4.00 1.11 Identifikasi keragaman gen FSH sub unit beta, gen FSH Reseptor dan gen GH pada sapi bali jantan sebagai penanda kualitas sperma

Ket : M = Marker : ladder 100 bp, 1 – 16 = sampel Gambar 30 Produk PCR gen GH dengan panjang fragmen 327 bp Produk PCR gen GH 327 bp yang telah dipotong dengan enzim MspI Gambar 31 setelah dielektroforesis menggunakan agarose 2 diperoleh hasil bahwa terdapat tiga macam fragmen hasil potongan gen GH pada setiap individu yaitu fragmen yang terpotong dua pita dikenal dengan genotipe AA, tidak terpotong satu pita genotipe BB dan fragmen gabungan tiga pita yang disebut genotipe AB. Ket : M = Marker : ladder 100 bp, AA, BB dan AB = hasil genotyping Gambar 31 Visualisasi hasil RFLP gen GH menggunakan enzim restriksi Msp1 Pada penelitian ini variasi fragmen gen GH situs Msp1 hanya terdapat pada sapi Brahman, FH, Simmental dan Limousin, namun tidak dijumpai pada sapi Bali. Pada semua sampel sapi Bali yang dianalisis hanya ditemukan genotipe BB. 500 bp 300 bp 200 bp 327 bp 222 bp 105 bp M BB BB BB BB BB BB AB AB AB AB AB AB AB AA AA AA 500 bp 200 bp 300 bp 327 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Frekuensi Alel dan Genotipe Gen GH Frekuensi alel A tertinggi ditemukan pada sapi Brahman 0.746 dan terendah pada sapi Bali 0.000, frekuensi alel B tertinggi pada sapi Bali 1.000 dan paling rendah pada sapi FH 0.402. Hasil penelitian ini sesuai dengan Jakaria et al. 2007 yang hanya menemukan alel B pada sapi Bali atau monomorfik. Keragaman frekuensi alel dan genotipe fragmen gen GH disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 menunjukkan proporsi alel dan genotipe gen GH pada sapi Bali maupun sapi Brahman, FH, Simmental dan Limousin. Pada sapi Bali proporsi alel B dan genotipe BB lebih tinggi dibanding dengan bangsa sapi lain yang dianalisis. Jakaria et al. 2007 menyatakan bahwa alel B dan genotipe BB lebih dominan pada sapi Bali dan sapi Pesisir dibandingkan dengan sapi kelompok Bos taurus Limousin dan Simmental. Tabel 9 Frekuensi alel dan genotipe gen GH Populasi Gen GH Alel Genotipe A B AA AB BB Bali 0.000 1.000 0.000 0 0.000 0 1.000 225 Brahman 0.746 0.254 0.594 41 0.304 21 0.101 7 FH 0.402 0.598 0.239 22 0.326 30 0.435 40 Simmental 0.625 0.375 0.089 20 0.089 20 0.036 8 Limousin 0.727 0.273 0.545 12 0.364 16 0.091 4 Gabungan Bos javanicus 0.000 1.000 0.000 0 0.000 0 1.000 225 Bos indicus 0.746 0.254 0.594 41 0.304 21 0.101 7 Bos taurus 0.506 0.494 0.314 54 0.384 66 0.302 52 Ket : angka di dalam kurung = jumlah individu Pada sapi FH di Iran juga dtemukan dominasi alel B - dan genotipe BB - - Mohammadabadi et al. 2010. Selanjutnya Zakizadeh et al. 2006 meneliti gen GHMspI pada 3 bangsa sapi lokal Mazandrani, Sarabi dan Golpaygani di Iran menyatakan bahwa proporsi alel A dan B hampir sama, demikian pula pada genotipenya. Yardibi et al. 2009 meneliti keragaman gen GH pada sapi Red Anatolian menemukan hal yang