Patogenesis Neuropati Perifer pada PGK

dengan hilangnya rasa getar atau vibrasi Rizzo dkk, 2012. Gejala klinis yang muncul dapat berupa kram otot yang biasanya dikeluhkan pada malam hari, biasanya berlokasi pada satu atau lebih otot yang lebih sering mengenai ekstremitas bawah, selain itu dapat juga terjadi restless leg syndrome, parestesi, disestesi atau sensasi abnormal yang mengenai jari-jari kaki dan tangan dan biasanya terjadi pada stadium lanjut PGK, nyeri pada kedua ektremitas bawah terutama pada daerah yang dipersarafi nervus peroneus dan sensasi terbakar pada kedua kaki Mustofa dan El Tayeb, 2004. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hilangya refleks tendon Achiles pada kasus yang lebih lanjut. Gangguan vibrasi pada ekstremitas bagian distal dialami selanjutnya. Namun terdapat penelitian lain yang menyebutkan bahwa gangguan vibrasi lebih terganggu terlebih dahulu dibandingkan modalitas lainnya. Kelemahan motorik tersering adalah kelemahan dorsofleksi kaki hingga atrofi otot terutama di bagian distal. Gejala sensoris dominan yang muncul dengan distribusi seperti kaos kaki. Gangguan motorik dan sensorik lebih ke proksimal dan pada ekstremitas superior menunjukkan bahwa kerusakan saraf telah lanjut Latov, 2007; Palmer, 2007; Krishnan dan Kiernan, 2009; Pan, 2009; Herskovitz, 2010.

