Sistem Presidensial di Indonesia

Perkembangan penerapan sistem multipartai pada masa reformasi disertai dengan karakteristik rendahnya tingkat pelembagaan partai, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi sebagai akibat dari sulitnya mencapai suara mayoritas di parlemen. Dan lebih jelasnya karakteristiristik yang menyertai perjalanan reformasi di Indonesia, pertama, konvergensi dan konflik internal partai yang ditandai dengan selalu berubahnya jumlah partai politik dan fenomena perpecahan atau konflik intenal partai. Kedua, suburnya oligarki elite dan personalisasi figur untuk beberapa kasus partai politik dalam organisasi partai politik serta disloyalitas politisi dan sentralisasi struktur organisasi partai politik. Ketiga, konfigurasi kekuatan politik diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi sehingga menyebabkan sulitnya mencapai suara mayoritas. Keempat, munculnya koalisi partai dengan ikatan yang bersifat sementara, yang didasarkan oleh kepentingan segelintir elit partai bukan dikarenakan kesamaan ideologi dan tujuan partai.

II.2. Sistem Presidensial di Indonesia

Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system yang berarti kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengait satu sama lain. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti, Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatu, pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara, pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah. Dalam memahami dalam arti yang luas, pemerintahan adalah ada pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling berhubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan. 43 43 Inu kencana syafiie. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta : Rineke Cipta. 1994. Hal.11. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar-lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Dan jika ditinjau dari struktur fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi negara yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi terciptanya tujuan negara. Lalu ditinjau dari aspek tugas dan kewenangan negara, pemerintah berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Menurut ketiga bahasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa pemerintahan merupakan segala kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang negara. 44 Sejarah pemerintahan Indonesia dimulai dengan terpilihnya Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia yang pertama atas dasar undang – undang 1945 pada tnggal 18 Agustus 1945. Terpilihnya Ir. Soekarno Dan Drs. Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden melengkapi kesempurnaan organisasi Negara Indonesia. Sistem pemerintahan dan 44 Ramlan Surbakti. Op.Cit. Hal:215 Universitas Sumatera Utara kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang 1945 selama kurun waktu tahun 1945-1949 belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hal itu terjadi karena selain Indonesia baru merdeka dan belum begitu terjadi karena selain Indonesia baru merdeka dan belum begitu siap semua infrastruktur dan supratrukturnya, juga karena Belanda masih berkeinginan untuk menjajah Indonesia kembali. Dalam kurun waktu tersebut sempat diangkat anggota Dewan Pertimbangan Agung sementara, sedangkan MPR dan DPR belum di bentuk. saat itu masih terus diberlakukan ketentuan peralihan pasal IV UUD 1945, yaitu sebelum majelis dari MPR dan DPR dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut undang – undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan komite nasional, berdasarkan usul Badan kerja komite nasional Indonesia pusat pada tanggal 11 November 1945 yang disetujui oleh Presiden diumumkan dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, bahwa sistem kabinet presidensil diganti dengan sistem parlementer. Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dipegang perdana oleh perdana mentri sebagai pimpinan kebinet dengan para mentri sebagai anggota cabinet secara bersama atau sendiri – sendiri. Perdana Mentri dan para mentri bertanggung jawab kepada KNPI yang berfungsi sebagai DPR tidak bertanggung jawab kepada presiden seperti yang dikehendaki oleh sistem undang-undang Dasar 1945. Setelah perang mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan belanda yang mau menjajah Indonesia kembali pada tahun 1948 Bentuk Negara federasi Republik Indonesia serikat yang telah diubah berdasarkan konstitusi RIS, UUD 1945 hanya berlaku di Negara RI yang meliputi sebagian pulau jawa dan sumatera dengan ibu kota Yogyakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1950 negara federasi Republik Indonesia serikat kembali kenegara kesatuan Republik Indonesia Menurut undang-undang tersebut sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan perlementer. Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab Universitas Sumatera Utara politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai- partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi. 45 Dalam Sistem Parlementer saat itu kabinet yang dibangun tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Sistem parlementer dianggap tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan, akibat Presiden dan wakil presiden hanya sekedar presiden dan wakil presiden konstitusional. Jalannya pemerintahan dilakasanakan dan dipertanggung jawabkan oleh para mentri keparlemen. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya Pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 45 dan tidak berlakunya UUDS 195 dan pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir. Pada periode pemerintahan seokarno pasca Dekrit presiden 1959 kekuasaan didominasi oleh Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan makin meluasnya peranan TNIPolri sebagai unsur sosial poltik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat dan bahkan bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada 45 Miriam Budiarjo., op.,cit. Hal.70. Universitas Sumatera Utara kekuasaannya, kondisi seperti ini berlangsung sampai pada tahun 1966 ketika rezim pemerintahan soekarno berakhir dan memasuki era orde baru. Pemerintahan Indonesia pada masa Orde baru, Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun, kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden, parlemen terdiri atas 2 bagian bikameral, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan Dewan Perwakilan Daerah DPD. Sistem pemerintahan negara Indonesia pada zaman Orde Baru, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan pada Orde Baru adalah presidensial karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan sehingga kekuasaan presiden soeharto juga dianggap meengarah ke proses diktator, pemerintahan Soeharto meletakkan ABRI, Birokrasi dan Golongan Karya sebagai elemen utama dalam pemerintahannya. Pemerrintahan orde baru berlangsung sejak tahun 1967-1998. Setelah reformasi bergulir 1998, terjadi suatu perubahan struktur ketatanegaraan secara bertahap yaitu dengan mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 empat kali 1999-2002. Dimana dulu ada lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dengan diamandemennya UUD 1945 maka tidak ada lagi lembaga negara yang mendominasi. Sekarang antar lembaga negara hanya ada prinsip check and balance dan tidak ada prinsip saling mebawahi seperti dulu. salah satu agenda reformasi selain bagaimana mengutkan demokratisasi yang ada diindonesia adalah bagaimana juga menguatkan sistem presidensial eksekutif heavy diindonesia, tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi juga kesewenang-wenangan oleh presiden abuse of power. Tetapi yang menjadi Universitas Sumatera Utara suatu masalah yang dihadapi negeri ini setelah reformasi adalah banyaknya partai politik yang mendominasi sehingga indonesia menganut sistem partai yang majemuk multiparty system. Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem partai yang ada di Indonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuman ada 3 tiga partai sekarang menajdi banyak partai multiparty system. 46 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi yang mendasari sistem politik indonesia, sistem yang digunakan dalam hal ini yaitu sistem Presidensial, yang di era kekuasaan pada Presiden sedemikian besar sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan kekuasaan politik itu sebahagian besar ada ditangan Presiden. Hal ini akan memberikan konskuensi yaitu melemahnya peranan parpol dan parlemen. Dalam ketentuan sistem politik Indonesia berkaitan dengan negara Indonesia yaitu negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan sistem ketatanegaraan yang menetapkan bahwa seluruh wilayah negara tanpa kecuali merupakan kesatuan wilayah administrasi hukum. Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945 yang sebelum amandemen yang menganut sistem Presidensial, untuk memahami suasana itu dapat ditandai dengan beberapa hal yaitu Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Namun ketika reformasi bergulir banyak perubahan yang dilakukan mengenai kekuasaan eksekutif yaitu melalui empat kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. 47 Sejak tahun 2004 Presiden dipilih melalui mekanisme pemilu Perubahan penting dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan hasil amandemen Undang- undang Dasar 1945 diantaranya adalah masalah sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan kedaulatan rakyat. Hasil amandemen UUD 1945 lalu mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih 46 Sri Edi Swasono. Dari lengser ke lengser. Jakarta : Universitas Indonesia. 2001. Hal. 67. 47 Firmanzah. Mengelola partai politik. Jakarta : yayasan Obor. 2008. Hal. 120. Universitas Sumatera Utara dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003. tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 48 Sistem pemerintahan presidensial di era reformasi harus didukung oleh kewenangan konstitusional yang memadai. Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan konstitusional presiden nyaris tanpa batas. Pada era itulah kewenangan konstitusional presiden sangat besar diberikan oleh UUD 1945, sehingga disebut sebagai executive heavy constitution. Pasca reformasi, kewenangan konstitusional presiden dikurangi di segala lini. Tidak cukup hanya dengan pengurangan, kewenangan presiden juga dikontrol dari segala penjuru. Pengurangan dan pembatasan demikian tentu perlu, untuk menghindari agar presiden tidak menjadi pemimpin yang diktator. Tapi, pada saat yang sama, pengurangan dan pembatasan itu harus dijaga agar tidak berubah menjadi penciptaan presiden minim kekuasaan. Tanpa kewenangan yang memadai, presiden pasca perubahan akan terjadi paradoks. Secara legitimasi politis, yuridis dan sosiologis lebih kuat, namun secara faktual tidak mempunyai kewenangan maupun dukungan politik yang memadai untuk memerintah. Dengan pemilihan presiden langsung, presiden terpilih memiliki legitimasi yang lebih kuat. . Sistem pemerintahan model apapun membutuhkan dukungan politik di parlemen yang mayoritas. Tanpa dukungan politik mayoritas di parlemen, sistem pemerintahan apapun cenderung tidak efektif. Pembatasan kewenangan presiden dan membaiknya sistem saling control saling imbang adalah suatu hal yang penting untuk menjaga presiden tidak menjadi diktator. Namun, itu bukan berarti presiden dapat dibiarkan tanpa dukungan politik yang memadai. Justru, dalam 48 Hendarmin Ranadierksa., op.,cit. Hal. 156. Universitas Sumatera Utara mekanisme checks and balances yang baik, tidak hanya ada unsur kontrol checks, tetapi yang tidak kalah penting adalah unsur keseimbangan dukungan balances. Pemerintah tanpa dukungan mayoritas suara di parlemen adalah presiden yang minoritas minority president, dan yang terbentuk adalah pemerintahan terbelah divided government. 49 Presiden harus meminta persetujuan DPR dalam mengambil sebuah kebijakan.Dan sistem pemerintahan terdiri atas dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, namun dalam hal ini fokus dalam pembahasan adalah sistem presidensial dii Indonesia. Dalam sistem presidensial badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Dengan demikian pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta faktor-faktor lain yang dianggap penting. Sistem ini terdapat di Amerika Serikat, Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar 1958-1969, dan Indonesia di bawah UUD 1945. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia pasca Reformasi 1998 dimana Kekuasaan Presiden dan kekuasaan legislative mengalami perimbangan kekuasaan. 50 Prinsip-prinsip dasar atau ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu Majelis tetap menjadi majelis saja, tidak ada peleburan fungsi eksekutif dan legislatif, eksekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, dan dibatasi untuk beberapa kali masa jabatan, kepala pemerintahan adalah kepala negara, presiden mengangkat kepala departemenmenteri yang merupakan bawahannya, presiden adalah eksekutif tunggal, pemerintahan presidensial 49 Koiruddin., op.,cit. Hal.145. 50 Prof. Miriam Budiardjo. Op.Cit. Hal.303 Universitas Sumatera Utara cenderung bersifat individual, anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya, eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi. Majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tidak percaya, presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Majelis tidak dapat mencopot presiden dari jabatannya, begitupun presiden tidak dapat membubarkan majelis. Sistem ini merupakan sistem check and balance. Sistem ini memperlihatkan ketergantungan antara eksekutif dan legislatif, majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlemen. Badan eksekutif dan legislatif akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tak satupun yang lebih dominan, eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih. Pemerintah presidensial bergantung pada suara rakyat, apabila anggota majelis mewakili konstituennya, maka presiden mewakili seluruh rakyat, tidak ada fokuskonsentrasi kekuasaan dalam sistem politik, yang ada adalah pembagianfragmentasi kekuasaan. Dalam sistem presidensial peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik. Oleh karena itu, jabatan presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang berarti bahwa presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. Dalam sistem ini presiden dipilih oleh rakyat maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepada rakyat pemilih sehingga kedudukan eksekutif tidak bergantung pada parlemen. Sebagaimana dengan ajaran Trias Politica tugas badan eksekutif merupakan peyelenggara undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Di negara demokratis badan eksekutif merupakan kepala negara beserta menterimenterinya. Eksekutif dijadikan pelaku utama kekuasaan negara. Dalam sisitem Presidensil menteri-menteri merupakan pembantu Presiden dan langsung dipimpin oleh Universitas Sumatera Utara Presiden. Dalam Sistem Presidensil Presiden memperoleh mandat dari rakyat dan oleh karenanya bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam sistem ini program eksekutif sepenuhnya merupakan tanggung jawab Presiden dengan rakyat. Demikian juga pembentukan kabinet dalam sistem presidensil didasarkan sepenuhnya kepada pilihan Presiden yang umumnya dipilih berdasarkan criteria yang profesional yang disebut kabinet keahlian Sistem pemerintahan Presidensil memiliki tiga karakteristik yang mendasar yaitu : 1. Presiden dipilih langsung oleh rakayat atau melalui dewan pemilih untuk periode tertentu dengan masa jabatan yang pasti dan bertanggug jawab kepada rakyat. Presiden tidak bertanggug jawab kepada legislative. 2. Presiden tidak dapat diberhentikan dengan mosi tidak percaya dengan alasan politik politik oleh legislatif. Presiden hanya dapat diberhentikan oleh impeachment karena telah melanggar suatu haluan negara. 3. Presiden merupakan Kepala Negara eksekutif tunggal. Presiden berada pada posisi yang kuat dan memiliki kekuasaan yang luas dalam menentukan kebijakan publik dalam batas-batas rambu undang-undang. 51 Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen. Komposisi kabinet dalam sistem presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai yang berarti sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri tidak didasarkan pada latar belakang politik tetapi pada penilaian visi, pengetahuan dan kemampuan mengelola departemen.Dalam sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku kepala negara presiden 51 Hendarmin Ranadierksa, Op.Cit., hal 127 Universitas Sumatera Utara adalah simbol representasi negara atau simbol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab penuh pada jalannya pemerintahan. Pilpres yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2004 merupakan pemilihan yang pertama yang dilakukan secara langsung dipilih oleh rakyat. Alasan utama mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial adalah preseden dalam Pemilu 1999, dimana PDIP sebagai partai pemenang ternyata gagal meraih jabatan Presiden melalui pemungutan suara di MPR. Sebaliknya sebagaimana telah dilihat, banyak partai yang membentuk satu koalisi, mencalonkan seorang presiden dari partai yang jauh lebih kecil, dan mengalahkan calon dari partai yang memiliki suara terbanyak. Pilpres tak langsung ini memunculkan ketidakpuasan ditingkat elit dan kalangan publik. Banyak kelompok di masyarakat yang mengungkapkan kekecewaannya melihat proses pilpres di MPR itu lebih mencerminkan kepentingan elit daripada pemilih. Menanggapi semua kritik dan kekecewaan itu, MPR mengamandemen konstitusi pada 2001 demi mengakomodasi gagasan pilpres langsung. Amandemen ini menandai transformasi kesistem presidensial. Dua tahun kemudian DPR mengeluarkan undang-undang baru tentang pilpres yang memberikan panduan proseduralnya. Salah satu syarat pentingnya adalah para calon presiden Capres harus berasal dari partai politik dan tidak memberi kesempatan kepada calon independen. Undang-undang itu juga menetapkan kriteria kelayakan bahwa hanya partai dengan minimal tiga persen kursi parlemen atau lima persen dari total suara yang dapat mengajukan capres sendiri. Sebaliknya partai yang tidak memenuhi kriteria ini diperbolehkan mengajukan calon jika mampu membentuk koalisi hingga memenuhi ambang batas tersebut. Secara prosedural, pilpres ini digelar dua putaran. Hanya pasangan Capres- Cawapres yang memperoleh suara terbanyak pada urutan pertama dan kedua yang diizinkan bersaing dalam putaran kedua. Universitas Sumatera Utara Kriteria kelayakan tersebut, beserta hasil Pemilu legislatif 2004, memaksa mayoritas partai membentuk koalisi. Jelas, partai-partai menengah dann kecil sulit memenangi Pilpres jika mereka menghindari koalisi. Oleh sebab itu, demi kemenangan politik, semua partai, termasuk dua partai besar terbesar, yaitu Golkar dan PDIP membentuk koalisi. Namun melihat empat koalisi partai pendukung yang muncul dan melihat latarbelakang pasangan Capres-Cawapres dipanggung politik. Dari koalisi tersebut hampir tidak ada koalisi yang murni berbasis ideologi. Dan tiap pasangan Capres-Cawapres merupakan kombinasi dari pemimpin partai dan tokoh terkenal yang mewakili kedua spektrum ideologis, yaitu sekulernasionalis dan Islam. 52 Tabel 1. Peta Koalisi Partai Politik dalam Pemilihan Presiden 2004 Putaran Pertama Namun pasangan Hamzah Haaz dan Agum Gumelar hanya diusung PPP tanpa berkoalisi dengan partai lainnya. Karena itu, pasangan ini tidak diusung koalisi partai politik. Koalisi Partai Capres-Cawapres Suara Partai Suara Capres P. Golkar, PKB, PKPB, PPNUI, Patriot Pancasila Wiranto- Shalahudin Wahid 40.838.360 26.286.788 PDIP, PDS Megawati-Hasyim Muzadi 23.392.511 31.569.104 PAN, PBR, PKS, PSI, PPDI, PNBK, PBSD, PNI Marhaenisme Amien Rais-Siswono Yudhohusodo 22.718.462 17.392.931 Partai Demokrat, PBB, PKPI Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 12.849.952 39.838.184 Sumber: httpwww.kpu.go.id 52 Kuskridho Ambardi. Mengungkap politik kartel. 2009. Jakarta : KPG Hal. 252. Universitas Sumatera Utara Kekuatan koalisi pertama merupakan koalisi partai pengusung dan pendukung pasangan Wiranto-Shalahudin Wahid yang terdiri atas PKB, PKPB, PPNUI, Partai Patriot Pancasila, dan Partai Golkar. Partai-partai ini merupakan partai yang berada dalam titik tengah garis sekuler-islam, yang masing-masing dapat bergerak kekutub sekuler maupun Islam. Jika asumsinya mesin politik partai dapat berjalan dengan optimal, berdasarkan akumulasi perolehan suara partai pada pemilu legislatif, akumulasi kekuatan partai politik ini lebih dari 40 juta suara rakyat. Namun, nyatanya hasil pemilihan presiden putaran pertama, pasangan Wiranto-Shalahudin Wahid yang didukung koalisi besar itu tidak mencapai 15 juta suara pemilih. Padahal komposisi kekuatan koalisi ini merupakan koalisi terbesar berdasarkan perolehan suara pada pemilu legislatif. Kekuatan koalisi kedua merupakan koalisi dua partai antara PDIP dan PDS. Koalisi ini merupakan pendukung pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Kedua partai tersebut merupakan partai sekulernasional. PDS yang didirikan setelah Pemilu 1999 adalah partai berbasis Kristen. Suara yang diperoleh pasangan ini justru melebihi akumulasi perolehan suara PDIP dan PDS yang hanya sekitar 23 juta suara. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama, pasangan yang didukung koalisi dua partai ini menapai lebih dari 31 juta pemilih. Selanjutnya koalisi ketiga tergabung dalam koalisi pendukung pasangan Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. Koalisi partai politik ini merupakan koalisi yang paling banyak jumlah partainya, terutama partai-partai kecil. Anggota koalisi ini, antara lain PAN, PBR, PSI, PNI Marhaenisme, PPDI, PNBK, PBSD, dan terakhir PKS ikut bergabung beberapa hari menjelang pemungutan suara. Akumulasi perolehan suara partai pada pemilu legislatif yang tergabung dalam koalisi ini hampir 23 juta. Namun hasil pemungutan suara pemilihan presiden putaran pertama, pasangan ini hanya memperoleh sekitar 17 juta pemilih. Universitas Sumatera Utara Dan terakhir koalisi keempat adalah koalisi pendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Koalisi ini terdiri atas tiga partai, yaitu Partai Demokrat, PBB, dan PKPI. Selisih antara akumulasi perolehan suara partai koalisi pada pemilu legislatif dengan perolehan pasangan calon ini sangat jauh. Total gabungan suara Partai Demokrat, PBB, dan PKPI di pemilu legislatif tidak mencapai 13 juta pemilih, tetapi pada pemilihan presiden putaran pertama pasangan ini mampu menghasilkan suara 40 juta dan berada pada posisi tingkat pertama dari kelima pasangan. Koalisi ini bahkan berhasil mengantarkan calonnya menuju pemilihan presiden putaran kedua yang bersaing dengan pasangan Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi. Universitas Sumatera Utara BAB III ANALISIS DATA

