BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu agenda penting dan strategis dari sekian banyak agenda pembangunan bangsa yang menuntut perhatian sungguh-sungguh dari
semua pihak, karena menjadi faktor penentu kemajuan bangsa di masa depan. Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama
masyarakat merupakan upaya pengejawantahan salah satu cita-cita nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan investasi modal manusia. Investasi menentukan kualitas sumber daya manusia SDM suatu bangsa. Jika sebagai bangsa berhasil membangun
dasar-dasar pendidikan nasional dengan baik, maka pendidikan sesungguhnya akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa dan
pembangunan watak bangsa. Nguni 2005 menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, sebagaimana
halnya dengan negara-negara maju, pendidikan merupakan landasan dan pilar pembangunan sosial dan ekonomi. Suatu negara untuk mencapai dan bertahan dalam
persaingan ekonomi global, pendidikan yang berkualitas merupakan variabel kunci. Banyak negara dalam beberapa dekade terakhir sangat khawatir dengan kualitas
sistem pendidikannya. Kekhawatiran tersebut tercermin melalui reformasi pendidikan dalam skala besar yang telah berlangsung di seluruh dunia yang disebut dengan
desentralisasi dan restrukturisasi sekolah, yaitu reformasi yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Sumber daya manusia merupakan aset yang paling penting dalam suatu organisasi. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang bermutu, maka sumber
daya manusia perlu dikembangkan secara terus-menerus sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan menghasilkan sesuai dengan harapan.
Salah satu pihak yang berpengaruh sangat penting dalam dunia pendidikan Indonesia adalah keberadaan guru sebagai pendidik dan pengajar yang akan
mengarahkan generasi bangsa ke arah yang benar dan tepat. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar. Menurut Nuh 2011, ada empat
kompetensi dasar sebagai syarat utama menjadi guru, yaitu akademis, pedagogik, sosial dan profesional. Akan tetapi, menurut Rustad 2011, pada kenyataannya
terdapat permasalahan-permasalahan, yaitu distribusi guru yang kurang merata, guru yang mengajar bukan di bidang keahliannya, kurangnya tenaga guru di daerah
terpencil, dan guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan. Kondisi guru tetap SMP, SMASMK di sekolah Kristen Harapan Denpasar
memerlukan perhatian yang serius. Persentase kelayakan guru mengajar berdasarkan kualifikasi yang telah ditetapkan, yaitu minimal S1 belum 100 persen sebagaimana
disajikan dalam Tabel 1.1 berikut :
Tabel 1.1 Tingkat Pendidikan Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Sekolah Harapan
Denpasar Tahun 2015 Katagori
Banyaknya Persentase
Pendidikan Diploma
7 8,23
Strata 1D4 60
70,60 Strata 2
18 21,17
Jumlah 85
100
Sumber data : Yayasan Perguruan Kristen Harapan Denpasar, 2015 Kondisi aktual guru di sekolah Harapan dilihat dari tingkat pendidikan
menunjukkan bahwa sebagaian besar berada pada katagori strata D4 yaitu sebesar 60 orang atau 70,60 persen. Kondisi ini tidak sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan
yaitu minimal S1, maka kondisi ini masih dianggap kurang. Selain itu, guru juga memiliki rasa kepedulian yang rendah terhadap rekan kerja
yang membutuhkan bantuan. Perilaku-perilaku tersebut merupakan tindakan yang tidak mendukung efektivitas dan efisiensi dalam bekerja. Guru melakukan hal
menyimpang atau melanggar, yang menunjukkan tanggung jawab yang rendah pada pekerjaan.
Tabel 1.2 Rekapitulasi Absensi Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Sekolah Harapan
Denpasar Bulan Januari sampai dengan Agustus 2015
Sumber : data diolah dari tabel 1.2 pada lampiran 2
Kelas Absensi
Jumlah Sakit
Ijin Alfa
SMP 27
26,0 77
74,0 -
104 SMA
19 22,0
67 77,9
- 86
SMK 4
13,8 25
86,2 -
29
Total 50
22,8 169
77,2 219
Dari Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa tingkat ketidakhadiran dari bulan Januari sampai Agustus 2015 adalah sebagai berikut : 1 tingkat SMP ketidak hadiran
mencapai 104 kali yang terdiri dari ketidak hadiran karena sakit sebanyak 27 kali 26, karena ijin 77 kali 74, 2 di tingkat SMA ketidakhadiran mencapai 86 kali
terdiri dari karena sakit 19 kali 22, ijin 67 kali 77,9 dan tingkat SMK ketidak hadiran mencapai 29 kali terdiri dari karena sakit 4 kali 13,8, ijin 25 kali 86,2.
