Pengaruh Servant Leadership Terhadap Organizational Citizenship behaviour Dengan Mediasi Kepuasan Kerja (Studi Pada Guru Tetap di Sekolah Kristen Harapan Denpasar).

(1)

TESIS

PENGARUH

SERVANT LEADERSHIP

TERHADAP

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR

DENGAN

MEDIASI KEPUASAN KERJA

(Studi Pada Guru Tetap Di Sekolah Kristen Harapan Denpasar)

I DEWA NYOMAN SUDARTA NIM : 1390662037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

PENGARUH

SERVANT LEADERSHIP

TERHADAP

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR

DENGAN

MEDIASI KEPUASAN KERJA

(Studi Pada Guru Tetap Di Sekolah Kristen Harapan Denpasar)

I DEWA NYOMAN SUDARTA NIM : 1390662037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

PENGARUH

SERVANT LEADERSHIP

TERHADAP

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR

DENGAN

MEDIASI KEPUASAN KERJA

(Studi Pada Guru Tetap Di Sekolah Kristen Harapan Denpasar)

Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Manajemen

Pada Pascasarjana Universitas Udayana

I DEWA NYOMAN SUDARTA NIM : 1390662037

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(4)

Lembar Pengesahan

Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 16 Mei 2016

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Dr. Desak Ketut Sintaasih,SE.,M.Si. Agoes Ganesha Rahyuda, SE.,MT.,Ph.D. NIP. 19590801 198601 2 001 NIP. 19830325 200604 1 001

Mengetahui

Direktur Ketua Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) Dr. Desak Ketut Sintaasih,SE.,M.Si. NIP. 19590115 198510 2 001 NIP. 19590801 198601 2 001


(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 16 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No : 2116/UN14.4/HK/2016 Tanggal : 11 Mei 2016

Ketua :Dr. Desak Ketut Sintaasih,SE.,M.Si. Anggota :

1. Agoes Ganesha Rahyuda,SE.,MT.,Ph.D 2. Prof.Dr. I Wayan Gede Supartha, SE.,SU 3. Dr.Dra. IG.A.Munuati Dewi, MA

4. Dr. I Gede Adnyana Sudibya, SE.,M.Kes.,Ak


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : I DEWA NYOMAN SUDARTA

NIM : 1390662037

PROGRAM STUDI : MAGISTER MANAJEMEN

JUDUL TESIS : PENGARUH SERVANT LEADERSHIP TERHADAP

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR DENGAN MEDIASI KEPUASAN KERJA

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 16 Mei 2016

( I DEWA NYOMAN SUDARTA)


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis memanjatkan puji sykur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara nugraha-Nya/kurnia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Desak Ketut Sintaasih,SE.,M.Si. sebagai pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program Magister Manajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Agoes Ganesha Rahyuda, SE.,MT.,Ph.D sebagai pembimbing Pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. Ketut Suastika,Sp.PD, KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Udayana yanag dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang berikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada program Pascasarjan Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. I Nyoman Mahendra, SE.,M.Si sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendididikan Program Magister.Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.Desak Ketut Sintaasih,SE.,M.Si sebagai ketua Program MM Unud.


(8)

Ungkapan terima kasih penulis sampikan kepada para penguji tesis yaitu Prof.Dr. I Wayan Gede Supartha, SE.,SU, Dr. I Gede Adnyana Sudibya, SE.,Ak dan

Dr.Dra. IG.A.Munuati Dewi, MA yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membersarkan penulis, memberikan dasar-dasar berfikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada istri tercinta Ni Ketut Wartini,SS, serta anak-anak tersayang I Dewa Gede Christnali Satria Yahya dan Desak Made Elnita Dian Kharisma yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Semoga Ida Sang Hayang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah amembantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar,16 Mei 2016 Penulis


(9)

ABSTRAK

PENGARUH

SERVANT LEADERSHIP

TERHADAP

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR

DENGAN

MEDIASI KEPUASAN KERJA

(Studi Pada Guru Tetap Di Sekolah Kristen Harapan Denpasar)

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh servant leadership terhadap organizational citizenship behaviour (OCB) dengan mediasi kepuasan kerja guru tetap SMP, SMA dan SMK sekolah Harapan Denpasar. Penelitian ini bersifat kausalitas untuk memberikan penjelasan dan pemahaman hubungan antara variabel servant leadership dengan variabel kepuasan kerja dan OCB. Populasi penelitian penelitian adalah guru tetap SMP, SMA dan SMK sekolah Harapan Denpasar dengan jumlah responden 85 orang guru. Teknik penentuan sampel dilakukan dengan teknik sampling acak proporsional. Instrument penelitian menggunakan kuesioner dan metode analisis dengan menggunakan analis deskriptif dan analisis inferensial dengan analisis Structural Equation Model –Partial Least Square (SEM-PLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa servant leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dan OCB, kepuasan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB dan peran kepuasan kerja sebagai pemediasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap servant leadership dengn OCB. Inplikasi penelitian yaitu perlunya servant leadership yang kuat dari manajemen sekolah dalam menerapkan nilai-nilai kepemimpinan (servant leadership) yang bisa diterima oleh para guru serta memperhatikan factor-faktor pembentuk kepuasan kerja para guru. Saran penelitian, perlunya perluasan orientasi penelitian pada lingkup organisasi, lembaga dan industri yang lebih luas untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan komplit.

Kata kunci : Servant Leadership, Kepuasan Kerja, Organizational Citizenship Behaviour


(10)

ABSTRACT

THE IMPACT OF SERVANT LEADERSHIP ON ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOURS WITH THE MEDIATING OF JOB SATISFACTION

(A Study on Permanent Teachers at Harapan Christian School in Denpasar)

The purpose of this study was to analyze influence of servant leadership on organizational citizenship behaviour (OCB) with the mediating of job satisfaction of Secondary School, High School and Vocational School permanent teachers in Harapan School Denpasar. This research is a casual study to explain and provide insights on the relationship of variable on servant leadership, job satisfaction and OCB. Population of this research are permanent teachers of Secondary, High School and Vocational School of Harapan School located in Denpasar with 85 teachers selected as respondents. Technique used to determine the research sample was known as proportional random sampling. Questionnaire was being used as research instrument and the analysis of data used was descriptive and inferential data analysis with Structural Equation Model – Partial Least Square (SEM-PLS). Findings revealed servant leadership impacted positively and significance to job satisfaction and OCB; job satisfaction impacted positively and significance to OCB and role of job satisfaction as mediator impacted positively and significance to servant leadership and OCB. The research further concluded that there is in need for a powerfull servant leadership from school management in applying values of leadership acceptable by teachers and with regard to factors forming the teachers’ job satisfaction. Suggestions on this research is to expand the scope of study to a larger population of organizations, institutions and public industries to achieve complete and better result’s findings. Keywords : Servant Leadership, Job Satisfaction, Organizatinal Citizenship Behaviour


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ………... i

PRASYARAT GELAR ……… ii

LEMBAR PERSETUJUAN………... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……….. v

UCAPAN TERIMA KASIH………. vi

ABSTRAK……… viii

ABSTRACT………. ix

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR TABEL ………. xii

DAFTAR GAMBAR……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah……… 10

1.3 Tujuan Penelitian ……… 10

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 12

2.1 Organizational Citizenship Behaviour ………... 12

2.2 Kepuasan Kerja ………... 20

2.3 Servant Leadership……….. 27

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL, DAN HIPOTESIS PENELITIAN……….. 40

