PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK)

(1)

Rido Thamrin Purba

ABSTRAK

PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK) Oleh

Rido Thamrin Purba

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku tindak pidana narkotika dapat dijatuhkan pidana mati. Pidana mati sudah dianggap sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkotika, terutama yang skalanya sudah besar. Sebagai contoh penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang terhadap terpidana Leong Kim Ping alias Away (39 tahun) warga negara Malaysia. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika? 2) Apakah faktor pendukung hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dan dosen Fakultas Hukum Unila. Data kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: 1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK, yaitu aturan hukum yang dilanggar, fakta-fakta persidangan, jumlah barang bukti narkotika dan jenis atau golongan narkotika, motif pelaku, sikap dan prilaku pelaku selama persidangan, dampak dari perbuatan pelaku tersebut dan kewarganegaraan pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA). 2) Faktor pendukung hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah faktor undang-undang, yaitu ketentuan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam


(2)

Undang-Rido Thamrin Purba

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika; faktor masyarakat, yaitu mayoritas masyarakat Indonesia menolak peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan menginginkan pelaku tindak pidana narkotika dihukum berat; dan jumlah barang bukti narkotika.


(3)

DEATH PENALTY APPLICATION BUSINESS CRIME AGAINST NARCOTICS

(Study of PT Tanjung Karang Decision No. 138 / PID / 2012 / PT.TK)

ABSTRACT

Under Law No. 35 of 2009 on Narcotics, narcotics criminal death penalty can be imposed. The death penalty has been considered in accordance with the crimes committed by criminal narcotics. As an example of the application of the death penalty against criminals, as was done by the Council of State Court Judges Kalianda and High Court Tanjung Karang to convict Away aka Ping Leong Kim (39 years) Malaysian citizens. In respect of the above description, researchers interested in conducting research with the problem: What is the basic consideration of the judge in applying the death penalty against narcotics criminals and Is the judge in applying the factors supporting the death penalty against narcotics criminals. This study uses a normative approach and empirical juridical approach. The results showed that the research and discussion: Basic considerations judges in imposing capital punishment to the perpetrators of the crime of narcotics as the Cape Coral High Court Decision No. 138/PID/2012/PT. TK, the rule of law is violated, the facts of the trial, and the number of narcotic evidence types or classes of drugs, the perpetrator motives, attitudes and behavior of players during the trial, the impact of the actions of these actors and civic actors who are foreign citizens (WNA). Factors supporting the judge in applying the death penalty against narcotics is criminal law factors, namely the laws and regulations in Indonesia as stipulated in Law No. 35 of 2009 on Narcotics arranging the death penalty for the crime of narcotics; community factors, the majority of Indonesian people reject illicit trafficking and abuse of narcotic drugs and narcotics wanted criminals severely punished; and the number of narcotic evidence. Keywords: death penalty, criminal offenses and narcotics


(4)

PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK)

Oleh:

RIDO THAMRIN PURBA 0812011269

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 28 November 1989, yang merupakan putra kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Purba dan Ibu R. Nainggolan. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SD Yos Sudarso lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Terbanggi Besar lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan studi di SMAN 1 Terbanggi Besar lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Penulis pada tahun 2013 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Rejomulyo, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara.


(8)

MOTO

“Hidup ini Seperti jalan yang berliku tidak lurus dan mulus , banyak

penghalang yang menghadang. Jangan buat jalan liku itu sebagai penghadang

kita mencapai kesuksesan, Tetap semangat”

(Rido Thamrin Purba)

“Perubahan tidak akan datang jikakita menunggu orang lain atau lain waktu. Diri kitalah yang ditunggu-tunggu, diri kitalah perubahan yang kita tunggu”

(Barack Hussein Obama)

“Ketika pintu tertutup pintu lain akan terbuka,namun terkadang kita terlalu

lama melihat dan menyesali pintu tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu

lain yang telah terbuka”


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan Segenap rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas semua nikmat, hikmat dan anugrah-NYA

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih, dan kasih sayang serta bakti yang tulus kupersembahkan karya kecil ini teruntuk;

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk kebahagiaan dan masa depan anaknya.

Keluarga ku tercinta Abang Yoseph, Kak Yoseph, serta keponakan ku Yoseph Curtis Kalpika Purba yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan semangat.


