Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Belanja
Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
NIM H14100075
ABSTRAK
NINDYA ULFILIANJANI. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat
kemiskinan yang rendah mengindikasikan bahwa suatu daerah memiliki
kesejahteraan masyarakat yang baik. Untuk memperoleh kondisi tersebut,
diperlukan peran pemerintah dengan melakukan belanja daerah yang dapat
memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tujuan penelitian
ini adalah menjelaskan perkembangan belanja pemerintah daerah di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh belanja daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi
Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 8
kabupaten dan kota di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga
tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah terus
meningkat. Berdasarkan model dalam analisis, belanja barang dan jasa dan
belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah dan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.
Kata Kunci : belanja daerah, data panel, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
ABSTRACT
NINDYA ULFILIANJANI. The Influence of Government Expenditure on
Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised
by BAMBANG JUANDA.
Economic growth is one measure of economic development. The high
economic growth and low poverty indicates that an area has good public
prosperity. To get the high economic growth and low poverty required the
maximum role of government, by government expenditure. The purpose of this
study was to explain the development of government expenditure and analyzed the
influence of government expenditure on economic growth and poverty in Banten
Province. This research uses descriptive method and panel data on 8
districts/cities in Banten Province in the periode of 2009-2012. The result indicate
that the government expenditure in Banten Province always increase. Based on
the model in analysis, goods and service expenditure and capital expenditure have
a positive effect and significant contributions to the regional economic growth
and also have a negative effect and significant contributions to the poverty.
Keywords: economic growth, government expenditure, panel data, poverty
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pengaruh
Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
M.S. selaku pembimbing yang telah sabar dan selalu memberi arahan kepada
penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai dosen penguji utama
dan Bapak Dr. Muhammad Findi, M.E. sebagai dosen dari komisi pendidikan
yang telah bersedia menguji penulis dan memberi masukan yang bermanfaat bagi
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Ikarianto Haryadi,
ibunda Neni Isnaeni, adik Tyanka Pujisyadzani serta seluruh keluarga yang telah
memberikan kasih sayang, doa serta dukungan kepada penulis. Terima kasih
untuk teman satu bimbingan Efita, Elli, Gagas dan Lundu yang selalu berdiskusi
dan memberi masukan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada
sahabat-sahabat SMA Zahra, Dessy, Okristiana, Mutiara, Faitha, Yessie dan
Nabila yang selalu memberi nasihat dan motivasi selama penyusunan skripsi.
Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Irgandhini, Rengganis, Dita, Feby,
Rahman, Penny, Rahayu, Hardyani, Ayu, Afanina, Nabilah, Cynthia, Fitria, Elis,
Selly, Meliana, Ema, Riana, Uke, Chika dan Dwi yang telah tulus membantu,
memberi nasihat serta dukungan selama masa perkuliahan. Teman-teman Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan 47, teman-teman TPB A.21, HIPOTESA FEM
IPB 2013 dan PSM IPB Agria Swara terima kasih atas doa dan dukungan yang
telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
METODE PENELITIAN
10
Jenis dan Sumber Data
10
Metode Pengolahan dan Analisis Data
10
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
18
Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
20
Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten
22
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
25
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan
28
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data
2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012
4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan
(P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed
Effect Model, dan Random Effect Model)
7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi
8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect
Model, dan Random Effect Model)
9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan
10
16
17
20
21
25
27
29
30
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012
3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan
2000 tahun 2009-2012
5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012
6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
tahun 2012
7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013
8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013
1
2
3
18
19
22
24
25
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi
2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi
3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect
4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan
7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan
8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect
9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan
10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan
34
35
36
37
37
38
39
40
41
41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan ekonomi nasional yang tujuannya mendorong kemampuan daerah
mengelola sumber daya ekonomi untuk kemajuan daerah itu sendiri dan
kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah merupakan strategi dalam
pembangunan daerah yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat
Indonesia yang berazas demokrasi. Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat
dengan desentralisasi fiskal dalam mencapai efektifitas pelayanan publik. Hal ini
diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah,
yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dan ukuran
keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari
pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi akan memperlancar proses
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditunjukan oleh nilai
Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki
kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia. Tahun 2009 kontribusi Pulau Jawa
terhadap PDB Indonesia sebesar 58.6%, lalu kontribusinya menurun menjadi
58.1% pada tahun 2010 dan 57.59% di tahun 2011. Tahun 2012 kontribusinya
kembali meningkat menjadi 57.63%. Tingginya kontribusi Pulau Jawa terhadap
PDB nasional didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau
Jawa, terutama Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
8
DKI Jakarta
Persentase (%)
7
6
Jawa Barat
5
Banten
4
3
Jawa Tengah
2
1
0
2009
2010
2011
2012
DI
Yogyakarta
Jawa Timur
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2013 (diolah).
Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi keenam
provinsi di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi
2
Provinsi Banten mengalami penurunan di tahun 2012 dan berada di peringkat ke 5
setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nilai persentase
yang relatif kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa,
menunjukkan bahwa Provinsi Banten belum dapat memberikan kontribusi yang
maksimal untuk Pulau Jawa.
Selain pertumbuhan ekonomi, aspek pembangunan lainnya yang menjadi
fokus pemerintah daerah adalah kemiskinan. Di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah menempatkan penurunan
kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Persentase penduduk
miskin di Banten mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2012,
namun angkanya masih relatif kecil. Nilai persentase penduduk miskin Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2012 merupakan yang terendah sebesar 1.33%,
sementara Kabupaten Pandeglang memiliki nilai persentase penduduk miskin
tertinggi sebesar 9.27%. Masih tingginya angka kemiskinan ini menunjukkan
bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu untuk
menjangkau masyarakat miskin.
Kota Tangerang Selatan
Kabupaten/Kota
Kota Serang
Kota Cilegon
2009
Kota Tangerang
2010
Kab. Serang
2011
Kab. Tangerang
2012
Kab. Lebak
Kab. Pandeglang
0
5
10
15
Persentase (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten dan Nasional tahun 2009-2012
Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan adalah meningkatkan jumlah
belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk stimulus
yang dilakukan pemerintah untuk memacu perkembangan perekonomian daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan implementasi dari otonomi daerah,
sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk
mengelola sumber penerimaan dan melakukan pembelanjaan yang sesuai dengan
tujuan pembangunan daerah. Peningkatan jumlah belanja daerah idealnya disertai
3
dengan peningkatan program pencapaian pembangunan sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Realisasi belanja Provinsi Banten pada Gambar 2 menunjukkan
perkembangan jumlah belanja pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya.
Alokasi belanja pegawai masih mendominasi belanja pemerintah dan alokasinya
lebih besar dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja
modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan ternyata masih memiliki proporsi yang kecil
meskipun mengalami peningkatan setiap tahun, sehingga peningkatan jumlah
belanja daerah belum dapat optimal mendukung pembangunan. Dapat dilihat pada
Gambar 3, realisasi belanja modal pada tahun 2010 mengalami penurunan karena
dilakukan penghematan sebagian alokasi belanja modal untuk membiayai belanja
pegawai. Menurut Kementrian Keuangan, penghematan idealnya dilakukan
dengan tidak memotong belanja modal dengan jumlah besar atau meminimumkan
pemotongan belanja modal. Seharusnya penghematan dilakukan dengan
mengurangi alokasi belanja barang dan jasa.
7,000
Miliar rupiah
6,000
B.Pegawai
5,000
B.Modal
4,000
B.Barang
&Jasa
B.Lainnya
3,000
2,000
1,000
0
2009
2010
2011
2012
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
Perumusan Masalah
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya.
