Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Penatagunaan Lahan di DAS Ular

(1)

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

Yan Alfred Sigalingging 061201030

Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

Lembar Pengesahan

Judul : Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Penatagunaan Lahan di DAS Ular

Nama : Yan Alfred Sigalingging

NIM : 061201030

Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D Ketua

Riswan, S. Hut. Anggota

Mengetahui

Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRACT

The aim of this research was to known the land cover and to determine the function of forest area, based on the scoring analyze to SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, through the use of data management technologies with Geographical Information Systems (GIS) and remote sensing technology using satellite Landsat TM to see the condition of land cover. Based on the scoring analyze from SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 has given a result of data of forest area in model of GIS coverage area 6.212,682 ha ha or about 12,56 %, limited production forest of 20.060,585 ha or about 42,13 %, and production forest of 56.015,188 ha or about 45,29 %. Identification result Landsat TM image in 2009 shows that land cover in DAS Ular is dominated by mixed garden of 24.126,592 ha or about 29,32 %.


(4)

ABSTRAK

YAN ALFRED SIGALINGGING. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Penatagunaan Lahan di DAS Ular , Sumatera Utara. Dibawah bimbingan Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D. dan Riswan, S. Hut.

Penelitian ini mengkaji kondisi penutupan lahan dan penentuan fungsi kawasan hutan berdasarkan analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, melalui penggunaan teknologi yaitu pengelolaan data dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan juga teknologi penginderaan jauh menggunakan satelit Landsat TM untuk melihat kondisi penutupan lahan. Berdasarkan hasil analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 diperoleh data luas kawasan hutan model Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah kawasan perlindungan seluas 6.212,682 ha atau sekitar 12,56 %, kawasan hutan produksi terbatas seluas 20.060,585 ha atau sekitar 42,13 % , dan kawasan hutan pruduksi seluas 56.015,188 ha atau sekitar 45,29 %. Hasil identifikasi citra Landsat TM tahun 2009 menunjukkan bahwa penutupan lahan di DAS Ular didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan alam seluas 24.126,592 ha atau sekita 29,32 %.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Yan Alfred Sigalingging dilahirkan di Seribu Dolok, 30 Juni 1988 dari ayah S. Sigalingging dan ibu M. K. br Hutabarat. Penulis adalah putra bungsu dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal SD pada tahun 2000 di SD Negeri III Parapat, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri I Lubuk Pakam dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan tingkat SMU di SMU Negeri I Lubuk Pakam, kemudian pada tahun yang sama pula penulis lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kahutanan, Fakultas Pertanian.

Penulis melaksanakan Pratik Kerja Lapang (PKL) di IUPPHK PT. Finnantara Intiga, Distrik Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama penulis melakukan penelitian yang berjudul Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Penatagunaan Lahan di DAS Ular, Sumatera Utara.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehdirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Draft Hasil Penelitian ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D dan Bapak Riswan, S. Hut selaku dosen pembimbing skripsi daripada penulis.

Dalam penulisan draft ini tentu masih banyak kesalahan dan kejanggalan untuk itu penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca draft ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih semoga draft ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2011


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian DAS ... 6

Pengelolaan DAS... 7

Hutan ... 10

Fungsi Hutan ... 11

Penatagunaan Lahan ... 11

Pengaruh Vegetasi atau Hutan Terhadap DAS ... 12

Sistem Informasi Geografi ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 18

Alat dan Bahan ... 18

Metodologi ... 19

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Deli Serdang ... 25

Geografi... 25

Penduduk ... 26


(8)

Serdang Bedagai ... 27

Geografi... 27

Pemerintahan ... 28

Penduduk ... 28

Simalungun... 28

Geografi... 28

Iklim ... 29

Pemerintahan ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Peta Dasar ... 30

Peta Curah Hujan ... 32

Peta Jenis Tanah ... 33

Peta Kelerengan ... 34

Peta Sempadan Sungai ... 36

Penatagunaan Fungsi Lahan ... 37

Penutupan Lahan... 40

Penutupan Lahan pada Setiap Penatagunaan Fungsi Lahan 42 Areal dengan Nilai Skor 0 – 124 ... 44

Areal dengan Nilai Skor 125 – 174 ... 45

Areal dengan Nilai Skor ≥ 175 ... 46

Penutupan Lahan pada Kawasan Perlindungan Setempat ... 47

Kelerengan > 45% ... 47

Sempadan Mata Air dan Sempadan Sungai ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN... 50


(9)

DAFTAR GAMBAR

Alur Kegiatan Penelitian ... 17

Lokasi Penelitian DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun... 30

Peta Intensitas Curah Hujan Tahunan di Lokasi Penelitian DAS Ular ... 32

Peta Jenis Tanah di Lokasi Penelitian DAS Ular ... 34

Peta Kelerengan di Lokasi Penelitian DAS Ular ... 36

Peta Kelerengan > 40 % di Lokasi Penelitian DAS Ular ... 38

Peta Sempadan Sungai di Lokasi Penelitian DAS Ular ... 40

Peta Kelerengan > 15 % dan Jenis Tanah Sangat Peka ... 42

Peta Fungsi Lahan Berdasarkan Hasil Skoring di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ... 46

Peta Fungsi Lahan dan Kawsan Lindung Setempat di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ... 47

Peta Penutupan Lahan di Lokasi Penelitian DAS Ular Tahun 2010 ... 49

Peta Penutupan Lahan Pada Setiap Nilai Skoring di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ... 51


(10)

DAFTAR TABEL

Klasifikasi Kelas Lereng ... 18

Klasifikasi Kelas Intensitas Curah Hujan. ... 19

Klasifikasi Jenis Tanah ... 20

Klasifikasi Fungsi Hutan Berdasarkan Indeks Nilai Total (Skoring). ... 23

Pengklasifikasian Jenis Tanah Menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 ... 31

Luas Fungsi Lahan di Lokasi Penelitian DAS Ular Tahun 2010 ... 36

Jenis dan Luas Penutupan Lahan di Lokasi Penelitian DAS Ular Tahun 2010 39 Luas Penutupan Lahan pada Setiapo Nilai Skoring di DAS Ular Tahun 2010 41 Luas Penutupan Lahan pada Setiap Kawasan yang Dilindungi di DAS Ular 47


(11)

ABSTRACT

The aim of this research was to known the land cover and to determine the function of forest area, based on the scoring analyze to SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, through the use of data management technologies with Geographical Information Systems (GIS) and remote sensing technology using satellite Landsat TM to see the condition of land cover. Based on the scoring analyze from SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 has given a result of data of forest area in model of GIS coverage area 6.212,682 ha ha or about 12,56 %, limited production forest of 20.060,585 ha or about 42,13 %, and production forest of 56.015,188 ha or about 45,29 %. Identification result Landsat TM image in 2009 shows that land cover in DAS Ular is dominated by mixed garden of 24.126,592 ha or about 29,32 %.


(12)

ABSTRAK

YAN ALFRED SIGALINGGING. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Penatagunaan Lahan di DAS Ular , Sumatera Utara. Dibawah bimbingan Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D. dan Riswan, S. Hut.

Penelitian ini mengkaji kondisi penutupan lahan dan penentuan fungsi kawasan hutan berdasarkan analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, melalui penggunaan teknologi yaitu pengelolaan data dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan juga teknologi penginderaan jauh menggunakan satelit Landsat TM untuk melihat kondisi penutupan lahan. Berdasarkan hasil analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 diperoleh data luas kawasan hutan model Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah kawasan perlindungan seluas 6.212,682 ha atau sekitar 12,56 %, kawasan hutan produksi terbatas seluas 20.060,585 ha atau sekitar 42,13 % , dan kawasan hutan pruduksi seluas 56.015,188 ha atau sekitar 45,29 %. Hasil identifikasi citra Landsat TM tahun 2009 menunjukkan bahwa penutupan lahan di DAS Ular didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan alam seluas 24.126,592 ha atau sekita 29,32 %.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon, semak, tumbuhan bawah, biota tanah, dan hewan. Dengan kata lain hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 tahun 1999, pasal 1). Hutan sebagai perlindungan terhadap sistem ekologi penyangga kehidupan, berfungsi sebagai pengendali siklus hidrologi (banjir, erosi, kekeringan), siklus karbon dan oksigen, serta siklus rantai makanan, yang menghasilkan air, oksigen dan makanan. Sehingga, luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) yang harus dipertahankan minimal 30 %, agar manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat lestari (UU 41 tahun 1999, pasal 18) (Pawitan, 2008).

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan


(14)

sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu (Sekretariat TKPSDA, 2003).

Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air bermula kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah karena planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, masif, dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan. Air


(15)

menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Di samping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998. Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai (Infra SDA, 2002).