(10)

(11)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang senantiasa melimpahkan berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. dengan judul ”Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana dan Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat;

5. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;


(12)

6. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan penulis;

7. Bapak Prof.Dr.I Gede Arya Bagus Wiranata,S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses perkuliahan;

8. Bapak dan Ibu seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses perkuliahan; 9. Teristimewa Kedua orang tuaku yang luar biasa kucintai dan kusayangi Bapak

ku M.Purba dan Ibu ku R.Nainggolan mendukung, mendoakan, memberi motivasi dan ssemangat, serta selalu memberikan kasih saying dan ketenangan bagi penulis, sampai menjadi seorang Sarjana Hukum, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda baktiku Semoga Tuhan memberikan karunia-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

10. Keluarga yang ku sayangi dan kubanggakan, abangku Amani Yosef, Kaka ipar ku Kak yosef, Serta Ponakanku Yosef, lae ku Rido Liferson Simamora, Kak Roma br.siregar, lae Natal Nainggolan, Lae Jos Five Nainggolan, Kak tina, uda Vani dan masih banyak lagi yang tidak bisa di sebutkan oleh penulis terimakasih banyak atas semangat, perhatian, doa dan dukungan yang diberikan. Tuhan Memberkati.

11. Hasian ku yang kusayangi Yohana Mitra Sari br. Sidabalok, terima kasih buat doa, dukungan dan kasih sayang yang udahhasian berikan, I love you ‘ny.


(13)

12. Teman-teman seperjuangan di fakultas hukum, Doni saputra (saridon), M.Rizky Widiarto, Nopi Irawan, Yogi Aprianto, Sulish, Tomy prayoga, Zaenal Rachmat, Doni Pedrosa, Wahbi Rachmat, Riky Anggara, Riky Kobum, Chandra Surya T, Wahyu Santoso, Windy Agung Pranata, Novrendi, Rio, Denny Uyeah, Richad Carry Sagala, Pantun Halomoan Sitompul, Frenco Wiliander Sitanggang, selama masa kuliah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun duka.

13. Saudara Gerobak Pasir, Adatua Simbolon, Bobby Debataraja, Ivo Simanjuntak, Marcel Cio, Josua Tampubolon, Olfredo Sitorus, Richad Simanungkalit, Ricko Sihaloho, Rizal Sinurat, Sanggam Simanullang, Saut Lumban Gaol, William Sihombing, Yuri Simatuppang, Rizal Sitorus, Wetson Rumahorbo dan banyak lagi tidak bisa di sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan kalian selama di Fakultas Hukum Unila, Mungkin di lain hari kita berjumpa kembali. Amin.

14. Sahabat-sahabat forum Mahasiswa Hukum Kristen 2008-seterusnya, Himpunan Mahasiswa Lampung Tengah, Himpunan Mahasiswa Islam yang tidak biasa saya sebutkan terimakasih atas doa dan kebersamaanya

15. Sahabat Kosan imut, Bung Andi , Febri, Jimmy, Amri, Gandi, Chun, Didi, Anggi, Fiki (cah gemblong), terimakasih atas persahabatan dan kebersamaan kalian.

16. Rekan-rekan KKN, Anwar, Suryadi, Billy, Chatrina, Navin, Wildan, rangga, Rudi, Mbek, mbak Mey, Bagus, Chintia, terimakasih atas kebersamaannya di Des.Rejomulyo Lampura.


(14)

17. Rekan-rekan Takasan sejawat, Christ Bornok P Sidabutar, Ari mugabe Sidabutar, Galiong Angkat jemuran, Fransisco Gultom, Pak Diego sinaga, David sijabat, Mantolet Purba, Hotman Pasaribu, Taun, Okek, Irvan, Andi ladur, King Sirait, Goris Sirait, Patkay, Raup, terimakasih atas Perdebatan dan ketidak warasannya.Tuhan memberkati.

18. Seluruh pihak yang meemberikan bantuan semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berdoa semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.Amiin.