3.1 Kerangka Berpikir ……….. 40

3.2 Kerangka Konseptual ……….. 41

3.3 Hipotesis Penelitian ……… 42

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ……….. 52

4.1 Rancangan dan Ruang Lingkup Penelitian………. 52

4.1.1 Rancangan Penelitian………. 52

4.1.2 Ruang Lingkup Penelitian………. 52

4.2 Variabel Penelitian ……….. 52

4.2.1 Identifikasi Variabel ………. 52

4.2.2 Definisi Operasional Variabel………... 53

4.3 Prosedur Pengumpulan Data………... 57

4.3.1 Jenis Data ……….. 57

4.3.2 Sumber Data ………. 57

4.3.3 Metode Pengumpulan Data ……….. 58

4.3.4 Populasi dan Sampel Penelitian ……… 58

4.4 Instrumen Penelitian ……….. 61

4.5 Uji Validitas dan Reliabilitas ……….. 61


(12)

4.6 Metode Analisis Data ………. 65

4.6.1 Analisis Deskriptif ……… 65

4.6.2 Analisis Inferensial ………... 65

4.7 Pengujian Mediasi SEM-PLS dengan metode VAF……… 69

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 71

5.1. Hasil Penelitian………... 71

5.1.1 Gambaran Umum Sekolah Harapan……….. 71

5.1.2 Visi, Misi dan Motto ……….. 72

5.1.3 Distribusi Kuesioner……….. 72

5.1.4 Karakteristik Responden……… 73

5.1.5 Deskripsi Variabel Penelitian ……… 76

5.1.5.1 Variabel Organizational Citizenship Behaviour ………. 77

5.1.5.2 Variabel Kepuasan Kerja………... 80

5.1.5.3 Variabel Servant Leadership……… 82

5.2. Analisis Data……… 85

5.2.1 Hasil Model Pengukuran (outer model) ………... 86

5.2.2 Hasil Model Struktural (Inner model) ……….. 90

5.2.3 Hasil Koefisien Jalur dan T-Statistik ……… 91

5.2.4 Pengujian Hipotesis ……….. 92

5.3. Pembahasan ………... 96

5.3.1 Pengaruh Servant Leadership Terhadap Kepuasan Keja ………. 96

5.3.2 Pengaruh Servant Leadership Terhadap OCB ……… 97

5.3.3 Pengaruh Kepuasan Keja Terhadap OCB ……… 101

5.3.4 Peran Mediasi Kepuasan Keja Terhadap Servant Leadershipdengan OCB … 102 5.4. Implikasi Penelitian ………... 104

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……… 107

6.1. Simpulan ……… 106

6.2. Saran ……….. 107

DAFTAR PUSTAKA……… 109


(13)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1.1 Tingkat Pendidikan Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Sekolah Harapan

Denpasar……… 3

1.2 Rekapitulasi Absensi Guru Tetap SMP,SMA dan SMK Sekolah Harapan Denpasar Bulan Januari sampai dengan Agustus 2015……… 3

4.1 Jumlah Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Harapan Denpasar……… 59

4.2 Distribusi Pengambilan Sampel Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Harapan Denpasar……… 60 4.3 Uji Validitas Instrumen Vaiabel OCB, Kepuasan Kerja dan Servant Leadership……… 63 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen OCB, Kepuasan Kerja dan Servant Leadership……………... 64 5.1 Karakteristik Demografi Responden……… 73

5.2 Frekuensi Jawaban Responden terhadap OCB……… 77

5.3 Frekuensi Jawaban Responden terhadap Kepuasan Kerja……… 80

5.4 Frekuensi Jawaban Responden terhadap Servant Leadership……… 82

5.5 Outer Loading………... 87

5.6 Cross Loading………... 88

5.7 Average Variance extracted………... 89

5.8 Composite Relibility………... 90

5.9 Nilai R-Square………. 90

5.10 Pengaruh Langsung, Tidak Langsung dan Pengaruh Total Variabel……….. 92

5.11 Hasil pengujian Hipotesis……… 93

5.12 Perhitungan VAF Hubungan Tidak Langsung Variabel Servant Leadership tehadap OCB melalui Kepuasan Kerja……… 95


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman

3.2 Kerangka Konseptual Penelitian………. 41

4.1 Diagram Alur……….. 66

5.1 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis………... 85


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Nama Lampiran Halaman

1 Kuesioner Penelitian ……… 120

2 Data Absensi Guru ……….. 127

3 Statistik Deskriptif ……….. 128

4 Hasil Uji Validitas ………. 146

5 Hasil Uji Reliabilitas ……….. 161

6 Hasil Output Smart PLS.3.0 Model Persamaan Struktur Penelitian……… 164

7 Hasil Model Pengukuran Indikator (Outer Loading Model) ……….. 165


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu agenda penting dan strategis dari sekian banyak agenda pembangunan bangsa yang menuntut perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, karena menjadi faktor penentu kemajuan bangsa di masa depan. Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat merupakan upaya pengejawantahan salah satu cita-cita nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan merupakan investasi modal manusia. Investasi menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Jika sebagai bangsa berhasil membangun dasar-dasar pendidikan nasional dengan baik, maka pendidikan sesungguhnya akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan watak bangsa.

Nguni (2005) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, sebagaimana halnya dengan negara-negara maju, pendidikan merupakan landasan dan pilar pembangunan sosial dan ekonomi. Suatu negara untuk mencapai dan bertahan dalam persaingan ekonomi global, pendidikan yang berkualitas merupakan variabel kunci. Banyak negara dalam beberapa dekade terakhir sangat khawatir dengan kualitas sistem pendidikannya. Kekhawatiran tersebut tercermin melalui reformasi pendidikan dalam skala besar yang telah berlangsung di seluruh dunia yang disebut dengan


(17)

2

desentralisasi dan restrukturisasi sekolah, yaitu reformasi yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Sumber daya manusia merupakan aset yang paling penting dalam suatu organisasi. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang bermutu, maka sumber daya manusia perlu dikembangkan secara terus-menerus sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan menghasilkan sesuai dengan harapan.

Salah satu pihak yang berpengaruh sangat penting dalam dunia pendidikan Indonesia adalah keberadaan guru sebagai pendidik dan pengajar yang akan mengarahkan generasi bangsa ke arah yang benar dan tepat. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar. Menurut Nuh (2011), ada empat kompetensi dasar sebagai syarat utama menjadi guru, yaitu akademis, pedagogik, sosial dan profesional. Akan tetapi, menurut Rustad (2011), pada kenyataannya terdapat permasalahan-permasalahan, yaitu distribusi guru yang kurang merata, guru yang mengajar bukan di bidang keahliannya, kurangnya tenaga guru di daerah terpencil, dan guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan.