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dewasa ini tergolong cukup tinggi hingga mencapai 2,3 % per tahun, pertumbuhan populasi penduduk tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja, minimnya


(16)

ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan hal ini mendorong masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan pertanian baru pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) yang penggunaannya makin banyak dan makin intensif serta belum menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah akibatnya tanah menjadi rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan besar dalam mempercepat proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS. Tataguna lahan yang bersifat mengubah bentang lahan DAS dapat mempengaruhi hasil air dalam batasan tertentu kegiatan tersebut dapat mempengaruhi kondisi kualitas air, dan demikian halnya dengan aktivitas pembalakan hutan (forest logging/forest felling). Perubahan tata guna lahan dan jenis vegetasi dalam skala besar serta bersifat permanent mempengaruhi tingkat kesuburan tanah dan besar-kecilnya hasil air. Kekhawatiran akan kegiatan pembabatan vegetasi (hutan) secara luas adalah dapat mempengaruhi distribusi dan pola curah hujan serta perubahan iklim local, regional maupun iklim global (Tjimpolo, 2008)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui penatagunaan lahan berdasarkan analisis skoring dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk perencanaan DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.


(17)

2. Mengetahui kondisi penutupan lahan berdasarkan penatagunaan lahan hasil analisis skoring di kawasan DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan ilmiah untuk mengarahkan upaya yang diperlukan dalam kegiatan pengelolaan dan pembangunan kawasan ekosistem DAS Ular di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian DAS

Daerah Aliran Sungai merupakan wilayah yang dibatasi oleh topografi dimana air yang berada di wilayah tersebut akan mengalir ke outltet sungai utama hingga ke hilir. Sandy (1996) dalam Kusumawardani (2009) mendefinisikan DAS sebagai bagian dari permukaan bumi yang airnya mengalir kedalam sungai apabila hujan jatuh. Selain itu menurutnya, sebuah pulau selamanya akan terbagi habis ke dalam area-area aliran sungai. Komponen yang terdapat dalam DAS terdiri dari komponen fisik, kimia, dan biologi. Komponen fisik mencakup kondisi geografis DAS yang bersangkutan sedangkan kondisi kimia lebih menitikberatkan kepada kodisi daripada air sungai. Komponen biologi dilihat dari keragaman makhluk hidup termasuk manusia yang ada dalam DAS yang memiliki andil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem DAS. DAS memilki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan. Karena dalam DAS terdapat suatu sistem yang berjalan dan terdiri dari berbagai komponen. DAS dapat dibagi menjadi tiga bagian menurut pengelolaannya, yaitu DAS bagian hulu, tengah, dan hilir. DAS di bagian hulu amat penting sebagai penyimpan air, penyedia air untuk industri, potensi pembangkit listrik, dan yang tak kalah penting sebagai penyeimbang ekologis di dalam system DAS. DAS bagian tengah merupakan wilayah dimana adanya permukiman serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Sementara di bagian hilir banyak terdapat lokasi-lokasi industri. Penggunaan tanah sebagai pencerminan aktivitas penduduk akan


(19)

memengaruhi kondisi suatu DAS sehingga bisa berpengaruh terhadap kualitas serta kuantitas air sungai yang ada (Kusumawardani, 2009).

Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak - pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency) di antara sesama stakeholder. Demikian pula masing-masing stakeholder harus jelas kedudukan dan tanggung jawab yang harus diperankan. Hal lain yang cukup penting dalam pengelolaan DAS terpadu adalah adanya distribusi pembiayaan dan keuntungan yang proporsional di antara pihak - pihak yang berkepentingan. Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan jelas. Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :

1. Terselenggaranya koordinasi, keterpaduan, keserasian dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi DAS.

2. Terkendalinya hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan manusia guna kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.


(20)

Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya adalah: 1. Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal.

2. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat.

3. Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah.

4. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.

5. Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan. Oleh karena itu, perumusan program dan kegiatan pengelolaan DAS selain harus mengarah pada pencapaian tujuan dan sasaran perlu pula disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempertimbangkan adanya pergeseran paradigma dalam pengelolaan DAS, karakteristik biogeofisik dan sosekbud DAS, peraturan dan perundangan yang berlaku serta prinsip-prinsip.

Penilaian kepekaan dan daya dukung sistem hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dalam tiga tahapan berikut: (i) pengembangan skenario perubahan penggunaan lahan; (ii) simulasi hidrologi wilayah; dan (iii) evaluasi dampak dari variasi hidrologi yang dihasilkan sistem sumber daya air yang meliputi aspek pengembangan dan pengelolaan serta menilai kinerja sistem akibat bencana seperti banjir dan kekeringan, operasi waduk, saluran, mutu air, serta berbagai isu lingkungan. Perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada


(21)

penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran DAS serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumber daya air wilayah terhadap perubahan iklim. Dalam kaitan ini perubahan paradigma dari pengelolaan sumber daya air dari blue water menjadi green water menjadi relevan saat ini (Pawitan, 2008).

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia diDAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi (Dephut, 2008).

Menurut Lestariya (2005) pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral maka dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS perlu diterapkan azas One River One Plan, yaitu suatum perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat daerah/wilayah dan


(22)

nasional serta kesinambungannya. Selain itu pelaksanaan pengelolaan DAS umumnya melalui tiga upaya pokok :

a. Pengelolaan tanah melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas;

b. Pengelolaan sumber daya air melalui usaha perlindungan sumber daya air; c. Pengelolaan hutan, khususnya hutan lindung.

Kegiatan pengelolaan DAS juga dihubungkan dengan kelestarian sumber daya air, yaitu:

a. Kuantitatif: memperbesar suplai ke dalam tanah sehingga menambah tampungan air tanah dan meningkatkan suplai air tanah ke alur sungai yang berdampak mengurangi fluktuasi debit limpasan;

b. Kualitatif: mengurangi kandungan material tersuspensi aliran sungai (suspended load). Sebagai akibat bertambah besarnya air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga pengikisan permukaan berkurang; Dampak lain dari pengelolaan DAS yang baik adalah peningkatan produktivitas lahan karena peningkatan resapan air hujan ke dalam tanah akan menambah kadar lengas tanah (soil moisture) yang selain akan memperbesar ketersediaan air juga meningkatkan proses disintegrasi dan dekomposisi regolith dan batuan induk yang berakibat meningkatnya unsur mineral dan unsur hara tanah yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tanaman.

Hutan

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan


(23)

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Fungsi Hutan

Di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 disebut bahwa hutan mempunyai kemampuan untuk mengatur tata air dan mencegah erosi, sebagai penghasil bahan mentah berupa kayu dan hasil hutan lainnya seperti rekreasi, pariwisata serta sebagai habitat margasatwa. Berdasarkan fungsinya hutan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas.

Berdasarkan SK Mentan/Kpts/Um/11/1980 klasifikasi hutan berdasarkan indeks nilai total adalah sebagai berikut:

a. Areal dengan skor 0-124, diperuntukkan sebagi hutan produksi.

b. Areal dengan nilai skor 124-175, diperuntukkan sebagai hutan produksi terbatas. c. Areal dengan nilai skor ≥ 175, diperuntukkan sebagai areal perlindungan.

Penatagunaan Lahan

Penatagunaan fungsi lahan menurut SK Mentan No. 683/Kpts/Um/11/1980 adalah:

1. Areal dengan nilai skor 0-124

Areal dengan nilai skor 0-124 diperuntukkan sebagai hutan produksi adalah hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan


(24)

hasil hutan dan kepentingan konsumsi masyarakat, industri dan ekspor. Lahan ini sesuai untuk penggunaan lahan tanaman semusim, salah satu teknik terbaik yang dapat digunakan adalah dengan sistem agroforestri.

2. Areal dengan nilai skor 125-174

Areal dengan nilai skor 125-174 merupakan areal yang diperuntukkan sebagai hutan produksi terbatas. Wilayah ini terbentuk karena adanya faktor pembatas seperti topografi, jenis tanah dan curah hujan (CH) sehingga pada kawasan ini dapat digunakan untuk kebun campuran.

3. Areal dengan nilai skor ≥ 175

Areal dengan nilai skor ≥ 175 merupakan lahan yang harus mendapatkan perlakuan sebagai fungsi areal perlindungan. Sehingga dalam areal ini tidak diperbolehkan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut. Areal ini harus bervegetasi tetap yang salah satu kegiatannya dapat dilakukan dengan reboisasi.

