilangan resiprokal adalah
persilangan antara dua induk, dimana kedua induk berperan sebagai pejantan dalam
suatu persilangan, dan sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi berulang
resiprokal memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum. Cara
yang ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap dua populasi dalam waktu
yang bersamaan. Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut kelamin pada
karakter kuantitatif yaitu dari hasil persilangan yang dilakukan Tazima (1964)
terhadap galur yang menghasilkan bobot kulit kokon berat dan ringan. Persilangan
resiprokal menghasilkan bobot kulit kokon berbeda pada keturunan pertama dan
kedua pada masing-masing kelamin. Pengaruh gen terpaut kelamin diindikasikan
dengan bervariasinya tinggi dan lebar kurva bobot kulit kokon pada kedua jenis
kelamin keturunannya. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang mengontrol
sifat-sifat dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresi karakter
kuantitatif dan aksinya dimodifikasi oleh gen autosomal (Tazima, 1964).
Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal ialah keberadaan
mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu
10

DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. Mt DNA ini mempunyai
karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya
hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah
mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel
sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak
sehingga membutuhkan banyak sekali ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel telur,
bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA
yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah
mtDNA secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak
terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, dan
diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace et al., 1996).
Kualitas Kokon
Kualitas kokon ditentukan oleh keturunan dari jenis ulat sutera dan keadaan
luar seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain. Syarat kokon
yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih, kuning bersih, atau warnawarna lainnya), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon
(lapisan serat-serat suteranya) keras dan jika ditekan sedikit berat (Samsijah dan
Andadari, 1992). Persyaratan mutu kokon segar berasarkan uji visual meliputi bobot
kokon, rasio kulit kokon dan kokon normal (Dirjen RLPS, 2002). Bobot kokon
adalah bobot kokon secara keseluruhan berikut isinya. Kokon yang berisi pupa betina
biasanya lebih besar daripada kokon berisi pupa jantan. Pada umumnya bobot kokon
adalah 1,5-1,8 g untuk galur murni dan 2,0-2,5 g untuk galur hibrid (Atmosoedarjo et
al., 2000). Hasil produksi kokon per boks dianggap baik jika mencapai target, yaitu
30 kg kokon segar (Andadari et al., 1998)
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), bobot kulit kokon adalah bobot kokon
tanpa pupa. Semakin berat kulit kokon maka semakin besar kandungan suteranya.
Hal ini bervariasi sesuai dengan varietas ulat dan kondisi pemeliharaan serta
pengokonan. Pada umumnya bobot kulit kokon antara 0,3-0,4 g untuk galur murni
dan 0.32-0,55 g untuk hibrid. Menurut Krishnaswami (1973), besarnya persentase
kokon tanpa pupa tergantung dari jenis bibit. Selain itu, kondisi lingkungan seperti
keadaan selama pemeliharaan, keadaan selama ulat membuat kokon maupun kualitas
dan kuantitas daun murbei sangat mempengaruhi mutu kokon (Katsumata, 1975).
11

Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur untuk penentuan harga
jual kokon. Sampai saat ini yang dianggap grade tertinggi (tingkatan kualitas kokon)
adalah persentase kulit kokon sebesar 22%-25% (Kim, 1989). Besarnya nilai
persentase kulit kokon sangat ditentukan oleh berat kokon dan berat kulit kokon.
Persentase kulit kokon tersebut dapat menggambarkan persentase serat kasar yang
dapat diperoleh dari hasil panen (Andadari et al., 1998). Berdasarkan hasil penelitian
Andadari et al. (1998), persentase kulit kokon tidak dipengaruhi kombinasi pakan.
Kokon cacat harus dipisahkan dari kokon normal karena merupakan kokon
yang berkualitas rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), yang termasuk kokon
cacat misalnya, kokon yang rangkap, kokon berlubang, kokon berbentuk aneh, kokon
berbulu, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis, kokon tergencet,
dan bentuk kokon yang abnormal. Menurut SNI 01-5009-11-2002 syarat dan
penggolongan kualitas kokon secara visual disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan Klasifikasi Mutu Kokon Ulat Sutera
Parameter yang diuji

Kualitas
A

B

C

D

Bobot kokon (g/butir)