2.2.2 Patogenesis Neuropati Perifer pada PGK

Patogenesis neuropati perifer pada penderita PGK diawali dengan kondisi uremia. Pada kondisi uremia banyak bahan toksin uremik yang dapat memicu munculnya neuropati uremik. Bahan toksin uremik adalah suatu substrat atau bahan yang normalnya diekskresikan oleh ginjal dan bahan ini memberikan efek negatif pada fungsi biologis tubuh Duranton, 2012. Meskipun beberapa atau semua bahan toksin ini berperan dalam terjadinya neuropati uremik, faktanya bahwa beberapa dari bahan tersebut bersifat neurotoksin masih belum pasti, contohnya molekul berukuran sedang dengan berat molekul 300 hingga 2500 Dalton dapat bersifat neurotoksin. Suatu bahan disebut toksin uremik biasanya memiliki syarat-syarat sebagai berikut Arminoff, 2008; Krishnan dan Kiernan, 2009 : 1. Bahan diidentifikasi secara kimia dan ditemukan dalam cairan biologis tubuh. 2. Konsentrasi zat tersebut lebih tinggi pada pasien dengan uremia. 3. Konsentrasi dari zat tersebut berkorelasi dengan gejala uremik yang spesifik. 4. Gejala berkurang bila zat tersebut kadarnya menjadi normal. 5. Efek toksik zat tersebut muncul pada konsentrasi yang sama. Bahan-bahan toksin uremik ini secara umum dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar antara lain bahan molekul ringan yang larut air, molekul berukuran sedang dan bahan yang terikat dengan protein. Yang termasuk dalam bahan molekul ringan adalah urea, kreatinin, oksalat dan asam urat. Yang termasuk dalam molekul berukuran sedang adalah leptin, beta 2 mikroglobulin dan hormon paratiroid, sedangkan yang termasuk dalam bahan terikat dengan protein adalah polyamines, indoxyl sulfate, homocystein dan hippuric acid Dhondt, 2000. Ada beberapa teori mengenai efek toksik dari bahan-bahan toksin uremik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa pasien didapatkan teori bahwa molekul berukuran sedang ini memberikan efek toksik, namun terdapat beberapa studi lain yang tidak mendukung teori ini. Suatu postulat yang dikemukakan oleh Fraser dan Arieff mengungkapkan bahwa neurotoksin berefek mengurangi suplai energi pada akson dengan cara menghambat enzim serabut saraf yang diperlukan untuk produksi energi tersebut. Dengan berkurangnya energi akan mempengaruhi nodus ranvier dalam menyalurkan impuls konduksi dan akhirnya akan menyebabkan kerusakan akson Ramirez dan Gomez, 2012. Bahan toksin juga menyebabkan disfungsi dari beberapa membran pada perineurium, dimana berperan sebagai barier difusi antara cairan interstitial dan saraf; dan pada endoneurium, dimana berperan sebagai barier antara darah dan saraf. Sebagai konsekuensinya, toksin uremik dapat masuk ke ruang endoneural dan menyebabkan kerusakan saraf secara langsung, dengan perubahan hidroelektrolit yang dapat menyebabkan penciutan shrinkage Pan, 2009. Nielsen pada tahun 1973 mengajukan suatu hipotesis bahwa disfungsi saraf yang terjadi berhubungan dengan faktor toksik serum uremik yang menghambat fungsi membran akson dan aktivasi pompa NaK ATPase. Hal ini dipikirkan karena terjadi pengurangan kecepatan konduksi saraf akibat dari pompa NaK ATPase pada aksolema yang berhubungan dengan toksin uremik, membentuk akumulasi natrium intrasel dan perubahan potensial membran istirahat. Kondisi ini memicu degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental sekunder Nielsen, 1973, Krishnan et al, 2005. Studi morfologi menunjukkan degenerasi aksonal dengan tipe dying-back dan demielinisasi yang terjadi merupakan kondisi sekunder dari atropi akson yang mendahului proses degenerasi aksonal. Gangguan metabolik bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati tetapi juga berhubungan dengan monoclonal cryoglobulinemia dari diskrasia sel plasma. Pada Gambar 2.1 tampak gambaran potongan melintang serabut saraf menggunakan mikroskop elektron pada kondisi neuropati. Beberapa spiral bagian dalam dari sel Schwann tampak tidak padat untuk membentuk lamellar myelin. Lamellar yang tidak padat ini tampak pada beberapa neuropati Garcia, 2013. Gambar 2.1 Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati Garcia, 2013 Hemodialisis juga dapat mengakibatkan terakumulasinya molekul berukuran sedang. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang mengatakan bahwa neuropati disebabkan oleh akumulasi molekul berukuran sedang 300 hingga 12.000 Dalton, dimana dibersihkan lebih lambat daripada urea dan kreatinin Vanholder et al, 2008. Secara patologi, kondisi neuropati perifer dibagi menjadi 3 pola dasar yaitu degenerasi Wallerian, aksonopati distal dan demielinisasi segmental. Neuropati yang ditandai dengan degenerasi Wallerian, meliputi neuropati akibat trauma, infark dari saraf perifer mononeuropati diabetik, vaskulitis dan infiltrasi neoplasma. Pada aksonopati distal, didapatkan neuropati akibat gangguan metabolik, obat-obatan, dan toksin industri seperti pestisida, sedangkan demielinisasi segmental terjadi pada neuropati demielinisasi akut dan kronik, neuropati difteritik, metachromatic leukodystrophy dan penyakit Charcot-Marie- Tooth Agamanolis, 2015 . Neuropati perifer pada PGK terjadi proses aksonopati distal, diawali dengan degenerasi akson dan myelin terutama pada bagian distal dari akson. Apabila kerusakan ini terjadi menetap maka akan terjadi akson “dies back”. Hal ini yang menyebabkan gejala dengan karakteristik kelemahan dan hilangnya sensoris area distal “stocking-gloves”. Neurofilamen dan organela berakumulasi pada proses degenerasi akson, hal ini terjadi kemungkinan oleh karena kondisi stagnan dari aliran aksoplasmik. Kemudian akson menjadi atropi dan hancur. Aksonopati distal yang berat hampir menyerupai degenerasi Wallerian. Pada tahap lanjut, akan terjadi hilangnya mielin pada akson. Aksonopati distal disebabkan oleh patologi atau kelainan dari badan neuron sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang diperlukan akson. Hal ini menjelaskan mengapa penyakit dimulai dari bagian distal saraf dan akson yang besar yang memiliki kebutuhan metabolik dan nutrisi terbanyak biasanya sering mengalami kerusakan yang cukup berat Agamanolis, 2015.

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang Neuropati Perifer