Pengaruh Vegetasi atau Hutan Terhadap DAS

Tjimpolo (2010) mengatakan sumberdaya lahan selalu berkaitan dengan waktu penggunaan lahan dan penyebaran aliran air, dua contoh klasik dan kontras ini yang sering menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir akibat dari perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi terutama curah hujan. Perencanaan pengelolaan vegetasi terutama dalam hal pemilihan jenis vegetasi sebagai usaha meningkatkan perlindungan tanah dan hasil air yang tidak tepat dapat memberikan hasil yang sebaliknya berupa degradasi lingkungan dalam hal ini, menurunkan hasil produktifitas tanah dan besarnya hasil air, sebab tanah yang dilakukan aktivitas


(25)

pengelolaan diatasnya, tanpa ada usaha untuk mengembalikan unsur yang hilang, dapat merubah sifat fisik dan kimia serta kehidupan organisme, terlebih lagi dengan besar debit hasil air karena cadangan air tanah di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut berkurang oleh adanya proses evapotranspirasi.

a. Pembalakan Hutan

Aktivitas pembalakan hutan (forest felling) dan atau pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) di daerah tropis yang pengusahaannya dengan mengunakan alat-alat berat menyebabkan kerusakan pada tanah, dimana tanah terkena cahaya matahari langsung yang sebelumnya tidak mencapai permukaan tanah akibatnya menurunkan kelembaban tanah dan tentunya juga mempengaruhi jumlah air yang menjadi aliran permukaan dan atau seberapa besar air yang terinfiltrasi sehingga hutan yang tadinya dianggap sebagai waduk alam kini menjadi hal yang sangat menakutkan yaitu sewaktu-waktu bahaya kekeringan atau banjir dapat terjadi. b. Degradasi Tanah

Tekanan terhadap tanah menimbulkan berbagai bentuk degradasi termasuk di dalamnya adalah erosi, penurunan kesuburan tanah dan kerusakan sumberdaya air. Keadaan tanah terbuka dapat terhantam oleh curah hujan sehingga menyebabkan tanah menjadi lemah. Percikan air hujan merupakan media utama pelepasan per partikel tunggal tanah dari massa tanah, saat butiran air hujan mengenai permukaan tanah yang gundul atau tanpa vegetasi, partikel tanah dapat langsung terlepas dan terlempar ke segala arah, untuk lahan yang berlereng akan terjadi dominasi kesatu arah yaitu kearah yang lebih landai di bawahnya, pelepasan butir-bitir tanah tentunya akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas dan


(26)

laju infiltrasi. Bersamaan dengan hal tersebut dimana kondisi intensitas hujan telah melebihi laju infiltrasi tentu akan terjadi genangan air dipermukaan tanah yang kemudian menjadi runoff, aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut partikel yang terlepas, saat energi dan atau run off menurun maka partikel tanah akan terendapkan pada lahan tersebut jika terdapat pada daerah yang subur makan akan menurunkan kesuburan tanah di bawahnya karena tertimbun oleh endapan baru dan jika jumlah debit aliran besar tentu menjadi malapetaka berupa banjir yang dapat merusak. keseluruhan.

c. Hasil dan Kualitas Air

Sirkulasi atau daur hidrologi dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) digambarkan berlangsung dalam satu dimensi yaitu dari atmosfer ke vegetasi dan tanah, dari vegetasi ke tanah dan dari tanah ke laut dan dari laut kembali lagi ke atmosfir. Proses dan mekanisme daur ini terdiri atas masukan, keluaran dan perpindahan unsur padat dan gas dalam satu ekosistem lingkungan. Ekosistem ini terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang teratur. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen lain, manusia merupakan suatu komponen penting sebab dalam menjalankan aktivitasnya, sering sekali manusia menjadi penyebab dampak pada komponen lingkungan, dengan demikian mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.


(27)

Sistem Informasi Geografi (SIG)

Aplikasi dan pengembangan SIG dimulai di negara maju, terutama Amerika Utara. Komponen utama SIG meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan sumber daya manusia. Perangkat keras meliputi komputer, digitizer, scanner, plotter, printer, sedangkan perangkat lunak bisa dipilih baik yang komersial maupun yang tersedia dengan bebas. Contoh perangkat lunak yang banyak dipakai adalah ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo. Beberapa cara memasukkan data ke dalam SIG adalah melalui keyboard, digitizer, scanner, sistem penginderaan jauh, survei lapangan, dan GPS. Sumber daya manusia sebagai komponen SIG bukan hanya meliputi staf teknikal, yaitu yang bertugas dalam hal pemasukan data maupun pemrosesan dan penganalisaan data, tetapi juga koordinator yang bertugas untuk mengontrol kualitas dari SIG. Adapun elemen fungsional SIG meliputi pengambilan data, pemrosesan awal, pengelolaan data, manipulasi dan analisa data, dan pembuatan output akhir. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem pengelolaan informasi yang juga menyediakan berbagai fasilitas analisa data. Sistem ini sangat bermanfaat dalam perencanaan dan pengelolaan SDA, antara lain untuk aplikasi inventarisasi dan monitoring hutan, kebakaran hutan, perencanaan penebangan hutan, rehabilitasi hutan, konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan konservasi keragaman hayati. Untuk SIG bisa dipakai secara efektif dalam membantu perencanaan dan pengelolaan SDA diperlukan sumberdaya manusia (SDM) dengan keterampilan yang memadai (Puntodewo, dkk. 2003).


(28)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan penelitian di lapangan dilakukan di kawasan DAS Ular yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data spasial penutupan lahan Deli Serdang antara lain:

a. Data peta jenis tanah dengan skala 1:500.000 dari RePPProt (Regional Physical Planning Program for Transmigration).

b. Data peta intensitas curah hujan skala 1:500.000 dari BPKH – I (Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah – I).

c. Data peta digital rupa bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 dari Bakosurtanal (Badan koordinasi survey dan pemetaan nasional).

d. Data penutupan lahan skala 1:500.000 dari BAPPEDAS Wampu Sei Ular. Alat

Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: a. Di Laboratorium


(29)

- Software ArcView GIS 3.3. - Printer

b. Di Lapangan

- Global Positioning System (GPS) - Kamera Digital

Metodologi

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian secara garis besar terdiri dari kegiatan persiapan, pemasukan data, analisis data, analisis SIG, penatagunaan hutan, peta akhir dan penyusunan laporan.


(30)

Gambar 1. Alur Kegiatan Penelitian. Keterangan:

ICHT : Intensitas Curah Hujan Tahunan

1. Persiapan

Persiapan yang dilakukan atau pengumpulan data yang akan dipakai dikumpulkan dari BAPPEDAS Wampu Sei Ular, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I (BPKH – I).

PELAPORAN

SKORING = {(KL X 20) + (KT X 15) + (KICHT X 10)} ANALISIS SIG :

1. OVERLAY PEMASUKAN DATA

PERSIAPAN

PETA TOPOGRAFI

PETA KELAS LERENG

PETA TANAH

PETA KELAS TANAH

PETA ICHT

PETA KELAS ICHT

PETA PENUTUPAN LAHAN PETA PENATAGUNAAN

LAHAN PERLINDUNGAN KAWASAN


(31)

2. Pemasukan Data

Data-data yang sudah didapat diolah dan diklasifikasikan berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, dengan langkah sebagai berikut:

a. Peta Kelas Lereng

Berdasarkan SK Mentan No. 873/Kpts/Um/11/1980, tingkat kelerengan dibagi kedalam lima kelas lereng.

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Lereng.

Kelas Lereng Kelerengan (%) Kategori Site Index (x20) 1 0 – 8 Datar 20

2 8 – 15 Landai 40 3 15 – 25 Agak Curam 60 4 25 – 40 Curam 80 5 > 40 Sangat Curam 100

Metode Pembuatan Peta Kelerengan

Untuk pembuatan peta kelerengan, data kontur yang berformat vektor diolah terlebih dahulu menjadi Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model/DEM) dengan metode TIN (Triangle Irregular Network). Berdasarkan DEM kemudian dibuat data ketinggian dalam format raster (GRID) untuk selanjutnya diolah menjadi data raster kemiringan lereng.

b. Peta Intensitas Curah Hujan


(32)

Intensitas Curah Hujan Tahunan = Jumlah Curah Hujan Tahunan (mm) Jumlah Hari Hujan dalam Setahun (hari) Berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, hasil dari perhitungan intensitas curah hujan tersebut diklasifikasikan ke dalam lima kelas.

Tabel 2. Klasifikasi Kelas Intensitas Curah Hujan.

Klasifikasi ICHT ICHT (mm/hari) Klasifikasi Site Index (x 10) 1 < 13,6 Sangat Rendah 10

2 13,6 – 20,7 Rendah 20 3 20,7 – 27,7 Sedang 30 4 27,7 – 34,8 Tinggi 40 5 >34,8 Sangat Tinggi 50

Data ICHT diperoleh dengan melakukan perhitungan curah hujan bulanan selama lima tahun pada stasiun pengamatan curah hujan.

c. Peta Jenis Tanah

Peta jenis tanah diklasifikasikan atas kepekaan terhadap erosi. Beradasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/1980 klasifikasi kelas tanah dikelompokkan dalam lima kelas. Pembagian kleompk tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(33)

Tabel 3. Klasifikasi Jenis Tanah.

