Uji Kecernaan SK, Protein, Kalsium dan Fosfor Energi Metabolis Murni dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen

44

10. Uji Kecernaan SK, Protein, Kalsium dan Fosfor

Pengukuran kecernaan serat kasar, protein, kalsium dan fosfor menggunakan metode Scott et al. 1982. Penentuan perhitungan uji kecernaan untuk protein menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut: Konsumsi x Protein – berat kering x Protein ekskreta ransum ransum ekskreta Kecernaan = x 100 Protein Konsumsi ransum x Protein ransum Cara yang sama digunakan untuk menentukan uji kecernaan dari serat kasar, kalsium dan fosfor.

11. Energi Metabolis Murni dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen

Pengukuran energi metabolis ditentukan dengan menggunakan metode Sibbald 1983. Percobaan ini menggunakan ayam broiler jantan berumur 6 minggu sebanyak 128 ekor. Sampel diambil masing-masing 4 ekor ayam jantan pada setiap ulangan dalam setiap perlakuan, seluruhnya berjumlah 128 ekor termasuk blanko 16 ekor, dan ditempatkan dalam kandang individu berbentuk baterai dengan ukuran 50cm x 35cm x 70cm yang dibagi 2 bagiandisekat. Percobaan berlangsung selama 4 hari, yaitu hari pertama ayam dipuasakan selama 36 jam setelah itu diberi pakan sebanyak 40 gramekor selama 2 jam, sisa pakan kemudian dicekok secara paksa menggunakan alat stainless steel funnel. Kecuali 16 ekor ayam yang digunakan sebagai blanko untuk pengukuran fecal endogenus dengan tidak diberi pakan tetapi hanya diberi air minum ad libitum. Selanjutnya dilakukan koleksi ekskreta selama 32 jam. Koleksi ekskreta dilakukan dari setiap perlakuan dan ulangan dipisahkan sendiri-sendiri dan dibersihkan dari bulu-bulu kemudian ditimbang, setelah itu dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 o C selama 48 jam. Selanjutnya ditimbang berat kering lalu digiling dan dianalisis. 45 Kandungan energi metabolis dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: a x GEp – [ b x GEf – z x GEe ] TME kkalkg = a a x GEp – [ b x GEf – z x GEe + 8,22 x RN ] TMEn kkalkg = a Keterangan : TME = Energi metabolis murni Kkalkg TMEn = Energi metabolis murni terkoreksi nitrogen Kkalkg GEp = Gross energi bahan pakanKkalkg GEf = Gross energi feses Kkalkg GEe = Gross energi feses endogenus Kkalkg a = Jumlah konsumsi pakan gram b = Jumlah feses gram z = Jumlah feses endogenus gram RN = Retensi nitrogen gram 8,22 = Nilai yang terkoreksi sebagai asam urat kkalg RN 46 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap RAL dengan 7 tujuh macam perlakuan dan 4 empat ulangan sehingga terdapat 28 dua puluh delapan unit percobaan. Data yang diperoleh diolah menggunakan analisis sidik ragam mengikuti pola rancangan acak lengkap. Apabila sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata P0.05 dari perlakuan terhadap peubah yang diukur, maka uji lanjutan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test DMRT Steel Torrie 1993. Prosedur pengujian berdasarkan data yang terkumpul dari peubah yang diamati dianalisis dengan menggunakan Prosedur General Linier Model SAS 2005 versi 9.1 English. Model matematis yang digunakan adalah : Y ij = μ + τ i + ε ij , i = 1, 2, ...,7 dan j = 1, 2, 3, 4 Y ij = Respon pengamatan satuan percobaan yang memperoleh perlakuan ke- i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum τ i = pengaruh perlakuan ke-i ε ij = pengaruh galat 47 HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Ayam Broiler yang Dipelihara selama 6 Minggu Penelitian Rataan pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam broiler yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Performans ayam broiler konsumsi, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian Perlakuan Konsumsi ransum gekor Pertambahan bobot badan gekor Konversi ransum P1 5030.90±229.62 1814.25±106.61 