III. 1. Rapuhnya ikatan koalisi di DPR

Koalisi merupakan suatu gabungan, persekutuan atau aliansi beberapa unsur dari berbagai latar belakang yang mana dalam bekerjasama, setiap unsur mempunyai kepentinganyang berbeda-beda. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam sejarah pemerintahan, umumnya negara yang menganut sistem multipartai roda pemerintahannya dibangun atas koalisi sejumlah partai politik. Hal ini disebabkan karena dukungan suara yang diberikan oleh warga negara dalam pemilihan umum terpecah-pecah melalui banyak partai sehingga sangat sulit dicapai suara mayoritas. Koalisi adalah praktik yang sangat lumrah dalam perpolitikan sebuah negara demokrasi. 53 Koalisi berhubungan dengan proses sosial yang tidak lepas dari interaksi- interaksi sosial dan politik yang termasuk dalam kondisi bargaining yang mana hal ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua atau lebih individu maupun kelompok yang tujuan akhirnya mencapai kesepakatan harga bila dalam konteks ekonomi, dalam konteks politik sering disebut politik dagang sapi yang tujuan akhirnya adalah berupa kesepakatan kedudukan-kedudukan apa yang didapatkan oleh masing-masing pihak. Dalam membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan efektif maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mempertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan 53 Hafied Cangara. Op.,cit. Hal., 268. Universitas Sumatera Utara semata. Koalisi di DPR merupakan suatu hal yang tidak dapat di hindari dalam sistem presidensial yang menganut sistem banyak partai. Sistem kepartaian sangat berhubungan erat dengan stabilitas dan instabilitas dalam partai politik. Partai sendiri berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu, tergantung sistem apa yang dipakai oleh suatu negara untuk mengatur partai politik. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang interaksi antar partai dan struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan pemerintahan sesuai dengan konstruksi regulasi yang berlaku di negara tersebut. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektifitas dalam partai politik. Stabilitas atau instabilitas sangat tergantung dari pengaturan dalam tubuh partai politik itu sendiri sebelum keluar dari internal tubuh untuk mengatur kehidupan bernegara. Jika dalam suatu partai politik cenderung kurang mengakar dalam kehidupan masyarakat dan banyaknya masalah internal partai maka dapat dipastikan kurang stabilitasnya kehidupan partai politik di negara tersebut. 54 Kondisi semacam ini dapat menciptakan instabilitas dalam kehidupan partai politik di Indonesia. Semakin tinggi tingkat pelembagaan partai, semakin tinggi pula daya ikat partai terhadap para pemilih atau konstituen partai serta terhadap elit dan kepengurusan partai. Dalam paham demokrasi, daya ikat ini dibentuk secara konsensual, atas dasar kesepakatan mengenai ideologi, orientasi politik, program, dan kepemimpinan partai. Secara lebih terperinci dalam pengembangan kelembagaan partai politik ini adalah sebuah proses yang harus dilalui agar supaya partai politik itu dapat terorganisasi dengan baik dan diharapkan dapat mempraktekkan nilai-nilai demokrasi. Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Menurut Arend Lijphart, terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah 54 Al Chaidar. Pemilu pertarungan Ideologis partai-partai Islam vs partai sekuler. 2005. Jakarta : Darul Fallah. Hal. 89. Universitas Sumatera Utara maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya trust yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang efektif durable. Koalisi di DPR RI ditentukan oleh pertama secara teoritis sistem kepartaian Indonesia adalah sistem multipartai dari 24 partai politik peserta pemilu tahun 2004 dan calon presiden harus dicalonkan dari partai politik, terdapat 17 fraksi yang ada di DPR dan diantara 17 partai tersebut hanya satu partai yang bisa mencalonkan presiden sendiri yaitu Partai golongan karya dengan 21,58 suara nasional yang mana diamanatkan pada UU no 23 tahun 2003, Bab II pasal 5 ayat ayat 4 yaitu Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 lima belas persen dari jumlah kursi DPR atau 20 dua puluh persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR. 55 Kedua, setelah presiden SBY terpilih, SBY juga harus membentuk koalisi di DPR untuk mengamankan dan memuluskan kebijakan-kebijakan yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan sebab fungsi anggaran dan pengawasan 55 UU, susduk, MPR, DPR, DPD dan DPRD dan pemilu Presiden dan wakil presiden UU no 22 tahun 2003 dan UU no 23 tahun 2003 Universitas Sumatera Utara merupakan wewenang di DPR. Hal itu yang membuat SBY harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan partai politik dengan membentuk koalisi. Ketiga, Sebelum pemilu 2004 berlangsung partai-partai berbasis ideologi, islam, dan sekuler menyatakan dirinya sebagai partai mandiri namun setelah pemilu selesai terjadi koalisi hal ini terjadi akibat kepentingan partai-partai untuk mengamankan kebutuhan financial partai politik tersebut serta mengamankan kekuasaannya, bersama telah mendorong mereka ikut serta dikabinet dan terlibat dalam stuktur kepemimpinan komisi di DPR. Kebutuhan akan dana nonbudjeter mengalahkan ideologi sebagai penentu perilaku dan interaksi antar partai. 56 Keempat, factor yang mendorong partai-partai politik dalam melakukan koalisi adalah partai politik mendapatkan jatah kekuasaan dari Presiden SBY, untuk mengisi pos menteri di pemerintah. Dari keempat faktor terbentuknya koalisi, maka koalisi tidak akan bisa maksimal disebabkan oleh ideologi antar partai koalisi yang berjauhan dan visi misi yang berbeda. Yang kemudian dikuatkan oleh Abraham de Swaan 1973. Kita telah memiliki dua presfektif politik, peta ideologi partai yang berhubungan dengan kepentingan kolektif yang diwakili dan hasil-hasil pemilu. Teori koalisi berbasis ideologi berfokus pada pentingnya kesamaan ideologi dan kebijakan partai sebagai pertimbangan dalam membentuk koalisi. Abraham de Swaan menyatakan bahwa para politisi umumnya ingin meninggalkan jejak ideologis atau kebijakan dipemerintahan. Mereka tidak menjadikan jabatan kabinet sebagai tujuan akhir, melainkan sekadar sarana untuk menerapkan kebijakan tertentu. Karena memilih dan mempertahankan kebijakan tertentu. Karena memilih dan mempertahankan kebijakan terbaik menjadi dorongan utama, maka pertalian ideologis menjadi dasar pembentukan koalisi. Karena itu, besar-kecilnya koalisi dianggap tidak begitu penting. Dengan kata lain, besar-kecilnya koalisi tidak menjadi kriteria utama dalam merangkul atau mengesampingkan satu partai. 56 Kuskrido Ambardi., Op.,cit. Hal. 284. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, tautan elektoral terwujud ketika komitmen ideologis partai yang dikampanyekan sebelum dan selama pemilu tetap mewarnai keputusan partai dalam memilih mitra koalisi. 57 Teori koalisi kemenangan minimal atau koalisi berbasis suara minimal menawarkan logika yang berbeda. Inti argumen teori ini berkisar pada gagasan bahwa pembentukan koalisi terutama didasarkan pada upaya memenangi persaingan berdasar kuantitas. Kemenangan di parlemen akan ditentukan oleh suara terbanyak. Karena itu partai-partai bergabung membentuk koalisi dengan menghitung kemungkinan pemenang suara terbanyak yaitu, 50 persen + 1. Biasanya, peserta koalisi akan berhenti mencari mitra baru 50 persen lebih kursi parlemen telah dilampaui. Peserta koalisi akan membentuk koalisi seminimal mungkin yang terpenting dapat menjamin kemenangan dalam persaingan, dan tidak akan menambah peserta lagi. Dengan demikian keuntungan politik yang didapat bisa didistribusikan secara maksimal kepada peserta koalisi. Singkatnya, peserta koalisi hanya berfokus pada suara yang diperlukan guna memenangi pertarungan diarena legislatif. Ketika ambang batas kemenangan telah tercapai, peserta berhenti mencari mitra koalisi. Teori ini beranggapan bahwa duduk di pemerintahan merupakan tujuan pokok partai karena akan memberi peserta koalisi keuntungan politik dan material. Jadi, tujuan utama partai adalah meraih jabatan pemerintahan sebanyak mungkin. Kebijakan pemerintahan dalam teori ini tidak menjadi isu utama, dan politisi semata-mata dilihat sebagai ajang pencari jabatan. Tautan elektoral, dengan demikian dapat ditemukan ketika keputusan satu partai untuk berkoalisi ditentukan oleh jumlah suara atau kursi yang diperoleh dalam pemilu. Semakin besar suara atau kursi yang diperolehnya semakin tinggi posisi tawarnya. Perpaduan presidensialisme dan multipartai yang pragmatis di Indonesia memiliki implikasi politik terhadap konfigurasi dan pola koalisi di parlemen. 57 Kruskrido Ambardi. Mengungkap Politik Kartel. 