Kelas Tanah Jenis Tanah Klasifikasi Site Index (x 15) 1. Aluvial, tanah glei, Tidak Peka 15

Planosol, hidromorf Kelabu, laterit air tanah

2. Latoso Agak Peka 30

3. Brown forest soil, Kurang Peka 45 Non calsic brown,

Meditreran andosol, laterit

4. drumosol, podsol, Peka 60

podsolik

5. Regosol, litosol Sangat Peka 75 Organosol, renzina

.

d. Peta Penutupan Lahan

Peta ini akan digunakan untuk mengamati penutupan lahan dalam kawasan DAS dan digunakan untuk analisis SIG.

Analisis Sistem Informasi Geografis

Penatagunaan lahan dilakukan berdasarkan atas penatagunaan fungsi hutan, tindakan pengelolaan dilakukan berdasarkan atas nilai skor. Penatagunaan fungsi hutan merupakan suatu kegiatan yang mengklasifikasikan suatu areal hutan sesuai dengan fungsi dan kemampuannya. Kemampuan dan fungsi suatu areal berhutan oleh pemerintah melalui SK Mentan No. 837/kpts/Um/II/1980 telah dipilah menjadi tiga fungsi hutan yang didasarkan atas hasil skor.


(34)

Bagi areal/lahan non-hutan, maka hasil skor ini digunakan untuk menentukan model atau jenis perlakuan sehingga memberikan dampak sesuai dengan fungsi-fungsi hutan terkait. Untuk menghitung indeks nilai total dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Indeks Nilai Total = {(KL x 20) + (KT x 15) + (KICHT) x 10)} Keterangan:

KL : Kelas Lereng KT : Kelas Tanah

KICHT : Kelas Intensitas Curah Hujan Tahunan

Berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980, hasil dari perhitungan indeks nilai total tersebut dapat menentukan fungsi hutan seperti yang dapat dilihat pada table di bawah ini:

Tabel 4. Klasifikasi Fungsi Hutan Berdasarkan Indeks Nilai Total (Skoring). Indeks Nilai Total Klasifikasi Fungsi 0 – 124 Hutan Produksi

125 – 174 Hutan Produksi Terbatas

175 Hutan Lindung

Analisis Kondisi Penutupan Lahan

Analisis melalui Sistem Informasi Geografis (SIG), maka untuk mengetahui kondisi penutupan lahan atau luas penutupan lahan pada setiap nilai skoring


(35)

dilakukan overlay dari dua peta yaitu : peta digital hasil skoring dan peta digital penutupan lahan. Sehingga data/hasil yang diinginkan akan diperoleh.

Pembentukan Kawasan Dilindungi

Berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 pembinaan kondisi kawasan yang menyimpan dari hasil penilaian (scoring) harus memenuhi syarat:

- Kemiringan > 45 % - Ketinggian > 2000 mdpl

- Kemiringan lereng > 15 % dan jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi - Sempadan mata air radius 200 m

- Sempadan sungai radius 100 m - Lahan Gambut

- Ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung

Pembuatan Peta Penatagunaan Lahan

Peta penatagunaan lahan dibangun berdasarkan hasil overlay antara peta kelas fungsi hutan dengan kawasan lindung. Peta penutupan lahan digunakan untuk mengetahui atau memberikan informasi mengenai kondisi lahan di DAS Ular sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan konservasi untuk menjaga keseimbangan ekologi di kawasan DAS Ular. Karena pengelolaan kawasan di DAS Ular menentukan kedaan ekologi dan keseimbangan antara Sub DAS bagian hulu, Sub DAS bagian tengah dan Sub DAS bagian Hilir.


(36)

KONDISI UMUM DELI SERDANG

Geografi

Kabupaten Deli Serdang sejak zaman Belanda dikenal sebagai daerah perkebunan. Letak geografis Kabupaten Deli Serdang antara 20567”-3016” Lintang Utara dan antara 98033’-99021’ Bujur Timur sangat cocok untuk pengembangan lahan perkebunan. Sesuai dengan perbedaan geografi, topografi dan ketinggian dari permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan iklim peralihan antara sub tropis dan tropis dengan ketinggian 0-1000 meter dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata 1.936,3 mm dengan kecepatan angin pegunungan 0,68 meter/detik, sedangkan temperature rata-rata 26,70 dan kelembaban 84%. Topografi Kabupaten Deli Serdang bergelombang sampai terjal dan landai di kawasan dataran rendah. Berdasarkan kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dibedakan atas, yaitu:

a. Dataran Pantai

Terdapat sekitar 63.002 ha (26,30%) terdiri dari 4 kecamatan (Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, dan Pantai Labu). Jumlah desa sebanyak 64 desa atau kelurahan dengan panjang 65 km dengan potensi utama adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan rakyat, perkebunan besar, perikanan laut, peternakan unggas, tambak, dan pariwisata.

b. Dataran Rendah

Kabupaten Deli Serdang memiliki sekitar 68.965 ha (28.80%) terdiri dari 11 kecamatan (Sunggal, Pancurbatu, Namorambe, Deli Tua, Batang Kuis,


(37)

Tanjung Morawa, Patumbak, Lubuk Pakam, Beringin, Pagar Merbau, dan Galang) dengan potensi utama pertanian tanaman pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industry, perdangangan, dan perikanan laut. c. Dataran Pegunungan

Sekitar 111.970 ha (44,90%) terdiri dari 7 kecamatan (Kutalimbaru, Sibolanmgit, Biru-biru, STM Hilir, STM Hulu, Gunung Meriah, dan Bangun Purba dengan jumlah desa sebanyak 133 desa dan potensi utama pertanian, perkebunan, dan peternakan,. Kabupaten Deli Serdang mempunyai 5 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular dengan luas areal 378.841 ha yang dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan. Seluruh DAS bermuara ke Selat Malaka dengan hulu sungai berada di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo.

Penduduk

Kabupaten Deli Serdang dihuni oleh mayoritas etnik atau suku Melayu, Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Jawa dan Minagkabau dan pada umumnya memeluk agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha. Jumlah penduduk (BPS, 2007) Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2007 sebanyak 1.686.366 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 843.772 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 842.594 jiwa

Pemerintahan

Luas wilayah 2.497.62 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera.


(38)

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.

SERDANG BEDAGAI Geografi

Kabupaten Serdang Bedagai lahir dari hasil pemekaran Kabupaten Deli Serdang dan ditetapkan dengan UU No. 36 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 yang bertujuan untuk percpatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Terletak pada posisi 2057’ Lintang Utara, 301’ Lintang Selatan, 98033’ 99027’ Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2. Berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, sebelah Selatan adalah Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai memungkinkan sebagai sentra perdangan.

Ketinggian wilayah berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut dengan iklim tropis, Kabupaten Serdang Bedagai cocok untuk sentra perkebunan, tanaman pangan dan perikanan.

Rata-rata kelembaban udara per bulan sekitar 84% curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 34 mm per bulan dengan periodik tertinggi pada bulan Agustus-September 2004, hari hujan per bulan berkisar 8-26 km dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agustus-September 2004. Rata-rata kecepatan udara berkisar


(39)

1,10/s dengan tingkat penguapan sekitar 3,74 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 23,70C dan maksimum 32,20C.

Pemerintah

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas wilayah 1.900.22 Km2, terbagi dalam 11 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan dengan penduduk dari beragam etnik atau suku bangsa, agama dan budaya. Mayoritas penduduknya adalah Suku Melayu, Toba, Simalungun, Jawa, dan Karo.

Ibukota kabupaten dipusatkan di Sei Rampah dan pusat perdagangan berada pada Kecamatan Perbaungan yang menjadi indikator keberhasilan pertumbuhan pembangunan.

Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2007 sebanyak 618.656 jiwa, terdiri dari 310.516 jiwa penduduk laki-laki dan 308.140 jiwa penduduk perempuan dengan 142.220 RT. Kepadatan penduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2007 sebesar 323 jiwa/km2.

SIMALUNGUN Geografi

Kabupaten Simalungun terletak antara 2036’ – 3018’ Lintang Utara dan 98032’ – 99035’ Bujur Timur, dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Tobasa, Kabupaten


(40)

Samosir, dan Kabupaten Asahan. Luas wilayah kabupaten 4.368,9 km2 atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatra Utara dan terdiri dari 30 kecamatan dan 302 desa/nagari, serta 21 kelurahan.

Iklim

Keadaan iklim Kabupaten Simalungun bertemperatur Sedang. Suhu tertinggi terdapat pada bulan Mei dengan rata-rata 25,90C. Rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 32,10C dan terendah 20,00C. Kelembaban udara rata-rata per bulan 83,0 % dengan kelembaban tertinggi terjadi pada Bulan Oktober yaitu 86 % dan Bulan Desember yaitu 86 % dengan penguapan rata-rata 0,05 min/hari. Dalam satu tahun rata-rata terdapat 15 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada Bulan September dan Oktober sebanyak 24 hari hujan, kemudian Bulan Oktober 24 hari hujan. Curah hujan terbanyak terjadi pada Bulan Oktober sebesar 326 mm lebih rendah dibandingkan pada tahun 2003.