Kondisi guru tetap SMP, SMA/SMK di sekolah Kristen Harapan Denpasar memerlukan perhatian yang serius. Persentase kelayakan guru mengajar berdasarkan kualifikasi yang telah ditetapkan, yaitu minimal S1 belum 100 persen sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.1 berikut :


(18)

3

Tabel 1.1

Tingkat Pendidikan Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Sekolah Harapan Denpasar Tahun 2015

Katagori Banyaknya Persentase

Pendidikan Diploma 7 8,23%

Strata 1/D4 60 70,60%

Strata 2 18 21,17%

Jumlah 85 100%

Sumber data : Yayasan Perguruan Kristen Harapan Denpasar, 2015

Kondisi aktual guru di sekolah Harapan dilihat dari tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagaian besar berada pada katagori strata /D4 yaitu sebesar 60 orang atau 70,60 persen. Kondisi ini tidak sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan yaitu minimal S1, maka kondisi ini masih dianggap kurang.

Selain itu, guru juga memiliki rasa kepedulian yang rendah terhadap rekan kerja yang membutuhkan bantuan. Perilaku-perilaku tersebut merupakan tindakan yang tidak mendukung efektivitas dan efisiensi dalam bekerja. Guru melakukan hal menyimpang atau melanggar, yang menunjukkan tanggung jawab yang rendah pada pekerjaan.

Tabel 1.2

Rekapitulasi Absensi Guru Tetap SMP, SMA dan SMK Sekolah Harapan Denpasar Bulan Januari sampai dengan Agustus 2015

Sumber : data diolah dari tabel 1.2 pada lampiran 2 Kelas

Absensi

Jumlah

Sakit Ijin Alfa

% % %

SMP 27 26,0% 77 74,0% - 0% 104

SMA 19 22,0% 67 77,9% - 0% 86

SMK 4 13,8% 25 86,2% - 0% 29


(19)

4

Dari Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa tingkat ketidakhadiran dari bulan Januari sampai Agustus 2015 adalah sebagai berikut : (1) tingkat SMP ketidak hadiran mencapai 104 kali yang terdiri dari ketidak hadiran karena sakit sebanyak 27 kali (26%), karena ijin 77 kali (74%), (2) di tingkat SMA ketidakhadiran mencapai 86 kali terdiri dari karena sakit 19 kali (22%), ijin 67 kali (77,9%) dan tingkat SMK ketidak hadiran mencapai 29 kali terdiri dari karena sakit 4 kali (13,8%), ijin 25 kali (86,2%). Akibat dari ketidak hadiran guru tersebut, menyebabkan terjadinya kekosongan pelajaran dalam kelas atau bila terjadi kekosongan pelajaran dalam kelas siswa hanya diberikan tugas. Terjadinya kekosongan dalam kelas juga mengakibatkan pelajaran tidak berjalan sesuai dengan satuan acara pengajaran (SAP) yang telah disusun. Selain itu, pelajaran juga tidak berjalan secara tuntas. Pada saat kelas tersebut mengalami kekosongan, tidak ada guru yang secara sukarela mengisi kekosongan tersebut dan guru sudah ada kelas sesuai bidangnya. Bahkan ketika terjadi kekosongan dalam kelas, guru yang mengajar dikelas sebelahnya tidak berbuat apa-apa atau tidak memberitahu kelas sebelahnya yang ribut akibat kekokosongan jam pelajaran. Untuk mengatasi persoalan yang terungkap diatas, yang mana seorang guru dihadapkan oleh sejumlah tugas dan tanggung jawab yang besar serta tuntutan akan peran profesinya, dan di lain pihak adanya keterbatasan yang dimiliki oleh guru itu sendiri maka sangat dibutuhkan perilaku ekstra peran dari para guru yang dikenal sebagai organizational citizenship behavior (OCB).

Organ et al. (2006:8) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat


(20)

5

penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal.

Organizational Citizenship Behaviour merupakan perilaku positif orang-orang yang ada dalam organisasi, yang terekspresikan dalam bentuk kesediaan secara sadar dan sukarela untuk bekerja. Munculnya OCB memberikan dampak positif tidak hanya bagi pegawai itu sendiri tetapi juga memberikan kontribusi pada organisasi lebih daripada apa yang dituntut secara formal oleh organisasi tersebut. Organisasi yang sukses memiliki karyawan yang melampaui tanggung jawab pada pekerjaan formal dan bebas memberikan waktu dan energi mereka untuk berhasil dalam pekerjaan yang ditugaskan. Perilaku tersebut tidak ditentukan, namun memberikan kontribusi terhadap kelancaran fungsi organisasi. Organisasi tidak bisa bertahan atau makmur tanpa anggotanya berperilaku sebagai warga negara yang baik dan terlibat dalam segala macam perilaku positif. Karena pentingnya perilaku ini, para ahli organisasi memprioritaskan untuk memahami dan meneliti perilaku OCB (Jahangir et al., 2004).

Organizational Citizenship Behaviour sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi. Individu yang memberi kontribusi pada keefektifan organisasi dengan melakukan hal di luar tugas atau peran utama mereka adalah aset bagi organisasi (Luthans, 2006:253). Robbins


(21)

6

dan Judge (2008:40) mengemukakan bahwa organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas biasa mereka dan bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka, yang akan memberikan kinerja yang melebihi harapan. Khazaei et al. (2011) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara OCB dengan kinerja guru SMA di Provinsi Mazandaran Barat, Iran.

Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting, organisasi membutuhkan karyawan yang memperlihatkan perilaku OCB, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait pekerjaan yang kadang terjadi (Robbins dan Judge, 2008:40).

Agar perilaku ekstra peran atau OCB para guru ditunjukkan dengan baik, maka keefektifan peran seorang pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah, sangatlah diperlukan. Banyak literatur organisasi dan manajemen, dan literatur administrasi pendidikan menggambarkan kepemimpinan kepala sekolah sebagai bagian integral dari efektivitas sekolah. Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah.


(22)

7

Minat terhadap perkembangan teori dan konstruk servant leadership semakin berkembang dari beberapa tahun belakangan ini (Vondey, 2011). Servant leadership telah menjadi teori kepemimpinan yang menunjukkan nilai moral, etika serta berfokus pada pengembangan, community building, kepemimpinan yang autentik, dan shared leadership (Graham, 1991; Sauser, 2005;Laub, 2003; Sendjaya, Saros & Santora, 2008; dalam Vondey 2011). Ditambahkan lagi oleh Stone, Russell dan Patteerson (2004) menyatakan bahwa, motivasi dari servant leader dalam memberikan pengaruh berfokus pada pelayanan terhadap para pengikut mereka sendiri. Menurut Greenleaf (dalam Vondey, 2011) indikator terbaik dalam servant leadership adalah ketika para pengikut senang untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai pelayan. Tetapi jika ditanyakan pelayanan seperti apa yang dapat dilakukan oleh para pengikut di organisasi, sedangkan dalam perilaku organisasi suatu perilaku yang bersifat sukarela yang memberikan manfaat bagi seluruh anggota organisasi dinamakan organizational citizenship behavior (OCB), sehingga OCB dapat dipertimbangkan sebagai pelayanan dan stewardship. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dari servant leader akan membuat terciptanya perilaku OCB dari para pengikut.

Kebijakan pemberian tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2009 mendapat sambutan positif dari para guru. Setiap guru diwajibkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu


(23)

8

pengetahuan, teknologi, dan seni sehingga guru tidak hanya terjebak dalam rutinitas kerja sehari-hari akan tetapi aspek peningkatan kompetensi dan pengembangan diripun dapat terpenuhi.

Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins dan Judge 2008:107). Menurut Luthans (2006:243), terdapat lima dimensi kepuasan kerja, yaitu: pembayaran, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisor, dan rekan kerja.

Meningkatnya kepuasan kerja yang dirasakan para guru mempengaruhi perilaku guru dalam kondisi kerja sehari-hari. Perubahan perilaku tersebut menunjukkan ciri-ciri yang terdapat dalam komponen perilaku kewargaan organisasi yang dikemukakan oleh Organ et al. (2006:17-18). Hasil studi yang dilakukan oleh MacKenzie et al. (1998) menunjukkan bahwa kepuasan kerja memotivasi karyawan untuk melakukan Organizational Citizenship Behavior secara sukarela.

Menurut Robbins dan Judge (2008:113), kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku kewargaan organisasi (Organizational Citizenship Behavior-OCB) seorang karyawan. Karyawan yang puas tampaknya cenderung berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka.Selain itu, karyawan yang puas lebih mudah berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespons pengalaman positif mereka.

Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat


(24)

9

kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontra produktif. Ketidak puasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.

Hasil penelitian Huang et al. (2012) pada perawat di rumah sakit Taiwan menunjukkan bahwa rumah sakit dapat meningkatkan OCB karyawan dengan mempengaruhi kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jahangir et al. (2004) menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap OCB karyawan. Krishnan et al. (2009) melakukan penelitian pada 85 orang staf administrasi dari lembaga pendidikan tinggi publik di Malaysia, yang membuktikan bahwa baik kepuasan kerja intrinsik maupun kepuasan kerja ekstrinsik berpengaruh signifikan terhadap OCB staf. Penelitian yang dilakukan oleh Schappe (1998) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB. Ismail et al. (2011) melakukan penelitian terhadap karyawan sebuah anak perusahaan AS di Malaysia Timur. Menurut Alotaibi (2001), variabel kepuasan kerja seringkali dipertimbangkan sebagai anteseden terhadap perilaku OCB dalam organisasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel kepuasan kerja memiliki hubungan positif signifikan terhadap perilaku OCB. Bolon (1997) mengemukakan


(25)

10

bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasional adalah dua variabel yang paling penting sebagai prediktor perilaku OCB.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh langsung servant leadership terhadap OCB, pengaruh langsung servant leadership terhadap kepuasan kerja, maupun pengaruh tidak langsung servant leadership terhadap OCB yang dimediasi oleh kepuasan kerja dalam konteks organisasi pendidikan, dengan subjek penelitian adalah guru tetap SMP dan SMA/SMK sekolah Kristen Harapan Denpasar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaruh servant leadership terhadap Kepuasan kerja? 2) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap OCB?

3) Bagaimana pengaruh servant leadership terhadap OCB?

4) Bagaimana peran mediasi kepuasan kerja dalam hubungan servant leadership denganOCB

1.3 Tujuan Penelitian

1) Untuk menguji dan menganalisis pengaruh servant leadership terhadap kepuasan kerja

2) Untuk menguji dan menganalisis pengaruh kepuasan kerjaterhadap OCB 3) Untuk menguji dan menganalisis pengaruh servant leadership terhadap OCB


(26)

11

4) Untuk menguji dan menganalisis peran mediasi kepuasan kerja terhadap pengaruh servant leadership dengan OCB

1.4 Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia, menjadi bahan kajian dan sumber referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam mengembangkan penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel servant leadership kepuasan kerja, dan organizational citizenship behavior.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan informasi tambahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan tentang pengelolaan anggota organisasi, khususnya bagi institusi pendidikan dalam pemenuhan hak-hak anggota organisasi, serta pembenahan praktik kepemimpinan dan manajemen organisasi, sehingga OCB dan kepuasan kerja anggota organisasi dapat dipelihara dan ditingkatkan.


(27)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Organizational Citizenship Behavior

Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior (Huang, 2012).

Robbins dan Judge (2008:40) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2009) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan:


(28)

13

1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut.

2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal organisasi.

3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.

4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara keseluruhan.

Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal. Organ et al. (2006:8-10) menguraikan definisi tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:

1) Perilaku individu yang bebas.

Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi


(29)

14

pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempraktekkan perilaku tersebut.

2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal. Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman, pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara tertulis. Ketika berbagai tuntutan tersebut dicantumkan dalam deskripsi pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Dalam hal ini bukan berarti perilaku yang termasuk OCB tidak akan mendapatkan penghargaan sama sekali. Sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Organ et al. menyatakan bahwa perbedaan penting yang mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan tersebut.


(30)

15

3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi. Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas. Organ et al. mengungkapkan bahwa beberapa penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.

Organizational Citizenship Behaviour penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan: (1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja; (2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial; (3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif; (4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan; (5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja; (6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal; (7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi; (8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.


(31)

16

Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa konsep OCB pertama kali diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain dari conscientiousness). Kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai komponen lain pada OCB disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991) mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy; dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi, terdiri dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Dalam penelitian ini, komponen OCB yang digunakan merupakan komponen yang dikemukakan oleh Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:

1) Altruism

Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. Secara lebih rinci, komponen altruism memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Membantu rekan kerja yang beban kerjanya berlebih.

b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir. c. Membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan. d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.


(32)

17

e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada pegawai yang baru meskipun tidak diminta.

2) Courtesy

Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Secara lebih rinci, komponen courtesy memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.

b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja. c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.

d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakanyang dilakukan.

e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.

3) Sportsmanship

Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Secara lebih rinci, komponen sportsmanship memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang sepele. b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi. c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi.


(33)

18

d. Mentolerir ketidak nyamanan yang terjadi di tempat kerja. 4) Conscientiousness

Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Secara lebih rinci, komponen conscientiousness memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih

dahulu.

b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.

c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan.

d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi disamping tugas utama.

e. Tidak membuang-buang waktu kerja.

f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.

g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisitidak ada seorang pun yang mengawasi.

5) Civic Virtue

Civic virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Secara lebih rinci, komponen civic virtue memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi. b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi.


(34)

19

c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.

Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) pada penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Nguni (2005) dimana responden diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan yang mencerminkan perilaku OCB.

Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya:

1) Disposisi individu dan motif individu

Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity, conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat OCB yang ditampilkan oleh pegawai. Selain disposisi individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik untuk menunjukkan OCB.

2) Kohesivitas kelompok

Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi kuat dan efektif.


(35)

20

3) Sikap Pegawai

Organizational citizenship behaviour tergantung pada sikap positif karyawan terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi:

a. Komitmen Organisasi

Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi mempengaruhi timbulnya OCB.Tingginya tingkat komitmen organisasi tercermin dalam keterlibatan pegawai dalam permasalahan organisasi di luar penugasan secara umum. b. Kepuasan Kerja

Berbagai studi menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan OCB.

2.2 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Menurut Porter (1961) dalam Ardana dkk.(2008:23), kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada (faktual). Semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang sesungguhnya ada (faktual), seseorang cenderung merasa semakin puas. Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan


(36)

21

pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson et al. (2009:152) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap para pekerja mengenai pekerjaannya yang dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, dan manfaat lainnya bagi pekerja. Robbins dan Judge (2008:107) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih dari sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan, atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal, dan lain-lain. Ini berarti bahwa penilaian seorang karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans (2006:243) menyatakan terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:

1) Kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan kondisi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga.