berbeda. Pada penelitian tersebut ditemukan proporsi alel A dan genotipe AA yang lebih tinggi. Lagziel et al. 2000 menyatakan bahwa ada fenomena proporsi alel dan genotipe gen GH pada bangsa sapi di dunia. Proporsi alel B yang tinggi dan genotipe BB umumnya ditemukan pada kelompok sapi berpunuk humped. Sapi berpunuk umumnya termasuk pada Bos indicus, sedang proporsi alel A yang tinggi dan genotipe AA ditemukan pada sapi yang tidak berpunuk humpless yang umumnya sapi Eropa Bos taurus. Ditemukannya proporsi alel B, genotipe BB yang tinggi pada sapi Bali merupakan informasi baru pada sebaran alel dan genotipe gen GH serta dapat dijadikan sebagai penciri pada sapi Bali bahwa gen GH di situs MspI intron 3 ekson 4. Nilai Heterozigositas Hasil analisis herozigositas pengamatan H o dan heterozigositas harapan H e gen GH disajikan pada Tabel 10. Pada gen GH hasil analisis nilai heterozygositas menunjukkan bahwa heterozigositas pengamatan tertinggi pada sapi Simmental 0.500 dan terendah sapi Bali 0.000. Hasil peneltian ini sesuai dengan Jakaria et al. 2007 menemukan nilai heterozigositas pengamatan 0.000 pada sapi Bali. Tabel 10 Nilai heterozigositas harapan gen GH Populasi n Gen GH H o H e x 2 PIC Bali 225 0.000 0.000 - - Brahman 69 0.304 0.379 2.64 tn 0.307 FH 92 0.326 0.481 9.53 0.365 Simmental 48 0.500 0.469 0.59 tn 0.359 Limousin 32 0.364 0.397 0.31 tn 0.359 Gabungan Bos javanicus 225 0.000 0.000 - - Bos indicus 69 0.304 0.379 2.64 tn 0.307 Bos taurus 172 0.348 0.500 4.54 0.375 Ket : tn = tidak berbeda nyata p 0.05, = berbeda nyata, = berbeda sangat nyata Tingkat Abnormalitas Sperma pada Genotipe yang Berbeda Pada genotipe AA, persentase tipe round head ditemukan paling tinggi, diikuti oleh tipe abaxial dan microcephalus, dan terendah ditemukan pada macrocephalus. Tipe knobbed acrosom defect ditemukan paling tinggi pada genotipe BB, kemudian tipe abaxial dan microcephalus, sedang terendah ditemukan tipe round head. Tipe abaxial ditemukan paling tinggi pada genotipe AB, kemudian microcephalus dan round head, sedang tipe abnormalitas terendah ditemukan pada tipe microcephalus. Hasil pengamatan tingkat abnormalitas sperma pada genotipe gen GH yang berbeda disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Abnormalitas sperma pada genotipe yang berbeda gen GH berdasarkan PCR-RFLP. Hasil analisis gabungan menunjukkan persentase abnormalitas sperma Bos javanicus lebih rendah hanya 0.39, diikuti oleh Bos indicus 2.12 dan paling tinggi pada Bos taurus sebesar 4.19 Gambar 33. Hasil penelitian ini sesuai Arifiantini et al. 2010 bahwa persentase abnormalitas sapi Bali Bos javanicus, lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi Brahman Bos indicus, sapi Limousin dan Simmental Bos taurus. Purwantara et al. 2012 juga melaporkan pada sapi FH Bos taurus abnormalitas primer bervariasi antara 1.00 sampai dengan 8.40 bergantung pada lokasi pemeliharaan dan managemen. 1.33