Seharusnya alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di era desentralisasi
ini memiliki porsi yang lebih besar, karena kedua belanja tersebut merupakan
belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah (Kemenkeu 2011). Selain itu, peningkatan jumlah belanja
pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dampak yang sama pada laju
pertumbuhan ekonomi Banten, yang justru menurun di tahun 2012.
Ketika penurunan angka kemiskinan dikaitkan dengan besarnya pengeluaran
yang direalisasikan, kenyataannya hal ini tidak sesuai karena penurunan angka
kemiskinan di Banten sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan anggaran yang
4
disediakan. Seharusnya belanja daerah yang berkualitas diharapkan dapat
mendukung pemerataan pembangunan dan terselenggaranya pelayanan publik
sesuai dengan tujuan desentralisasi. Ketidakselarasan antara pengeluaran
pemerintah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten ini yang menjadi masalah
dalam penelitian.
Apabila tujuan utama anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi,
maka kualitas belanja daerah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipenuhi. Jika
proses pembangunan dapat berjalan dengan semestinya, maka pertumbuhan
ekonomi akan meningkat dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan
sehingga dapat memacu pembangunan daerah. Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan, permasalahan pokok yang muncul untuk dianalisis dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan belanja
pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
2. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
2. Menganalisis besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
Di samping untuk menjawab permasalahan yang ada, adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan fiskal pemerintah maupun instansi terkait di Provinsi
Banten.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat memberi
manfaat bagi pembacanya.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian
berikutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Banten dengan
periode waktu penelitian tahun 2009 sampai tahun 2012. Hal ini dikarenakan
pemekaran Kota Tangerang Selatan diresmikan pada tahun 2009.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi
Menurut Bappenas (1999) Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan
global. Selanjutnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah
secara merata dan berkeadilan. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu
proses perubahan peningkatan kualitas hidup manusia yang merupakan perubahan
perubahan ekonomi dan sosial.
Menurut Todaro dan Smith (2006) Perubahan ekonomi dan sosial dapat
dicapai dengan cara yang berbeda tergantung dari tujuan pembangunan tersebut.
Pada umumnya tujuan pembangunan mencangkup hal-hal pokok seperti
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan pendapatan
masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pembangunan
antar daerah. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu
pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai
Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Badan
pusat statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu daerah yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi. PDRB dihitung
dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.
Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus
sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional
yang semakin besar. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
1. Akumulasi modal, merupakan semua bentuk investasi baru yang ditanamkan
seperti tanah, peralatan listrik serta sumber daya manusia melalui peningkatan
di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan.
2. Pertumbuhan jumlah penduduk, yang akan menyebabkan pertumbuhan
angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi, yang merupakan sarana untuk memudahkan pekerjaan.
6
Kemiskinan
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang
rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit, perumahan yang
kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia
dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa
diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per
capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi
pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Todaro (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diukur dengan atau
tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu
kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang
pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemenuhan
sumberdaya pokok untuk kesejahteaan, termasuk makanan, air, perumahan, tanah,
kesehatan dan pendidikan. Sementara kemiskinan relatif merupakan kondisi yang
disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau
masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi
pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal
tersebut adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2,100
kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti
perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Pengeluaran Pemerintah Daerah
Pengeluaran pemerintah merupakan suatu tindakan untuk mengatur jalannya
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) untuk daerah. APBD merupakan acuan bagi pemerintah
dalam melaksanakan kegiatan ekonomi ke depan yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Alokasi anggaran ke dalam pos-pos
pengeluaran akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perekonomian. Pengeluaran pemerintah merupakan proxy terhadap
kebutuhan daerah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan
kesehatan, pengeluaran yang menyediakan polisi dan tentara, pengeluaran gaji
untuk pegawai pemerintah, dan pengeluaran untuk mengembangkan infrastruktur
yang dibuat untuk kepentingan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah
diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten dan kota. Format belanja dikelompokan ke
dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja
7
tidak langsung merupakan belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh
pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri atas belanja pegawai, belanja
bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung merupakan
belanja yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait
secara langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang bersifat
menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik,
yang terdiri atas:
1. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS dan pegawai yang dipekerjakan
oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan
yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan
modal.
2. Belanja barang dan jasa. Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari
belanja pengadaan barang dan jasa-jasa, belanja pemeliharaan, dan belanja
perjalanan.
3. Belanja modal. Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang dilakukan
dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi
antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal fisik lainnya.
Dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi, PDB(Y) terdiri
dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (XM) atau (Y = C + I + G + (X-M)). Belanja pemerintah mengarah kepada konsumsi
(C).
Teori Pengeluaran Pemerintah
Dalam teori ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hukum
Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pertumbuhan
ekonomi meningkat maka pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Hukum
Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State”, dimana analogi untuk
Hukum Wagner ini adalah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka
kebutuhan akan penyediaan barang publik juga akan meningkat sehingga
dibutuhkan pembiayaan melalui penerimaan pemerintah yang pada akhirnya
pengeluaran pemerintah juga akan meningkat atau dapat diartikan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi juga akan mencerminkan besarnya dana pengeluaran
pemerintah untuk membiayai kebutuhan layanan jasa pemerintah. Namun Aliran
Keynesian menggambarkan sebaliknya, bahwa dengan adanya peningkatan
8
pengeluaran pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa
secara agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Model Rostow dan Musgrave
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang
dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal
perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi
lebih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana dan
prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan prasarana transportasi.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin
besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak dan kualitas yang lebih baik.
Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa
pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Penelitian Terdahulu
Sodik (2007) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh pengeluaran
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 provinsi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel dengan metode fixed
effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah, konsumsi
pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, namun variabel investasi
swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Siti Anni Makhrifah (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis
pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan metode analisis Vector Auto
Regressive (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, belanja modal berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam
jangka pendek. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap
kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga akan naik.
Nur Saidah (2011) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh belanja
pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal
dengan menggunakan teknik analisis data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa variabel belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya memiliki pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja fungsi
kesehatan dan pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
9
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel angkatan kerja tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Haryanto (2013) dalam penelitiannya menganalisis mengenai pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel
dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung secara
bersama-sama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Pemikiran
Menciptakan pembangunan yang merata merupakan tujuan akhir dari
desentralisasi fiskal. Agar dapat menciptakan pembangunan tersebut, diperlukan
komposisi belanja daerah yang berkualitas agar penyerapan dana pemerintah
dapat mendorong aspek-aspek pembangunan secara stabil dan merata. Dengan
keleluasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya, diharapkan pemerintah daerah dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi persentase penduduk miskin. Hal inilah
yang menjadi panduan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap
pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Banten. Sistematis kerangka
pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.
Desentralisasi Fiskal
Pendapatan Pemerintah
Belanja Pemerintah
Belanja
Pegawai
Belanja
Modal
Pertumbuhan Ekonomi
Belanja Barang
dan Jasa
Kemiskinan
Analisis Deskriptif dan Data Panel
Gambar 3 Kerangka pemikiran
10
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Belanja Modal dan belanja barang dan jasa diduga mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara positif dan mempengaruhi persentase penduduk
miskin secara negatif.
2. Belanja pegawai diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif
dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara positif.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data cross
section yang digunakan terdiri dari 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten serta
data time series tahunan periode 2009 hingga 2012. Referensi pendukung lainnya
berupa buku, jurnal, dan artikel diperoleh dari Perpustakan BPS, Perpustakaan
IPB dan internet yang relefan dengan penelitian ini.