2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras dari pada yang lain dalam departemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan


(37)

22

memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka.

3) Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Lebih lanjut, Luthans (2006:243) mengemukakan bahwa karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan, meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran. Cara-cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya:

1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan

2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil

3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka

4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan

Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan


(38)

23

tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontra produktif. Ketidak puasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.

Castillo dan Cano (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidak puasan kerja, yaitu:

1) Pengakuan (recognition)

Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.

2) Pencapaian (achievement)

Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil sikap atas kegagalan yang terjadi.

3) Adanya kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status. 4) Kemajuan (advancement)

Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan. 5) Gaji (salary)

Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama. 6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)

Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat. 7) Pengawasan (supervision)

Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan membimbing bawahan.


(39)

24

8) Tanggung jawab (responsibility)

Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang diberikan dalam suatu pekerjaan.

9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)

Tindakan dimana beberapa aspek atau secara keseluruhan berdampak pada kepuasan kerja.

10) Kondisi kerja (working condition)

Berhubungan dengan kondisi kerja secara fisik seperti fasilitas kerja dan kualitas pekerjaan.

11) Pekerjaan itu sendiri (work it self)

Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja. Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2008:108); Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan kerja, yaitu:

1) Pembayaran (Pay)

Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai dimana para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Selain itu para pegawai membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para pegawai tersebut mendapatkan


(40)

25

gaji yang sama atau berbeda. Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka rasakan.

2) Pekerjaan (Job)

Pekerjaan yang diberikan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi pegawai serta kesempatan untuk menerima tanggungjawab atas pekerjaan. Pegawai akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. Sementara apabila beban dan tantangan pekerjaan yang diberikan jauh dibawah kemampuan yang mereka miliki, para pegawai cenderung merasa bosan.Akan tetapi apabila diberikan beban kerja dan tanggung jawab lebih besar, kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibatdari kegagalan pegawai dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikanoleh organisasi. 3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)

Adanya kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang dalamorganisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan,kenaikan pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait dengan pengembangan diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri sehingga pegawai akan merasa puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.


(41)

26

4) Atasan (Supervisor)

Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan pegawai mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari. Selain itu atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada para bawahannya.

5) Rekan kerja (Co-workers)

Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai. Perselisihan yang timbul diantara sesama pegawai meskipun bersifat sepele dapat mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari. Dalam mengukur kepuasan kerja, salah satu alat ukur yang digunakan adalah dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967) dalam Sopiah (2008) dan dalam Nguni (2005). MSQ short form ini terdiri dari beberapa pertanyaan yang digunakan untuk mengukur komponen-komponen dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek yang diukur dalam MSQ short form dapat dinilai dalam beberapa bagian komponen sehingga dapat memberikan gambaran komponen-komponen mana yang mengalami kepuasan dan ketidak puasan.


(42)

27

2.3 Servant Leadership

Teori utama yang mendukung servant leadership adalah teori LMX atau Leader-Member Exchange Teory. Graen, Novak, dan Sommerkamp (1982) mengemukakan teori LMX yang merupakan teori pertukaran pemimpin dan bawahan. Teori LMX berpandangan bahwa pemimpin dapat menciptakan kelompok dalam dan luar serta menciptakan bawahan didalam kelompok dan dapat berkinerja tinggi serta memperoleh kepuasan dengan atasannya.

1. In Group Exchange. Dalam hubungan ini, para pemimpin dan pengikutnya membangun suatu hubungan partnership yang dicirikan adanya timbal balik, saling mempercayai, dan perasaan senasib.

2. Out Group Exchange. Dalam hubungan ini, pemimpin dicirikan sebagai orang yang mengawasi, bawahan memperoleh lebih sedikit waktu pemimpin, mendapatkan hubungan antara atasan-bawahan dalam koridor interaksi yang formal.

Servant Leadership pertama kali dikonsep oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1970. Karakteristik dari perilaku kepemimpinan yang melayani tumbuh dari nilai-nilai dan keyakinan individu. Nilai-nilai-nilai pribadi seperti keadilan dan integritas adalah variabel independen yang menggerakkan perilaku pemimpin yang melayani (Smith, 2005: 7). Robert Greenleaf (1998) berpendapat bahwa pemimpin yang melayani dapat mempengaruhi produktivitas dalam situasi nyata sebuah organisasi. Servant leadership yang berorientasi pada kepemimpinan yang melayani, berbasis


(43)

28

pengetahuan, partisipatif, aspek tanggung jawab dalam proses, etika dan sosial dapat meredakan skandal atau konflik didalam organisasi.

Beberapa pakar telah mengemukakan pengertian Servant Leadership, diantaranya adalah Robert K. Greenleaf (1977), Sendjaya & Sarros (2002), dan Trompenaars & Voerman (2010). Greenleaf (1977: 13) mendefinisikan :

The servant leader is a servant first.... It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first. Then the conscious choice bring one to aspire to lead.... the difference manifests itself in the care taken by the servant – first to

make sure that other people’s highestpriority needs are being served.”

(Kepemimpinan pelayan adalah seseorang yang menjadi pelayan lebih dulu. Dimulai dari perasaan alami bahwa seseorang yang ingin melayani, harus terlebih dulu melayani. Kemudian pilihan secara sadar membawa sesorang untuk memimpin. Perbedaan yang jelas dalam penekanan bahwa melayani terlebih dahulu, untuk memastikan kepentingan orang lain adalah prioritas untuk dilayani). Servant Leadership merupakan gaya kepemimpinan yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya. Dimulai dari perasaan natural yang ingin melayani. Oleh karena itu, ia mendahulukan untuk melayani daripada pencapaian ambisi pribadi dan kesukaannya semata.

Sendjaya & Sarros (2002: 57) mengemukakan bahwa Servant leaders adalah pemimpin yang mengutamakan kebutuhan orang lain, aspirasi, dan kepentingan orang lain atas mereka sendiri. Servant leader memiliki komitmen untuk melayani orang lain. Trompenaars & Voerman (2010: 3) mengemukakan bahwa Servant Leadership adalah gaya manajemen dalam hal memimpin dan melayani berada dalam satu


(44)

29

harmoni, dan terdapat interaksi dengan lingkungan. Seorang servant leader adalah seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk melayani dan memimpin, dan yang terpenting adalah mampu menggabungkan keduanya sebagai hal saling memperkuat secara positif.

Menurut Kuhn (1996), ketika ada teori tidak menjelaskan fenomena yang diamati, maka teori baru diperlukan. Patterson (2003) telah mengembangkan teori kerja kepemimpinan hamba yang menciptakan sebuah platform untuk penelitian yang lebih spesifik dengan mendefinisikan nilai-nilai yang kepemimpinan hamba didasarkan nilai-nilai yang dia sebut komponen konstruksi kepemimpinan hamba. Patterson menulis tentang perlunya instrumen untuk mengukur konstruksi ini. Oleh karena itu, sebagai dukungan untuk penelitian Patterson, penelitian ini dikembangkan instrumen untuk mengukur konstruk teori Patterson kepemimpinan hamba.