2010. Jakarta : KPG. Hal.180-181. Universitas Sumatera Utara Jumlah partai politik peserta pemilu yang cukup banyak menghasilkan partai yang banyak juga ke parlemen. Fragmentasi kekuatan partai politik di pemilu berimbas terhadap fragmentasi politik di DPR. Meskipun dari 24 partai politik peserta pemilu 2004 tidak semuanya memperoleh kursi di DPR. Pemilu 2004 berhasil mengantarkan 16 partai politik yang mendapatkan kursi di DPR. Pemilu legislatif dan eksekutif 2004 telah menghasilkan konfigurasi politik yang dilematis bagi efektivitas presidensialisme. DPR diisi kekuatan politik yang terfragmentasi. Dari 16 partai politik yang berbagi 550 kursi DPR, tujuh partai terbesar menguasai 91 persen kursi dengan sebaran yang terfragmentasi, tanpa ada satupun kekuatan mayoritas. Ketujuh partai tersebut adalah Partai Golkar 23 kursi DPR, PDIP 19,8 kursi DPR, PPP 10,6 kursi DPR, Partai Demokrat 10,4 kursi DPR, PKB 9,5 kursi DPR, PAN 9,5 kursi DPR, dan PKS 8,2 kursi DPR. 58 Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden yang dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla meraih 61 persen suara. Saingan dari pasangan tersebut yakni Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi, hanya meraih 39 persen suara dalam putaran kedua pemilihan presiden. Pada awalnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla hanya didukung empat partai kecil dan menengah Partai Demokrat, PBB, PKPI, dan PKS dengan kursi minoritas di DPR 113 kursi atau 20,5 persen dari keseluruhan kursi yang terdiri atas Partai Demokrat 56 kursi, PBB 11 kursi, PKPI 1 kursi, dan PKS 45 kursi. Hal ini menggambarkan realitas politik Indonesia bahwa fragmentasi konfigurasi kekuatan politik di DPR terbagi dalam 16 kekuatan politik. Meskipun 16 partai politik di DPR mengelompokkan diri kedalam sepuluh fraksi politik di DPR, tetap saja kekuatan politik di DPR terfragmentasi. Kesepuluh fraksi merupakan parpol yang memiliki suara signifikan di pemilu 58 Hanta Yuda., op.,cit. Hal. 155. Universitas Sumatera Utara 2004. Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PBR, Fraksi PDS, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi.Konfigurasi kekuatan politik di parlemen menunjukkan bahwa tidak ada satupun kekuatan politik di DPR mampu mencapai angka mayoritas tanpa melakukan koalisi. Angka maksimal yang dicapai Fraksi Partai Golkar sebagai fraksi terbesar di DPR hanya mencapai 129 kursi atau 23. Angka ini tidak mencapai seperempat dari seluruh kekuatan di DPR. Kondisi ini akan berimplikasi pada sulitnya bagi partai politik atau fraksi untuk mencapai suara mayoritas dalam proses pengambilan keputusan di DPR ini mendorong terjadinya koalisi partai politik. Koalisi bahkan sulit dihindari dalam situasi fragmentasi. Koalisi di DPR merupakan pilihan politik yang sulit dihindari dalam realitas konfigurasi politik di Indonesia saat ini. Koalisi menjadi hal rasional dalam logika struktur multipartai yang terfragmentasi seperti Indonesia. Karena tanpa koalisi akan sulit mencapai kekuatan mayoritas dan akan sulit pula proses pengambilan keputusan politik di DPR sekaligus akan memperkuat fungsi check and balances antara parlemen dan pemerintah. Namun, pola koalisi yang terbangun dalam struktur multipartai yang bersifat pragmatis. Perjalanan koalisi partai politik Indonesia akan sangat cair dan peta koalisi akan mengalami pergeseran. Perubahan peta koalisi di DPR di era Pemerintahan SBY-JK tidak hanya dalam voting pengambilan keputusan di DPR, seperti rapat paripurna yang membahas interpelasi atau angket, tetapi sudah sejak proses pencalonan paket pasangan presiden dan wakil presiden. Peta koalisi terus mengalami perubahan dan pergeseran disebabkan faktor lemahnya ikatan koalisi yang terbangun. Koalisi yang terbangun berbasis isu pragmatis politik. Setiap isu cenderung akan melahirkan konfigurasi koalisi yang berbeda-beda. Dalam praktik, koalisi kerakyatan yang mengusung SBY-JK pada Pilpres 2004 tidak memenuhi teori di atas. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tidaklah mengherankan bila koalisi yang terbentuk tidak memenuhi hakikat Universitas Sumatera Utara koalisi strong, autonomuos, durable. SBY berasal dari partai kecil dan gabungan partai kecil Demokrat, PBB, PKPI, PKS, Namun pasca Pilipres Putaran II Golkar bergabung bersama koalisi kerakyatan.Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, pemerintahan SBY masih harus menghadapi kekuatan oposisi PDIP yang kekuatannya masih berimbang. Sehingga pemerintahan yang terbentuk tidak terlalu kuat, kemandirian pemerintahan juga masih diragukan karena sering didikte oleh koalisi sehingga terkesan presiden SBY terlalu berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Bahkan untuk mempertahankan pemerintahan pun SBY harus cermat dalam menjalankan roda pemerintahan bila tidak ingin dilengserkan oleh lawan-lawan politiknya. Mengenai kekuasaan partai politik terdapat dominasi Partai Pemenang dengan adanya partai oposisi, dominasi partai pemenang secara mutlak dan koalisi antar partai. Pada Pemilihan Presiden pada tahun 2004, drama partai politik dengan upaya koalisi untuk persiapan pencalonan pada putaran pertama pemilihan Presiden, keluar dua pasangan caprescawapres untuk maju pada Pilpres putaran kedua. Proses konsolidasi dalam mendukung pasangan caprescawapres SBY-JK melalui koalisi Partai Demokrat PD, Partai Bulan Bintang PBB, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PKPI serta Partai Keadilan Sejahtera PKS, memperlihatkan penggabungan suara partai memberi pengaruh pada pilihan rakyat dalam Pilpres puataran ke dua. Bergabungnya Partai Golkar dalam koalisi pemerintahan di masa Jusuf Kalla pasca memenangkan kongres Golkar, makin memperkuat koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakan SBY-JK di eksekutif. Sehingga sangat jelas pelajaran dapat ditarik oleh Partai Demokrat, bahwa koalisi parpol yang dibangunnya di tahun 2004 menjelang Pilpres telah memberikan sinergi sangat kuat bagi Partai Demokrat hingga hasil yang dicapainya sekarang. Tidak hanya stabilitas kepemimpinan nasional selama periode 2004-2009, tetapi juga secara kelembagaan Partai Demokrat mengalami proses pelembagaan yang baik dan sangat berarti. Stabilitas ini tidak terlepas dari koalisi yang sesuai arti dan Universitas Sumatera Utara prinsipnya merupakan penggabungan energi dalam dukungan atau dalam mengatasi ancaman. Kalau prinsip atau sebabnya adalah untuk kepentingan konsolidasi politik, maka ukuran-ukuran seperti parliamentary threshold PT akan menjadi sebuah indikator akibat dari proses pengerucutan, akibat kesamaan- kesamaan platform partai politik sehingga dapat mendorong terwujudnya multipartai sederhana. Langkah ini berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut sekitar 70 kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Koalisi yang dibangun sangat rapuh karena dasar dari pembentukan koalisi bukan berdasarkan pada kesamaan visi, misi dan ideologi partai, melainkan lebih kepada pembagian jatah kursi menteri dengan imbalan dukungan di DPR. Karena sistem pemerintahan Indonesia belum bisa dibilang sistem presidensial murni karena masih adanya ruang sistem parlementer dalam pelaksanaanya. Pasca amandemen UUD 1945 memang mengarah pada penguatan sistem presidensial, termasuk dilakukannya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam banyak hal, otoritas Presiden dalam hal tertentu bergeser ke DPR. Parlemen menjadi sangat kuat, dan bahkan seringkali masuk ke ranah kerja eksekutif. Sementara Presiden tidak punya hak veto. Tidak salah kalau dikatakan bahwa sistem pemerintahan memang presidensial tapi memberikan ruang bagi sistem parlementer. Berbeda dengan sistem parlementer, konteks koalisi dalam demokrasi presidensial bukanlah dalam rangka membentuk kabinet. Dalam sistem presidensial, pembentukan kabinet adalah otoritas presiden. 59 Hal ini diperkuat hasil wawancara saya dengan Bangun Tampubolon Sekretaris DPC Partai Demokrat Kota Medan, koalisi dalam konteks presidensial yang dikombinasikan sistem multipartai lebih diperlukan untuk 59 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. 2006. Konstitusi Press, Jakarta. Hal 115. Universitas Sumatera Utara mengefektifkan presidensialisme itu sendiri. Karena itu, persentase dukungan partai politik di parlemen adalah salah satu cara untuk mengokohkan sistem presidensial Indonesia. Banyak orang menyayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY sebagai kepala negara didalam pemerintahan presidensial ternyata memimpin dengan gaya parlementer. Itu menimbulkan kesan lemah. Tapi SBY tidak terlalu salah, sebab sistem pemerintahan kitalah yang kurang sinkron dengan sistem politiknya. Benar, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat di dalam sistem presidensial seharusnya tampil kuat. Tapi itu sulit dilakukan oleh SBY. Dalam menyusun kabinet, misalnya, SBY seperti tersandera oleh partai politik parpol. Sebagian besar kursi kabinet dibagi berdasar kehendak parpol pendukung, sehingga proses fit and propes test dalam memilih calon menteri pada akhirnya tak terealisasi. Ini dipengaruhi sistem demokrasi dan sistem pemilu Indonesia yang kurang efektif, dimana Indonesia menganut sistem presidensial tetapi dalam implementasinya kedudukan parlemen lebih kuat, ditambah lagi jumlah partai politik di DPR yang banyak membingungkan Presiden yang harus mengakomodasi setiap kepentingan-kepentingan partai politik koalisi. Itu terjadi karena SBY tidak bisa mengelak dari desakan parpol-parpol pendukung yang menyodorkan kadernya untuk masuk kabinet. Bagi presiden, selain memperluas dukungan di legislatif, koalisi juga dimaksudkan untuk mengikat komitmen partai politik untuk mendukung agenda-agenda pemerintah. Sedangkan bagi partai politik, koalisi berarti kesempatan untuk memaksimalkan kebijakan, kontrol dan pengaruh mereka terhadap jabatan-jabatan politik presiden. Berkaitan dengan komitmen, pembentukan kabinet koalisi parlementer maupun presidensial mengandaikan adanya kesepakatan yang mengikat tentang visi, misi dan program kabinet, adanya kesepakatan diantara partai-partai yang terlibat. Pada kabinet presidensial, koalisi dapat terbentuk atas kesepakatan antara partai politik dengan presiden, namun belum tentu tercapai kesepakatan diantara partai. 60 60 Wawancara dengan Bangun Tampubolon Sekretaris DPC Partai Demokrat Kota Medantanggal 1 agustus 20012 pukul 11.41 wib. Universitas Sumatera Utara

III. 2. Kontrol berlebihan DPR mengganggu efektifitas Pemerintahan