Akibat dari ketidak hadiran guru tersebut, menyebabkan terjadinya kekosongan pelajaran dalam kelas atau bila terjadi kekosongan pelajaran dalam kelas siswa hanya
diberikan tugas. Terjadinya kekosongan dalam kelas juga mengakibatkan pelajaran tidak berjalan sesuai dengan satuan acara pengajaran SAP yang telah disusun.
Selain itu, pelajaran juga tidak berjalan secara tuntas. Pada saat kelas tersebut mengalami kekosongan, tidak ada guru yang secara sukarela mengisi kekosongan
tersebut dan guru sudah ada kelas sesuai bidangnya. Bahkan ketika terjadi kekosongan dalam kelas, guru yang mengajar dikelas sebelahnya tidak berbuat apa-
apa atau tidak memberitahu kelas sebelahnya yang ribut akibat kekokosongan jam pelajaran. Untuk mengatasi persoalan yang terungkap diatas, yang mana seorang guru
dihadapkan oleh sejumlah tugas dan tanggung jawab yang besar serta tuntutan akan peran profesinya, dan di lain pihak adanya keterbatasan yang dimiliki oleh guru itu
sendiri maka sangat dibutuhkan perilaku ekstra peran dari para guru yang dikenal sebagai organizational citizenship behavior OCB.
Organ et al. 2006:8 mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas discretionary, yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat
penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan agregat meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan
sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi,
melainkan sebagai pilihan personal. Organizational Citizenship Behaviour merupakan perilaku positif orang-orang
yang ada dalam organisasi, yang terekspresikan dalam bentuk kesediaan secara sadar dan sukarela untuk bekerja. Munculnya OCB memberikan dampak positif tidak hanya
bagi pegawai itu sendiri tetapi juga memberikan kontribusi pada organisasi lebih daripada apa yang dituntut secara formal oleh organisasi tersebut. Organisasi yang
sukses memiliki karyawan yang melampaui tanggung jawab pada pekerjaan formal dan bebas memberikan waktu dan energi mereka untuk berhasil dalam pekerjaan
yang ditugaskan. Perilaku tersebut tidak ditentukan, namun memberikan kontribusi terhadap kelancaran fungsi organisasi. Organisasi tidak bisa bertahan atau makmur
tanpa anggotanya berperilaku sebagai warga negara yang baik dan terlibat dalam segala macam perilaku positif. Karena pentingnya perilaku ini, para ahli organisasi
memprioritaskan untuk memahami dan meneliti perilaku OCB Jahangir et al., 2004. Organizational Citizenship Behaviour sangat penting artinya untuk menunjang
keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. 2000, OCB mempengaruhi keefektifan organisasi. Individu yang
memberi kontribusi pada keefektifan organisasi dengan melakukan hal di luar tugas atau peran utama mereka adalah aset bagi organisasi Luthans, 2006:253. Robbins
dan Judge 2008:40 mengemukakan bahwa organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas biasa mereka dan bersedia
melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka, yang akan memberikan kinerja yang melebihi harapan. Khazaei et al. 2011 membuktikan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara OCB dengan kinerja guru SMA di Provinsi Mazandaran Barat, Iran.
Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting, organisasi membutuhkan
karyawan yang memperlihatkan perilaku OCB, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang
tidak perlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait pekerjaan yang kadang terjadi Robbins
dan Judge, 2008:40. Agar perilaku ekstra peran atau OCB para guru ditunjukkan dengan baik, maka
keefektifan peran seorang pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah, sangatlah diperlukan. Banyak literatur organisasi dan manajemen, dan literatur administrasi
pendidikan menggambarkan kepemimpinan kepala sekolah sebagai bagian integral dari efektivitas sekolah. Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor
terpenting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh
warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah.