Pemerintahan

Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Simalungun sebanyak 31 kecamatan, terdiri dari 330 desa/nagari dan 21 kelurahan dengan jarak rata-rata ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten antara 13 km sampai 97 km. Dari 323 desa (nagari) kelurahan di Kabupaten Simalungun sebanyak 295 desa swasembada dan 64 desa swakarsa.


(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Peta

Data-data dasar yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital yang sama dengan yang digunakan BPKH-I (Badan Pemanfaatan Kawasan Hutan-I) dan BPDAS Wampu Sei Ular. Sehingga dengan adanya dukungan data yang sesuai maka pengelolaan analisis yang dilakukan dakam penelitian ini dapat membantu dalam menghasilkan informasi yang tepat.

Peta dasar lokasi penelitian merupakan hasil turunan dari peta dasar admisistrasi Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, dan peta tematik lainnya, yaitu peta curah hujan, peta jenis tanah, dan peta kelerengan. Pengelolaan peta dan peta dasar merupakan kegiatan ang dilakukan melalui proses pemotongan (cropping) sesuai dengan wilayah penelitian (DAS Ular), sehingga peta dasar yang dihasilkan merupakan peta dasar yang hanya meprioritaskan wilayah penelitian. Peta dasar yang digunakan adalah peta Administrasi Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun dan juga Peta dasar DAS Ular.


(42)

(43)

Peta Curah Hujan

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut hujan, akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi maka jatuhan tersebut

disebut Virga. Hujan juga dapat didefinisikan dengan uap yang mengkondensasi dan jatuh ketanah dalam rangkaian proses hidrologi.

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter

artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.

Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman.

Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan

pertanian secara umum.

Peta curah hujan dibuat dengan cara melakukan tumpang tindih (overlay) peta dasar lokasi penelitian dengan peta curah hujan secara digital. Intensitas curah hujan tahunan di lokasi penelitian mempunyai jumlah yang berbeda, yaitu: 15 mm/hari; 17 mm/hari; 24 mm/hari.


(44)

(45)

Peta Jenis Tanah

Peta jenis tanah di lokasi penelitian dibuat dengan cara tumpang tindih (overlay) peta dasar lokasi peneltian dengan peta jenis tanah secara digital. Data jenis tanah yang diperoleh berbeda dengan jenis tanah menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980,

sehingga dilakukan pengklasifikasian jenis tanah dari RePPProt tahun 1981 ke klasifikasi jenis tanah menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980.

Jenis tanah di DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun digolongkan atas empat kelas, yaitu : kelas I (tidak peka), kelas II

(agak peka), dan kelas IV (sangat peka). Secara lengkap disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 4 .

Tabel 5. Pengklasifikasian Jenis Tanah Menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980. No. Klasifikasi Klasifikasi Klasifikasi

RePPProt SMSS SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 Tahun 1981 (The Soil

Management Support Service)

1. Dystropepts Inceptisol Aluvial

2. Eutrandepts Inceptisol Aluvial

3. Eutropepts Inceptisol Aluvial

4. Hapludox Oxisol Latosol

5. Hydrandepts Inceptisol Aluvial

6. Tropaquents Entisol Regosol

7. Tropaquepts Inceptisol Aluvial

8. Tropofluvents Entisol Regosol

9. Troposamments Entisol Regosol


(46)

(47)

Peta Kelerengan

Slope merupakan tingkat perubahan elevasi yang dinyatakan dalam satuan persen atau derajat kemiringan lereng, mengindikasikan tingkat kemiringan dari sebuah permukaan (surface).

Peta kelerengan dibuat dengan cara menggunakan data kontur dari Peta Rupa Bumi Indoesia (RBI). Data kontur yang digunakan adalah data dalam bentuk peta digital format

shape file.

Melalui proses pengolahan data menjadi Dem (Digital Elevation Model) dan slope,


(48)

(49)

Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, serta kawasan

hutan yang berada pada ketinggian 2000 meter atau lebih di atas permukaan laut juga ditetapkan sebagai hutan lindung. Penilaian tersebut dilakukan oleh Departemen Kehutanan sebagai dasar penetapan kawasan hutan lindung yang selanjutnya diintegrasikan ke dalam peta kawasan hutan atau rencana tata ruang wilayah. Penyusunan peta kawasan hutan yang

meliputi hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservesi (suaka alam danpelestarian alam) merupakan wewenang Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Departemen Kehutanan.

Dari lima kelas lereng yang telah dibuat, dilakukan juga filtering (penyaringan) untuk kelas lereng lima yang kelerengannya > 40 %. Hasil dari proses tersebut digunakan untuk mengolah data peta kelerengan > 40 % sebagai kawasan lindung setempat. Untuk nlebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:


(50)

(51)

Peta Sempadan Sungai

Sempadan sungai, didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi, yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi sungai. Daerah sempadan mencakup daerah bantaran sungai yaitu

bagian yang hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah di luar bantaran yang akan menampung luapan air sungai di musim hujan dan memiliki kelembaban tanah yang lebih

tinggi. Secara hidrolis sempadan sungai berfungsi untuk mengurangi kecepatan air ke hilir, sehingga energi air di sepanjang sungai dapat diredam, dan erosi pada tebing dan dasar

sungai dapat dikurangi secara simultan. Sempadan sungai juga merupakan daerah tata air sungai, membantu terjadinya penyerapan aliran air hujan ke dalam tanah. Keberadaan vegetasi di areal sempadan sungai, merupakan retensi alamiah yang akan membantu tanah untuk menyerap aliran air hujan, sehingga mengurangi volume air yang mengalir ke sungai dan mencegah terjadinya banjir dan erosi. Secara ekologis, vegetasi sempadan sungai secara

alami mendapatkan pupuk dari proses sedimentasi berkala dari hulu dan tebing, selanjutnya akan menjadi pemasok nutrisi komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini

mendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu-hilir.

Peta sempadan sungai dibuat dengan cara membuat buffer (create buffer) peta sungai Ular secara digital dengan jarak sempadan sungai kanan-kiri 100 m untuk sungai induk dan 50 m untuk anak sungai. Pada DAS Ular luas sempadan sungainya adalah sebesar 5.923,388 ha. Secara lengkap dapat dilihat pada gambar berikut:


(52)

(53)

Peta Kelerengan > 15 % dan Jenis Tanah Sangat Peka

Setiap jenis tanah mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap erosi. Kepekaan tanah terhadaperosi dapat diartikan sebagai mudah tidaknya tanah tererosi atau erodibilitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi erodibilitas yaitu sifat fisik, tofografi dan pengelolaan tanah oleh manusia. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi terjadinya erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanaman.

Kepekaan tanah terhadap daya menghancurkan dan menghanyutkan oleh air curah hujan disebut erodibilitas. Erodibilitas tanah tinggi berarti tanah tersebut peka atau mudah tererosi dan erodibilitas tanah rendah berarti bahwa resistensi atau daya tahan tanah tersebut kuat, dengan kata lain tanah tanah (resisten) terhadap erosi.

Peta kelerengan > 15 % dan jenis tanah sangat peka didapat dengan cara melakukan tumpang tindih antara peta dasar penelitian DAS Ular dengan peta tematik jenis tanah, namun setelah dilakukan overlay terhadap peta tematik tersebut tidak ditemukan kriteria daerah dengan kelerengan > 15 % dengan jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


(54)

(55)

Penatagunaan Fungsi Lahan

Penatagunaan Kawasan Hutan adalah kegiatan-kegiatan guna menetapkan hutan menurut fungsinya. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Penetapan fungsi kawasan hutan adalah pemberian kepastian hukum mengenai fungsi suatu kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri.

Penetapan fungsi kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan yang telah ditetapkan kawasan hutannya.

Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan kawasan hutan dengan faktor-faktor

kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) 125-174.

Hutan Produksi Tetap (HP) merupakan kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan

dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) kurang dari 124.

Berdasarkan atas metode pengolahan dan analisis data melalui Sistem Informasi Geografis (SIG), maka overlay dari ketiga peta, yaitu: peta kelerengan, peta jenis tanah, dan peta intensitas curah hujan menghasilkan tiga macam areal atau lahan sebagai berikut:

1. Areal dengan nilai skor 0 – 124, diperuntukkan sebagai hutan produksi.

2. Areal dengan nilai skor 125 – 174, diperuntukkan sebagai hutan produksi terbatas. 3. Areal dengan nilai skor ≥ 175, diperuntukkan sebagai areal perlindungan. Areal


(56)

yang terdiri dari : kawasan yang mempunyai kelerengan

≥ 45 % dan sempadan sungai.

4.

Tabel 6. Luas Fungsi Lahan di Lokasi Penelitian DAS Ular Tahun 2010.