Tabel 1 Jenis dan sumber data
Jenis Data
Belanja Pegawai
Belanja Modal
Belanja Barang dan Jasa
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Atas Dasar Harga Konstan 2000
Persentase Penduduk Miskin
Sumber
Kemenkeu: Realisasi APBD
Kemenkeu: Realisasi APBD
Kemenkeu: Realisasi APBD
BPS Provinsi Banten
BPS Provinsi Banten
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran umum hasil penelitian secara sederhana dalam bentuk
gambar dan tabel. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan
belanja pemerintah daerah serta perkembangan pertumbuhan ekonomi dan
11
kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009
hingga tahun 2012.
Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh
belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Pengolahan data panel dilakukan menggunakan
software Microsoft Excel dan Eviews 6. Menurut Gujarati (2005), data panel
(pooled data) merupakan gabungan antara data time series dan data cross section.
Data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap
satu individu dan data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam
satu waktu terhadap banyak individu. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data
panel dapat mengendalikan heterogenitas data individual, dapat menyajikan data
yang lebih informatif, bervariasi, memiliki kolineritas antar variabel yang kecil,
memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien. Data panel juga
lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi
secara sederhana pada model cross section dan model time series. Data panel
lebih sesuai untuk menguji model perilaku yang kompleks dibandingkan dengan
model data cross section dan model time series.
Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel,
yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek
acak atau Random Effect. Gujarati (2003)
1. Metode Pooled Least Square (PLS)
Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki
intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut:
Yit = α i + β Xit + uit
dimana i merupakan kabupaten/kota yang diobservasi dalam data cross section
dan t merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki
keterbatasan, karena intersep dan slope dari setiap variabel siasumsikan konstan
untuk setiap data yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena
setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri. dalam membedakan
intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal
dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai
berikut:
Yit= β 0i + β 1X1it + β 2X2it +.....+ β nXnit + uit
dimana β 0i merupakan intersep dan β 1, β 2 merupakan slope. Diasumsikan
bahwa slope konstan tetapi intersep berbeda untuk setiap individu, i
menggambarkan intersep berbeda antar kabupaten/kota namun intersep masingmasing kabupaten/kota tidak berbeda antar waktu (time invariant).
3. Random Effect Model (REM)
Pada metode random effect model, intersep tidak lagi dianggap konstan,
melainkan dianggap sebagai peubah random. Nilai intersep dari masing-masing
individu didefinisikan sebagai berikut:
12
β 0i = β 0 + ei ; dengan i = 1,2,...,N
dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam
= σ ². Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut:
Yit = β 0 + β 1X1it + β 2X2it + eit + uit
Pengujian Kesesuaian Model
Untuk memilih metode yang akan digunakan, perlu dilakukan uji kesesuaian
model sebagai berikut:
1. Chow Test
Uji Chow dilakukan untuk memilih apakah model yang lebih baik
digunakan adalah model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Hipotesis
uji Chow sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square (Restricted)
H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
2. Hausman Test
Setelah melakukan uji Chow, untuk memilih model fixed effect atau random
effect yang lebih baik digunakan dalam penelitian, dengan asumsi terdapat atau
tidak korelasi antara regressor dan efek individu, dilakukan uji Hausman.
Hipotesis Uji Hausman sebagai berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
Pengujian Kriteria Ekonometrika
1. Multikolinearitas
Suatu model yang terbebas dari multikolinearitas artinya tidak ada
hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda.
Salah satu cara untuk memastikan ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat
dilihat dari koefisien korelasi antara peubah bebas dalam model. Jika nilai
13
masing-masing koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R²
maka model tersebut memiliki masalah multikolinearitas.
2. Heteroskedastisitas
Suatu model yang terbebas dari heteroskedastisitas artinya variant dari error
bersifat konstan atau bersifat homoskedastis. Menurut Gujarati (2006), apabila
masalah heteroskedastisitas terjadi maka pengujian hipotesis tidak bisa diandalkan
karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Salah satu cara
untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dengan menggunakan
metode GLS Weight Cross-section. Apabila nilai Sum Square Resid Weighted
lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Square Resid Unweighted, maka dapat
disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
3. Autokorelasi
Suatu model dikatakan bebas dari masalah autokorelasi apabila pengamatan
satu dan pengamatan lainnya tidak memiliki keterkaitan atau bersifat saling bebas.
Uji yang dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
Nilai statistik Durbin-Watson yang diperoleh dari hasil estimasi pada program
Eviews dibandingkan dengan nilai DW pada tabel. Model dikatakan terbebas dari
masalah autokorelasi apabila nilai statistik Durbin-Watson berada di area nonautokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
0 < DW < DL
D L < DW < DU
DU < DW < 4 - DU
4 - DU < DW < 4 - DL
4 - DL < DW < 4
:
:
:
:
:
ada autokorelasi positif
tidak ada keputusan
tidak ada autokorelasi
tidak ada keputusan
ada autokorelasi negatif
4. Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi
secara normal atau tidak. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan uji
Jarque-Bera. Hipotesis pengujian normalitas adalah:
H0 : Residual terdistribusi normal
H1 : Residual tidak terdistribusi normal
Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas
Jarque-Bera dengan taraf nyata lima persen. Apabila nilai probabilitas JarqueBera lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka dapat dikatakan tidak cukup
bukti untuk menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal.
Model Penelitian
Analisis regresi dengan metode data panel pada penelitian ini digunakan
untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan
persentase penduduk miskin di kabupaten dan kota Provinsi Banten. Nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan ekonomi. Estimasi model pengaruh belanja daerah terhadap
14
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai
berikut:
PDRBit = α + β 1 (PEGAWAI)it + β 2 (MODAL)it + β 3 (BARANG)it + uit
dimana:
PDRB
PEGAWAI
MODAL
BARANG
αi
βi
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (miliar rupiah)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
i
t
uit
Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh belanja daerah
terhadap persentase penduduk miskin kabupaten dan kota di Provinsi Banten
dituliskan sebagai berikut:
PPMit = α + β (PEGAWAI) + β (MODAL) + β (BARANG) + u
1
it
2
it
3
it
it
dimana:
PPM
PEGAWAI
MODAL
BARANG
αi
βi
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
i
t
uit
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian berbeda satuan sehingga
di-logaritmanatural-kan. Dengan model ini, hasil regresi yang diperoleh akan
lebih efisien karena ragam konstan dan residual error menyebar normal serta
mudah diinterpretasikan dalam satuan persen. Adapun model yang telah dilogaritmanatural-kan adalah sebagai berikut.
lnPDRBit = α + β 1 ln(PEGAWAI)it + β 2 ln(MODAL)it + β 3 ln (BARANG)it + uit
dimana:
lnPDRB
lnPEGAWAI
lnMODAL
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
15
lnBARANG
αi
βi
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
: intersep
: koefisien regresi
i
t
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
uit
PPMit = α + β 1 ln(PEGAWAI)it + β 2 ln(MODAL)it + β 3 ln(BARANG)it + uit
dimana:
PPM
lnPEGAWAI
lnMODAL
lnBARANG
αi
βi
i
t
uit
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
Keadaan Geografis
Provinsi Banten merupakan daerah pemekaran yang terbentuk tahun 2000.
Pada tahun 2000 Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota yaitu
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten
Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Kemudian terjadi pemekaran di
wilayah Kabupaten Serang menjadi Kota Serang pada tahun 2007 dan Kabupaten
Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan tahun 2008.