Bandar Lampung, 23 Oktober 2014 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Konsep Pemidanaan Dalam Hukum Pidana ... 16

B. Tindak Pidana Narkotika... 19

C. Kewenangan Hakim Dalam Menentukan dan Menjatuhkan Putusan Pidana... 21

D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana .... 22

E. Ketentuan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana ... 27

III. METODE PENELITIAN ... 31

A. Pendekatan Masalah... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Nara Sumber ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 33


(16)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Karakteristik Responden ... 35

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor:138/Pid./2012/PT.TK ... 37

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menerapkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Narkotika ... 44

D. Faktor Pendukung Dalam Menerapkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Narkotika... 66

V. PENUTUP ... 70

A. Simpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar, melebihi angka 220 juta penduduk ini tentu membuat Indonesia menjadi sasaran peredaran gelap narkotika. Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai tempat persinggahan lalu lintas perdagangan narkotika, dikarenakan lokasinya yang strategis, namun lambat laun para pengedar gelap narkotika ini mulai menjadikan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial bagi para pelaku untuk mengedarkan narkotika. Indonesia saat ini mulai bertransformasi, tidak hanya sebagai tempat peredaran narkotika namun juga sudah menjadi tempat menghasilkan narkotika, terbukti dengan ditemukannya beberapa laboratorium narkotika di wilayah Indonesia. Persoalan ini tentu menjadi masalah yang sangat serius, yang pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban nasional.

Peredaran narkotika di Indonesia terindikasi dikendalikan jaringan internasional. Sebab hampir 70 persen narkotika yang beredar di dalam negeri merupakan kiriman dari luar negeri. Selain itu, kurangnya penegakan hukum menjadikan produsen narkotika luar negeri tertarik masuk ke Indonesia.1 Penyalahgunaan narkotika ini dapat menyebabkan ketergantungan, mengganggu sistem syaraf 1

http://www.pkni.org/peredaran-narkotika-di-indonesia-dikendalikan-jaringan-internasional/, diakses tanggal 14 Oktober 2013


(18)

2

pusat dan dapat menyebabkan gangguan fisik, jiwa, sosial dan keamanan. Kerugian yang ditimbulkan juga sangatlah besar. Kerugian terhadap pribadi sendiri dapat terlihat dari perubahan perilakunya, yang awalnya normal menjadi lebih pemurung, pemarah, tidak peduli dengan sekitar hingga akhirnya akan menyakiti diri pemakai atau pengguna narkotika akibat gejala ketergantungan.

Selain itu juga kecenderungan akan mengidap penyakit menular berbahaya akibat mengkonsumsi narkotika ini juga menjadi semakin besar. Bagi keluarga selain berdampak pada kerugian ekonomi, korban penyalahgunana narkotika ini secara tidak langsung telah mencoreng nama baik keluarga di mata masyarakat, kehidupan sosialnyapun akan ikut terganggu, korban penyalahgunana narkotika ini akan cenderung untuk melanggar nora yang berlaku di masyarakat sehingga memungkinkan dirinya untuk melakukan tindakan melawan hukum hanya untuk memenuhi hasratnya untuk kembali mengonsumsi narkotika seperti mencuri, merampok bahkan hingga membunuh sekalipun. Kerugian yang akan diterima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah semakin rusaknya genersi muda penerus bangsa yang akan mebuat bangsa ini mengalami kemunduran yang bisa mengancam kestabilan nasional.

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di


(19)

3

masyarakat, karena tindak pidana narkotika sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.2

Hukum Nasional Indonesia telah mengatur segala yang berhubungan dengan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat dikenakan pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh penyalahguna narkotika atau dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika. Masyarakat umum banyak yang mengira bahwa hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu sama, padahal dalam undang-undang narkotika sendiri tidak membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang berbeda pula.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku tindak pidana narkotika dapat dijatuhkan pidana mati. Pidana mati sudah dianggap sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkotika, terutama yang skalanya sudah besar. Pidana mati merupakan suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.3

Penerapan pidana mati oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika merupakan hal yang tepat. Sebagai contoh penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan

2

Gatot Supramono.Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), Hlm. 93 3

Andi Hamzah, dkk,Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Hlm. 27


(20)