Fungsi Lahan Luas (Ha)

1. Kawasan Lindung

a. Hutan Lindung (Skor ≥ 175) 202,157 b. Kawasan Lindung Setempat 6.010,525 2. Hutan Produksi Terbatas (Skor 125 – 174) 20.060,585 3. Hutan Produksi (Skor 0 – 124) 56.015,188

Total 82.288,455

Hasil yang didapat pada tabel di atas merupakan hasil skoring berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 yang diklasifikasikan kedalam kelompok fungsi lahan masing-masing setelah dilakukan overlay dari dua peta, yaitu : peta hasil analisis skoring dan peta kawasan lindung setempat, untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar di


(57)

(58)

(59)

Penutupan Lahan

Pada lokasi penelitian di DAS Ular Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Simalungun memiliki beragam jenis penutupan lahan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 7. Jenis dan Luas Penutupan Lahan di Lokasi Penelitian DAS Ular Tahun 2010.

Penutupan Lahan Luas (Ha) 2010

Hutan Alam 19.411,480

Hutan Lahan Kering 3.562,876

Kebun Campuran 24.126,592

Mangrove 25,195

Perkebunan 10.690,164

Pemukiman 47,238

Sawah 1.686,358

Semak Belukar 673,421

Tambak 40,962

Tanah Terbuka 6,608

Ladang 21.647,524

Tubuh Air 120,637

Total 82.288,455


(60)

Dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa untuk penutupan lahan di DAS Ular

didominasi oleh areal kebun campuran seluas 24.126,592 ha dan areal perladangan seluas 21.647,524 ha, sedangkan untuk penutupan lahan berupa hutan alam memiliki luas 19.411,480 ha, dan perkebunan seluas 10.690,164 ha. Untuk areal perladangan dan

perkebunan bisa saja timbul karena adanya konversi areal hutan. Hutan dapat dikonversi dengan syarat dari kriteria skoring menurut SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11.1980 yang

mempunyai nilai ≤ 124. Selain itu, areal lain yang termasuk ke dalam hutan produksi umumnya yang bertopografi datar (0 – 8 %) dan kemungkinan terjadi erosi sangat kecil

sehingga dapat dikonversi menjadi areal penggunaan yang lain, untuk mengetahui komposisi tutupan lahan yang terdapat di DAS Ular, dapat dilihat pada gambar di bawah ini :


(61)

(62)

Penutupan Lahan pada Setiap Penatagunaan Fungsi Lahan

Berdasarkan SK Mentan/Kpts/Um/11.1980, maka klasifikasi fungsional lahan berdasarkan indeks nilai total (nilai skor), yaitu:

1. Areal dengan nilai skor 0- 124, diperuntukkan sebagai areal Hutan Produksi (HP).

2. Areal dengan nilai skor 125 – 174, diperuntukkan sebagai areal Hutan Produksi Terbatas (HPT). 3. Areal dengan nilai skor ≥ 175, diperuntukkan sebagai areal Hutan Lindung (HL).

Hasil dari overlay antara peta hasil skoring dengan peta penutupan lahan diperoleh peta penutupan lahan pada setiap nilai skoring, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah:


(63)

Tabel 8. Luas Penutupan Lahan pada Setiap Nilai Skoring di DAS Ular Tahun 2010. Nilai Skor

Penutupan Lahan 0-124 125-175 ≥175 Σ Ha % Ha % Ha %

Hutan Alam 6.574,714 10,63 12.836,766 63,57 73,166 29,33 19.411,480 Hutan Lahan Kering 3.428,140 5,54 3.428,140 16,97 - - 3.562,876 Kebun Campuran 22.892,002 37,01 1.234,59 6,11 - - 24.126,592 Mangrove 11,888 0,01 13,307 0,06 - - 25,195 Perkebunan 8.354,550 13,51 2.335,614 11,56 - - 10.690,164 Pemukiman 19,734 0,03 27,504 0,13 - - 47,238 Sawah 51,622 0,08 1.634,736 8,09 - - 1.686,358 Semak Belukar 636,596 0,08 36,825 0,18 - - 673,421 Tambak 18,366 0,02 22,596 0,11 - - 40,962 Tanah Terbuka 6,608 0,01 - - - - 6,608 Ladang 19.793,178 32,00 7.634,234 37,80 176,234 70,66 21.647,524 Tubuh Air 60,321 0,09 60,316 0,29 - - 120,637


(64)

(65)

Kondisi Tutupan Lahan per Kabupaten

Deli Serdang

Luas total DAS Ular yang terdapat pada Kabupaten Deli Serdang adalah sekitar 28.040,145 ha atau sekitar 34,07 % dari keseluruhan luas DAS, yang terdiri dari 12 tutupann lahan. Kawasan hutan alam merupakan tutupan lahan terluas pada kabupaten ini, yaitu

seluas 8.703,598 ha (31,03 %) lalu diikuti oleh kawasan perladangan seluas 6.645,554 ha (23,7 %), kebun campuran seluas 6.256,572 ha (22,13 %), perkebunan seluas 5.429,246 (19,36 %), sawah seluas 500,287 ha (1,78 %), hutan lahan kering seluas 413,407 (1,47 %),

semak/belukar seluas 160,492 ha (0,57 %), tubuh air seluas 60,318 ha (0,21 %), tambak 17,796 ha (0,06 %), pemukiman seluas 10,083 ha (0,03 %), mangrove seluas 6,184 ha (0,02 %), dan yang paling kecil adalah kawasan tanah terbuka dengan luas kira-kira 6,608 ha (0.02 %).

Serdang Bedagai

Tutupan lahan DAS Ular pada Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah sekitar 8 jenis

tutupan lahan yang didominasi oleh kebun campuran seluas 8.256,571 ha (49,30 %) diikuti oleh perkebunan seluas 4.535,643 ha (27,08 %), ladang seluas 2.528,750 ha (15,10 %), sawah seluas 934,464 ha (5,58 %), belukar seluas 368,083 ha (2,19 %), tubuh air seluas 60,318 ha (0,36 %), pemukiman 28,966 ha (0,17 %),

dan paling sempit adalah tambak seluas 23,166 ha (0,13 %), sehingga jika ditotal keseluruhan maka luas DAS Ular yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai adalah sekitar 16.711,972 ha atau sekitar 20,34 % dari luas keseluruhan.


(66)

Simalungun

Terdapat sekitar 8 jenis tutupan laha DAS Ular yang terdapat di Kabupaten Simalungun yang jumlah keseluruhan luasnya adalah 37.069,268 ha atau sekitar 45,08 % dari luas total. Tutupan lahan yang mendominasi di wilayah ini adalah kawasan perladangan

dengan luas 12.473,245 ha (33,64 %), diikuti oleh hutan alam seluas 10.707,882 ha (28,88 %), kebun campuran seluas 9.613,449 ha (25,93 %), hutan lahan kering seluas 3.144,469 ha

(8,48 %), perkebunan seluas 725,275 ha (1,95 %), sawah seluas 251,607 ha (0,67 %), belukar selua 144,846 ha (0,39 %), dan yang terkecil adalah kawasan pemukiman yang luasnya

sebesar 8,495 ha (0,02 %).

Kondisi Tutupan Lahan Berdasarkan Hasil Skoring Areal dengan Nilai Skor 0 – 124

Areal dengan nilai skor 0 – 124 diperuntukkan sebagai hutan produksi. Menurut SK

Mentan No. 638/Kpts/Um/8/1980 hutan produksi adalah areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan kepentingan

konsumsi masayarakat, industri dan ekspor. Pada Tabel 10 di atas areal dengan nilai skor 0 – 124 memiliki 12 jenis penutupan lahan yang didominasi oleh kebun capmuran seluas 22.892,002 ha (37,01 %)dan yang paling sempit adalah tanah terbuka seluas 6,608 ha (0,01

%).

Penutupan lahan berupa pemukiman merupakan penggunaan lain yang tidak

produktif di dalam areal yang diperuntukkan sebagai hutan produksi. Penutupan lahan tersebut dimungkinkan di dalam areal dengan nilai skor 0 – 124, karena pada areal ini


(67)

terhadap erosi, namun demikian penutupan lahan tersebut perlu direhabilitasi untuk

meningkatkan produktivitas lahan bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

Salah satu teknik dapat digunakan adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Sistem ini disamping dapat meningkatkan produktivitas lahan juga dapat meningkatkan

kesuburan lahan dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat seperti sengon. Akan tetapi perlu diingat bahwa penebasan atau pembabatan penutupan lahan yang akan digantikan

dengan penggunaan yang lain akan menimbulkan keterbukaan lahan. Hal ini biasa menyebabkan terjadinya erosi sehingga hasilnya akan lebih buruk. Sehingga dalam

rehabilitas areal diperlukan tanaman penghalang atau sekat vegetatif sebagai penguat erosi dan menyediakan bahan organik serta nitrogen bagi tanaman tertentu.

