BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem multi-partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang
majemuk, baik secara cultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya
dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui
pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen.
1
Sistem multi-partai di Indonesia diterapkan mengiringi Pemilu 1999 sebagai bagian dari tuntutan reformasi tidak diperhitungkan secara cermat sebagai sarana
memodernisasikan masyarakat, dan melupakan bahwa sistem multi partai relatif lebih mudah menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem
satu-partai, atau pun sistem dua-partai. Pada hakikatnya sistem multi partai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat.
Dengan demikian, bila timbul kekecewaan terhadap badan legislative dan pemerintah hasil Pemilu sebenarnya sudah dapar diperkirakan sebelumnya jika
yang tumbuh pada saat itu adalah rasionalitas dalam kehidupan politik Indonesia, jika melihat hasil pemilu pasca reformasi dan amandemen UU 1945, maka bangsa
ini boleh dikatakan tergesa-gesa mengambil keputusan menerapkan sistem multi- partai yang susungguhnya berlawanan dengan kondisi Indonesia membutuhkan
stabilitas. Bahkan pada keadaan pemerintahan stabil pun, sistem multi partai yang kita kembangkan tidak cocok bila bercermin dinegara maju dan stabil
1
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. 2010. Jakarta : KPG. Hal.161-162.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahannya seperti Amerika Serikat yang tidak menganut sistem multi partai.
Pasca berakhirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapatkan kesempatan
untuk mendirikan partai, atas dasar itu pemerintah mengeluarkan UU No.21999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan adalah mendirikan suatu
sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi juga tidak memberikan peluang kepada eksekutif untuk
terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945.
Pada pemilihan umum 1999 jumlah partai politik yang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu 48 partai politi, dimana perolehan suara enam besar dalam
pemilu 1999 yaitu: PDIP dengan 33,11 suara dan 153 kursi, Partai Golkar dengan 25,97 suara dan 120 kursi, PPP 12,55 suara dan 58 kursi, PKB
dengan 11,03 dan 51 kursi, PAN 7,35 suara dan 34 kursi, PBB dengan 2,81 suara dan 13 kursi. PDIP yang memperoleh suara paling banyak, ternyata tidak
dapat menjadikan Megawati Soekarno Putri ketua umum menjadi presiden RI yang keempat. Dengan adanya koalisi partai islam dan beberapa partai baru
menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi lemah. Pada saat itu koalisi partai-partai islam berhasil memenangkan
Kyai H. Abdurrahman Wahid dari PKB yang hanya memperoleh 51 kursi di DPR.
2
Pada pemilihan umum 2004 yang lolos seleksi ada 24 partai. Dimana hasil pemilu 2004 enam besar yaitu Partai Golkar dengan 21,58 suara dan 128 kursi,
PDIP dengan 18,53 suara dan 109 kursi, PKB 10,57 suara dan 52 kursi, PPP dengan 8,15 dan 58 kursi, Partai Demokrat 7,45 dan 57 kursi.
3
2
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 450
Pemilu 2004
3
Miriam Budiardjo. Ibid., 454
Universitas Sumatera Utara
adalah pemilu pertama di Indonesia yang presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Dimana menurut Pasal 5 UU No.23 tahun 2003 tentang
syarat partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah 15 dari jumlah kursi di DPR atau 20 dari perolehan suara sah secara nasional dalam
pemilu legislatif. Hal ini jelas bahwa hanya Partai Golkar dan PDIP yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri. Namun faktanya justru Partai
Demokrat yang hanya memperoleh 7,45 suara berhasil mengantarkan Ketua Dewan Pembinanya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden kelima
Republik Indonesia dengan dibantu koalisi PKS , PBB, dan PKPI.
4
Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif,
dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik.
Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat
masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan
menggantikan posisinya. Dalam sistem presidensial, pemilu diadakan dua kali pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden.