Partai politik merupakan pilar utama demokrasi, karena pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat 2, bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Artinya hak tersebut secara eksklusif hanya diberikan oleh konstitusi kepada partai politik. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kesejahteraan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Maka penguatan partai politik merupakan pilar penting bagi bangunan demokrasi, sedangkan demokratisasi adalah pondasi utama bangunan good governance. Dengan demikian derajat pelembagaan partai politik sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara, dimana dalam suatu sistem pemerintahan dibutuhkan efektifitas koalisi partai politik dalam parlemen untuk menentukan arah kebijakan Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah periode 2004-2009 secara kuantitas menguasai mayoritas kursi di DPR. Mitra koalisi pemerintah merupakan partai politik yang berada di Kabinet Indonesia Bersatu KIB. Selain Partai Golkar dan Partai Demokrat sebagai partai presiden dan wakil presiden, ada beberapa partai mitra koalisi yang menyangga pemerintah, yaitu PPP, PAN, PKB, PKS, PBB, dan PKPI. Namun, keberadaan PBB dan PKPI tidak terlalu signifikan. Posisi empat partai menengah ini PPP, PAN, PKB, PKS sangat menentukan stabilitas pemerintah. Jika yang keluar dari koalisi hanya salah satunya saja, tetap tidak terlalu signifikan untuk menjadi kekuatan politik yang akan memakzulkan presiden. Kekuatan keempat partai politik menengah ini secara keseluruhan menguasai 37 persen suara di parlemen. Jadi, jika koalisi pendukung pemerintah bubar, praktis yang tertinggal adalah Partai Golkar dan Partai Demokrat sebagai partai pemerintah the rulling party yang hanya menguasai sekitar 33 persen kekuatan di DPR. Jika kondisi politik terjadi seperti itu, akan mengancam posisi Universitas Sumatera Utara Pemerintahan SBY-JK. Setidaknya pemerintahan tidak dapat berjalan efektif dan stabil. Ancaman impeachment menjadi rentan apabila 37 persen kekuatan partai mitra koalisi bergabung dengan kekuatan oposisi PDIP yang menguasai 20 persen suara DPR, sehingga kekuatan oposisi menjadi mayoritas di DPR. 61 Secara teoritis, terutama jika dilihat dari skala atau besaran kekuatan partai politik pendukung pemerintah di DPR, koalisi yang dibentuk SBY sebenarnya termasuk koalisi besar, atau bahkan termasuk koalisi super besar. Seperti dikemukakan sebelumnya, KIB didukung oleh delapan partai politik yang mencakup 73,3 kekuatan DPR. Namun demikian, koalisi besar pendukung SBY-JK tersebut ternyata rapuh secara internal. Fenomena pengusulan 14 hak interpelasi dan sembilan hak angket selama periode 2004-2009, begitu pula perpecahan koalisi terkait kesimpulan panitia khusus angket, jelas menunjukkan kerapuhan koalisi. Dalam kaitan ini, penataan ulang melalui pembentukan koalisi parpol koalisi. Terlepas dari persoalan teoritis bahwa koalisi yang dibangun oleh presiden SBY sangat rapuh meski menguasai kekuatan mayoritas di DPR,dimana konsep koalisi lazimnya merupakan skema sistem demokrasi parlementer, paling kurang ada empat faktor problematik dibalik desain koalisi yang dibentuk SBY, yakni problematik basis koalisi, sifat kesepakatan dan kontrak politik, cakupan materi kesepakatan, dan problematik mekanisme internal koalisi. Pertama, problematik basis koalisi. Sudah menjadi pengetahuan umum koalisi politik pendukung pemerintah yang dibentuk oleh SBY lebih berbasiskan kepentingan mengamankan kelangsungan pemerintahan hasil pemilu daripada faktor kesamaan ideologi dan haluan politik tentang arah reformasi dan penataan bangsa kedepan dari parpol-parpol yang tergabung didalamnya. Sebagai kompensasi dukungan politik parpol terhadap pemerintah, SBY membagikan kursi menteri kabinet kepada parpol pendukung secara proporsional, yakni sesuai 61 Hanta Yuda., op.,cit. Hal. 188. Universitas Sumatera Utara perolehan suara setiap parpol dalam pemilu legislatif. Skema basis koalisi seperti ini dibangun SBY. Konsekuensi logis dari skema koalisi berbasis kepentingan jangka pendek seperti ini adalah lemahnya ikatan dan soliditas koalisi sehingga dukungan parpol terhadap pemerintah acapkali ditentukan oleh “mood politik” para politik anggota koalisi, apakah sedang kecewa dengan presiden atau sebaliknya sedang baik dengan SBY. Tidak mengherankan jika Partai Golkar dan PKS misalnya, seolah- olah tak memiliki beban untuk sewaktu-waktu berbeda sikap politik dengan partai koalisi lainnya, PD, PAN, PPP, dan PKB, seperti tampak dalam setiap kebijakan pemerintah dan upaya pengusulan hak angket pajak yang akhirnya kandas di DPR. Implikasi lain dari koalisi yang bersifat pragmatis seperti ini adalah tidak munculnya kompetisi antarpartai diparlemen sehingga tidak tampak perjuangan ideologis partai politik dalam mempengaruhi, mengubah, ataupun membentuk kebijakan. Kedua, problematik sifat kesepakatan dan kontrak politik. Koalisi yang dibentuk oleh SBY didasarkan pada sejumlah kesepakatan politik yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik anggota koalisi. Selain kesepakatan pada tingkat pimpinan partai politik tersebut, SBY juga mengikat para menteri dari partai politik anggota koalisi dengan kontrak politik yang bersifat individual, yaitu dokumen pakta integritas yang harus ditandatangani sebagaimana lazimnya kewajiban yang dibebankan bagi setiap pejabat publik. Problem mendasar dari sifat kesepakatan politik tersebut adalah bahwa komitmen koalisi lebih merupakan keputusan pimpinan partai politik ditingkat pusat ketimbang suatu komitmen partai politik secara institusi yang disosialisasikan dan dilembagakan secara internal partai politik masing-masing. Disisi lain, kontrak politik yang bersifat individual antara SBY dan para menteri dari partai politik pada dasarnya tidak bisa mengikat partai politik secara institusi karena sesuai UUD 1945 hasil amandemen, otoritas pengangkatan dan Universitas Sumatera Utara pemberhentian para menteri kabinet sepenuhnya berada ditangan Presiden. Realitas ini tak hanya membatasi ruang gerak partai politik dalam mengontrol kader partai politik dalam mengontrol kader partai politik dalam kabinet, melainkan juga tidak bisa memberi garansi apapun bagi SBY untuk mengontrol sikap politik partai politik di DPR. Ketiga, problematik cakupan materi kesepakatan koalisi. Apa saja cakupan atau ruang lingkup materi yang disepakati oleh partai politik koalisi pendukung SBY sebenarnya tak pernah jelas bagi publik. Masyarakat hanya menduga-duga cakupan materi kesepakatan tanpa memperoleh konfirmasi yang jelas, baik dari SBY maupun partai politik anggota koalisi, mengenai isi kesepakatan. Keempat, problematik mekanisme internal koalisi. Meskipun SBY menata ulang format koalisi pasca skandal Bank Century pada November 2008 dengan membentuk Setgab, menarik bahwa partai politik anggota koalisi lebih suka memperdebatkan persoalan koalisi secara publik melalui media daripada mendiskusikannya secara internal melalui forum rapat Setgab. Sejatinya Setgab diciptakan sebagai forum pendahuluan bagi partai politik koalisi untuk menyepakati atau tidak menyepakati suatu isu kebijakan strategis tertentu sebelum rapat-rapat formal DPR, tetapi dalam realitasnya para politisi partai politik anggota koalisi sering memperdebatkan isu-isu kebijakan secara publik melalui media daripada mendiskusikannya dalam rapat-rapat internal Setgab. Akibatnya, berbagai perbedaan pendapat dan sikap politik partai politik koalisi menjadi santapan bagi kalangan media sehingga polemik antarpolitisi partai politik koalisi seringkali berkembang menjadi “debat kusir” yang tidak bermanfaat, menyita energi, dan belum tentu bermanfaat bagi kepentingan bangsa. 62 Pada sistem pemerintahan presidensial, presiden tidak memerlukan dukungan yang kuat karena kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan sehingga 62 Syamsuddin Haris. Koalisi dalam sistem demokrasi presidensial Indonesia. Factor-faktor kerapuhan koalisi era Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Jurnal penelitian politik. Vol.8,no1, 2011. Hal.8-10. Universitas Sumatera Utara keduanya bebas dalam menjalankan kekuasaannya tanpa ada intervensi dari manapun. Tidak ada hubungan antara mayoritas suara yang ada di parlemen dengan kebijakan yang dibuat oleh presiden seperti yang terjadi saat ini. Kekuasaan eksekutif yang dipilih melalui pemilihan umum secara langsung berbeda dengan eksekutif yang dipilih melalui dewan dalam perspektif politiknya. Dalam sistem pemilihan secara langsung, calon presiden memiliki dorongan untuk mengidentifikasi pemilih pada tingkat menengah melalui penyampaian program nasional yang lebih moderat yang kadangkala bertentangan dengan kepentingan partai dan fraksi. Dengan begitu kecenderungan untuk berada dalam konflik sangatlah memungkinkan. Disinilah peran dari UUD sebagai konstitusi untuk membatasi pemerintah, bahkan pemerintah yang telah dipilih secara langsung, termasuk batasanbatasan kekuasaan legislatif, eksekutif, peranan partai, hak-hak asasi dan otonomi daerah. Pemilihan umum legislatif dan presiden 2004 telah menghasilkan konfigurasi politik yang khas di Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat DPR diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi. Dari 17 partai politik yang berbagi 550 kursi DPR, tujuh partai terbesar menguasai 91 persen kursi dengan sebaran yang terfragmentasi, tanpa ada satu pun kekuatan dominan. Secara teoritis sistem kepartaian Indonesia adalah sistem multipartai. Ditingkat lokal struktur kepartaian jauh lebih kompleks dan beragam karena persyaratan parliamentary treshold tidak berlaku di DPRD provinsi dan kabupatenkota sehingga partai politik dengan perolehan satu kursipun dapat duduk diparlemen setempat. Meskipun berlaku sistem multipartai, relatif tidak tampak perbedaan ideologis yang signifikan diantara partai politik di DPR. Dengan kata lain secara formal semua partai politik mengklaim memiliki ideologi yang berbeda satu sama lain, namun dalam realitas politik hal itu tidak begitu tampak dalam perdebatan terkait berbagai isu politik dan kebijakan. Semua partai politik, termasuk PKS yang dianggap lebih ideologis dibandingkan partai politik yang lainnya, bisa saling bekerja satu sama lain tanpa hambatan ideologis sehingga fenomena kepartaian Indonesia lebih merefleksikan fragmentasi politik Universitas Sumatera Utara di antara para elit partai daripada suatu polarisasi ideologis antarpartai. Konsekuensi logis dari fenomena ini adalah berkembangnya politik kartel dalam sistem kepartaian, yang antara lain ditandai oleh kecenderungan faktual bahwa konflik, persaingan, dan kerja sama antarparpol lebih berpusat pada perburuan rente rent seeking daripada kompetisi memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi tertentu untuk kepentingan umum. Tampaknya fenomena politik kartel inilah terutama yang menjelaskan mengapa semua partai politik ingin mendekat dan menjadi bagian dari pemerintah yang berkuasa atau negara, sumber dana terbesar dan perputaran roda ekonomi Indonesia. Partai Golkar misalnya, pada Pemilu 2004 lebih memilih menjadi bagian dari kekuasaan dan koalisi politik yang dibentuk oleh SBY daripada menjadi oposisi di parlemen. Karakter partai politik yang cenderung berorientasi perburuan rente seperti inilah yang tidak diwaspadai oleh SBY. Akibatnya, koalisi yang dibentuk menjadi perangkap politik sekaligus penjara bagi SBY bukan justru menjadi peningkatan efektivitas dan produktivitas pemerintahan yang dipimpinnya. Pada periode 2004-2009 partai politik koalisi pendukung pemerintah di DPR turut menggugat berbagai kebijakan pemerintah melalui penggunaan hak interpelasi dan hak angket sehingga energi, waktu, dan perhatian pemerintah dan DPR tersita untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan politik dalam relasi eksekutif-legislatif. Pada Maret 2008 partai politik koalisi di DPR bahkan menolak Agus Martowardoyo dan Raden Pardede yang diajukan Presiden sebagai calon Gubernur Bank Indonesia menggantikan Burhanudin Abdullah. Secara teoritis pemerintahan SBY didukung oleh lebih dari 70 kekuatan partai politik di DPR sehingga semestinya tidak ada penolakan DPR atas calon gubernur bank sentral, apalagi Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar, partai politik Universitas Sumatera Utara terbesar di parlemen, dan pada saat yang sama menduduki jabatan wakil presiden. 