Dalam pengelolaan kawasan ini perlu dilakukan tindakan konservasi agar tidak mengganggu keadaan sumber daya lain yang ada disekitarnya. Ada beberapa teknik konservasi yang dapat dipergunakan dalam kawasan hutan produksi terutama untuk

lahan-lahan yang agak curam, seperti teknik penanaman, matras semak dan teknik penumpukkan semak.

Areal dengan nilai skor 0 – 124 terdapat tanah terbuka atau tidak bertegakan (sebagai areal tidak produktif) dan dapat dikonservasi untuk penggunaan lain sesuai dengan keinginan pemilik lahan, namun tetap memperhatikan segi konservasi. Karena dalam areal ini mungkin saja mengandung kawasan-kawasan yang perlu dijaga sebagai kawasan yang dilindungi sehingga areal ini dapat juga berperan sebagai areal perlindungan.


(68)

Areal dengan Nilai 125 – 174

Areal dengan nilai skor 125 – 174 merupakan areal yang diperuntukkan sebagai hutan produksi terbatas. Wilayah ini terbentuk karena adanya faktor pembatas seperti topografi, jenis tanah, dan curah hujan sehingga pada kawasan ini tidak semua hasil hutan

dapat dieksploitasi secara bebas terkecuali pada lahan hutan tanaman industri. Luas areal ini adalah sekitar 39.191,336 ha yang didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan alam

seluas 12.836,766 ha (63,57 %) dan areal perladangan seluas 7.634,234 ha (37,80%).

Kawasan berhutan yang ada dalam areal ini perlu dijaga karena masih sering terjadi

pengambilan hasil hutan oleh masyarakat setempat dan merubahnya menjadi kawasan bududaya pertanian. Disamping itu adanya kepemilikan lahan dalam areal ini menjadi salah satu penyebab berkurangnya areal bertegakan hutah, dimana pemilik lahan dalam areal mengkonversi lahannya tanpa memperhitungkan segi konservasi.

Untuk areal dengan nilai skor 125 – 174 tindakan konservasinya hampir sama

dengan areal 0 – 124, hanya saja untuk areal ini perlu lebih ditingkatkan pengawasan terhadap lahan-lahan yang memerlukan perlakuan konservasi. Dalam artian pengelolaan

lahan memerlukan pertimbangan konservasi yang lebih tepat dan sesuai dengan karaktristik lahan.

Areal dengan Nilai Skor ≥ 175

Areal dengan nilai skor ≥ 175 merupakan areal yang diperuntukkan sebagai areal perlindungan. Dengan demikian lahan yang mempunyai nilai skor ≥ 175 merupakan lahan yang harus mendapatkan perlakuan sebagai fungsi areal perlindungan.


(69)

Areal perlindungan menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/1/1980 adalah kawasan

hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan hidrologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir, dan erosi serta memelihara kesuburan dan keawetan

tanah baik dalam kawasan hutan beresangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi sekitarnya. Sehingga dalam areal ini tidak diperbolehkan kegiatan yang mengakibatkan

terganggunya fungsi tersebut.

Pada areal dengan skor ≥ 175 di kawasan DAS Ular memiliki luas sebesar 249,4 ha (0,30 %), dengan komposisis tutupan lahan berupa areal perladangan seluas 176,234 ha (70,66 %) dan hutan alam seluas 29,33 ha (29,33 %).

Semak belukar merupakan tanaman penutup tanah yang dapat meminimumkan terjadinya erosi. Penutupan laha ini termasuk penggunaan lahan yang tidak produktif karena berada dalam areal perlindungan. Seharusnya areal ini menjadi areal yang

bervegetasi tetap yang salah satu kegiatannya dapat dilakukan dengan reboisasi.

Penggunaan lahan berupa sawah pada kemiringan ≥ 45% harus dikelola secara tepat. Sistem terasering dapat dipergunakan untuk mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi lahan. Namun bagaimanapun juga adanya penutupan lahanm ini tentu saja akan memberikan dampak negative bagi sumberdaya lingkungan itu, areal persawahan merupakan usaha yang memerlukan air dan bukan merupakan sumber air.

Penutupan Lahan pada Kawasan Perlindungan Setempat

1. Kelerengan Lahan > 45 %

Luas total kelerengan lahan > 45 % dalam kawasan DAS Ular adalah sebesar


(70)

Table 9. Luas Penutupan Lahan pada Setiap Kawasan yang Dilindungi di DAS Ular.

Penggunaan Lahan Kelerengan Buffer Buffer Kelerengan ≥ 45 % Mata Air Sungai > 15 % &

Jenis Tanah Sangat Peka Hutan Alam - - 758,618 - Hutan Lahan Kering 42,814 - 23,945 - Kebun Campuran - - 1.514,747 - Mangrove - - 0,059 - Perkebunan - - 373,193 - Pemukiman - - - - Sawah - - 10,97 - Semak Belukar - - 0,725 - Tambak - - - - Tanah Terbuka - - - - Ladang 44,223 - 3.238,618 - Tubuh Air - - 2,513 -

Total 87,037 - 5.923,388 -

Sesuai dengan ketentuan, pada kemiringan ini kegiatan pengembangan DAS diarahkan pada vegetasi tetap yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi

hidrologis dan meningkatkan daya dukung lahan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui usaha reboisasi dengan berbagai kombinasi penanaman. Walaupun areal ini sudah bervegetasi tetap, namun monitoring dan pengawasannya harus tetap

dilakukan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani.

2. Sempadan Mata Air dan Sempadan Sungai

Banyak terdapat titik mata air di kawasan ini, namun keterbatasan dana,

waktu serta sulitnya memperoleh informasi sehingga sempadan mata air tidak dilakukan. Luas sempadan sungai di DAS Ular adalah 5.026,464 (6,10 %). Jalur


(71)

pengamatan aliran sungai adalah kawasan dengan lebar tertentu di kanan kiri sungai

yang merupakan suatu bentuk konservasi hidrologi dari bahaya pencemaran, erosi, dan longsor serta menghindari hal-hal yang merusak keseimbangan palung sungai dan aliran sungai.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahan semakin meningkat terutama kebutuhan akan tempat tinggal. Walaupun

dalam wilayah ini aliran sungai tidak digunakan sebagai jalur perdagangan, namun ada pemukiman di dekat aliran air sungai. Bertambahnya pemukiman di jalur aliran

sungai akan menyebabkan semakin meningkatnya tingkat pencemaran terhadap aliran sungai.

Pemukiman yang terdapat pada sempadan sungai harus dikonversi menjadi vegetasi tetap karena sepanjang aliran sungai tidak hanya mempengaruhi daerah sekitarnya tetapi juga akan mempengaruhi daerah-daerah hingga ke hilir sungai.

Untuk mendukung kegiatan di atas, maka dalam bidang kehutanan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 292/Kpts/11/1995 tentang

tukar-menukar kawasan hutan. Hal ini dimaksudkan agar lahan-lahan milik yang terdapat disepanjang aliran sungai dapat ditukarkan dengan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan. Keppres RI No. 9/1999 pasal 2 butri 2 e dan 2 f disebutkan bahwa pendayagunaan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian sungai dilakukan pada sungai-sungai yang strategis (2 e) dan pada sungai-sungai yang kritis dan

membahayakan sesuai denga kriteria yang telah ditetapkan (2 f). Hal ini perlu dilakukan seiring meningkatnya pencemaran terhadap sungai. Disamping itu juga


(72)

ruang wilayah) yang dapat menggantikan lahan milik masyarakat sekitar aliran

sungai yang kritis dan membahayakan.

Saat ini pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di suatu kawasan DAS sangat beragam dan cenderung tidak tertata baik sesuai dengan fungsi, kemampuan

dan daya dukung lahannya. Kegiatan sektoral, seperti pengembangan areal perkebunan telah merubah tatanan hutan yang bersifat polikultur menjadi tanaman

monokultur. Tutupan hutan sebagai faktor utama yang akan menjaga keseimbangan tata air pada suatu kawasan DAS terus mengalami penurunan, kondisi ini akan

sangat mempengaruhi keseimbangan fungsi hidrologis dari suatu DAS.

UU no 19 Tahun 2004 tentang kehutanan menyebutkan bahwa dari suatu luasan DAS, maka kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dengan sebaran yang proporsional dan mempertimbangkan optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi bagi masyarakat

setempat, serta pertimbangan geografis Indonesia yang memiliki iklim dengan curah hujan yang tinggi yang akan bersinergi dengan daerah yang bergelombang, berbukit,

bergunung, yang sangat peka terhadap keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi serta kekeringan air.


(73)


(74)

Tabel 10 . Luas Kawasan Dilindungi pada Setiap Nilai Skoring.