≥ 2,0

1,7-1,9

1,3-1,6

< 1,3

Persentase kulit kokon (%)

≥ 23,0

20,0-22,9

17,0-19,9

< 17,0

Kokon cacat (%)

≤ 2,0

2,0-5,0

5,1-8,0

≥ 8,0

Sumber : SNI 01-5009-11 (2002)

Berdasarkan SNI tersebut, kelas mutu kokon segar dibagi menjadi empat
kelas, yaitu kelas A, B, C, dan D dengan tiga parameter uji, yaitu bobot kokon, rasio
kulit kokon dan persentase kokon cacat. Di Indonesia, parameter penilaian kualitas
kokon dapat diuji secara visual dan uji laboratorium. Parameter uji visual yang diuji
adalah presentase kokon cacat, berat kokon per butir, dan persentase kulit kokon.
Sedangkan parameter uji laboratorium adalah daya gulung, panjang serat, dan
rendemen serat. Penentuan mutu kokon ke dalam kelas mutu dilakukan dengan
mengkombinasikan hasil pengujian visual dan uji laboratorium.

12

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian

ini

dilaksanakan

di

Laboratorium Pusat

Penelitian

dan

Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas,
Bogor. Waktu penelitian dimulai dari Maret sampai dengan April 2011.
Materi
Ulat Sutera
Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx
mori L.) hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras Cina, dengan kode 808, 108,
903, 806, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan angka ketiga merupakan
urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09 sebagai kontrol. Telur hasil
persilangan ulat sutera dan bibit komersial BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitas, Divisi Persuteraan Alam. Telur bibit
komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa
Tengah. Jumlah ulat yang dipelihara yaitu 3600 ekor.
Ulat sutera ras Cina dengan kode 808 merupakan bibit murni yang didapatkan
dari Brazil dengan kode awal SO dan sudah memasuki generasi ke-20, sedangkan
ulat sutera dengan kode 806 merupakan ulat sutera ras Cina yang juga didapatkan
dari Brazil dengan kode awal ME dan juga telah memasuki generasi ke-20. Ulat
sutera ras Jepang dengan kode 108 merupakan bibit murni yang didapatkan dari
Jepang dengan kode awal BN7 dan telah memasuki generasi ke-32, sedangkan ulat
dengan kode 903 merupakan ulat sutera ras Jepang yang didapatkan dari PPUS
Candiroto dan telah memasuki generasi ke-28.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah desinfektan yang
terbuat dari campuran kaporit dan kapur dengan perbandingan 5:95 dan 10:90, kapur,
formalin dan PK untuk bahan fumigasi, cairan karbol sebagai sanitizer, serta daun
murbei (M. chatayana) sebagai pakan ulat.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak penetasan (terbuat
dari plastik), sasag (kotak pemeliharaan ulat kecil terbuat dari besi), tudung saji
(tempat pemeliharaan ulat besar), stand untuk sasag, keranjang daun, tempat
pengokonan (seriframe), ember, baskom plastik, koran untuk alas, kain untuk
membungkus daun, kertas parafin, sandal, sapu, sikat, lap tangan, pinset,
termohigrometer, timbangan digital, dan camera digital.
Seluruh peralatan tersebut sebelum digunakan, disucihamakan terlebih dahulu
dengan larutan kaporit (terkecuali camera digital, timbangan digital, dan
termohigrometer) kemudian dijemur pada panas matahari. Konsentrasi larutan
kaporit yang digunakan 0,5% (5 g kaporit dimasukkan dalam satu liter air),
kemudian disemprotkan ke seluruh peralatan sekitar 2-3 hari sebelum peralatan
digunakan.
Prosedur
Persiapan Ruangan Pemeliharaan
Ruang pemeliharaan merupakan ruangan dengan jendela dan ventilasi yang
cukup. Suhu ruangan berkisar antara 26-30oC dengan kelembaban berkisar 63%71%. Ventilasi udara ruangan berjalan baik, cukup terang, dan tidak terkena sinar
matahari secara langsung. Ruang pemeliharaan sebelum digunakan, dibersihkan
terlebih dahulu dari kotoran dan debu serta disucihamakan dengan larutan kaporit
atau formalin dengan konsentrasi 0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan
kaporit tersebut sebanyak 1-2 liter larutan per meter persegi luas ruangan.
Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum ruangan digunakan. Fumigasi
dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum pemeliharaan.
Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera
Telur yang telah dikeluarkan dari cold storage, dicuci menggunakan larutan
formalin 2%, kemudian dikeringanginkan. Setelah itu, dilakukan perlakuan HCl, HCl
yang digunakan yaitu sebanyak 100 ml dengan nilai berat jenis 1,1. Telur direndam
selama kurang lebih satu jam, kemudian dikeringanginkan, setelah kering telur
disimpan di dalam incubator dengan suhu 25oC.