63 Akan tetapi itulah fakta politik tentang karakter partai politik di DPR yang tidak disiplin dalam berkoalisi, pragmatis, dan oportunistik dalam berperilaku serta lebih berorientasi perburuan rente daripada mendukung efektivitas pemerintahan dalam sistem presidensial. Meskipun konflik dan ketegangan politik dalam relasi eksekutif-legislatif tidak menghasilkan deadlock, terutama karena adanya mekanisme persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam pembentukan UU, tetapi fenomena tersebut jelas menghambat kesempatan Indonesia memanfaatkan momentum demokratisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan. Menjelang Pemilu 2009, keretakan, pergesekan, dan pergeseran dalam koalisi mungkin saja terjadi mengingat para politisi dalam pemerintahan pun pada saat- saat ini kembali ke partai. Arus mudik politisi ke partai di akhir termin pemerintahan ini, di Indonesia, menjadi salah satu arena terbuka bagi krisis koalisi yang berulang karena tidak adanya pengaturan yang baku mengenai pelembagaan koalisi yang dibangun baik sebelum pemilihan presiden maupun sesudah pemilihan presiden, sehingga kesepakatan koalisi tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Setidaknya ada beberapa pengajuan hak interplasi maupun hak angket sebagaimana tabel yang penulis sampaikan dibawah ini yang mengiringi jalannya roda pemerintahan SBY-JK yang bisa saja dianggap mengganggu, gangguan tersebut datang karena sebagian pengajuan ataupun yang menyetujui penggunaan hak angket tersebut merupakan bagian dari koalisi pemerintahan SBY-JK, disinilah ketidak konsistenan yang mengiringi rapuhnya komitmen partai koalisi yang mendukung pemerintahan SBY-JK. 64 63 Ibid., Syamsuddin Haris. Hal.3. 64 Hak Interplasi adalah Hak DPR untuk meminta keterangan dari Pemerintah, mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lihat Pasal 77 ayat 2 UU 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Universitas Sumatera Utara Setidaknya ada beberapa pengajuan hak interplasi maupun hak angket sebagaimana yang penulis sampaikan dibawah ini yang mengiringi jalannya roda pemerintahan SBY-JK yang bisa saja dianggap mengganggu, gangguan tersebut datang karena sebagian pengajuan ataupun.yang menyetujui penggunaan hak angket tersebut merupakan bagian dari koalisi pemerintahan SBY-JK, disinilah ketidak konsistenan yang mengiringi rapuhnya komitmen partai koalisi yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Tabel 2. Usulan Penggunaan Hak Interplasi DPR Terhadap Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Kalla periode 2004-2009 Tanggal Materi Interplasi Unsur Pengusul Status Usulan. 65 Tanggal Materi interplasi Unsur pengusul Status Usulan Nov 2004 MoU Helsinki tentang Penyelesaian Kasus Aceh F‐PG, F‐PDIP, FKB, FPBR, F‐PDS, F‐PAN, 55 orang Tidak belanjut Awal Februari 2005 Surat Setwapres tentang arahan wapres agar menteri tidak anggap penting raker dengan DPR Semua Fraksi Kecuali F‐PG dan F‐PD; 19 orang Tidak berlanjut 08 Februari 2005 Penarikan Surat Presiden F‐PDIP; F‐KB; ditunda Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, UU No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPD. 65 Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal. 2009 Yogayakarta : Pustaka Pelajar Hal.89 Universitas Sumatera Utara Megawati tentang penggantian Panglima TNI F‐PDS; 49 orang September 2005 Teleconfrence Presiden dari Amerika Serikat Lintas Fraksi; 20 orang ditolak 13 September 2005 Kasus Busung Lapar dan Polio Semua Fraksi Kecuali F‐PG ditolak 17 Oktober 2005 Kenaikan Harga BBM F‐PDIP dan F‐KB ditolak 24 Januari 2006 Impor Beras I F‐PPP, F‐PKB, F‐PAN, F‐PDS Ditolak 17 Oktober 2006 Impor Beras II F‐PDIP Tidak berlanjut 05 Juni 2007 Dukungan Pemerintah atas Resolusi PBB tentang Isu Nuklir Iran Semua Fraksi Kecuali F‐PD, 280 orang diterima 17 Juni 2007 Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo Semua Fraksi Kecuali F‐PD,F-PG 153 orang ditunda Februari 2008 Penyelesaian Kasus KLBIBLBI Semua Fraksi diterima Universitas Sumatera Utara Terjadinya beberapa pengajuan hak interplasi dan hak angket meskipun kebanyakan inisiatif hak tersebut kandas ditengah jalan, setidaknya kejadian tersebut membuktikan bahwa jaminan koalisi besar yang mendukung pemerintahan SBY-JK rentan akan gangguan dari pihak parlemen. Koalisi yang dibangun sangat rapuh karena dasar dari pembentukan koalisi bukan berdasarkan pada kesamaan visi, misi dan ideologi partai, melainkan lebih kepada pembagian jatah kursi menteri dengan imbalan dukungan di DPR. 66 Tabel 3. Usulan Penggunaan Hak Angket DPR Terhadap Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Kalla periode 2004-2009. 67 Tanggal Materi angket Unsur Pengusul Status Usulan 31 Mei 2005 Kenaikan Harga BBM F‐PDIP, F‐PKB, F‐PDS Ditolak 31 Mei 2005 Lelang Gula Ilegal F‐PDIP; F‐PKB; F‐PDS Ditolak 07 Juni 2005 Penjualan Tanker Pertamina Semua Fraksi Diterima 17 Januari 2006 Kredit Macet Bank Mandiri F‐PDIP, yang lain tarik diri Tidak Berlanjut 24 Januari 2006 Impor Beras F‐PDIP; Ditolak 66 Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya diajukan oleh 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR 67 Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti., op.,cit. Hal. 200. Universitas Sumatera Utara F‐PKS; F‐PAN; F‐PDS 30 Mei 2006 Pengelolaan Blok Cepu F‐PDIP; F‐PAN; F‐BPD Ditolak Analisis ini diperkuat oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia periode 2009-2014 Gamawan Fauzi bahwa sistem kepartaian di Indonesia saat ini tidak efektif, beliau menyebutnya multipartai ekstrim. Hal ini disebabkan karena partai- partai politik harus melakukan koalisi di DPR dan membentuk koalisi pemerintah. Koalisi pemerintahpun sangat besar namun tetap saja pemerintah harus mengakomodasi setiap kepentingan-kepentingan yang ada. 68

III. 4. Kekuasaan Wakil Presiden yang lebih dominan di Pemerintahan

Proses pemilu secara langsung merupakan konsekuensi dari kesepakatan untuk menggunakan sistem pemerintahan presidensial, dalam demokratisasi menuntut adanya partisipasi publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintah. Termasuk mengenai banyaknya proses politik multipartai sebenarnya bukan suatu jaminan kepastian adanya partisipasi dan pendapat rakyat. Multipartai ini kemudian mencalonkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam DPR dan mencalonkan Presidenwakil presiden. Dapat dikatakan bahwa partai politik sebenarnya melakukan mobilisasi rakyat untuk mencapai tujuannya di perpolitikan. Jika terjadi hal semacam ini maka partai politik telah berjalan dengan langkah yang salah sehingga menghasilkan politik kelompok yaitu suatu kehidupan politik yang tidak didasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan afiliasi kelompok yang menentukan pilihan politik. Selain itu jika parlemen juga 68 Wawancara dengan Gamawan Fauzi Mentri dalam negeri Republik Indonesia Periode 2009-2014 di Gedung Peradilan Semu Universitas Sumatera Utara, Medan pada tanggal 9 juli 2012 pukul 11.31 WIB. Universitas Sumatera Utara dikuasai oleh partai politik yang sama dimana presiden berasal maka yang terjadi adalah seluruh kebijakan presiden merupakan representative dari partai politik tersebut dapat lebih ekstrim lagi dikatakan bahwa presiden tidak bebas dari intervensi partai politik. Apalagi jika dilihat dari pasal 6A ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa ”presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, 69 Peta konstelasi politik hasil Pemilu 2004 menghasilkan dua koalisi besar di DPR, yaitu koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan, koalisi kebangsaan secara resmi dideklarasikan pada 19 Agustus 2004 dan didukung oleh Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Damai Sejahtera PDS. Dukungan atas koalisi kebangsaan juga diperlihatkan oleh Partai Bintang Reformasi PBR, Partai Karya Peduli Bangsa PKPB dan PNI Marhaenisme. Tujuan pembentukan koalisi kebangsaan selain untuk memenangkan pasangan Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi, secara jangka panjang dimaksudkan juga untuk meningkatkan peran dan fungsi partai politik rakyat dalam mengembangkan demokrasi. Dukungan Partai Golkar terhadap pasangan Megawati Soekarno Putri – Hasyim Muzadi sebenarnya bukan tanpa proses panjang. Sejak kekalahan calon Presiden Wiranto pada putaran pertama Pilpres, Partai Golkar telah membuka diri terhadap dua pasangan yang akan maju ke putaran selanjutnya. maka besar kemungkinan presiden dan wakil presiden tidak berasal dari partai politik yang sama dan tentu saja jika bukan berasal dari partai politik yang sama didalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan politik antara partai politik tersebut. 70 69 UUD 1945 pasal 6 70 Akbar Tanjung, The Golkar Way, Gramedia Pustaka Utama.2007.Jakarta : KPG, hlm 293. Universitas Sumatera Utara Pemilihan langsung presiden-wakil presiden yang pertama dalam sejarah Indonesia dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono - Muhammad Kalla yang didukung oleh koalisis kerakyatan dengan meraih suara 69.266.350 60,62 sementara pasangan Megawati Soekarno Putri - Hasyim Muzadi 44.990.704 39,38 dalam putaran kedua pemilu, pasangan ini pada mulanya hanya disokong oleh empat partai Partai Demokrat, PBB, PKPI dan PKS dengan kursi minoritas dalam DPR 113 atau 20,5 persen kursi. Dinamika politik kepartaian dan parlemen mengalami perubahan dan pergeseran pasca pilpres tersebut. Demikian halnya dengan eksistensi dan kiprah koalisi kebangsaan dalam percaturan poltik nasional. Pasca Pilpres, walaupun PPP telah menyatakan keluar dari koalisi kebangsaan berhasil menempatkan paket pilihannya dengan melibatkan pula PKB dalam kepemimpinan DPR-RI. Dengan adanya koalisi kerakyatan yang berada di lembaga eksekutif dan koalis kebangsaan berada di lembaga legislatif, tercerminlah mekanisme check and balance yang diperlukan dalam satu sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka dan akuntabel. Sayangnya koalisi kebangsaan tidak berusia lama. Kemenangan Kalla dalm Musyawarah Nasional VII Partai Golkar di Bali telah mengubah sikap politik Partai Golkar dari kekuatan penyeimbang menjadi kekuatan pendukung Pemerintah.Pemerintahan SBY-JK pun terbangun di tengah komposisi politik yang khas. Sebagai kandidat keduanya disokong oleh koalisi empat partai: Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang PBB, Partai Kebangsaan dan Persatuan Indonesia PKPI, dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera PKS. Setelah memenangi Pemilu dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional PAN, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Bintang Reformasi PBR, dan Partai Pelopor. Keberhasilan JK merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini. Dalam pemungutan suara penentu di kongres Golkar Jusuf Kalla mendapat 323 suara sedangkan Akbar tandjung memperoleh 156 suara. Dengan demikian, Jusuf kalla Resmi Universitas Sumatera Utara menjadi ketua umum Partai Golkar, menggantikan Akbar tandjung untuk memimpin partai Golkar periode 2004-2009. 