4

Negeri Kalianda dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang terhadap terpidana Leong Kim Ping alias Away (39 tahun) warga negara Malaysia. Leong Kim Ping alias Away, warga negara Malaysia, yang merupakan terdakwa kasus kepemilikan 45 kilogram sabu-sabu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Kalianda. Terdakwa Leong Kim Ping alias Away didakwa telah melakukan permufakatan jahat secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Atas putusan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Kalianda tersebut, Terdakwa Leong Kim Ping mengajukan permohonan banding di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Upaya banding yang diajukan ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) Tanjung Karang berdasarkan surat putusan banding dari PT Tanjung Karang No. 138/Pid/2012/PT.TK tanggal 3 September 2012, menguatkan putusan PN Kalianda No: 94/Pid.B/2012/PN.KLD tanggal 17 Juli 2012.4

Selanjutnya, terdakwa juga mengajukan upaya kasasi, namun, upaya kasasi terdakwa juga ditolak oleh MA. Leong Kim Ping terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

4

http://lampost.co/berita/ma-kuatkan-pn-kalianda-vonis-mati-warga-malaysia-, diakses tanggal 01 Oktober 2013


(21)

5

Narkotika dan Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tertangkapnya Leong Kim Ping merupakan hasil pengembangan pihak kepolisian yang sebelumnya menangkap Andy Yams (vonis seumur hidup) di arealSeaport InterdictionPelabuhan Bakauheni.5

Saat itu bus SAN BM-7086-LU dilakukan penggeledahan oleh anggota Satnarkotika dan ditemukan kardus bekas rokok. Setelah dibuka, kardus tersebut berisi paket sabu-sabu seberat 45 kilogram. Hasil pengembangan, Leong Kim Ping yang saat itu mengendarai Toyota Avanza hitam G-6412-HP ditangkap di Jakarta. Dari mobil pelaku, polisi menemukan 1.700 butir pil ekstasi warna hijau. Kemudian dari tempat menginap yang bersangkutan di Apartemen Central Park, polisi juga menemukan 210 buti pil ekstasi, satu paket kecil sabu-sabu berikut peralatan yang digunakan untuk menyabu.6

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul, “Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi

Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

5

http://lampost.co/berita/ma-kuatkan-pn-kalianda-vonis-mati-warga-malaysia-, diakses tanggal 01 Oktober 2013

6 Ibid.


(22)

6

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

b. Apakah faktor pendukung dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Penelitian dilakukan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

b. Mengetahui faktor pendukung dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam


(23)

7

Pidana, khususnya mengenai penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum khususnya hakim dalam dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.7

Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila belum ada ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Prinsip ini dalam hukum pidana dikenal sebagai asas legalitas yang menjadi asas utama hukum pidana. Asas legalitas ini berasal dari bahasa Latin yaitu: “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, yang secara harfiah artinya adalah: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang”.

Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan

yang pernah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Pengertian pidana telah dijelaskan oleh beberapa ahli hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh8, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berupa suatu nestapa yang

7


(24)

8

dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. Pada hakekatnya hukum pidana dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu:9

1. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

2. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi diri dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

Tujuan pidana tersebut di atas adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan hukum. Pidana tersebut juga diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya harus mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hal ini juga berlaku untuk pelaku tindak pidana narkotika yang tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Tingkat penyalahgunaan narkotika yang tiap tahun cenderung meningkat dan membahayakan stabilitas nasional, sehingga untuk mengatasinya membutuhkan upaya penanggulangan yang lebih tepat dan tegas oleh aparat penegak hukum. Tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur ketentuan-ketentuan jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan. Salah satunya pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah pidana mati.

8

Roeslan Saleh.Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hlm. 8 9

Barda Nawawi Arif,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002), Hlm. 22


(25)

9

Penerapan atau penjatuhan putusan pidana mati terhadap pelakunya tidak terlepas dari pertimbangan hakim yang memeriksa dan memutus perkara penyalahgunaan narkotika tersebut.

Hakim berdasarkan undang-undang memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Kebebasan hakim itu bukan berarti dalam menetukan batas maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang meliputi perbuatannya tersebut.

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman pada hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan


(26)

10

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto10, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.

Penjatuhan pidana merupakan kekuasaan dari hakim, akan tetapi hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung pembuktian dan keyakinannya. Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

10

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. (Bandung: Sinar Baru, 1986), Hlm. 84


(27)

11

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana harus berdasarkan aturan atau ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus). Hakim juga memiliki kebebasan untuk menemukan hukum (rechatsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang.

Tugas hakim adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak mungkin hakim menolaknya.11 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus sesusai dengan tujuan dari hukum. Secara teoritis,

11

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm. 40


(28)

12

terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.