Dalam pandangan Patterson, teori-teori kepemimpinan populer seperti kepemimpinan transformasional belum memadai menjelaskan nilai-nilai - misalnya, altruisme yang kadang-kadang ditunjukkan oleh pemimpin. Menurut Patterson dan Russell (2004), kepemimpinan transformasional menunjukkan pemimpin berfokus pada organisasi, dan tidak cukup untuk menjelaskan perilaku yang altruistik di alam, atau pengikut terfokus; sehingga teori kepemimpinan hamba, yang difokuskan pengikut, menjelaskan seprti perilaku. Kebajikan atau moral adalah karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang bersifat internal, hampir spiritual (Whetstone, 2001). Selanjutnya, kebajikan memiliki karakteristik etika


(45)

30

menjadi baik, sangat baik, atau layak (Henry, 1978, hal. 697). Kualitas ini mencirikan pemimpin yang melayani, yang dipandu oleh kebajikan dalam, selanjutnya disebut konstruksi. Ini konstruksi berbudi luhur menentukan pemimpin yang melayani, membentuk sikap mereka, karakteristik, dan perilaku. Jadi, menurut Patterson, definisi servant leadership adalah sebagai berikut:

Servant leadership adalah mereka yang melayani dengan fokus pada pengikut, dimana para pengikut merupakan perhatian utama dan memperhatikan organisasi yang ada disekelilingnya. Konstruksi Pemimpin yang melayani adalah kebajikan, yang didefinisikan sebagai kualitas yang baik moral dalam individu , atau kualitas kebaikan secara umum, atau keunggulan moral.

2.3.1 Karakeristik servant-leader dalam Servant Leadership

Spears (2010:27-29) mengemukakan 10 karakteristik servant leader, karakterisitik tersebut yaitu :

1) Mendengarkan (Listening)

Servant-leader mendengarkan dengan penuh perhatian kepada orang lain, mengidentifikasi dan membantu memperjelas keinginan kelompok, juga mendengarkan suara hati dirinya sendiri.

2) Empati (Empathy)

Pemimpin yang melayani adalah mereka yang berusaha memahami rekan kerja dan mampu berempati dengan orang lain


(46)

31

Servant leader mampu menciptakan penyembuhan emosional dan hubungan dirinya, atau hubungan dengan orang lain, karena hubungan merupakan kekuatan untuk transformasi dan integrasi

4) Kesadaran (Awareness)

Kesadaran untuk memahami isu-isu yang melibatkan etika, kekuasaan, dan nilai-nilai. Melihat situasi dari posisi yang seimbang yang lebih terintegrasi 5) Persuasi (Persuasion)

Pemimpin yang melayani berusaha meyakinkan orang lain daripada memaksa kepatuhan. Ini adalah satu hal yang paling membedakan antara model otoriter tradisional dengan servant leadership

6) Konseptualisasi (Conceptualization)

Kemampuan melihat masalah dari perspektif konseptualisasi berarti berfikir secara jangka panjang atau visioner dalam basis yang lebih luas

7) Kejelian (Foresight)

Jeli atau teliti dalam memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini, dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan

8) Keterbukaan (Stewardship)

Menekankan keterbukaan dan persuasi untuk membangun kepercayaan dari orang lain

9) Komitmen untuk Pertumbuhan (Commitment to the Growth of People)

Tanggungjawab untuk melakukan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan profesional karyawan dan organisasi


(47)

32

10) Membangun Komunitas (Building Community) Mengidentifikasi cara untuk membangun komunitas 2.3.2 Indikator Servant Leadership

Menurut Patterson dalam Dennis (2007), terdapat tujuh dimensi pemimpin pelayan yang memimpin dan melayani yaitu:

1) Cinta agapao; (love)

2) Bertindak dengan kerendahan hati (Humility) 3) Altruistik (Altruism)

4) Visioner bagi para pengikut (Vision) 5) Saling percaya (Trust)

6) Melayani (service)

7) Memberdayakan pengikut. (Empowerment)

Cinta agapao. Landasan hubungan yang digunakan kepemimpinan pelayan / pengikut yang Patterson gambarkan sebagai cinta agapao. Winston (2002) menyatakan bahwa agapao berarti mencintai dalam arti sosial atau moral. Menurut Winston (2002), cinta ini menyebabkan pemimpin untuk mempertimbangkan setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi sebagai orang yang lengkap: satu dengan kebutuhan, keinginan, dan keinginan. Menurut Winston, cinta ini masih hidup dan baik hari ini di organisasi di mana orang-orang yang melakukan itu mengikuti apa yang disebut oleh Winston, tidak merupakan Golden Rule, tapi Platinum Role (lakukan kepada orang lain seperti mereka ingin Anda lakukan kepada mereka). Mitroff dan Denton (1999, hal. 149) menulis tentang pentingnya organisasi


(48)

33

berbasis nilai dan mengatakan bahwa Golden Rule lakukan kepada orang lain seperti Anda ingin mereka lakukan kepadamu berlaku untuk semua. Untuk Winston (2002), hal yang sama berlaku Platinum Role, karena ia pendukung dalam karyanya pada Ucapan Bahagia. Swindoll (1981) menyatakan bahwa kehambaan dan tangan kerja cinta sejati di tangan. Demikian juga, Ferch dan Mitchell (2001) advokat cinta sebagai tujuan bagi para pemimpin, dan Crom (1998) menunjukkan bahwa pemimpin yang melayani benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikut. Russell dan Batu (2002) mengandaikan bahwa cinta tak bersyarat untuk pemimpin yang melayani.

Kerendahan hati. Kerendahan hati, menurut Sandage dan Wiens (2001), adalah kemampuan untuk menjaga prestasi dan bakat seseorang dalam perspektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi lebih mencakup praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti tidak berfokus pada diri melainkan terfokus pada orang lain. Swindoll (1981) berpendapat bahwa kerendahan hati hamba tidak akan disamakan dengan miskin harga diri, melainkan kerendahan hati yang sejalan dengan ego yang sehat. Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki pandangan yang rendah diri sendiri atau seseorang nilai diri; bukan, itu berarti melihat diri sendiri sebagai tidak lebih baik atau lebih buruk daripada yang lain lakukan. Pemimpin hamba melihat kerendahan hati sebagai mencerminkan penilaian diri yang akurat dan, karena itu, mempertahankan diri fokus relatif rendah (Tangney, 2000). Untuk Crom (1998, hal. 6), pemimpin yang efektif adalah mereka yang menjaga kerendahan hati mereka dengan menunjukkan rasa hormat terhadap karyawan dan mengakui


(49)

34

kontribusi mereka kepada tim. Di sisi lain, untuk DiStefano (1995, p. 63), kerendahan hati jelas dalam penerimaan pemimpin hamba misteri dan kenyamanan dengan ambiguitas.

Altruism. Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih hanya demi membantu, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Eisenberg (1986, p. 1) mendefinisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain dan tidak termotivasi oleh harapan imbalan eksternal. Elster (1990), berpendapat bahwa tidak semua tindakan altruistik dilakukan karena cinta, dan, dalam hal apapun, bahwa mereka termasuk ukuran kepentingan. Bagi orang lain, altruisme datang dalam berbagai jenis atau rentang perilaku. Jencks (1990) ada tiga jenis altruism: tegas, komunikatif, dan moralistik. Oliner, di sisi lain, altruism melibatkan berbagai perilaku sepanjang kontinum berjalan dari yang kecil sampai yang paling perilaku mengorbankan diri: pada salah satu ujung terletak altruism konvensional dan di sisi lain altruism heroik, di mana altruistik aktor bersedia untuk menyerahkan hidupnya bagi orang lain. Monroe (1994, p. 862), yang berlaku teori kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, berfokus pada faktor-faktor seperti identitas, persepsi diri, pandangan dunia, dan empati. Monroe mendefinisikan definisi nya sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain, bahkan ketika melakukan itu mungkin memerlukan risiko atau pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.