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak pada 5°-7’50”-7°1’1” Lintang
Selatan dan 105°1’11” - 106°7’12” Bujur Timur. Wilayah Banten memiliki luas
wilayah sebesar 9.662,92 km atau sekitar 0,51 persen dari luas wilayah Indonesia.
Letak geografis Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Sunda
dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Posisi
yang strategis ini mendukung wilayah Banten pada lintas perdagangan. Wilayah
bagian Selatan tepatnya di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
merupakan kawasan pertanian yang subur, sedangkan wilayah bagian utara seperti
Kota Tangerang dan Cilegon merupakan pusat industri yang mendukung
perekonomian Provinsi Banten.
16
Kependudukan
Penduduk memiliki peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi
sebagai objek pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan. Jumlah
penduduk di kabupaten dan kota Provinsi Banten terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas),
jumlah penduduk Banten pada tahun 2009 sebanyak 9.78 juta jiwa dan bertambah
tahun 2012 menjadi 11.25 juta jiwa. Persebaran penduduk di Provinsi Banten
tidak terkonsentrasi secara merata.
Dapat dilihat pada Tabel 4, persebaran penduduk selama empat tahun
terakhir masih didominasi pada beberapa daerah saja, yaitu Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2012
sebanyak 3 juta jiwa dan jumlah penduduk Kota Tangerang sebesar 1.9 juta jiwa.
Tingginya jumlah penduduk ini terkait dengan letak daerah Kota Tangerang dan
Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta,
sehingga menjadi daerah tujuan utama imigran. Sensus Penduduk tahun 2010
mencatat tingkat tingkat imigran masuk ke perkotaan Banten mencapai 41%,
sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kota
Tangerang merupakan kota dengan tingkat migrasi masuk sebesar 66.2% dan
53.7%. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk antar wilayah di
Provinsi Banten menjadi tidak merata dan kedua daerah tersebut merupakan
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar.
Tabel 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
Kabupaten/Kota
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang
Selatan
Provinsi Banten
Jumlah Penduduk (jiwa)
2009
1 099 746
1 258 893
3 676 684
1 345 557
1 554 827
349 162
497 910
2010
1 149 610
1 204 095
2 834 376
1 402 818
1 798 601
374 559
577 785
2011
1 172 179
1 228 884
2 960 474
1 434 137
1 869 791
385 720
598 407
2012
1 181 430
1 239 660
3 050 929
1 448 964
1 918 556
392 341
611 897
1 042 026
1 290 322
1 355 926
1 405 170
9 782 779
10 632 166
11 005 518
11 248 947
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Ketenagakerjaan
Penduduk dapat berperan sebagai penggerak pembangunan apabila dapat
menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah
penduduk banyak namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, maka akan menjadi penghambat pembangunan. Jumlah penduduk yang
terserap dalam dunia kerja di Provinsi Banten tahun 2012 terus mengalami
17
peningkatan sebesar 76 187 jiwa dan penduduk yang menganggur mengalami
penurunan sebesar 161 354 jiwa. Berdasarkan tabel, pada tahun 2012 Kabupaten
Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja tertinggi sebesar 1.3 juta jiwa dan
persentase pengangguran sebesar 29.32%. Sedangkan Cilegon merupakan daerah
yang memiliki jumlah angkatan kerja terendah di Banten sebesar 180 ribu jiwa
dan persentase pengangguran sebesar 3.92%.
Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka tinggi. Tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka Banten sebesar 10.13%,
nilai ini lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 6.14% dan DKI Jakarta sebesar
9.87%. Faktor penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di Banten adalah
urbanisasi, dimana banyak pendatang baru yang masuk ke wilayah Banten karena
menganggap Banten merupakan daerah yang menjanjikan sehingga menjadi
tujuan pencari kerja.
Faktor penyebab lainnya adalah pertumbuhan penduduk dan ketersediaan
tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berkaitan dengan
persebaran penduduk yang tidak merata di Provinsi Banten. Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang terletak di bagian selatan Provinsi Banten
merupakan daerah pedesaan yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh
pertanian. Tenaga kerja yang terserap pada sektor tersebut umumnya merupakan
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga jumlah
pengangguran di daerah tersebut relatif tinggi.
Tabel 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012
Angkatan Kerja (jiwa)
Kabupaten/Kota
Bekerja
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten
517 943
508 065
1 175 846
582 314
840 092
159 670
234 786
587 131
4 605 847
Pengangguran
53 131
50 687
152 235
86 715
76 134
20 360
28 420
51 528
519 210
Jumlah
Angkatan
Kerja (jiwa)
571 074
558 752
1 328 081
669 029
916 226
180 030
263 206
638 659
5 125 057
Bukan
Angkatan
Kerja
(jiwa)
256 379
325 859
760 579
367 131
456 581
93 811
150 076
345 442
2 755 858
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Sementara itu, wilayah Banten bagian utara, yaitu Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah sektor
perindustrian yang dominan, sehingga menjadi daerah yang menyerap banyak
tenaga kerja. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah yang
paling berkembang, perkembangan di daerah tersebut didukung oleh
perkembangan sektor industri, perdagangan, dan sektor jasa. Dari sisi lapangan
usaha, rata-rata penduduk Provinsi Banten yang bekerja di sektor industri sekitar
25% dari total penduduk yang bekerja, pembangunan proyek industri tersebut
18
menyerap tenaga kerja dengan cukup signifikan. Sektor industri sebagai sektor
yang mampu menyerap tenaga kerja paling banyak diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor industri
menyerap sebagian besar tenaga kerja, jumlah penggangguran yang terdapat di
Kabupaten Tangerang jumlahnya masih relatif besar. Hal ini terjadi karena jumlah
angkatan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
teredia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Miliar rupiah
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur
kinerja pembangunan daerah. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dapat
digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) untuk nasional dan nilai Domestik
Regional bruto (PDRB) untuk tingkat daerah. Nilai PDRB yang digunakan adalah
jenis PDRB atas dasar harga konstan karena tidak memperhitungkan tingkat
perkembangan inflasi yang ada, sehingga PDRB atas dasar harga konstan
menggambarkan pertumbuhan riil barang dan jasa pada periode tertentu.
40,000
35,000
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
2009
2010
2011
2012
Kabupaten/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 tahun 2009-2012
Besar kontribusi PDRB setiap wilayah di Banten menyumbang dalam
pertumbuhan ekonomi regional. Gambar 4 menunjukkan bahwa Kota Tangerang
merupakan daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi di antara kabupaten dan
kota lainnya di Banten sebesar 33 428 miliar rupiah, kemudian disusul oleh
Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai PDRB masing-masing
sebesar 20 951 miliar rupiah dan 19 470 miliar rupiah. Tingginya PDRB yang
dihasilkan ketiga daerah ini disebabkan oleh pusat perekonomian dan pusat
industri yang berada di wilayah tersebut. Sementara itu kabupaten dan kota
19
Disribusi Sektoral
lainnya memiliki nilai PDRB kurang dari 10 000 miliar rupiah. Kabupaten
Pandenglang dan Kabupaten Lebak merupakan pusat sentra kegiatan pertanian.
Nilai tambah pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai
tambah sektor industri menyebabkan kecilnya nilai PDRB yang dihasilkan kedua
daerah tersebut.