Pandangan utilities melihat pidana dari segi manfaat atau kegunaannya. Menurut pandangan ini pemidanaan harus mempunyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Pandangan utilities menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum). Atas dasar ini, hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika harus mempertimbangkan dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku.

Penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dapat didukung oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto12faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Faktor-faktor penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang saling berkaitan dan dapat mempengaruhi

12

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2007), Hlm. 5


(29)

13

penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana narkotika.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui.13 Adapun batasan pengertian dan istilah yang ingin dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pencarian jalan keluar (pemecahan masalah) yang berangkat dari dugaan akan kebenarannya. Analisis juga dapat diartikan sebagai penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya atau penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk mendapatkan pengertian yang tepat serta pemahaman makna keseluruhan.

b. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.14

c. Pidana mati adalah jenis pidana pokok terberat yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang pelaksanaannya berupa perampasan kehidupan seseorang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15

d. Narkotika berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang

13

Soerjono Soekanto.Op. cit. 1986. Hlm. 124 14

Wirjono Prodjodikoro,Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. (Bandung: Refika Aditama, 2010), Hlm. 55

15

http://areiinlander.blogspot.com/2010/11/hukum-pidana-mati-dalam-perspektif-ham.html?m=1, diakses tanggal 10 Desember 2014


(30)

14

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: .

III.METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan nara sumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.


(31)

15

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan faktor pendukung hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pemidanaan Dalam Hukum Pidana

Sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan.1 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.2

Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.3

1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: CitraAditya Bhakti, 2002), Hlm. 123

2 Barda Nawawi Arief, Op. cit. Hlm 129 3 Barda Nawawi Arief, Op. cit. Hlm 130


(33)

17

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.4

Pada dasarnya masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas dua teori. Teori ini biasa disebut teori pemidanaan. Dua teori yang biasa dipakai sebagai bahan rujukan mengenai tujuan pemidanaan, adalah:

1. Teori Retribution atau teori pambalasan; dan 2. Teori Utilitarian atau teori tujuan.5

Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan memiliki beberapa tujuan. Tujuan dari pemidanaan tersebut, yaitu:

1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5. Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.6

Berbeda dengan teori retribution atau teori pembalasan, teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanan memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Pencegahan (prevention);

4Ibid, Hlm. 136

5 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), Hlm. 17


(34)

18

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.7

Kedua teori di atas, baik teori retribution maupun teori utilitarian pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidana/hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum, hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya. Tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana, agar menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang.

B. Tindak Pidana Narkotika


(35)

19

Pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tanaman papaver, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokain. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan menteri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran-campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Narkotika dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan tingkatannya. Pembedaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk masing-masing golongan memiliki karekteristik yang berbeda. Tiga golongan narkotika berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:


(36)

20

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika Golongan I merupakan narkotika yang paling berbahaya dan paling banyak disalahgunakan. Narkotika Golongan I ini contohnya adalah heroin, kokian dan shabu-shabu. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sal;ah satunya dengan membentuk dan mengesahkan undang-undang yang mengatur narkotika. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 1988 atau pengesahan atas Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika tahun 1988, yang merupakan salah satu langkah awal dari pemerintah dalam memberantas penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Undang Nomor 7 Tahun 1997 ini merupakan awal terbentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak berhasil memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Ketentuan pidana dari undang-undang ini dinilai masih lemah. Atas dasar ini kemudian pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang


(37)

21

Narkotika dan menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pidana pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika yang semakin membahayakan stabilitas nasional dan merupakan sumber perusak generasi muda. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diharapkan dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika di masyarakat, serta menjadi acuan dan pedoman kepada penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

C. Kewenangan Hakim Dalam Menentukan dan Menjatuhkan Putusan Pidana

Hakim yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengadili suatu perkara, yaitu serangkaian tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, adil dan tidak memihak pihak-pihak tertentu di sidang pengadilan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto8 hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;


(38)

22

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana, ukuran pidana atau berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pidana. Hakim juga memiliki kebebasan untuk menemukan hukum (rechatsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang.

D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya, jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber


(39)

23

hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Majelis Hakim oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari terdakwa dan korban, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan.

Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengonstruksikan dan mengkualifikasikan peristiwa dan fakta tersebut, sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang konkret. Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara obyektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka majelis hakim karena jabatannya dapat menambah/melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.


(40)

24

Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas, jika tidak diketemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mernpergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sedangkan metode konstruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Putusan hakim dapat dikatakan baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan yang berupa9:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Prakteknya walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kehilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Pada praktek peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.

9 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik. (Bandung: Alumni, 2008)


(41)

25

Pelaksanaan pengambilan keputusan, dicatat dalam buku himpunan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia sebagaimana diatur dalam Pasal 192 ayat (7) KUHAP. Dengan tegas dinyatakan bahwa pengambilan keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 191 KUHAP. Putusan hakim pada hakekatnya merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum.10

Umumnya dalam praktek peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara, sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.11 Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan

10 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik. (Bandung: Alumni, 2008), Hlm. 199.

11 Roeslan Saleh, Perbuatan Dan Pertanggung Jawaban Pidana. (Jakarta: Aksara Bara, 1981), Hlm. 188.


(42)

26

oleh jaksa penuntut umum dan pledoi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya.

Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus). Hakim juga memiliki kebebasan untuk menemukan hukum (rechatsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang.

E. Ketentuan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana

Jenis-jenis pidana yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana telah diatur dalam KUHP dan undang-undang di luar KUHP. Berdasarkan Pasal 10 KUHP terdapat 2 (dua) jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku


(43)

27

tindak pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok berdasarkan Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut:

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; dan 4. Pidana denda.

Selain pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP di atas, Pasal Pasal 10 KUHP mengatur juga pidana tambahan yang dapat diberikan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana. Pidana tambahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

2. Pidana perampasan barang-barang tertentu; dan 3. Pidana pengumuman putusan hakim.

Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang diatur dalam KUHP dan merupakan pidana yang terberat. Pidana mati dalam penerapannya hanya diperuntukkan pada tindak pidana tertentu yang masuk dalam tindak pidana berat. Pidana mati tersebut diatur dalam Pasal 11 KUHP. Pidana mati di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi, sedangkan Indonesia sejak tahun 1918 masih diberlakukan pidana mati. Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya:

1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara, yaitu Pasal 104, 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3) jo Pasal 129 KUHP;


(44)

28

2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP;

3. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur atau faktor yang sangat memberatkan, yaitu Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP; dan 4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai, yaitu Pasal 444

KUHP.

Penerapan pidana mati harus dilakukan secara hati-hati, tidak boleh terburu-buru karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia. Pasal pidana mati dalam KUHP selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup, pidana 20 tahun penjara, misalnya Pasal 365 ayat (4), Pasal 340, Pasal 104 dan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4) KUHP.

Pidana mati di luar KUHP contohnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 (subversi), Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pelaksanaa eksekusi pidana mati dahulu dilakukan dengan cara digantung. Akan tetapi, ketentuan eksekusi dengan cara digantung telah dihapuskan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Penerapan pidana mati dalam praktek sering menimbulkan perdebatan diantara yang setuju dan tidak setuju. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan dan masih diperlukan. Hal ini dapat dilihat di beberapa pasal di dalam KUHP


(45)

29

yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUHP, pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Bahkan beberapa pasal dalam KUHP mengatur tindak pidana yang diancam pidana mati, misalnya:

1. Makar membunuh kepala negara sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUHP;

2. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 111 ayat (2) KUHP;

3. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang sebagaimana diatur dalam Pasal 124 ayat (3) KUHP;

4. Membunuh kepala negara sahabat, sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (1) KUHP;

5. Pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (3) KUHP;

6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang berluka berat atau mati sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP;

7. Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai, dan kali sehingga ada orang mati sebagaimana diatur dalam Pasal 444 KUHP;

8. Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 124 bis KUHP;


(46)

30

9. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang sebagaimana diatur dalam Pasal 127 dan Pasal 129 KUHP; dan 10.Pemerasan dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat

(2) KUHP.

Pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi, pelaku tindak pidana narkotika dan pelaku tindak pidana terorisme. Tujuan utama diterapkannya pidana mati di Indonesia adalah untuk menimbulkan efek jera dan demi menjamin keadilan serta rasa aman bagi masyarakat. Mengenai efektifitas hukuman mati dalam menimbulkan efek jera telah lama menjadi perdebatan di antara para ahli hukum serta pengiat hak asasi manusia.