(50)

35

Visi . Blanchard (2000, p.5) mendefinisikan visi sebagai gambaran masa depan yang menghasilkan gairah. Visi perlu kepemimpinan yang baik. Hauser dan House (2000, p. 258) mengandaikan bahwa perkembangan dan komunikasi dari visi adalah salah satu penjelasan untuk keberhasilan karismatik pemimpin / transformasional dan efeknya pada kinerja. Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka). Selain itu, pemimpin yang melayani membangun visi perusahaan dari visi mereka sendiri pribadi (Fairholm, 1997, hal. 198). Sementara Conger (1992) berpendapat mengantisipasi kebutuhan untuk perubahan dan bertindak di muka, merupakan salah satu metode membawa visi ke dalam fokus. Bennett (2001) berpendapat bahwa pemimpin yang melayani harus bermimpi sambil tetap di masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Buchen (1998) juga menunjukkan bahwa fokus pada negara masa depan sangat penting untuk model yang Greenleaf dan bahwa pemimpin pelayan harus disibukkan dengan masa depan. Menurut Kouzes dan Posner (1997, p. 4), pemimpin bernapas kehidupan ke visi mereka dan mendapatkan orang-orang untuk melihat kemungkinan menarik untuk masa depan. Berkaitan visi dan kerendahan hati, Buchan (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani tidak begitu penuh diri untuk memungkinkan ego mereka untuk mendapatkan di jalan kemampuan mereka untuk membayangkan masa depan perusahaan. Bennis (. 2002, p 105) menyatakan bahwa pemimpin harus menciptakan


(51)

36

visi bersama dengan makna - visi yang melibatkan para pemain di pusat daripada di pinggiran. Muda (2002) menulis ini mengarah ke mengembangkan rencana terukur.

Kepercayaan. Menurut Hauser dan House (2000, p. 230), kepercayaan didefinisikan sebagai kepercayaan atau kepercayaan antar anggota tim dalam hal moralitas mereka (misalnya kejujuran) dan kompetensi. Menurut Cerita (2002), kepercayaan merupakan karakteristik penting dari pemimpin yang melayani. Model kebenaran pemimpin yang melayani dengan cara melatih mereka, memberdayakan, dan membujuk. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk kepemimpinan sejati. Namun, kepercayaan melibatkan unsur ketidakpastian, menurut Gautschi (2000), untuk kepercayaan, kehadiran seseorang kemungkinan bisa menjadi kecewa. Russell (2001) berpendapat bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran membangun kepercayaan interpersonal dan organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam kepemimpinan yang melayani. Fairholm (1997, hal. 107) menyatakan bahwa kepercayaan adalah selalu hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selanjutnya, Melrose (1998, hal. 292) menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa yang mereka katakan, yang menimbulkan kepercayaan. Selain itu, keterbukaan pemimpin untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan seorang pemimpin (Kouzes dan Posner, 1997). Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin yang perilaku yang konsisten dan dapat dipercaya dan yang dapat terhubung dengan aspirasi mereka (Kouzes dan Posner, 1993a).


(52)

37

Pelayanan. Meliputi tanggung jawab kepada orang lain (Wis, 2002). Pemimpin memahami bahwa layanan adalah pusat kepemimpinan yang melayani (Russell dan Batu, 2002). Pemimpin memodelkan layanan mereka kepada orang lain dalam perilaku mereka, sikap, dan nilai-nilai (Lytle et al., 1998). Menurut Block (1993), layanan adalah segalanya. Orang yang bertanggung jawab kepada mereka yang mereka layani apakah pelanggan atau bawahan. Greenleaf (1996) berpendapat bahwa untuk pemimpin untuk melayani orang lain, mereka harus memiliki rasa tanggung jawab.

Pemberdayaan. Pemberdayaan mempercayakan kekuatan untuk orang lain, dan untuk pemimpin hamba melibatkan mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja tim, dan menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Batu, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai panutan bagi memberdayakan orang lain dan untuk menilai perbedaan mereka. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002, hal. 144) berpendapat bahwa memahami asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting memberdayakan masyarakat untuk menemukan makna yang lebih dalam pekerjaan mereka dan untuk berpartisipasi lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Ciulla (1998, hal. 84) membedakan antara pemberdayaan palsu dan pemberdayaan. Pemberdayaan gadungan mencoba untuk memberikan karyawan atau pengikut kekuasaan tanpa mengubah hubungan moral antara pemimpin dan pengikut. Pemberdayaan mengubah


(53)

38

hak, tanggung jawab, dan tugas dari pemimpin serta pengikut. Servant-leader adalah orang-orang pilihan yang dipilih berdasarkan suatu kelebihan yang menyebabkan pemimpin tersebut mendapatkan kepercayaan.

Liden, Wayne, Zhao, dan Henderson (2008) menyebutkan 3 hal yang mempengaruhi Servant Leadership, yaitu Context and Culture, Leader Attributes, dan Follower Receptivity. Context and Culture merupakan kondisi yang diwujudkan oleh konteks organisasi dan dimensi budaya dalam organisasi. Leader Attributes, pengaruh karakter dengan kemampuan untuk menerapkannya dalam Servant Leadership (mencakup pengembangan moral dan kecerdasan emosional) dan Follower Receptivity yaitu daya penerimaan karyawan, merupakan kondisi yang sesuai dengan harapan karyawan, maka Servant Leadership akan memberi efek positif pada kinerja dan OCB.

Liden et al (2008) juga menyebutkan 3 hasil (outcomes) dari Servant Leadership. Outcomes tersebut yaitu follower performance and growth, organizational performance, dan societal impact. Servant Leadership dapat meningkatkan kinerja karyawan, dengan cara mengakui kontribusi karyawan dan membantu karyawan untuk percaya pada potensi dirinya, dan memberi kesan menyenangkan. Berikutnya adalah organizational performance, bahwa terdapat hubungan positif antara Servant Leadership dan OCB dalam meningkatkan kinerja organisasi. Servant Leadership

menumbuhkan pemikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk

mengembangkan diri. Peningkatan kemampuan akan meningkatkan kinerja dan mendukung efektivitas organisasi. Societal impact, bahwa Servant Leadership


(54)

39

membawa pengaruh positif kepada masyarakat. Pemikiran terbuka, peduli, berfikir jangka panjang dan bijak dalam mengambil keputusan akan membangun kepercayaan orang-orang dan masyarakat.


(1)

kontribusi mereka kepada tim. Di sisi lain, untuk DiStefano (1995, p. 63), kerendahan hati jelas dalam penerimaan pemimpin hamba misteri dan kenyamanan dengan ambiguitas.