Besar nilai PDRB Banten tidak terlepas dari peran sektor-sektor yang
menyumbang nilai PDRB tersebut. Karakteristi
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Belanja
Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
NIM H14100075
ABSTRAK
NINDYA ULFILIANJANI. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat
kemiskinan yang rendah mengindikasikan bahwa suatu daerah memiliki
kesejahteraan masyarakat yang baik. Untuk memperoleh kondisi tersebut,
diperlukan peran pemerintah dengan melakukan belanja daerah yang dapat
memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tujuan penelitian
ini adalah menjelaskan perkembangan belanja pemerintah daerah di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh belanja daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi
Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 8
kabupaten dan kota di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga
tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah terus
meningkat. Berdasarkan model dalam analisis, belanja barang dan jasa dan
belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah dan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.
Kata Kunci : belanja daerah, data panel, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
ABSTRACT
NINDYA ULFILIANJANI. The Influence of Government Expenditure on
Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised
by BAMBANG JUANDA.
Economic growth is one measure of economic development. The high
economic growth and low poverty indicates that an area has good public
prosperity. To get the high economic growth and low poverty required the
maximum role of government, by government expenditure. The purpose of this
study was to explain the development of government expenditure and analyzed the
influence of government expenditure on economic growth and poverty in Banten
Province. This research uses descriptive method and panel data on 8
districts/cities in Banten Province in the periode of 2009-2012. The result indicate
that the government expenditure in Banten Province always increase. Based on
the model in analysis, goods and service expenditure and capital expenditure have
a positive effect and significant contributions to the regional economic growth
and also have a negative effect and significant contributions to the poverty.
Keywords: economic growth, government expenditure, panel data, poverty
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pengaruh
Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
M.S. selaku pembimbing yang telah sabar dan selalu memberi arahan kepada
penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai dosen penguji utama
dan Bapak Dr. Muhammad Findi, M.E. sebagai dosen dari komisi pendidikan
yang telah bersedia menguji penulis dan memberi masukan yang bermanfaat bagi
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Ikarianto Haryadi,
ibunda Neni Isnaeni, adik Tyanka Pujisyadzani serta seluruh keluarga yang telah
memberikan kasih sayang, doa serta dukungan kepada penulis. Terima kasih
untuk teman satu bimbingan Efita, Elli, Gagas dan Lundu yang selalu berdiskusi
dan memberi masukan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada
sahabat-sahabat SMA Zahra, Dessy, Okristiana, Mutiara, Faitha, Yessie dan
Nabila yang selalu memberi nasihat dan motivasi selama penyusunan skripsi.
Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Irgandhini, Rengganis, Dita, Feby,
Rahman, Penny, Rahayu, Hardyani, Ayu, Afanina, Nabilah, Cynthia, Fitria, Elis,
Selly, Meliana, Ema, Riana, Uke, Chika dan Dwi yang telah tulus membantu,
memberi nasihat serta dukungan selama masa perkuliahan. Teman-teman Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan 47, teman-teman TPB A.21, HIPOTESA FEM
IPB 2013 dan PSM IPB Agria Swara terima kasih atas doa dan dukungan yang
telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
METODE PENELITIAN
10
Jenis dan Sumber Data
10
Metode Pengolahan dan Analisis Data
10
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
18
Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
20
Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten
22
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
25
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan
28
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data
2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012
4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan
(P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed
Effect Model, dan Random Effect Model)
7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi
8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect
Model, dan Random Effect Model)
9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan
10
16
17
20
21
25
27
29
30
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012
3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan
2000 tahun 2009-2012
5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012
6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
tahun 2012
7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013
8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013
1
2
3
18
19
22
24
25
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi
2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi
3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect
4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan
7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan
8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect
9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan
10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan
34
35
36
37
37
38
39
40
41
41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan ekonomi nasional yang tujuannya mendorong kemampuan daerah
mengelola sumber daya ekonomi untuk kemajuan daerah itu sendiri dan
kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah merupakan strategi dalam
pembangunan daerah yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat
Indonesia yang berazas demokrasi. Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat
dengan desentralisasi fiskal dalam mencapai efektifitas pelayanan publik. Hal ini
diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah,
yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dan ukuran
keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari
pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi akan memperlancar proses
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditunjukan oleh nilai
Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki
kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia. Tahun 2009 kontribusi Pulau Jawa
terhadap PDB Indonesia sebesar 58.6%, lalu kontribusinya menurun menjadi
58.1% pada tahun 2010 dan 57.59% di tahun 2011. Tahun 2012 kontribusinya
kembali meningkat menjadi 57.63%. Tingginya kontribusi Pulau Jawa terhadap
PDB nasional didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau
Jawa, terutama Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
8
DKI Jakarta
Persentase (%)
7
6
Jawa Barat
5
Banten
4
3
Jawa Tengah
2
1
0
2009
2010
2011
2012
DI
Yogyakarta
Jawa Timur
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2013 (diolah).
Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi keenam
provinsi di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi
2
Provinsi Banten mengalami penurunan di tahun 2012 dan berada di peringkat ke 5
setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nilai persentase
yang relatif kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa,
menunjukkan bahwa Provinsi Banten belum dapat memberikan kontribusi yang
maksimal untuk Pulau Jawa.
Selain pertumbuhan ekonomi, aspek pembangunan lainnya yang menjadi
fokus pemerintah daerah adalah kemiskinan. Di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah menempatkan penurunan
kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Persentase penduduk
miskin di Banten mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2012,
namun angkanya masih relatif kecil. Nilai persentase penduduk miskin Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2012 merupakan yang terendah sebesar 1.33%,
sementara Kabupaten Pandeglang memiliki nilai persentase penduduk miskin
tertinggi sebesar 9.27%. Masih tingginya angka kemiskinan ini menunjukkan
bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu untuk
menjangkau masyarakat miskin.
Kota Tangerang Selatan
Kabupaten/Kota
Kota Serang
Kota Cilegon
2009
Kota Tangerang
2010
Kab. Serang
2011
Kab. Tangerang
2012
Kab. Lebak
Kab. Pandeglang
0
5
10
15
Persentase (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten dan Nasional tahun 2009-2012
Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan adalah meningkatkan jumlah
belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk stimulus
yang dilakukan pemerintah untuk memacu perkembangan perekonomian daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan implementasi dari otonomi daerah,
sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk
mengelola sumber penerimaan dan melakukan pembelanjaan yang sesuai dengan
tujuan pembangunan daerah. Peningkatan jumlah belanja daerah idealnya disertai
3
dengan peningkatan program pencapaian pembangunan sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Realisasi belanja Provinsi Banten pada Gambar 2 menunjukkan
perkembangan jumlah belanja pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya.
Alokasi belanja pegawai masih mendominasi belanja pemerintah dan alokasinya
lebih besar dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja
modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan ternyata masih memiliki proporsi yang kecil
meskipun mengalami peningkatan setiap tahun, sehingga peningkatan jumlah
belanja daerah belum dapat optimal mendukung pembangunan. Dapat dilihat pada
Gambar 3, realisasi belanja modal pada tahun 2010 mengalami penurunan karena
dilakukan penghematan sebagian alokasi belanja modal untuk membiayai belanja
pegawai. Menurut Kementrian Keuangan, penghematan idealnya dilakukan
dengan tidak memotong belanja modal dengan jumlah besar atau meminimumkan
pemotongan belanja modal. Seharusnya penghematan dilakukan dengan
mengurangi alokasi belanja barang dan jasa.
7,000
Miliar rupiah
6,000
B.Pegawai
5,000
B.Modal
4,000
B.Barang
&Jasa
B.Lainnya
3,000
2,000
1,000
0
2009
2010
2011
2012
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
Perumusan Masalah
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya.
Seharusnya alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di era desentralisasi
ini memiliki porsi yang lebih besar, karena kedua belanja tersebut merupakan
belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah (Kemenkeu 2011). Selain itu, peningkatan jumlah belanja
pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dampak yang sama pada laju
pertumbuhan ekonomi Banten, yang justru menurun di tahun 2012.
Ketika penurunan angka kemiskinan dikaitkan dengan besarnya pengeluaran
yang direalisasikan, kenyataannya hal ini tidak sesuai karena penurunan angka
kemiskinan di Banten sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan anggaran yang
4
disediakan. Seharusnya belanja daerah yang berkualitas diharapkan dapat
mendukung pemerataan pembangunan dan terselenggaranya pelayanan publik
sesuai dengan tujuan desentralisasi. Ketidakselarasan antara pengeluaran
pemerintah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten ini yang menjadi masalah
dalam penelitian.
Apabila tujuan utama anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi,
maka kualitas belanja daerah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipenuhi. Jika
proses pembangunan dapat berjalan dengan semestinya, maka pertumbuhan
ekonomi akan meningkat dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan
sehingga dapat memacu pembangunan daerah. Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan, permasalahan pokok yang muncul untuk dianalisis dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan belanja
pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
2. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
2. Menganalisis besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
Di samping untuk menjawab permasalahan yang ada, adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan fiskal pemerintah maupun instansi terkait di Provinsi
Banten.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat memberi
manfaat bagi pembacanya.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian
berikutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Banten dengan
periode waktu penelitian tahun 2009 sampai tahun 2012. Hal ini dikarenakan
pemekaran Kota Tangerang Selatan diresmikan pada tahun 2009.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi
Menurut Bappenas (1999) Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan
global. Selanjutnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah
secara merata dan berkeadilan. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu
proses perubahan peningkatan kualitas hidup manusia yang merupakan perubahan
perubahan ekonomi dan sosial.
Menurut Todaro dan Smith (2006) Perubahan ekonomi dan sosial dapat
dicapai dengan cara yang berbeda tergantung dari tujuan pembangunan tersebut.
Pada umumnya tujuan pembangunan mencangkup hal-hal pokok seperti
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan pendapatan
masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pembangunan
antar daerah. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu
pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai
Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Badan
pusat statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu daerah yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi. PDRB dihitung
dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.
Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus
sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional
yang semakin besar. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
1. Akumulasi modal, merupakan semua bentuk investasi baru yang ditanamkan
seperti tanah, peralatan listrik serta sumber daya manusia melalui peningkatan
di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan.
2. Pertumbuhan jumlah penduduk, yang akan menyebabkan pertumbuhan
angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi, yang merupakan sarana untuk memudahkan pekerjaan.
6
Kemiskinan
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang
rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit, perumahan yang
kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia
dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa
diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per
capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi
pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Todaro (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diukur dengan atau
tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu
kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang
pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemenuhan
sumberdaya pokok untuk kesejahteaan, termasuk makanan, air, perumahan, tanah,
kesehatan dan pendidikan. Sementara kemiskinan relatif merupakan kondisi yang
disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau
masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi
pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal
tersebut adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2,100
kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti
perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Pengeluaran Pemerintah Daerah
Pengeluaran pemerintah merupakan suatu tindakan untuk mengatur jalannya
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) untuk daerah. APBD merupakan acuan bagi pemerintah
dalam melaksanakan kegiatan ekonomi ke depan yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Alokasi anggaran ke dalam pos-pos
pengeluaran akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perekonomian. Pengeluaran pemerintah merupakan proxy terhadap
kebutuhan daerah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan
kesehatan, pengeluaran yang menyediakan polisi dan tentara, pengeluaran gaji
untuk pegawai pemerintah, dan pengeluaran untuk mengembangkan infrastruktur
yang dibuat untuk kepentingan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah
diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten dan kota. Format belanja dikelompokan ke
dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja
7
tidak langsung merupakan belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh
pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri atas belanja pegawai, belanja
bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung merupakan
belanja yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait
secara langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang bersifat
menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik,
yang terdiri atas:
1. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS dan pegawai yang dipekerjakan
oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan
yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan
modal.
2. Belanja barang dan jasa. Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari
belanja pengadaan barang dan jasa-jasa, belanja pemeliharaan, dan belanja
perjalanan.
3. Belanja modal. Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang dilakukan
dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi
antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal fisik lainnya.
Dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi, PDB(Y) terdiri
dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (XM) atau (Y = C + I + G + (X-M)). Belanja pemerintah mengarah kepada konsumsi
(C).
Teori Pengeluaran Pemerintah
Dalam teori ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hukum
Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pertumbuhan
ekonomi meningkat maka pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Hukum
Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State”, dimana analogi untuk
Hukum Wagner ini adalah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka
kebutuhan akan penyediaan barang publik juga akan meningkat sehingga
dibutuhkan pembiayaan melalui penerimaan pemerintah yang pada akhirnya
pengeluaran pemerintah juga akan meningkat atau dapat diartikan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi juga akan mencerminkan besarnya dana pengeluaran
pemerintah untuk membiayai kebutuhan layanan jasa pemerintah. Namun Aliran
Keynesian menggambarkan sebaliknya, bahwa dengan adanya peningkatan
8
pengeluaran pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa
secara agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Model Rostow dan Musgrave
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang
dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal
perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi
lebih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana dan
prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan prasarana transportasi.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin
besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak dan kualitas yang lebih baik.
Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa
pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Penelitian Terdahulu
Sodik (2007) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh pengeluaran
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 provinsi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel dengan metode fixed
effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah, konsumsi
pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, namun variabel investasi
swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Siti Anni Makhrifah (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis
pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan metode analisis Vector Auto
Regressive (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, belanja modal berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam
jangka pendek. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap
kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga akan naik.
Nur Saidah (2011) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh belanja
pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal
dengan menggunakan teknik analisis data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa variabel belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya memiliki pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja fungsi
kesehatan dan pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
9
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel angkatan kerja tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Haryanto (2013) dalam penelitiannya menganalisis mengenai pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel
dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung secara
bersama-sama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Pemikiran
Menciptakan pembangunan yang merata merupakan tujuan akhir dari
desentralisasi fiskal. Agar dapat menciptakan pembangunan tersebut, diperlukan
komposisi belanja daerah yang berkualitas agar penyerapan dana pemerintah
dapat mendorong aspek-aspek pembangunan secara stabil dan merata. Dengan
keleluasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya, diharapkan pemerintah daerah dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi persentase penduduk miskin. Hal inilah
yang menjadi panduan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap
pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Banten. Sistematis kerangka
pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.
Desentralisasi Fiskal
Pendapatan Pemerintah
Belanja Pemerintah
Belanja
Pegawai
Belanja
Modal
Pertumbuhan Ekonomi
Belanja Barang
dan Jasa
Kemiskinan
Analisis Deskriptif dan Data Panel
Gambar 3 Kerangka pemikiran
10
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Belanja Modal dan belanja barang dan jasa diduga mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara positif dan mempengaruhi persentase penduduk
miskin secara negatif.
2. Belanja pegawai diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif
dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara positif.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data cross
section yang digunakan terdiri dari 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten serta
data time series tahunan periode 2009 hingga 2012. Referensi pendukung lainnya
berupa buku, jurnal, dan artikel diperoleh dari Perpustakan BPS, Perpustakaan
IPB dan internet yang relefan dengan penelitian ini.