5
Sejarah pemerintahan presidensial Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara. Pelembagaan
sistem presidensial itu dimulai bersamaan dengan kelahiran Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Tepatnya sehari setelah proklamasi
kemerdekaan RI, UUD sebagai konstitusi tertinggi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
4
Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal 66
5
Seta basri. Pengantar ilmu Politik. 2011. Yogyakarta : Indiebookcorner. Hal.50
Universitas Sumatera Utara
PPKI. Sejak 18 Agustus 1945, sistem presidensial secara resmi dilembagakan melalui konstitusi.
6
Sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar bagi presiden, disamping sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, presiden juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Hal ini tercantum pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945
sebelum amandemen. Pada masa itu terjadi pencarian jati diri demokrasi demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, salah satu contohnya adalah ketika
perubahan sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer yang dimulai pada tanggal 14 November 1945. Sistem ini selanjutnya dikukuhkan
dalam UUD RIS 1949. Perubahan ini dianggap perlu untuk mendorong proses demokratisasi dan
mengatasi kecaman-kecaman dari pihak sekutu yang menanggap kemerdekaan Indonesia adalah rekayasa Jepang. Namun sistem parlementer ini tidak bertahan
lama. Pada awal revolusi fisik, partai-partai politik memainkan peran penting dalam proses membuat keputusan-keputusan. Wakil-wakil partai duduk dalam
kabinet, tetapi stabilitas politik tidak juga tercapai,tidak adanya partai dengan mayoritas yang jelas menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi
antara partai besar dengan partai-partai kecil. Dan biasanya koalisi ini hanya bertahan kira-kira satu tahun.
7
Oleh sebab itu, Presiden Soekarno memaklumatkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk: 1 kembali ke Undang-Undang Dasar RI 1945; 2 membubarkan DPR dan
konstituante; 3 membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara DPRS. Anggota DPRS ini ditunjuk langsung oleh presiden dengan mencoba
menerapkan apa yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin Guided Democracy.
8
Pada masa pemerintahan Soekarno, pasca dekrit presiden 5 Juli 1959, pemerintahan orde lama terpusat pada keputusan presiden, karena pada waktu itu
6
Hanta Yuda AR Op.Cit., Hal.78
7
Prof.Miriam Budiardjo. Op.Cit., Hal 426-428
8
Hafied Cangara. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press. Hal.239
Universitas Sumatera Utara
keputusan MPRS menetapkan Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup di Indonesia dan pemerintahan Soekarno disebut dengan demokrasi terpimpin.
Selain itu, berdasarkan penetapan presiden no.141960, presiden diberi wewenang untuk mengambil keputusan untuk mencapai mufakat dalam suatu hal atau suatu
rancangan undang-undang. Hal ini juga berlanjut pada masa orde baru dimasa pemerintahan Soeharto.
Pada saat itu dominasi dan peran Soeharto sangat dominan bersama ABRI, Golongan Karya, dan Birokrasi. Soeharto menjalankan pemerintahan yang
sentralistik dan terpusat sehingga kedudukan Soeharto sebagai presiden sangat dominan yang menyebabkan tidak satupun elit politik nasional yang dapat
dianggap sebagai calon pengganti Soeharto, mereka hanya dianggap sebagai orang-orang yang mengikuti Soeharto. Mereka bersaing dengan mereka sendiri
untuk mendapatkan posisi terdekat dengan Soeharto, tidak satupun tokoh-tokoh pada masa orde baru yang mau bersaing langsung dengan Soeharto.
9
Pada masa Orde Baru, pemerintah menyederhanakan partai politik sehingga hanya tinggal 2 partai dan 1 golongan karya yang dapat berlaga dalam pemilu, dan
selain itu tidak boleh ada partai lain. Dengan sistem yang otoriter tersebut, maka terciptalah sistem pemerintahan presidensial yang otoriter, atau Mahfud MD
menyebutnya sebagai Rezim Otoriter Birokratis. Dengan melakukan politik hukum seperti ini, maka pada masa pemerintahan Presiden Soeharto memang
gejolak politik bisa ditekan dengan membatasi jumlah partai yang ada di DPR, bahkan pelarangan untuk mendirikan partai baru.