Minat terhadap perkembangan teori dan konstruk servant leadership semakin berkembang dari beberapa tahun belakangan ini Vondey, 2011. Servant leadership
telah menjadi teori kepemimpinan yang menunjukkan nilai moral, etika serta berfokus pada pengembangan, community building, kepemimpinan yang autentik,
dan shared leadership Graham, 1991; Sauser, 2005;Laub, 2003; Sendjaya, Saros Santora, 2008; dalam Vondey 2011. Ditambahkan lagi oleh Stone, Russell dan
Patteerson 2004 menyatakan bahwa, motivasi dari servant leader dalam memberikan pengaruh berfokus pada pelayanan terhadap para pengikut mereka
sendiri. Menurut Greenleaf dalam Vondey, 2011 indikator terbaik dalam servant leadership adalah ketika para pengikut senang untuk menjadikan diri mereka sendiri
sebagai pelayan. Tetapi jika ditanyakan pelayanan seperti apa yang dapat dilakukan oleh para pengikut di organisasi, sedangkan dalam perilaku organisasi suatu perilaku
yang bersifat sukarela yang memberikan manfaat bagi seluruh anggota organisasi dinamakan organizational citizenship behavior OCB, sehingga OCB dapat
dipertimbangkan sebagai pelayanan dan stewardship. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dari servant leader akan membuat terciptanya perilaku OCB dari para
pengikut. Kebijakan pemberian tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat
pendidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2009 mendapat sambutan positif dari para
guru. Setiap guru diwajibkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni sehingga guru tidak hanya terjebak dalam rutinitas kerja sehari-hari akan tetapi aspek peningkatan kompetensi dan pengembangan
diripun dapat terpenuhi. Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang
merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya Robbins dan Judge 2008:107. Menurut Luthans 2006:243, terdapat lima dimensi kepuasan kerja, yaitu:
pembayaran, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisor, dan rekan kerja. Meningkatnya kepuasan kerja yang dirasakan para guru mempengaruhi perilaku
guru dalam kondisi kerja sehari-hari. Perubahan perilaku tersebut menunjukkan ciri- ciri yang terdapat dalam komponen perilaku kewargaan organisasi yang dikemukakan
oleh Organ et al. 2006:17-18. Hasil studi yang dilakukan oleh MacKenzie et al. 1998 menunjukkan bahwa kepuasan kerja memotivasi karyawan untuk melakukan
Organizational Citizenship Behavior secara sukarela. Menurut Robbins dan Judge 2008:113, kepuasan kerja seharusnya menjadi
faktor penentu utama dari perilaku kewargaan organisasi Organizational Citizenship Behavior-OCB seorang karyawan. Karyawan yang puas tampaknya cenderung
berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka.Selain itu, karyawan yang puas lebih mudah
berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespons pengalaman positif mereka.
Hughes et al. 2012:337 menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat
kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi.
Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan
tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam
berbagai perilaku yang kontra produktif. Ketidak puasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.
Hasil penelitian Huang et al. 2012 pada perawat di rumah sakit Taiwan menunjukkan bahwa rumah sakit dapat meningkatkan OCB karyawan dengan
mempengaruhi kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jahangir et al. 2004 menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan
berpengaruh terhadap OCB karyawan. Krishnan et al. 2009 melakukan penelitian pada 85 orang staf administrasi dari lembaga pendidikan tinggi publik di Malaysia,
yang membuktikan bahwa baik kepuasan kerja intrinsik maupun kepuasan kerja ekstrinsik berpengaruh signifikan terhadap OCB staf. Penelitian yang dilakukan oleh
Schappe 1998 menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB. Ismail et al. 2011 melakukan penelitian terhadap karyawan sebuah anak
perusahaan AS di Malaysia Timur. Menurut Alotaibi 2001, variabel kepuasan kerja seringkali dipertimbangkan sebagai anteseden terhadap perilaku OCB dalam
organisasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel kepuasan kerja memiliki hubungan positif signifikan terhadap perilaku OCB. Bolon 1997 mengemukakan
bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasional adalah dua variabel yang paling penting sebagai prediktor perilaku OCB.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh langsung servant leadership terhadap OCB, pengaruh
langsung servant leadership terhadap kepuasan kerja, maupun pengaruh tidak langsung
servant leadership terhadap OCB yang dimediasi oleh kepuasan kerja dalam konteks organisasi pendidikan, dengan subjek penelitian adalah guru tetap
SMP dan SMASMK sekolah Kristen Harapan Denpasar.
1.2. Rumusan Masalah