0.52 1.33

1.40 1.11

1.38 0.92

1.19

0.46 1.93

1.01

0.33 0.44

0.39 0.28

0.00 0.50

1.00 1.50

2.00 2.50

Abaxial Macro chepalus Micro chepalus Round head Knobbed acrosome defect A b n o rmal itas S p e rma

2.50 2.00

1.50 1.00

0.50 0.00

AA AB BB Gambar 33 Abnormalitas sperma pada bangsa sapi yang berbeda pada gen GH PEMBAHASAN UMUM Pada tahun 2007 terjadi peningkatan konsumsi daging sapi dari 1.95 kg per kapita per tahun menjadi 2 kg per kapita per tahun tahun 2008, dan tahun berikutnya meningkat 2.24 kg per kapita per tahun. Meningkatnya konsumsi berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan daging dan jeroan dari dari 455.755 ton pada tahun 2008 menjadi 516.603 ton pada tahun 2009 BPS 2009. Jumlah tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor sapi pada tahun 2009. Kebutuhan tersebut dipenuhi melalui impor daging sebesar 110.246 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768.133 ekor pada tahun 2009. Hal ini dilakukan karena sapi lokal hanya dapat mensuplai kebutuhan daging sebesar 49 dari kebutuhan daging nasional pada tahun 2009 BPS 2009. Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah memberi peluang pengembangan sapi lokal. Di Indonesia beberapa sapi lokal seperti Bali, sapi Aceh, sapi Pesisir dan sapi Madura. Total populasi sapi di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 12.7 juta ekor. Total tersebut, terdapat 2.6 ekor sapi Bali dan A b n o rmal ita s S p e rma 0.5 0.0 1.0 2.0 1.5 3.0 2.5 4.0 5.0 0.39 2.12 4.19 Bos javanicus Bos indicus Bos taurus 1.961 juta ekor sapi lokal lainnya sapi Aceh, sapi Pesisir dan sapi Madura Martojo 2012. Hal ini membuktikan bahwa posisi sapi lokal dalam memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat strategis. Peningkatan populasi sapi lokal seperti sapi Bali dilakukan dengan perbaikan sistem kelembagaan, integrasi dengan sistem usahatani tanaman pangan dan perkebunan, perbaikan pakan dan peningkatan reproduktivitas melalui penerapan teknolgi IB. Dari evaluasi pelaksanaan IB sampai tahun 2009 bahwa dari tiga kriteria wilayah pengembangan IB introduksi, pengembangan dan swadaya belum mencapai target yang ditentukan. Sapi Bali yang merupakan sapi asli Indonesia telah dibuktikan oleh Mohamad et al. 2009 bahwa dengan analisis kromosom Y dan mitokondria DNA menunjukkan posisi spesifik sapi Bali dengan sapi lokal lainnya yang ada di Indonesia. Merkens 1926 melaporkan bahwa hasil penelitian taksonomi Schlegel dan Muller pada tahun 1836 membuktikan bahwa sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banten. Lenstra dan Bradley 1999 mengatakan bahwa Banteng adalah wild progenitor sapi Bali dan telah didomestikasi sekitar 3500 tahun sebelum masehi. Adaptasi sapi Bali berupa perubahan morfologi tubuh dibanding tetuanya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan di iklim tropis, serat kasar yang tinggi dan nutrisi rendah pada kandungan pakan, eksternal parasit. Jika dibandingkan dengan Banteng berat jantan dewasa 600 – 800 kg, betina dewasa 600 – 650 kg Purwantara et al. 2012, sedang pada sapi Bali menurut Talib et al. 2002 saat ini umumnya ditemukan berat jantan dewasa 335 – 365 kg, berat betina dewasa 300 kg. Hasil perbandingan data tersebut bahwa sapi Bali telah mengalami perubahan morfologi tubuh dibanding dengan Banteng sekitar 50 . Bentuk adaptasi ini merupakan trade of dari sapi Bali bahwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi sehingga harus mengubah bentuk tubuhnya lebih kecil dan ramping. Peningkatan populasi lokal seperti sapi Bali di Indonesia dilakukan dengan penerapan teknologi tepat guna seperti IB. Saat ini beberapa wilayah pengembangan sapi di Indonesia membentuk Balai IB. Sapi Bali jantan yang digunakan hanya diseleksi berdasarkan fenotipe dan tidak dilakukan BSE secara keseluruhan. Bebagai uji kualitas semen dilakukan dalam BSE, diantaranya