(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian prilaku, pendapat dan sikap yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penelitian ini, diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada hakim yang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana narkotika pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim


(48)

32

dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2) Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti makalah, jurnal hukum, ensiklopedi, kamus dan bahan yang didapat dari internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.


(49)

33

C. Penentuan Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Jumlah nara sumber dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 2 (dua) orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 (satu) orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 (dua) orang +

Jumlah: 5 (lima) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ada kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut


(50)

34

dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas;

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan;

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(51)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK, yaitu aturan hukum yang dilanggar, fakta-fakta persidangan, jumlah barang bukti narkotika dan jenis atau golongan narkotika, motif pelaku, sikap dan prilaku pelaku selama persidangan, dampak dari perbuatan pelaku tersebut dan kewarganegaraan pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA).

2. Faktor pendukung hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah:

a. Faktor undang-undang, yaitu ketentuan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika;

b. Faktor masyarakat, yaitu mayoritas masyarakat Indonesia menolak peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan menginginkan pelaku tindak pidana narkotika dihukum berat; dan


(52)

71

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, peneliti menyarankan:

a. Sebaiknya upaya pemberantasan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika turus ditingkatkan oleh pemerintah. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pidana yang berat terhadap para pelakunya, terlebih kepada pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA).

b. Sebaiknya penerapan pidana mati diimplementasikan secara tegas, karena semenjak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disahkan dan diberlakukan sampai saat ini, belum banyak pidana mati yang diberikan kepada pelaku tindak pidana narkotika.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009.Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung, Bandar Lampung

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Andi, dkk.1984. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Ghalia Indonesia, Jakarta

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta

Marzuki, Mahmud, 2005. Penelitian Hukum. Kencana, Prenada Media Group, Surabaya

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

Moerad, Pontang. 2007.Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung

Muhammad, Rusli. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Muladi dan Arif, Barda Nawawi. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

Rahayu, Yusti Probowati. 2005.Dibalik Putusan Hakim, Citramedia, Sidoarjo Saleh, Roeslan. 1978.Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta


(54)

Soekanto, Soerjono. 2007.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung

Supramono, Gatot .2004.Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(1)

C. Penentuan Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Jumlah nara sumber dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 2 (dua) orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 (satu) orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 (dua) orang +

Jumlah: 5 (lima) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ada kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut


(2)

34

dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas;

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan;

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK, yaitu aturan hukum yang dilanggar, fakta-fakta persidangan, jumlah barang bukti narkotika dan jenis atau golongan narkotika, motif pelaku, sikap dan prilaku pelaku selama persidangan, dampak dari perbuatan pelaku tersebut dan kewarganegaraan pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA).

2. Faktor pendukung hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah:

a. Faktor undang-undang, yaitu ketentuan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika;

b. Faktor masyarakat, yaitu mayoritas masyarakat Indonesia menolak peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan menginginkan pelaku tindak pidana narkotika dihukum berat; dan


(4)

71

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, peneliti menyarankan:

a. Sebaiknya upaya pemberantasan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika turus ditingkatkan oleh pemerintah. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pidana yang berat terhadap para pelakunya, terlebih kepada pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA).

b. Sebaiknya penerapan pidana mati diimplementasikan secara tegas, karena semenjak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disahkan dan diberlakukan sampai saat ini, belum banyak pidana mati yang diberikan kepada pelaku tindak pidana narkotika.


(5)

Andrisman, Tri. 2009.Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung, Bandar Lampung

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Andi, dkk.1984. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Ghalia Indonesia, Jakarta

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta

Marzuki, Mahmud, 2005. Penelitian Hukum. Kencana, Prenada Media Group, Surabaya

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

Moerad, Pontang. 2007.Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung

Muhammad, Rusli. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Muladi dan Arif, Barda Nawawi. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

Rahayu, Yusti Probowati. 2005.Dibalik Putusan Hakim, Citramedia, Sidoarjo Saleh, Roeslan. 1978.Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta


(6)

Soekanto, Soerjono. 2007.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung

Supramono, Gatot .2004.Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika