Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum

sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi. 4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material. 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan-halangan tersebut dapat di atasi dengan membiasakan diri dengan sikap- sikap, sebagai berikut: 1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru. 2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu. 3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. 4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya. 5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan. 6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya. 7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib. 8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. 9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain. 10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut: 1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul. 2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. 3. Yang kurang-ditambah. 4. Yang macet-dilancarkan. 5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan. 4. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi. Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut. 5. Faktor Kebudayaan Kebudayaansystem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut: 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2. Nilai jasmanikebendaan dan nilai rohanikeakhlakan. 3. Nilai kelanggengankonservatisme dan nilai kebaruaninovatisme. Hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat. Penetapan tentang prilaku yang melanggar hukum senantiasa dilengkapi dengan pembentukan organ-organ penegaknya. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya: a. Harapan masyarakat yakni apakah penegakan tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat. b. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum. c. Kemampuan dan kewibawaan dari para organisasi penegak hukum. 39 39 Harun M Husen , 1990, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, hal 41.

D. Anak didik pemasyarakatan dan Residivis

1. Anak didik pemasyarakatan

Anak didik pemasyarakatan terdiri atas : a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk di didik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun. c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

2. Residivis

Tujuan pidana juga mengandung makna pencegahan terhadap gejala- gejala sosial yang kurang sehat disamping pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik, oleh karena itu pembinaan merupakan unsur terpenting yang harus diperhatikan untuk memperbaiki anak didik pemasyarakatan agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang dapat menggangu keseimbangan neraca kehidupan masyarakat. Pengertian residivis itu sendiri menurut Andi Hamzah adalah : “Residivis adalah seseorang yang telah berulang-ulang melakukan kejahatan dan berulang-ulang pula dipidana ”. 40 Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana 40 Op Cit, J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, Indonesia, mengatakan bahwa : “Ada residivis atau pengulangan apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu perbuatan pidana, sedangkan diantara dua perbuatan itu selalu telah dijatuhi pidana karena perbuatan pidana yang terdahulu. Jadi kesamaannya dengan pembarengan perbuatan bahwa satu orang telah melakukan beberapa perbuatan pidana. Perbedaannya adalah bahwa diantara perbuatan-perbuatan pidana itu sudah ada putusan hakim ” 41 Berdasarkan perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan, pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan- perbuatan yang dilakukan, yaitu : 42 1. Pelanggaran hukum bukan residivis yaitu yang melakukannya satu tindak pidana dan hanya sekali saja. 2. Residivis dibagi lagi menjadi : a. Penjahat yang akut meliputi pelanggaran hukum yang bukan residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan adanya hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut. b. Penjahat kronis adalah golongan pelanggaran hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat diantara masing-masing putusan pidana. c. Penjahat berat adalah mereka yang paling sedikit setelah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan bulan dan lagi mereka yang karena 41 Op Cit, Roeslan Saleh, Prof,Mr, Stelsel Pidana Indonesia, Hal.15 42 Moelyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, hal.117. kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau suatu hal yang menetap bagi mereka. Penjahat sejak umur muda tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak. Berdasarkan sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tidak pidana dibedakan menjadi 3 tiga jenis yaitu : 43 1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain : a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian tanpa di iringi suatu penjatuhan pidana. b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis. Artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu. 2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain: a. Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya. b. Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai Inner Criminal Situasion yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya. 3. Selain kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas : a. Residivis umum yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan tindak 43 Utrecht E, 2000, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, hal.200.

Dokumen yang terkait

Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika

1 53 162

POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I KUTOARJO)

2 11 168

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KLAS IIB TANJUNG PATI.

0 0 21

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KLAS IIB TANJUNG PATI - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KLAS IIB TANJUNG PATI - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KLAS IIB TANJUNG PATI - Repositori Universitas Andalas

0 1 19

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

0 0 15

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS II BANDAR LAMPUNG

0 0 11

PERAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM PROSES PEMBINAAN ANAK PIDANA (Studi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

1 21 14

PERANAN PETUGAS LPKA (LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK) KLAS II BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBINAAN ANAK DIDIK TINDAK PIDANA KRIMINAL - Raden Intan Repository

0 0 100