71 Pemerintah pun punya dukungan yang besar dan kuat dalam lembaga legislative, pasca masuknya Golkar dalam koalisi pemerintah. Kesepuluh partai yang terwakili dalam Kabinet menguasai 420 76,4 persen kursi DPR. Sementara Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan PDI-P dan lima partai kecil lain, yang berada di luar pemerintahan, hanya menguasai 130 23,6 persen kursi DPR. 72 Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla JK berasal dari partai yang berbeda. Hal ini tentu saja memberikan konsekuensi politik tersendiri. Posisi JK sebagai pemimpin partai tentu memiliki agenda politik di internal Partai Golkar menjelang Pemilu 2009. Bagaimanapun JK memikul beban untuk tetap memenangkan Partai Golkar pada Pemilu 2009. Beban ini tentunya akan berdampak pada kinerja wakil presiden untuk menyelesaikan program kerja kabinet. Sedangkan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat juga memiliki kepentingan untuk membesarkan Partai Demokrat. Kondisi ini akan semakin problematik karena pola koalisi yang dibangun antara keduanya sejak awal bersifat rapuh dan pragmatis. Indonesia dalam sejarah politiknya memang belum pernah memiliki wakil presiden sekuat dan seaktif JK. Salah satu faktor pendorongnya adalah kuatnya posisi politik Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memiliki topangan sumber daya politik lebih besar daripada Presiden SBY. Kondisi ini adalah faktor yang sangat pelik untuk menjalankan pemerintahan yang efektif. Akibatnya, rumusan normatif sistem presidensial yang mengatakan bahwa presiden dan wakil presiden merupakan institusi tunggal sulit terlaksana. Padahal dalam UUD 1945 dirumuskan bahwa peran wakil presiden adalah membantu tugas presiden. Namun rumusan normatif ini ternyata berbenturan dengan realitas politik yang ada. 71 Ibid., Akbar Tanjung. Hal 304. 72 Akbar Tanjung., Loc.cit. Hal.304-305. Universitas Sumatera Utara Realitasnya wakil presiden justru dari partai terbesar, sehingga rumusan normatif tersebut mengalami dilema dan sulit untuk diterapkan. Kompromi merupakan sebuah pilihan yang sulit untuk dihindari dalam kombinasi presidensialisme dan multipartai di Indonesia saat ini. Problem koalisi rapuh dan pragmatis itu juga disebabkan ketidakseimbangan kekuatan partai presiden dan wakil presiden diparlemen yang menyebabkan posisi presiden cenderung bergantung pada dukungan partai wakil presiden. Saat itu topangan politik SBY hanya bermodalkan sepuluh persen kursi Partai Demokrat di DPR. Karena itu, tanpa menjalin koalisi, posisi tawar presiden di parlemen tentu sangat lemah. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla ditopang sumber daya politik lebih besar dan kuat, yaitu Partai Golkar dengan menguasai 23 persen kursi di DPR. Efek politiknya adalah JK mempunyai peran strategis dalam menjaga stabilitas pemerintahan dan juga akan memiliki peran penting serta menonjol dalam pemerintahan yang sedang berjalan. Adanya perbedaan yang terjadi dalam pemerintahan yang didasari oleh koalisi pragmatis tersebut akan mengakibatkan hubungan antara Presiden SBY dan Wakil Presiden JK mengalami keretakan dan bahkan mengarah pada persaingan. Contohnya ketika sedang berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden SBY mengadakan rapat kabinet melalui telekonfrensi. Rapat jarak jauh ini dipimpin SBY dari Amerika Serikat sedangkan para menteri berada di Jakarta. Ada dua kejanggalan, jika dicermati secara politik dalam rapat kabinet jarak jauh ini, pertama, sebelum berangkat ke Amerika Serikat, SBY sudah menandatangani surat resmi yang memberikan tugas kepada JK untuk menjalankan tugas sehari-hari pemerintahan selama presiden ada di luar negeri. Salah satu tugas yang dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2005 adalah memimpin kabinet. Meskipun sudah mengeluarkan Kepres kepada wapres untuk memimpin rapat kabinet, ternyata Presiden SBY justru memimpin rapat kabinet dari jarak jauh. Ini dapat ditafsirkan salah satu bentuk ketidakpercayaan SBY terhadap JK. Kedua, wapres JK justru tidak menghadiri Universitas Sumatera Utara rapat kabinet melalui telekonfrensi tersebut. Padahal sangat jelas dalam aturan politik kenegaraan, setiap rapat kenegaraan, setiap rapat kabinet yang dipimpin presiden idealnya harus dihadiri wakil presiden. Jika dicermati, ini menguatkan bahwa adanya hubungan yang kurang harmonis antara keduanya. Kompetisi yang berujung pada rivalitas ini secara tidak langsung berimbas pada kekompakan kabinet. 73 Dalam praktik politik selama Pemerintahan SBY-JK berjalan, Wapres JK mengambil porsi yang lebih banyak daripada Presiden SBY. Contohnya Jusuf Kalla sangat aktif dalam menyelesaikan beberapa persoalan, misalnya penyelesaian Aceh, JK mengambil alih kebijakan tanpa meminta persetujuan presiden SBY, JK melakukan dialog dengan masyarakat Aceh dan GAM, sebelumnya SBY ingin menggunakan pendekatan militer dalam menyelasaikan kasus Aceh namun JK tetap kokoh dengan pendapat bahwa aceh diselesaikan dengan pendekatan psikologi masyarakat dalam hal ini. Terlihat jelas bagaimana peran JK dalam kebijakan penyelasian konflik Aceh. Dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu peranan JK sangat dominan hal ini atas pertimbangan suara Golkar di DPR mencapai 23 sedangkan Demokrat 10,4 hal ini yang membuat JK leluasa dalam penentuan jumlah menteri di KIB. Pada pilpres 2004 Golkar bukanlah merupakan partai pendukung SBY-JK tetapi Golkar mencalonkan calon sendiri yaitu Wiranto, namun pasca terpilihnya JK sebagai Ketua umum Golkar maka JK menetapkan 4 menteri dari Golkar sedangkan menteri dari partai demokrat berjumlah 2 menteri. Pada periode 2004-2009, Kabinet Indonesia Bersatu terdiri atas 34 menteri, dimana 17 orang menteri berasal dari partai politik dan 17 orang lagi berasal dari profesional. Tabel 4. Menteri-menteri yang berasal dari Partai Politik Parpol Posisi dan Nama 73 Hanta Yuda. Op.,cit. Hal. 226-230. Universitas Sumatera Utara Demokrat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara: Taufiq Effendi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik Golkar Menko Kesra: Aburizal Bakrie Menteri Perindustrian: Fahmi Idris Menteri Negara PPNKepala Bapennas: Paskah Suzetta Menteri Hukum dan HAM: Andi Mattalatta PPP Menteri Sosial: Bachtiar Chamsyah Menteri Koperasi dan UKM: Suryadharma Ali PKS Menteri Pertanian: Anton Apriyantono Menteri Pemuda dan Olahraga: Adhiyaksa Dault Menteri Perumahan Rakyat: Muhammad Yusuf Ashari PAN Menteri Perhubungan: Hatta Rajasa Menteri Pendidikan Nasional: Bambang Sudibyo PKB Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal: Lukman Edy Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Erman Suparno PBB Menteri Kehutanan: M.S. Kaban PKPI Menteri Pemberdayaan Perempuan: Meutia Hatta Sumber: http:id.wikipedia.orgwikiKabinet_Indonesia_Bersatu dan buku Hanta Yuda AR. Dapat dilihat dari 17 jatah partai politik yang mendapat jatah kursi menteri, Partai Golkar memiliki jumlah yang paling dominan yaitu 4 orang kadernya yang menempati posisi yang cukup sentral didalam pemerintahan yang dilanjutkan oleh PKS dengan 3 menteri. Kondisi ini sangat jelas menunjukan bagaimana kekuasaan JK dalam penentuan kabinet di KIB. Kebijakan kenaikan BBM tahun 2005 pada awalnya merupakan usulan partai Golkar dimana pada saat itu partai demokrat masih menolak isu kenaikan BBM, Universitas Sumatera Utara tetapi kenaikan BBM akhirnya terelisasi pada 1 oktober 2005, yang menunjukan Peran yang dimainkan JK dalam berbagai kebijakan penting dan strategis itu sangat besar, bahkan tak jarang mendahului dan berbeda dengan SBY. Kondisi itu berlanjut ketika BBM jenis minyak tanah mulai langka di masyarakat JK kemudian mengusulkan konversi Minyak tanah ke Gas, usulan itu langsung dibawa ke DPR dan akhirnya disetujuim melalui peraturan pemerintah no 104 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan LPG ukuran berat 3 kg dan peratutan menteri ESDM tahun 2007 tentang penyelenggara, penyedia dan pendistribusian gas LPG ukuran 3 kg yang merupakan dasar hukum kebijakan tersebut. 74 Realitas politik itu membuktikan bahwa konsep normatif presidensial sulit diimplementasikan dalam struktur sistem pemerintahan presidensialisme yang dipadukan dengan sistem multipartai. Konsep tersebut jika dilihat pada realitasnya akan mengalami benturan-benturan. Konsepsi konstitusi bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang presiden dan dalam menjalankan kewajibannya presiden dibantu wakil presiden sulit diterapkan secara efektif. Idealnya, jika ada pembagian tugas yang diberikan kepada wakil presiden, bukan berarti pemisahan atau pembagian kekuasaan presiden, tetapi lebih sebagai bentuk pelimpahan sebagian kewajiban presiden kepada wakilnya, sedangkan kekuasaan teap utuh dipegang presiden sendiri. Tetapi, konsepsi ini mengalami dilema. Kompromi akan menjadi pilihan logis bagi situasi pemerintahan ketika sumber daya politik wakil presiden melebihi presiden. Selain itu, regulasi tentang relasi presiden dan wakil presiden belum secara tegas dan rinci diatur dalam konstitusi maupun undang-undang dibawanya. UUD 1945 hanya menyatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu Wakil Presiden. Karena itu posisi wakil presiden dalam konstitusi tidak berbeda dengan posisi menteri, yaitu untuk membantu presiden. Faktor masih minimnya 74 http:roedy25.blogspot.com201203pengaruh-konversi-minyak-tanah-ke-gas.html diunduh pada tanggal 13 juli 2012 pukul 14.56 Wib. Universitas Sumatera Utara pengaturan tentang relasi presiden-wakil presiden ini juga berkontribusi bagi terjadinya kerenggangan hubungan presiden dan wakil presiden. 75