14

Penetasan dan Pemindahan Ulat
Telur dikeluarkan dari kotak telur, lalu disebarkan secara merata pada kotak
penetasan dan ditutup dengan kertas tipis. Kotak penetasan disimpan pada tempat
yang teduh dan dihindarkan dari sinar matahari langsung. Suhu penyimpanan
konstan, sekitar 24-25oC dengan kelembaban 75-85%. Kotak penetasan dipindahkan
ke tempat gelap sekitar 2-3 hari sebelum menetas dan terlihat titik biru pada telur.
Setelah hampir seluruh telur menetas, tutup kotak dibuka dan ruangan diberi
penerangan dengan lampu secukupnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
menyeragamkan waktu penetasan telur.
Setelah semua telur menetas, ulat dipindahkan ke sasag (kotak pemeliharaan)
dengan kertas paraffin sebagai alasnya. Pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke
kotak pemeliharaan dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 09.00 WIB. Setelah alas
sasag dilapisi kertas, tutup kotak penetasan dibuka, lalu diletakkan di atas sasag
sehingga secara pelan-pelan ulat menyebar pada sasag. Selanjutnya dilakukan
desinfeksi tubuh ulat dengan menaburkan campuran kaporit dan kapur halus ke tubuh
ulat secara merata. Campuran serbuk tersebut terdiri dari 5% kaporit dan 95% kapur.
Sekitar 30 menit kemudian, ulat diberi makan berupa daun murbei yang lunak
(masih muda) yang dipotong-potong dengan cara dicacah. kemudian sasag ditutup
dengan kertas paraffin atau kertas minyak. Penutup ini dibuka kembali saat
pemberian pakan selanjutnya.
Pemberian Pakan
Pemberian pakan untuk ulat kecil yaitu daun murbei (M. chatayana) yang
dipotong kecil-kecil untuk instar I; 1,5-2,0 cm untuk instar II dan 3,0-5,0 cm untuk
instar III, dan diberikan sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi, siang dan
sore. Daun murbei yang diberikan untuk ulat besar dapat diberikan dalam bentuk
utuh. Pemberian pakan untuk instar VI diberikan sebanyak 3 kali, namun untuk instar
V diberikan sebanyak empat kali sehari, yaitu pada pagi, siang, sore, dan malam
hari. Sekitar satu jam sebelum diberi makan, kertas penutup tempat pemeliharaan
harus dibuka agar daun yang diberikan sebelumnya cepat mengering. Selanjutnya
makanan yang baru diberikan secara merata sesuai dengan kebutuhan, Setelah
pemberian pakan selesai, kotak ditutup kembali dengan kertas penutup. Namun, pada
instar IV dan V ulat sudah tidak memakai kertas penutup lagi. Acuan pemberian
15