Tabel 1 Jenis dan sumber data
Jenis Data
Belanja Pegawai
Belanja Modal
Belanja Barang dan Jasa
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Atas Dasar Harga Konstan 2000
Persentase Penduduk Miskin
Sumber
Kemenkeu: Realisasi APBD
Kemenkeu: Realisasi APBD
Kemenkeu: Realisasi APBD
BPS Provinsi Banten
BPS Provinsi Banten
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran umum hasil penelitian secara sederhana dalam bentuk
gambar dan tabel. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan
belanja pemerintah daerah serta perkembangan pertumbuhan ekonomi dan
11
kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009
hingga tahun 2012.
Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh
belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Pengolahan data panel dilakukan menggunakan
software Microsoft Excel dan Eviews 6. Menurut Gujarati (2005), data panel
(pooled data) merupakan gabungan antara data time series dan data cross section.
Data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap
satu individu dan data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam
satu waktu terhadap banyak individu. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data
panel dapat mengendalikan heterogenitas data individual, dapat menyajikan data
yang lebih informatif, bervariasi, memiliki kolineritas antar variabel yang kecil,
memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien. Data panel juga
lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi
secara sederhana pada model cross section dan model time series. Data panel
lebih sesuai untuk menguji model perilaku yang kompleks dibandingkan dengan
model data cross section dan model time series.
Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel,
yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek
acak atau Random Effect. Gujarati (2003)
1. Metode Pooled Least Square (PLS)
Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki
intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut:
Yit = α i + β Xit + uit
dimana i merupakan kabupaten/kota yang diobservasi dalam data cross section
dan t merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki
keterbatasan, karena intersep dan slope dari setiap variabel siasumsikan konstan
untuk setiap data yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena
setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri. dalam membedakan
intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal
dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai
berikut:
Yit= β 0i + β 1X1it + β 2X2it +.....+ β nXnit + uit
dimana β 0i merupakan intersep dan β 1, β 2 merupakan slope. Diasumsikan
bahwa slope konstan tetapi intersep berbeda untuk setiap individu, i
menggambarkan intersep berbeda antar kabupaten/kota namun intersep masingmasing kabupaten/kota tidak berbeda antar waktu (time invariant).
3. Random Effect Model (REM)
Pada metode random effect model, intersep tidak lagi dianggap konstan,
melainkan dianggap sebagai peubah random. Nilai intersep dari masing-masing
individu didefinisikan sebagai berikut:
12
β 0i = β 0 + ei ; dengan i = 1,2,...,N
dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam
= σ ². Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut:
Yit = β 0 + β 1X1it + β 2X2it + eit + uit
Pengujian Kesesuaian Model
Untuk memilih metode yang akan digunakan, perlu dilakukan uji kesesuaian
model sebagai berikut:
1. Chow Test
Uji Chow dilakukan untuk memilih apakah model yang lebih baik
digunakan adalah model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Hipotesis
uji Chow sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square (Restricted)
H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
2. Hausman Test
Setelah melakukan uji Chow, untuk memilih model fixed effect atau random
effect yang lebih baik digunakan dalam penelitian, dengan asumsi terdapat atau
tidak korelasi antara regressor dan efek individu, dilakukan uji Hausman.
Hipotesis Uji Hausman sebagai berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
Pengujian Kriteria Ekonometrika
1. Multikolinearitas
Suatu model yang terbebas dari multikolinearitas artinya tidak ada
hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda.
Salah satu cara untuk memastikan ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat
dilihat dari koefisien korelasi antara peubah bebas dalam model. Jika nilai
13
masing-masing koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R²
maka model tersebut memiliki masalah multikolinearitas.
2. Heteroskedastisitas
Suatu model yang terbebas dari heteroskedastisitas artinya variant dari error
bersifat konstan atau bersifat homoskedastis. Menurut Gujarati (2006), apabila
masalah heteroskedastisitas terjadi maka pengujian hipotesis tidak bisa diandalkan
karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Salah satu cara
untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dengan menggunakan
metode GLS Weight Cross-section. Apabila nilai Sum Square Resid Weighted
lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Square Resid Unweighted, maka dapat
disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
3. Autokorelasi
Suatu model dikatakan bebas dari masalah autokorelasi apabila pengamatan
satu dan pengamatan lainnya tidak memiliki keterkaitan atau bersifat saling bebas.
Uji yang dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
Nilai statistik Durbin-Watson yang diperoleh dari hasil estimasi pada program
Eviews dibandingkan dengan nilai DW pada tabel. Model dikatakan terbebas dari
masalah autokorelasi apabila nilai statistik Durbin-Watson berada di area nonautokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
0 < DW < DL
D L < DW < DU
DU < DW < 4 - DU
4 - DU < DW < 4 - DL
4 - DL < DW < 4
:
:
:
:
:
ada autokorelasi positif
tidak ada keputusan
tidak ada autokorelasi
tidak ada keputusan
ada autokorelasi negatif
4. Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi
secara normal atau tidak. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan uji
Jarque-Bera. Hipotesis pengujian normalitas adalah:
H0 : Residual terdistribusi normal
H1 : Residual tidak terdistribusi normal
Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas
Jarque-Bera dengan taraf nyata lima persen. Apabila nilai probabilitas JarqueBera lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka dapat dikatakan tidak cukup
bukti untuk menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal.
Model Penelitian
Analisis regresi dengan metode data panel pada penelitian ini digunakan
untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan
persentase penduduk miskin di kabupaten dan kota Provinsi Banten. Nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan ekonomi. Estimasi model pengaruh belanja daerah terhadap
14
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai
berikut:
PDRBit = α + β 1 (PEGAWAI)it + β 2 (MODAL)it + β 3 (BARANG)it + uit
dimana:
PDRB
PEGAWAI
MODAL
BARANG
αi
βi
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (miliar rupiah)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
i
t
uit
Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh belanja daerah
terhadap persentase penduduk miskin kabupaten dan kota di Provinsi Banten
dituliskan sebagai berikut:
PPMit = α + β (PEGAWAI) + β (MODAL) + β (BARANG) + u
1
it
2
it
3
it
it
dimana:
PPM
PEGAWAI
MODAL
BARANG
αi
βi
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
i
t
uit
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian berbeda satuan sehingga
di-logaritmanatural-kan. Dengan model ini, hasil regresi yang diperoleh akan
lebih efisien karena ragam konstan dan residual error menyebar normal serta
mudah diinterpretasikan dalam satuan persen. Adapun model yang telah dilogaritmanatural-kan adalah sebagai berikut.
lnPDRBit = α + β 1 ln(PEGAWAI)it + β 2 ln(MODAL)it + β 3 ln (BARANG)it + uit
dimana:
lnPDRB
lnPEGAWAI
lnMODAL
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
15
lnBARANG
αi
βi
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
: intersep
: koefisien regresi
i
t
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
uit
PPMit = α + β 1 ln(PEGAWAI)it + β 2 ln(MODAL)it + β 3 ln(BARANG)it + uit
dimana:
PPM
lnPEGAWAI
lnMODAL
lnBARANG
αi
βi
i
t
uit
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
: Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
: intersep
: koefisien regresi
: kabupaten/kota Provinsi Banten
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
: error term
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
Keadaan Geografis
Provinsi Banten merupakan daerah pemekaran yang terbentuk tahun 2000.
Pada tahun 2000 Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota yaitu
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten
Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Kemudian terjadi pemekaran di
wilayah Kabupaten Serang menjadi Kota Serang pada tahun 2007 dan Kabupaten
Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan tahun 2008.