III. 4. Hak Prerogratif Presiden Tereduksi

Hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya, seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas 75 Wawancara dengan Arie Sujito Pengamat sosial politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Peradilan semu Hukum USU, Medan tanggal 9 Juli 2012 pukul 14.47 wib Universitas Sumatera Utara yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat 1. Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang- undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan- kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. 76 Posisi politik presiden pasca reformasi secara politis kuat karena dijamin konstitusi. Prinsif normative sistem presidensial dalam konstitusi memberi kekuasaan-kekuasaan prerogatif kepada presiden Yudhoyono, termasuk kekuasaan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian mentri. Rumusan normatif sistem presidensial mengenai kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan terdapat dalm konstitusi. Dalam konstitusi disebutkan bahwa presiden memiliki beberapa kewenangan. Pertama, kewenangan dibidang eksekutif dan politik administratif yaitu kewenangan presiden memimpin dan menyelenggarakan pemerinttah serta mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet. Kewenangan ini biasa disebut dengan hak prerogatif presiden. Kedua, kewenangan yang bersifat legislatif, yaitu kewenangan presiden mengatur kepentingan publik. Ketiga, kewenangan bersifat yuridis, yaitu kewenangan mengurangi hukuman, memberikan pengampunan atau mengahpuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan grasi abolisi dan amnesti. Keempat, kewenangan bersifat diplomatik, yaitu 76 Syamsuddin Haris., Loc.,cit. Hal.3. Universitas Sumatera Utara kewenangan menjalankan hubungan dengan negara lain dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun dalam kondisi damai. 77 Kewenangan Presiden SBY yang paling utama mengalami kompromi sebagai konsekuensi diterapkan dalam kondisi multipartai pragmatis saat ini adalah kewenangan dalam penyusunan cabinet, khususnya hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Pada proses penyusunan kabinet, presiden SBY didorong untuk berkompromi dengan partai mitra koalisi pemerintah. Selain hak prerogatif dalam menyusun cabinet, kewenangan presiden dalam bidang legislasipun relatif lemah dihadapan DPR. Presiden dalam konstruksi presidensialisme Indonesia tidak memiliki hak veto secara eksplisit terhadap UU, seperti umumnya dimiliki presiden di negara-negara yang menganut sistem presidensial, hal ini terjadi pasca terpilihnya SBY beberapa petinggi partai politik seperti PAN, dan PKS langsung mendatangi cikeas untuk meminta jatah menteri yang harusnya merupakan kewenangan seorang Presiden. 78 Meskipun Presiden SBY dipilih langsung oleh rakyat, hak prerogatif tidak seutuhnya dapat berjalan mulus. Hal ini karena presiden SBY bukan presiden dari partai politik yang menguasai mayoritas kekuatan di DPR. Partai presiden SBY pada periode 2004-2009 hanya menguasai 10 kekuatan DPR. Akibatnya, secara politis Presiden SBY harus mempertimbangkan kepentingan partai politik. Fenomena akomodasi presiden terhadap partai politik ini sangat kentara dengan proses penyusunan dan reshuffle cabinet, kekuatan SBY sebagai presiden yang dipilih oleh rakyat di intervensi partai-partai politik, dan intervensi ini semakin kuat ketika presiden melakukan akomodasi terhadap kepentingan-kepentingan partai politik tersebut. Padahal secara konstitusional dalam sistem presidensial, presiden SBY memiliki hak prerogatif tanpa harus memperhatikan intervensi 77 Jimly Asshiddiqie. Pergumulan pergumulan peran pemerintahan dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Jakarta : FH UI press. Hal. 89. 78 Majalah Gatra. Banyak Jalan ke SBY, No 49 tahun X 23 oktober 2004. Hal.24 Universitas Sumatera Utara partai politik, karena secara politis presiden SBY didukung langsung oleh rakyat. 79 Karakteristik sistem presidensial bahwa kekuasaan membentuk kabinet adalah hak prerogatif presiden telah diatur dalam konstitusi yang menyebut bahwa para menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, namun justru sebaliknya, presiden SBY sangat akomodatif. Pengangkatan sejumlah menteri dikabinet sebenarnya bukan atas keinginan presiden, presiden sudah dibatasi oleh daftar nama-nama yang diberikan oleh partai politik. Menjelang penyusunan cabinet, masing-masing partai-partai politik. Menjelang penyusunan cabinet, masing- masing partai politik mitra koalisi telah mengirimkan daftar nama-nama presiden kepada SBY. Rata-rata menteri berasal dari unsur partai politik sebenarnya lebih mementingkan pilihan partai politik asalnya daripada pilihan pribadi presiden. Reduksi kekuasaan presiden terlihat dalam proses-proses politik menjelang pembentukan maupun reshuffle kabinet. Setelah dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan presiden putaran kedua oleh KPU, Presiden SBY mulai melakukan seleksi terhadap para calon menteri. Menjelang penyusunan kabinet, bursa kandidat menteri sudah mulai dibuka dan SBYsejak pertengahan Oktober 2004 mulai memanggil calon menteri dalam rangka seleksi. Para kandidat menteri diundang untuk berdialog dengan SBY, bahkan sudah diminta menandatangani komitmen untuk bekerja keras, jujur, dan loyal pada akhir seleksi. Hal ini tentu sejalan dengan posisi SBY sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensial yang memiliki hak prerogatif penuh. 80 79 Hanta yuda., op.,cit. Hal 202. Dalam peristiwa politik yang telah mereduksi hak prerogatif Presiden SBY dalam penyusunan kabinet telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara sejumlah partai politik dan elit politik yang mengklaim memiliki kontribusi bagi naiknya SBY sebagai presiden. 80 Hanta Yuda.,Hal. 203-204. Universitas Sumatera Utara Pada pemerintahan SBY-JK pada periode 2004-2009 terdapat jatah mentri dari berbagai parpol koalisi yang ada di pemerintah yaitu Golkar 127 kursi di DPR mendapatkan 3 Mentri, PKB 52 kursi di DPR mendapatkan 2 Menteri, PPP 58 kursi di DPR mendapatkan 2 Menteri, PD 56 kursi di DPR mendapatkan 2 Mentri, PKS 45 kursi di DPR mendapatkan 3 Mentri, PAN 53 kursi di DPR mendapatkan 3 Menteri, PBB 11 kursi di DPR mendapatkan 1 Menteri, PKPI 1 kursi di DPR mendapatkan 1 Menteri jika di akumulasikan dari Total 404 anggota DPR di parlemen maka 17 orang adalah menteri-menteri yang berasal dari utusan partai politik. 81 Hal ini diiperkuat oleh wawancara saya dengan bapak Yuddy Crisnandy yang mengatakan, proses politik detik-detik menjelang pengumuman susunan kabinet terlihat sangat tersendat-sendat. Akhirnya keputusan final susunan kabinet diumumkan Presiden SBY setelah melakukan kompromi politik dengan berbagai kalangan, terutama partai politik. Kondisi seperti ini menunjukkan seolah SBY memiliki keinginan besar untuk mengakomodasi seluruh kelompok kepentingan, terutama partai politik mitra koalisi pemerintah. Langkah politik akomodatif yang diambil Presiden SBY ini telah mereduksi kekuasaan dan kewenangannya sendiri. Partai-partai mitra koalisi pemerintah secara langsung maupun tidak langsung juga melakukan intervensi kepada presiden secara langsung maupun tidak langsung juga melakukan intervensi kepada Presiden SBY. Model intervensi partai politik ini dalam bentuk kebijakan, program kabinet, maupun personal kabinet. Sementara SBY melakukan kompromi bahkan sangat akomodatif, akibat dari tekanan politik dari partai politik. Kondisi politik seperti ini jelas mengurangi kekuasaan seorang presiden dalam sistem presidensial. Implikasinya, kekuasaan prerogatif yang dimiliki Presiden SBY tereduksi kekuasaannya oleh intervensi elit partai politik. Namun, reduksi kekuasaan prerogatif ini tidak sampai mengancam eksistensi posisi politik presiden. Reduksi kekuasaan ini juga tidak sampai menggeser posisi SBY sebagai kepala pemerintahan menjadi sekadar kepala 81 Kuskrido ambardi. op.,cit. Hal. 157. Universitas Sumatera Utara negara yang bersifat simbolik. Sistem presidensial secara UUD 1945, namun secara pelaksanaanya aneh karena ada sistem multi partai dan ada sistem koalisi yang sebenarnya tidak efektif dalam pemerintahan Indonesia. Secara history pada pemilu 1955 Indonesia menganut sistem multipartai namun pada saat itu Indonesia menganut sistem Parlementer. Sejarah reformasi memang memaksa kita untuk melaksanakan pemilu dengan sistem multi partai akibat desakan demokratisasi di Indonesia. Pemilu 2004 adalah salah satu momentum dalam pemerintahan Indonesia karena ditahun inilah Indonesia untuk pertama kali melaksanakan Pemilihan umum presiden secara langsung. Presiden merupakan kepala eksekutif tunggal pada saat itu karena Indonesia menganut sistem Presidensial. Tetapi hal yang aneh adalah dalam menentukan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu, Presiden SBY harus meminta persutujuan Partai politik. Secara sejarah ini baru terjadi di Indonesia, ini sangat jauh dari konsep zaken cabinet yang menempatkan menteri sesuai dengan porsi dan profesionalitas serta keahliannya. Kondisi seperti ini sangatlah berbeda dengan teori presidensial yang ada, kita tidak menemukan presiden yang kuat dan mandiri dalam hal kebijakannya sebagai penentu menteri. Sistem multipartai dalam sistem presidensial pada akhirnya akan merusak demokrasi dengan melahirkan politik transaksional di pemerintah dan DPR. Posisi politik Golkar pada periode 2004- 2009 sangat sentral dimana pada saat itu Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden, ditambah lagi jumlah politisi Golkar yang ada di DPR 127 kursi yang membuat keputusan-keputusan politik yang dilakukan oleh SBY harus meminta ijin kepada JK. JK kemudian menginstruksikan kepada anggota-anggota DPR melalui ketua Fraksi Golkar 2004-2009 bapak Priyo Budi Santoso untuk mengkordinasikan setiap kebijakan yang akan dilakukan. Ini yang membuat posisi JK secara politik lebih kuat dibandingkan posisi SBY pada 2004- 2009. 82 82 Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi anggota DPR RI dari Fraksi partai Golkar periode 2004-2009 Universitas Sumatera Utara Terlihat adanya kesenjangan politik yang terjadi diakibatkan sistem multipartai yang digabungkan dengan sistem presidensial, padahal apabila dilihat dari realitas yang ada, pada pemerintahan SBY-JK adalah sebuah gambaran demokrasi yang sesungguhnya yakni ketika presiden dipilih langsung oleh rakyatnya, hal ini merupakan catatan baru dalam sejarah pemilu di Indonesia. Namun dengan adanya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemerintahan yang efektif. sekaligus Mantan DPP Golkar bidang Hukum dan Ham, pada tanggal 20 juli 2012 pukul 13.46 Wib. Universitas Sumatera Utara BAB IV PENUTUP

IV.1. Kesimpulan