Kawasan Dilindungi Hasil Skoring (ha) Total (ha) 0 – 124 125 – 174 ≥175

Kelerengan > 45 % - 42,814 44,223 87,037 Kelerengan > 15 % dan Jenis

Tanah Peka Terhadap Erosi - - - -

Sempadan Sungai 5.832,531 87,937 2,920 5.923,388 Sempadan Mata Air - - - -

Pada nilai skoring 0 – 124 bagian daerah yang diidentikkan dengan hutan produksi memiliki kawasan yang dilindungi sebesar 5.832,572 ha sehingga sekitar 15,53 % merupakan areal

yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi. Demikan halnya dengan kawasan dengan nilai skor 125 – 174 merupakan kawasan yang seharusnya dilindungi seluas 3.114,637 ha (7,94 %). Berdasarkan pada hasil skoring yang telah dilakukan, tidak ada areal dengan nilai skor ≥ 175 yang ditemukan di DAS Ular, sehingga sebagian besar areal yang terdapat di DAS Ular dapat

dimanfaatkan kegunaan lahannya secara ekonomis. Namun demikian, tidak semua areal yang terdapat di DAS Ular dapat dimanfaatkan secara ekonomis tanpa memperhatikan aspek ekologis, ada daerah-daerah memerlukan perhatian khusus dalam penatagunaan lahan, seperti daerah yang

memiliki kelrengan > 45 % dan juga daerah sempadan sungai, oleh karena itu areal-areal tersebut perlu mendapat perlakuan yang mengarah kepada tindakan perlindungan yang dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan konservasi.


(75)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis skoring pada menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/1/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan pada

lokasi penelitian DAS Ular, maka diketahui bahwa wilayah perlindungan yang mempunyai nilai skor ≥ 175 memiliki luas sebesar 249,4 ha.

2. Hasil analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan, diperoleh data luas kawasan hutan di DAS Ular dengan

areal 0 – 124 sebagai kawasan hutan produksi seluas 61.847,719 ha (45,29 %), areal dengan skor 125 – 174 yaitu kawasan hutan produksi terbatas seluas 20.191,336 ha

(42,13 %).

3. Penutupan lahan di DAS Ular terdiri dari hutan alam seluas 19.411,480 ha, hutan lahan kering seluas 3.562,876 ha, kebun campuran seluas 24.126,592 ha, mangrove seluas

25,195 ha, perkebunan seluas 10.690,164 ha, pemukiman seluas 47,238 ha, sawah seluas 1.686,358 ha, semak belukar seluas 673,421 ha, tambak seluas 40,962 ha, tanah terbuka


(76)

Saran

1. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan pengawasan dalam implementasi batas-batas kawasan hutan yang berlaku agar tidak terjadi penyimpangan dan keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

2. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar, agar masyarakat sekitar mengerti sehingga tidak melakukan penyimpangan seperti

pembukaan lahan kawasan hutan untuk berladang dan menjaga keseimbangan lingkungan.

3. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan tindakan konservasi seperti reboisasi, penetapan dan pengembangan kawasan lindung setempat dan lain sebagainya untuk penggunaan pada masa yang akan dating.


(77)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai diIndonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia

Infra SDA, 2002. Infrastruktur Sumberdaya Air Indonesia. Sumber:

2 April 2010 pukul 13.26

Kusumawardani, 2009. Daerah Aliran Sungai Asahan. Sumber:

Lestariya, A. 2005. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Melawi. Sumber:

Navalgund, Jayaraman, and Roy. 2007. Remote sensing applications: An overview. Spesial Secsion: Indian Space Programme

Pawitan, H. 2008. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA – IPB, Bogor 16144

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang PenatagunaanTanah

Puntodewo, A; Sonya Dewi dan Jusupta Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. CIFOR. Jakarta

Sekretariat TKPSDA, 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan DAS Terpadu. Sumber

Smith,R. 2006. Introduction to: Remote Sensing of Environment (RSE). MicroImage Inc. Nebraska. USA


(78)

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 683/Kpts/Um/ 11/1980 Tentang Kriteria dan Tata cara Penetapan Hutan Produksi

Tjimpolo, 2010. Degradasi Lingkungan dan Kualitas Air. Sumber:

2010 pukul 15.12


(1)


(2)

Tabel 10 . Luas Kawasan Dilindungi pada Setiap Nilai Skoring.

Kawasan Dilindungi Hasil Skoring (ha) Total (ha) 0 – 124 125 – 174 ≥175

Kelerengan > 45 % - 42,814 44,223 87,037 Kelerengan > 15 % dan Jenis

Tanah Peka Terhadap Erosi - - - -

Sempadan Sungai 5.832,531 87,937 2,920 5.923,388 Sempadan Mata Air - - - -

Pada nilai skoring 0 – 124 bagian daerah yang diidentikkan dengan hutan produksi memiliki kawasan yang dilindungi sebesar 5.832,572 ha sehingga sekitar 15,53 % merupakan areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi. Demikan halnya dengan kawasan dengan nilai skor 125 – 174 merupakan kawasan yang seharusnya dilindungi seluas 3.114,637 ha (7,94 %). Berdasarkan pada hasil skoring yang telah dilakukan, tidak ada areal dengan nilai skor ≥ 175 yang ditemukan di DAS Ular, sehingga sebagian besar areal yang terdapat di DAS Ular dapat dimanfaatkan kegunaan lahannya secara ekonomis. Namun demikian, tidak semua areal yang terdapat di DAS Ular dapat dimanfaatkan secara ekonomis tanpa memperhatikan aspek ekologis, ada daerah-daerah memerlukan perhatian khusus dalam penatagunaan lahan, seperti daerah yang memiliki kelrengan > 45 % dan juga daerah sempadan sungai, oleh karena itu areal-areal tersebut perlu mendapat perlakuan yang mengarah kepada tindakan perlindungan yang dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan konservasi.


(3)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis skoring pada menurut Keputusan Menteri Pertanian No.

837/Kpts/Um/1/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan pada lokasi penelitian DAS Ular, maka diketahui bahwa wilayah perlindungan yang mempunyai nilai skor ≥ 175 memiliki luas sebesar 249,4 ha.

2. Hasil analisis skoring menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria Tata

Cara Penetapan Kawasan Hutan, diperoleh data luas kawasan hutan di DAS Ular dengan areal 0 – 124 sebagai kawasan hutan produksi seluas 61.847,719 ha (45,29 %), areal dengan skor 125 – 174 yaitu kawasan hutan produksi terbatas seluas 20.191,336 ha (42,13 %).

3. Penutupan lahan di DAS Ular terdiri dari hutan alam seluas 19.411,480 ha, hutan lahan

kering seluas 3.562,876 ha, kebun campuran seluas 24.126,592 ha, mangrove seluas 25,195 ha, perkebunan seluas 10.690,164 ha, pemukiman seluas 47,238 ha, sawah seluas 1.686,358 ha, semak belukar seluas 673,421 ha, tambak seluas 40,962 ha, tanah terbuka seluas 6,608 ha, ladang seluas 21.647,524 ha, dan tubuh air seluas 120,637 ha.


(4)

Saran

1. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan pengawasan dalam implementasi

batas-batas kawasan hutan yang berlaku agar tidak terjadi penyimpangan dan keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

2. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan pendekatan kepada masyarakat

sekitar, agar masyarakat sekitar mengerti sehingga tidak melakukan penyimpangan seperti pembukaan lahan kawasan hutan untuk berladang dan menjaga keseimbangan lingkungan.

3. Pemerintah daerah setempat seharusnya melakukan tindakan konservasi seperti reboisasi,

penetapan dan pengembangan kawasan lindung setempat dan lain sebagainya untuk penggunaan pada masa yang akan dating.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai diIndonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia

Infra SDA, 2002. Infrastruktur Sumberdaya Air Indonesia. Sumber:

2 April 2010 pukul 13.26

Kusumawardani, 2009. Daerah Aliran Sungai Asahan. Sumber:

Lestariya, A. 2005. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Melawi. Sumber:

Navalgund, Jayaraman, and Roy. 2007. Remote sensing applications: An overview. Spesial Secsion: Indian Space Programme

Pawitan, H. 2008. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi

Daerah Aliran Sungai. Laboratorium Hidrometeorologi

FMIPA – IPB,

Bogor 16144

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang PenatagunaanTanah

Puntodewo, A; Sonya Dewi dan Jusupta Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis Untuk

Pengelolaan Sumberdaya Alam. CIFOR. Jakarta

Sekretariat TKPSDA, 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan DAS Terpadu. Sumber

Smith,R. 2006. Introduction to: Remote Sensing of Environment (RSE). MicroImage Inc.


(6)

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 683/Kpts/Um/ 11/1980 Tentang Kriteria dan Tata cara Penetapan Hutan Produksi

Tjimpolo, 2010. Degradasi Lingkungan dan Kualitas Air. Sumber:

2010 pukul 15.12