pakan yang digunakan adalah menurut Atmosoedarjo et al. (2000), jumlah pakan
pada instar I yaitu 0,5 kg, instar II 1,85 kg, instar III 4,68 kg, instar IV 43,2 kg, dan
instar V 136,08 kg. Jumlah pemberian pakan pada saat penelitian terlampir pada
Lampiran 5.
Perlakuan Saat Pergantian Kulit
Pada setiap instar ulat akan mengalami tidur dan berganti kulit, hal ini terjadi
pada setiap akhir fase instar. Ketika sebagian besar (± 90%) ulat sudah tidur,
pemberian pakan dihentikan dan ulat ditaburi kapur. Ulat yang telah berganti kulit
didesinfeksi dengan menggunakan serbuk campuran kaporit dan kapur kemudian ulat
diberi makan.
Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit
Pada instar I tempat pemeliharaan dibersihkan satu kali, yaitu menjelang ulat
akan tidur. Pada instar II pembersihan tempat dilakukan dua kali, yaitu setelah dua
kali pemberian pakan pertama (sehabis pergantian kulit) dan menjelang tidur
berikutnya. Pada instar III pembersihan dilakukan tiga kali, yaitu setelah dua kali
pemberian pakan pertama (sehabis ganti kulit kedua), pada pertengahan instar III
(hari ke-2) dan menjelang ulat tidur berikutnya. Untuk mencegah serangan hama
seperi tikus, cicak, semut, dan serangga lainnya, penempatan rak sasag tidak
menempel atau terlalu dekat dengan dinding ruangan, kaki rak sasag dimasukkan ke
dalam suatu wadah yang berisi campuran air dan cairan karbol. Untuk mencegah
penyakit, sebelum diberi makan, ulat-ulat kecil ditaburi desinfektan pada awal instar
atau saat ulat bangun dari tidurnya.
Pengokonan
Pembentukan kokon berlangsung sekitar empat hari. Biasanya ulat mulai
memproduksi kokon pada akhir instar V, yakni pada umur 22 hingga 25 atau 26 hari.
Alat pengokonan yang digunakan adalah seriframe. Seriframe ditempatkan di atas
sasag dan dialasi koran. Ulat-ulat yang telah matang diambil satu per satu dari boks
dan ditempatkan ke tempat pengokonan yang telah disiapkan. Ulat yang sakit, mati
atau tidak memproduksi kokon diambil dan dibuang atau dibakar bersama-sama
kotoran.

16

Setelah sekitar 6-7 hari sejak ulat sutera masak dan dipindahkan di tempat
pengokonan, kokon sudah dapat dipanen. Cara pemanenan dilakukan dengan
mengambil kokon-kokon tersebut dari tempat pengokonan dengan hati-hati dan
dikumpulkan pada wadah sambil dibersihkan dari kotoran yang menempel. Pada saat
panen itu sekaligus dilakukan seleksi antara kokon-kokon yang baik, yang kembar
dan cacat, kemudian dikumpulkan dalam wadah yang berbeda sesuai dengan
perlakuannya.
Pengambilan Sampel
Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 buah kokon dari setiap
ulangan, yang terdiri dari 15 buah kokon dengan pupa berjenis kelamin jantan dan 15
buah kokon dengan pupa berjenis kelamin betina. Sampel diambil secara acak untuk
mewakili kualitas kokon dari setiap perlakuan. Setelah sampel diambil, kemudian
dilakukan penilaian kualitas kokon yang meliputi bobot kokon keseluruhan dan
persentase kulit kokon. Sedangkan data jumlah kokon normal, dan rendemen
pemeliharaan diambil dari jumlah kokon di setiap ulangan.
Rancangan Percobaan
Perlakuan
Perlakuan terdiri atas hasil persilangan antara ulat sutera ras Jepang dengan
ras Cina (kode 808, 108, 903, dan 806) secara resiprokal dan bibit komersial BS09
dan C301 sebagai pembanding. Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan
dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut yaitu:
P1

: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808

P2

: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108

P3

: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903

P4

: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806

P5

: bibit ulat sutera komersial BS09

P6

: bibit ulat sutera komersial C301

Model
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, model rancangan
menurut Matjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :
17

Yij = µ + τi + εij
Keterangan :
Yij

= Nilai pengamatan persilangan ke-i dan ulangan ke-j

µ

= Rataan umum pengamatan persilangan

τi

= Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = P1, P2, P3, P4, P5)

εij

= Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada ulangan ke-j

Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu uji Tukey.
Peubah yang Diamati
Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Rendemen pemeliharaan, didapatkan dengan cara membandingkan antara
jumlah ulat yang mengokon dengan jumlah ulat keseluruhan, kemudian
dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006).
%RP=

2.

jumlah ulat yang mengokon
x 100%
jumlah ulat keseluruhan

Persentase kokon normal, didapatkan dengan cara membandingkan jumlah
kokon normal dengan jumlah kokon keseluruhan kemudian dikalikan dengan
100% (Nurhaedah et al., 2006).
% KN=

3.

jumlah kokon normal
x 100%
jumlah kokon keseluruhan

persentase kulit kokon, merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan
bobot kokon utuh kemudian dikalika