Altruism. Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih hanya demi membantu, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Eisenberg (1986, p. 1) mendefinisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain dan tidak termotivasi oleh harapan imbalan eksternal. Elster (1990), berpendapat bahwa tidak semua tindakan altruistik dilakukan karena cinta, dan, dalam hal apapun, bahwa mereka termasuk ukuran kepentingan. Bagi orang lain, altruisme datang dalam berbagai jenis atau rentang perilaku. Jencks (1990) ada tiga jenis altruism: tegas, komunikatif, dan moralistik. Oliner, di sisi lain, altruism melibatkan berbagai perilaku sepanjang kontinum berjalan dari yang kecil sampai yang paling perilaku mengorbankan diri: pada salah satu ujung terletak altruism konvensional dan di sisi lain altruism heroik, di mana altruistik aktor bersedia untuk menyerahkan hidupnya bagi orang lain. Monroe (1994, p. 862), yang berlaku teori kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, berfokus pada faktor-faktor seperti identitas, persepsi diri, pandangan dunia, dan empati. Monroe mendefinisikan definisi nya sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain, bahkan ketika melakukan itu mungkin memerlukan risiko atau pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.


(2)

Visi . Blanchard (2000, p.5) mendefinisikan visi sebagai gambaran masa depan yang menghasilkan gairah. Visi perlu kepemimpinan yang baik. Hauser dan House (2000, p. 258) mengandaikan bahwa perkembangan dan komunikasi dari visi adalah salah satu penjelasan untuk keberhasilan karismatik pemimpin / transformasional dan efeknya pada kinerja. Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka). Selain itu, pemimpin yang melayani membangun visi perusahaan dari visi mereka sendiri pribadi (Fairholm, 1997, hal. 198). Sementara Conger (1992) berpendapat mengantisipasi kebutuhan untuk perubahan dan bertindak di muka, merupakan salah satu metode membawa visi ke dalam fokus. Bennett (2001) berpendapat bahwa pemimpin yang melayani harus bermimpi sambil tetap di masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Buchen (1998) juga menunjukkan bahwa fokus pada negara masa depan sangat penting untuk model yang Greenleaf dan bahwa pemimpin pelayan harus disibukkan dengan masa depan. Menurut Kouzes dan Posner (1997, p. 4), pemimpin bernapas kehidupan ke visi mereka dan mendapatkan orang-orang untuk melihat kemungkinan menarik untuk masa depan. Berkaitan visi dan kerendahan hati, Buchan (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani tidak begitu penuh diri untuk memungkinkan ego mereka untuk mendapatkan di jalan kemampuan mereka untuk membayangkan masa depan perusahaan. Bennis (. 2002, p 105) menyatakan bahwa pemimpin harus menciptakan


(3)

visi bersama dengan makna - visi yang melibatkan para pemain di pusat daripada di pinggiran. Muda (2002) menulis ini mengarah ke mengembangkan rencana terukur.

Kepercayaan. Menurut Hauser dan House (2000, p. 230), kepercayaan didefinisikan sebagai kepercayaan atau kepercayaan antar anggota tim dalam hal moralitas mereka (misalnya kejujuran) dan kompetensi. Menurut Cerita (2002), kepercayaan merupakan karakteristik penting dari pemimpin yang melayani. Model kebenaran pemimpin yang melayani dengan cara melatih mereka, memberdayakan, dan membujuk. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk kepemimpinan sejati. Namun, kepercayaan melibatkan unsur ketidakpastian, menurut Gautschi (2000), untuk kepercayaan, kehadiran seseorang kemungkinan bisa menjadi kecewa. Russell (2001) berpendapat bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran membangun kepercayaan interpersonal dan organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam kepemimpinan yang melayani. Fairholm (1997, hal. 107) menyatakan bahwa kepercayaan adalah selalu hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selanjutnya, Melrose (1998, hal. 292) menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa yang mereka katakan, yang menimbulkan kepercayaan. Selain itu, keterbukaan pemimpin untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan seorang pemimpin (Kouzes dan Posner, 1997). Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin yang perilaku yang konsisten dan dapat dipercaya dan yang dapat terhubung dengan aspirasi mereka (Kouzes dan Posner, 1993a).


(4)

Pelayanan. Meliputi tanggung jawab kepada orang lain (Wis, 2002). Pemimpin memahami bahwa layanan adalah pusat kepemimpinan yang melayani (Russell dan Batu, 2002). Pemimpin memodelkan layanan mereka kepada orang lain dalam perilaku mereka, sikap, dan nilai-nilai (Lytle et al., 1998). Menurut Block (1993), layanan adalah segalanya. Orang yang bertanggung jawab kepada mereka yang mereka layani apakah pelanggan atau bawahan. Greenleaf (1996) berpendapat bahwa untuk pemimpin untuk melayani orang lain, mereka harus memiliki rasa tanggung jawab.

Pemberdayaan. Pemberdayaan mempercayakan kekuatan untuk orang lain, dan untuk pemimpin hamba melibatkan mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja tim, dan menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Batu, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai panutan bagi memberdayakan orang lain dan untuk menilai perbedaan mereka. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002, hal. 144) berpendapat bahwa memahami asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting memberdayakan masyarakat untuk menemukan makna yang lebih dalam pekerjaan mereka dan untuk berpartisipasi lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Ciulla (1998, hal. 84) membedakan antara pemberdayaan palsu dan pemberdayaan. Pemberdayaan gadungan mencoba untuk memberikan karyawan atau pengikut kekuasaan tanpa mengubah hubungan moral antara pemimpin dan pengikut. Pemberdayaan mengubah


(5)

hak, tanggung jawab, dan tugas dari pemimpin serta pengikut. Servant-leader adalah orang-orang pilihan yang dipilih berdasarkan suatu kelebihan yang menyebabkan pemimpin tersebut mendapatkan kepercayaan.

Liden, Wayne, Zhao, dan Henderson (2008) menyebutkan 3 hal yang mempengaruhi Servant Leadership, yaitu Context and Culture, Leader Attributes, dan Follower Receptivity. Context and Culture merupakan kondisi yang diwujudkan oleh konteks organisasi dan dimensi budaya dalam organisasi. Leader Attributes, pengaruh karakter dengan kemampuan untuk menerapkannya dalam Servant Leadership (mencakup pengembangan moral dan kecerdasan emosional) dan Follower Receptivity yaitu daya penerimaan karyawan, merupakan kondisi yang sesuai dengan harapan karyawan, maka Servant Leadership akan memberi efek positif pada kinerja dan OCB.

Liden et al (2008) juga menyebutkan 3 hasil (outcomes) dari Servant Leadership. Outcomes tersebut yaitu follower performance and growth, organizational performance, dan societal impact. Servant Leadership dapat meningkatkan kinerja karyawan, dengan cara mengakui kontribusi karyawan dan membantu karyawan untuk percaya pada potensi dirinya, dan memberi kesan menyenangkan. Berikutnya adalah organizational performance, bahwa terdapat hubungan positif antara Servant Leadership dan OCB dalam meningkatkan kinerja organisasi. Servant Leadership menumbuhkan pemikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Peningkatan kemampuan akan meningkatkan kinerja dan mendukung efektivitas organisasi. Societal impact, bahwa Servant Leadership


(6)

membawa pengaruh positif kepada masyarakat. Pemikiran terbuka, peduli, berfikir jangka panjang dan bijak dalam mengambil keputusan akan membangun kepercayaan orang-orang dan masyarakat.