10
Langkah terobosan yang dilakukan pada masa reformasi adalah amandemen UUD 1945 yang mengubah UUD 1945 secara drastis sehingga lebih demokratis.
UUD 1945 hasil amandemen memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Salah satu contohnya dengan mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan
wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Disamping itu, UUD 1945 hasil
9
Miriam Budiardjo. Op.Cit. hal.312
10
Hafied Cangara. Op.Cit., hal 256
Universitas Sumatera Utara
amandemen mempersulit pemecatan impeachment presiden oleh MPR. Disamping itu, dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak preogratif untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri sebagai pembantunya. Faktanya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004-2009
tidak sepenuhnya dapat menjalankan sistem presidensial tersebut. Hal ini disebabkan oleh suara partai demokrat pada pemilu legislatif 2004 sangat rendah
7,45 yang membutuhkan koalisi partai lain untuk mengikuti pemilihan presiden yang berdasarkan Pasal 5 UU No.23 tahun 2003 harus memiliki 15
suara partai atau 20 kursi di DPR, sehingga ada kontrak politik tentang penyusunan kabinet ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden.
Tidak hanya itu setelah terpilih, SBY harus membagi kekuasaan dengan wakil presiden Jusuf Kalla yang memang adalah ketua umum Partai Golkar yang
memiliki 21,58 suara atau 128 kursi sehingga Partai Golkar lebih mendominasi parlemen daripada Partai Demokrat. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan yang
diambil harus atas persetujuan Partai Golkar sehingga wakil presiden Jusuf Kalla memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam menentukan kebijakan daripada
Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden. Ketidakstabilan dalam sistem presidensial di Indonesia yang mana
ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin terlihat bila dipadukan dengan sistem multipartai. Perpaduan ini diyakini akan cenderung
melahirkan presiden minoritas dan pemerintahan terbelah. Kondisi ini terjadi ketika presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen. Pengalaman
di negara-negara Amerika Latin misalnya, perpaduan sistem presidensial dan multipartai dianggap telah mengalami kegagalan dan menghadirkan demokrasi
yang destruktif. Sementara itu, sistem multipartai yang kita anut dapat menyebabkan
disharmonisasi antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bisa mengarah pada kebuntuan antar kedua lembaga tersebut apabila yang menguasai
Universitas Sumatera Utara
lembaga kepresidenan dan yang menguasai parlemen dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem presidensial dalam hal ini adalah ketegangan antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Jika presiden mewakili salah satu partai dan parlemen mewakili partai lain, maka kesempatan presiden untuk bisa
menyelesaikan kegiatan sesuai dengan UU akan terlambat sekalipun dalam keadaan yang terbaik ia tetap membutuhkan para politisi di parlemen.
Kondisi pemerintahan presidensial di Indonesia pada periode 2004-2009 yang tidak stabil dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan UUD 1945 tentang
sistem presidensial di Indonesia. Koalisi kabinet yang terbangun di Indonesia pada periode ini merupakan koalisi yang sifatnya sementara dan pragmatis karena
hanya didasarkan pada kepentingan elit partai politik dan kepentingan kekuasaan. Koalisi yang terbangun tidak lagi didasari oleh faktor ideology atau persamaan
tujuan dan cita-cita partai politik tersebut. Disisi lain kewenangan dan hak preogratif presiden dalam menentukan kabinet tidak didasari oleh konsep zaken
kabinet tetapi atas pertimbangan dan perimbangan partai politik di parlemen. Ada sesuatu yang tidak lazim dalam pemerintahan presidensial di Indonesia, yaitu
kekuasaan parlemen lebih kuat dari kekuasaan presiden dalam memerintah yang membuat sistem pemerintahan di Indonesia seakan menganut sistem parlementer,
hal tersebutlah yang membuat saya tertarik untuk meneliti tentang pengaruh sistem multipartai terhadap sistem presidensial di Indonesia.
I.2. Perumusan Masalah