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak pada 5°-7’50”-7°1’1” Lintang
Selatan dan 105°1’11” - 106°7’12” Bujur Timur. Wilayah Banten memiliki luas
wilayah sebesar 9.662,92 km atau sekitar 0,51 persen dari luas wilayah Indonesia.
Letak geografis Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Sunda
dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Posisi
yang strategis ini mendukung wilayah Banten pada lintas perdagangan. Wilayah
bagian Selatan tepatnya di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
merupakan kawasan pertanian yang subur, sedangkan wilayah bagian utara seperti
Kota Tangerang dan Cilegon merupakan pusat industri yang mendukung
perekonomian Provinsi Banten.
16
Kependudukan
Penduduk memiliki peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi
sebagai objek pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan. Jumlah
penduduk di kabupaten dan kota Provinsi Banten terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas),
jumlah penduduk Banten pada tahun 2009 sebanyak 9.78 juta jiwa dan bertambah
tahun 2012 menjadi 11.25 juta jiwa. Persebaran penduduk di Provinsi Banten
tidak terkonsentrasi secara merata.
Dapat dilihat pada Tabel 4, persebaran penduduk selama empat tahun
terakhir masih didominasi pada beberapa daerah saja, yaitu Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2012
sebanyak 3 juta jiwa dan jumlah penduduk Kota Tangerang sebesar 1.9 juta jiwa.
Tingginya jumlah penduduk ini terkait dengan letak daerah Kota Tangerang dan
Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta,
sehingga menjadi daerah tujuan utama imigran. Sensus Penduduk tahun 2010
mencatat tingkat tingkat imigran masuk ke perkotaan Banten mencapai 41%,
sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kota
Tangerang merupakan kota dengan tingkat migrasi masuk sebesar 66.2% dan
53.7%. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk antar wilayah di
Provinsi Banten menjadi tidak merata dan kedua daerah tersebut merupakan
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar.
Tabel 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
Kabupaten/Kota
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang
Selatan
Provinsi Banten
Jumlah Penduduk (jiwa)
2009
1 099 746
1 258 893
3 676 684
1 345 557
1 554 827
349 162
497 910
2010
1 149 610
1 204 095
2 834 376
1 402 818
1 798 601
374 559
577 785
2011
1 172 179
1 228 884
2 960 474
1 434 137
1 869 791
385 720
598 407
2012
1 181 430
1 239 660
3 050 929
1 448 964
1 918 556
392 341
611 897
1 042 026
1 290 322
1 355 926
1 405 170
9 782 779
10 632 166
11 005 518
11 248 947
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Ketenagakerjaan
Penduduk dapat berperan sebagai penggerak pembangunan apabila dapat
menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah
penduduk banyak namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, maka akan menjadi penghambat pembangunan. Jumlah penduduk yang
terserap dalam dunia kerja di Provinsi Banten tahun 2012 terus mengalami
17
peningkatan sebesar 76 187 jiwa dan penduduk yang menganggur mengalami
penurunan sebesar 161 354 jiwa. Berdasarkan tabel, pada tahun 2012 Kabupaten
Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja tertinggi sebesar 1.3 juta jiwa dan
persentase pengangguran sebesar 29.32%. Sedangkan Cilegon merupakan daerah
yang memiliki jumlah angkatan kerja terendah di Banten sebesar 180 ribu jiwa
dan persentase pengangguran sebesar 3.92%.
Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka tinggi. Tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka Banten sebesar 10.13%,
nilai ini lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 6.14% dan DKI Jakarta sebesar
9.87%. Faktor penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di Banten adalah
urbanisasi, dimana banyak pendatang baru yang masuk ke wilayah Banten karena
menganggap Banten merupakan daerah yang menjanjikan sehingga menjadi
tujuan pencari kerja.
Faktor penyebab lainnya adalah pertumbuhan penduduk dan ketersediaan
tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berkaitan dengan
persebaran penduduk yang tidak merata di Provinsi Banten. Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang terletak di bagian selatan Provinsi Banten
merupakan daerah pedesaan yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh
pertanian. Tenaga kerja yang terserap pada sektor tersebut umumnya merupakan
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga jumlah
pengangguran di daerah tersebut relatif tinggi.
Tabel 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012
Angkatan Kerja (jiwa)
Kabupaten/Kota
Bekerja
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten
517 943
508 065
1 175 846
582 314
840 092
159 670
234 786
587 131
4 605 847
Pengangguran
53 131
50 687
152 235
86 715
76 134
20 360
28 420
51 528
519 210
Jumlah
Angkatan
Kerja (jiwa)
571 074
558 752
1 328 081
669 029
916 226
180 030
263 206
638 659
5 125 057
Bukan
Angkatan
Kerja
(jiwa)
256 379
325 859
760 579
367 131
456 581
93 811
150 076
345 442
2 755 858
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Sementara itu, wilayah Banten bagian utara, yaitu Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah sektor
perindustrian yang dominan, sehingga menjadi daerah yang menyerap banyak
tenaga kerja. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah yang
paling berkembang, perkembangan di daerah tersebut didukung oleh
perkembangan sektor industri, perdagangan, dan sektor jasa. Dari sisi lapangan
usaha, rata-rata penduduk Provinsi Banten yang bekerja di sektor industri sekitar
25% dari total penduduk yang bekerja, pembangunan proyek industri tersebut
18
menyerap tenaga kerja dengan cukup signifikan. Sektor industri sebagai sektor
yang mampu menyerap tenaga kerja paling banyak diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor industri
menyerap sebagian besar tenaga kerja, jumlah penggangguran yang terdapat di
Kabupaten Tangerang jumlahnya masih relatif besar. Hal ini terjadi karena jumlah
angkatan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
teredia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Miliar rupiah
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur
kinerja pembangunan daerah. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dapat
digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) untuk nasional dan nilai Domestik
Regional bruto (PDRB) untuk tingkat daerah. Nilai PDRB yang digunakan adalah
jenis PDRB atas dasar harga konstan karena tidak memperhitungkan tingkat
perkembangan inflasi yang ada, sehingga PDRB atas dasar harga konstan
menggambarkan pertumbuhan riil barang dan jasa pada periode tertentu.
40,000
35,000
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
2009
2010
2011
2012
Kabupaten/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 tahun 2009-2012
Besar kontribusi PDRB setiap wilayah di Banten menyumbang dalam
pertumbuhan ekonomi regional. Gambar 4 menunjukkan bahwa Kota Tangerang
merupakan daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi di antara kabupaten dan
kota lainnya di Banten sebesar 33 428 miliar rupiah, kemudian disusul oleh
Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai PDRB masing-masing
sebesar 20 951 miliar rupiah dan 19 470 miliar rupiah. Tingginya PDRB yang
dihasilkan ketiga daerah ini disebabkan oleh pusat perekonomian dan pusat
industri yang berada di wilayah tersebut. Sementara itu kabupaten dan kota
19
Disribusi Sektoral
lainnya memiliki nilai PDRB kurang dari 10 000 miliar rupiah. Kabupaten
Pandenglang dan Kabupaten Lebak merupakan pusat sentra kegiatan pertanian.
Nilai tambah pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai
tambah sektor industri menyebabkan kecilnya nilai PDRB yang dihasilkan kedua
daerah tersebut.
Besar nilai PDRB Banten tidak terlepas dari peran sektor-sektor yang
menyumbang nilai PDRB tersebut. Karakteristi