2.78±0.13 abc P2 5131.60±360.05 1758.23±107.89 2.92± 0.09 a P3 5051.90±256.21 1840.75± 25.85 2.75±0.16 abc P4 4786.30± 66.88 1850.13± 61.24 2.59± 0.11 c P5 4788.60±234.58 1798.80± 83.06 2.66± 0.07 bc P6 5030.20±406.47 1775.83±109.44 2.83± 0.17 ab P7 4733.90±152.62 1789.43± 88.44 2.65± 0.07 bc Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 1000 FTUkg Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum ayam broiler yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian disajikan pada Tabel 8. Konsumsi ransum terendah 4733.90 gramekor pada ransum yang diberi enzim pemecah serat dan fitase 1000 FTUkg dan tertinggi 5131.60 gramekor pada ransum yang diberi enzim natugrain. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi ransum tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan ransum. Hal ini disebabkan kualitas ransum yang diberikan selama penelitian tidak berbeda sehingga ketersediaan zat gizi yang digunakan sama dimana semua jenis perlakuan ransum mempunyai palatabilitas yang sama. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan Kornegay et al. 1996 bahwa suplementasi enzim fitase tidak mempengaruhi konsumsi ransum. 48 Pertambahan Bobot Badan Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan ransum. Tidak adanya pengaruh ransum kontrol maupun dengan penambahan enzim karena konsumsi gizi pada perlakuan kontrol sudah mencukupi kebutuhan, dengan demikian walaupun ditambahkan enzim yang menghidrolisis serat dan fitat tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan ayam tersebut. Pertambahan bobot badan terendah 1758.23 gramekor pada ransum yang diberi enzim natugrain dan tertinggi 1850.13 gramekor dengan bobot akhir sebesar 1897.05 gramekor pada perlakuan enzim fitase 1000 FTUkg P4. Walaupun tidak berbeda nyata, akan tetapi penambahan fitase sebanyak 1000 FTUkg dalam ransum cenderung menghasilkan pertambahan bobot lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol maupun dengan penambahan enzim lainnya. Setiyatwan 2007 melaporkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 1000 FTUkg kedalam ransum nyata meningkatkan rataan bobot badan akhir ayam broiler yang dipelihara dari umur 1–42 hari. Hasil penelitian lainnya yang dilaporkan Augspurger et al. 2003 bahwa suplementasi enzim fitase hasil produk komersial sebesar 1000 FTU Natuphoskg ransum memberikan hasil yang lebih baik pada peningkatan pertambahan bobot badan dan ketersediaan hayati mineral pada unggas dengan ransum berbahan dasar jagung dan kedelai. Konversi Ransum Rataan konversi ransum ayam broiler yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian disajikan pada Tabel 8. Konversi ransum terburuk 2.92 pada ransum yang diberi enzim natugrain sedangkan konversi ransum terbaik 2.59 pada ransum yang diberi enzim fitase 1000 FTUkg. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konversi ransum ayam broiler nyata P0.05 dipengaruhi oleh penambahan enzim dalam ransum. Uji lanjutan menunjukkan bahwa konversi ransum ayam broiler yang terbaik pada ransum 49 yang diberi enzim Fitase sebanyak 1000 FTUkg P4 dan nyata P0.05 lebih baik dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P6 tetapi tidak nyata lebih baik dari perlakuan lainnya. Perlakuan P4 mengandung enzim fitase yang mampu menghidrolisis fitat yang terdapat dalam ransum mengandung dedak padi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Onyango et al. 2004 yang melaporkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 1000 FTUkg ke dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Konversi ransum terburuk pada perlakuan P2 yaitu ransum yang diberi enzim natugrain. Suplementasi enzim natugrain yang mengandung ß-glukanase dan ß-xylanase tidak efektif pada ransum yang mengandung dedak padi tetapi lebih efektif pada ransum yang mengandung dedak gandum. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Marquardt et al. 1996 bahwa penambahan enzim yang mengandung enzim xilanase tinggi pada ransum yang mengandung dedak gandum dapat meningkatkan bobot badan dan efisiensi pakan. Ketaren et al. 2002 melaporkan bahwa suplementasi enzim xilanase dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum basal polar dan tidak berpengaruh pada ransum basal dedak. Penambahan enzim ß-xilanase dan ß-glukanase pada ransum yang mengandung dedak padi 15 terhadap performans ayam broiler sampai umur 3 minggu dapat memperbaiki konversi ransum. Pemberian 0.05 ß-glukanase meningkatkan konversi ransum 7.55 lebih baik dibanding ransum kontrol Bintang et al. 2006. Karkas dan Bagian-bagian Karkas Dada, Paha, Sayap dan Punggung Hasil pengamatan terhadap persentase karkas dan bagian-bagian karkas dada, paha, sayap dan punggung ayam broiler yang dipelihara selama 6 minggu disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis statistik terhadap rataan persentase bagian paha, sayap dan punggung tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan kontrol dan penambahan enzim. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian enzim tidak mampu mengubah bobot karkas, persentase paha, sayap dan punggung secara nyata. Tidak adanya perbedaan bobot karkas ini disebabkan karena bobot badan akhir yang tidak berbeda. Selain itu bobot karkas sangat dipengaruhi oleh faktor lain selain 50 bobot badan yaitu bobot darah, kepala, kaki shank, usus, rempela, hati, jantung dan lemak abdomen. Tabel 9 Persentase karkas dan bagian karkas dada, paha, sayap dan punggung ayam broiler yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian Perlakuan Persentase Karkas Dada Paha Sayap Punggung P1 72.11± 1.39 a 30.37±1.15 b 30.32±0.76 11.27±0.34 21.93±0.51 P2 71.57± 0.33 a 29.96±0.96 b 29.73±1.39 11.66±0.77 22.36±0.92 P3 71.94± 1.46 a 29.90±2.02 b 30.12±1.13 11.41±0.35 22.82±1.20 P4 71.97± 0.99 a 32.98±1.50 a 28.89±1.18 11.36±0.29 21.58±0.72 P5 68.28± 0.86 b 30.12±0.58 b 29.69±1.18 11.48±0.29 22.78±0.78 P6 69.57±1.41 ab 29.87±0.90 b 29.02±1.20 11.50±0.24 23.19±0.67 P7 68.25± 3.44 b 30.30±1.38 b 29.00±0.69 11.48±0.26 23.02±0.36 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05 dan sangat nyataP0.01. P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + Fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + Fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + Fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + Fitase 1000 FTUkg Hasil analisis statistik terhadap rataan persentase karkas dan dada menunjukkan bahwa rataan persentase karkas sangat nyata P0.01 dan dada nyata P0.05 dipengaruhi oleh perlakuan kontrol dan perlakuan enzim dalam ransum. Karkas ayam yang diberi pakan P1, P2, P3 dan P4 sangat nyata P0.01 lebih tinggi dibandingkan perlakuan P5 dan P7. Persentase karkas lebih rendah pada perlakuan P5 dan P7 dibandingkan perlakuan kontrol, belum diketahui penyebabnya. Persentase karkas tertinggi pada perlakuan P1 72.11, diikuti berturut-turut perlakuan P4 71.97, P3 71.94, P2 71.57, P6 69.58, P5 68.28 dan terendah P7 68.25. Persentase karkas yang dihasilkan dalam penelitian ini 68.25–72.11 masih berada dalam kisaran normal. Bell Weaver 2002 melaporkan bahwa persentase karkas ayam pedaging bervariasi antara 65–75. Persentase karkas hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Setiyatwan 2007; Daud et al. 2007 masing-masing berkisar antara 64.14–66.37 dan 65.35–68.04 yang dipelihara sampai umur 6 minggu. Brake et al. 1993 melaporkan bahwa persentase karkas berhubungan dengan jenis kelamin, umur dan bobot hidup. Persentase dada tertinggi pada ransum yang diberi enzim fitase 1000 FTUkg P4 sebesar 32.98 nyata P0.05 lebih tinggi dari persentase dada 51 ayam pada perlakuan lainnya. Persentase dada dalam penelitian ini berkisar dari 29.87–32.98. Besarnya dada dapat dijadikan ukuran menilai kualitas perdagingan karena sebagian besar otot merupakan komponen karkas disekitar dada. Pada ransum yang diberi enzim fitase 1000 FTUkg menghasilkan dada yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, karena enzim fitase dapat memperbaiki proses penyerapan nutrien dalam tubuh ayam untuk merubahnya menjadi daging; mampu meningkatkan ketersediaan fosfor, energi, dan protein sehingga dengan adanya peningkatan ketersediaan gizi dapat menghasilkan dada yang lebih besar. Hal ini sesuai pendapat Belyavin 1994 melaporkan bahwa penambahan enzim dari jamurkapang dalam pakan wheat, barley dan rye tidak hanya berpengaruh pada performans dan konversi tetapi juga dapat memperbaiki kualitas karkas broiler umur 42 hari. Hasil analisis daging ayam terhadap kadar protein g100g untuk masing- masing perlakuan berturut-turut yaitu P1 26.08, P4 25.72, P3 25.24, P6 24.23, P7 23.99, P5 23.57 dan P2 23.44 sedangkan kadar lemak daging g100g untuk masing-masing perlakuan berturut-turut yaitu P7 3.61, P2 2.94, P5 2.67, P4 2.43, P3 2.34, P1 2.00 dan P6 1.79. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis proksimat daging terhadap kadar air daging g100g diperoleh hasil tertinggi pada perlakuan P1 73.64, berturut-turut diikuti perlakuan P2 73.51, P4 73.44, P6 73.31, P3 73.24, P5 73.03 dan terendah pada perlakuan P7 72.21. Stadelman et al. 1988 melaporkan bahwa komposisi kimia daging ayam secara umum terdiri dari air 65.99, protein 18.6, lemak 15.06, abu 0.8, substansi non-protein soluble dan sedikit vitamin. Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh bangsa, pakan, umur dan penggemukan Lawrie 1979. Lebih lanjut dikemukakan Hayse Morion 1973 bahwa secara umum yang menentukan variasi kualitas daging adalah ukuran, jenis kelamin, konformasi tubuh dan genetik unggas. Persentase Organ Dalam Ginjal, Rempela, Jantung, Hati, Lemak Abdomen, Panjang Usus Halus dan Bobot Usus Hasil pengamatan terhadap persentase bobot organ dalam yaitu persentase ginjal, rempela, jantung, hati, lemak abdomen, panjang usus halus cm dan bobot usus gcm ayam broiler umur 6 minggu disajikan pada Tabel 10. 52 Tabel 10 Rataan persentase organ dalam ginjal, rempela, jantung, hati, lemak abdomen, panjang usus halus cm dan bobot usus gcm ayam broiler umur 6 minggu Perla- kuan Ginjal Rempela Jantung Hati Lemak Abdomen Panjang usus halus cm Bobot usus gcm P1 1.03±0.07 2.74±0.22 0.71±0.06 3.22±0.29 2.47±0.23 65.71±0.89 0.35±0.03 P2 1.03±0.02 2.84±0.37 0.68±0.06 3.17±0.15 2.25±0.25 63.35±2.71 0.40±0.03 P3 1.03±0.06 2.78±0.17 0.66±0.05 2.94±0.25 2.28±0.44 67.15±3.49 0.40±0.02 P4 1.04±0.13 2.61±0.26 0.65±0.08 2.75±0.21 2.19±0.37 65.14±1.04 0.38±0.05 P5 1.01±0.05 2.56±0.24 0.67±0.06 3.19±0.09 2.33±0.20 63.06±4.10 0.41±0.04 P6 1.09±0.13 2.40±0.20 0.65±0.05 3.13±0.30 2.50±0.29 63.72±3.29 0.38±0.02 P7 1.06±0.09 2.69±0.06 0.70±0.09 2.99±0.17 2.25±0.40 62.37±5.12 0.41±0.02 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + Fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + Fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + Fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + Fitase 1000 FTUkg Hasil analisis statistik terhadap rataan persentase bobot ginjal, rempela, jantung, hati, lemak abdomen, panjang usus halus cm dan bobot usus gcm tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan kontrol maupun dengan penambahan enzim. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan kontrol tanpa enzim maupun dengan penambahan enzim natugrain, enzim fitase dan enzim pemecah serat baik masing-masing maupun kombinasinya dalam ransum tidak memberikan efek negatif terhadap organ dalam ayam broiler yang dipelihara selama 6 minggu. Pada organ jantung dan hati, perlakuan pemberian enzim cenderung mempunyai persentase bobot organ yang lebih rendah dibanding kontrol tanpa enzim. Persentase bobot jantung tertinggi pada perlakuan P1 tanpa enzim sebesar 0.71 sedangkan persentase bobot jantung terendah pada perlakuan P4 dan P6 masing- masing sebesar 0.65. Secara umum bobot jantung ayam broiler berkisar antara 0.50–1.42 sementara hasil penelitian ini berkisar antara 0.65–0.71. Hal ini memberikan gambaran bahwa pemberian enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya cenderung mempunyai bobot jantung yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol tanpa enzim. Rataan persentase hati tertinggi pada perlakuan P1 ransum tanpa pemberian enzim sebesar 3.22 sedangkan persentase hati terendah pada perlakuan P4 pemberian Fitase 1000 FTUkg dalam ransum sebesar 2.75. 53 Selain dilakukan penimbangan pada bobot hati, dilakukan juga pengamatan secara visual terhadap keadaan fisik hati secara keseluruhan normal sehat. Rataan persentase bobot lemak abdomen ayam pedaging umur 6 minggu memperlihatkan bahwa persentase lemak abdomen tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan kontrol maupun dengan penambahan enzim Tabel 10. Tidak adanya pengaruh yang nyata akibat penambahan enzim karena kandungan energi dalam ransum untuk semua perlakuan sama. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Wahyu 1992 bahwa persentase lemak pada unggas tergantung pada tingkat energi pakan dan tingkat konsumsi energi. Rataan persentase bobot lemak abdomen tertinggi pada perlakuan P6 sebesar 2.50 sedangkan terendah pada perlakuan P4 sebesar 2.19. Rataan persentase lemak abdomen penelitian ini berkisar 2.19–2.50 masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Bilgili et al. 1992 bahwa persentase lemak abdomen ayam pedaging jantan umur 6 minggu berkisar antara 2.6–3.6. Leeson Summer 1980 melaporkan bahwa kisaran normal persentase lemak abdomen broiler umur 6 minggu 1.4–2.6. Persentase lemak abdomen hasil penelitian ini masih berada pada kisaran normal. Panjang usus halus dan bobot usus tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan penambahan enzim. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ada efek negatif dengan adanya pemberian enzim, akan tetapi ada kecenderungan pemberian enzim memperpendek panjang usus. Panjang usus halus tertinggi pada perlakuan P3 sebesar 67.15 cm dan terendah pada perlakuan P7 sebesar 62.37 cm. Abdelsamie et al. 1988 melaporkan bahwa penggunaan serat kasar tinggi dalam ransum ayam cenderung memperpanjang usus. Hal berbeda yang dilaporkan Deyusma 2004 bahwa penambahan antibiotik, probiotik dan herbal tidak mempengaruhi bobot dan panjang relatif usus halus. Bobot usus tertinggi pada perlakuan P5, ransum dengan pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan P7, ransum dengan pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum + Fitase 1000 FTUkg masing-masing sebesar 0.41 gcm, terendah pada perlakuan P1, ransum tanpa pemberian enzim sebesar 0.35 gcm. Bobot usus yang memperoleh suplementasi enzim ada kecenderungan lebih berat 54 dibandingkan dengan perlakuan ransum kontrol tanpa enzim. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Bintang et al. 2006 bahwa bobot usus yang mendapat tambahan enzim cenderung lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan enzim. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Marquardt et al. 1996 bahwa bobot relatif tembolok, pankreas, hati, usus, dan rempela turun dengan adanya penambahan enzim ke dalam ransum ayam pedaging kecuali untuk bobot hati sama dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu persentase bobot hati turun dengan adanya penambahan enzim. Hasil pengamatan terhadap bobot organ dalam ginjal, rempela, jantung, hati, lemak abdomen, panjang usus halus dan bobot usus dalam penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan Setiyatwan 2007 bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 1000 FTUkg, ZnO 132.70 ppm, dan CuSO4 286.16 ppm baik masing-masing maupun kombinasinya ke dalam ransum tidak nyata mempengaruhi persentase bobot karkas, ginjal, usus, gizard, jantung, hati, dan bulu ayam broiler yang dipelihara dari umur 1–42 hari. Kadar Air Feses, Kecernaan Protein, Kalsium, Fosfor dan Serat Kasar Pengukuran kecernaan zat gizi merupakan suatu usaha untuk menentukan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang dapat diserap dalam sistem pencernaan. Hasil analisis kadar air feses, kecernaan protein, kalsium, fosfor dan serat kasar ayam broiler umur 6 minggu disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Rataan kadar air feses, kecernaan protein, kalsium, fosfor dan serat kasar ayam broiler umur 6 minggu Perla- kuan Kadar air feses Kecernaan Protein a Kecernaan Kalsium a Kecernaan Fosfor a Kecernaan Serat Kasar a P1 83.88±5.55 85.18±10.63 31.88±12.16 39.73±11.81 15.70± 3.39 c P2 84.16±4.17 88.31± 5.34 39.36±11.89 43.57±12.79 25.00± 5.27 ab P3 81.21±6.02 81.52± 8.31 31.56± 3.05 33.81± 5.43 19.42± 4.21 bc P4 85.54±2.04 85.48± 2.50 36.23± 3.06 32.03± 3.34 26.95± 5.35 ab P5 79.72±1.70 85.34± 3.91 35.64± 2.47 36.25± 2.37 27.25± 3.17 ab P6 80.49±0.84 76.98± 4.47 37.54± 4.71 37.23± 5.20 22.98±4.03 abc P7 84.42±1.69 83.24± 3.09 33.41± 4.68 28.00± 5.90 29.81± 4.76 a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 1000 FTUkg, = Data rataan persentase kecernaan kalsium, fosfor dan serat kasar ditransformasi menggunakan transformasi arcsin; a = Kecernaan semu 55 Kadar Air Feses Rataan persentase kadar air feses tertera pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan rataan persentase kadar air feses tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan pemberian enzim dalam ransum. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi secara numerik memperlihatkan bahwa kadar air feses pada perlakuan ransum yang diberi fitase 1000 FTUkg sebesar 85.54 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa enzim sebesar 83.88. Terkait dengan tinggi rendahnya kandungan air feses akibat pengaruh enzim tidak diketahui. Seharusnya dengan pemberian enzim, kadar air feses akan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pemberian enzim Marquardt et al. 1996. Teori ini bertolak belakang dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Kecernaan Protein Rataan persentase kecernaan protein tertera pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan rataan persentase protein yang termetabolis tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan dalam ransum. Hal ini disebabkan suplementasi enzim tidak efektif dalam meningkatkan kecernaan protein. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi secara numerik memperlihatkan bahwa kecernaan protein pada perlakuan P2 yaitu perlakuan ransum yang diberi natugrain sebesar 88.31 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol sebesar 85.18. Kecernaan protein dalam penelitian ini berkisar 76.98–88.31 masih berada dalam kisaran normal. Wahju 1992 melaporkan bahwa protein yang terdapat dalam bahan makanan tidak dapat dicerna seluruhnya oleh unggas. Protein kasar dalam ransum unggas mempunyai daya cerna berkisar 75–90. Selain itu konsumsi protein dalam penelitian ini sudah mencukupi kebutuhan ayam sehingga dengan adanya suplementasi enzim tidak mempengaruhi peningkatan kecernaan zat-zat gizi. Kecernaan protein tidak berbeda nyata, mungkin juga disebabkan oleh kandungan serat ransum kurang dari 10. Kecernaan Kalsium Rataan persentase kecernaan kalsium tertera pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan rataan kalsium tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan 56 dalam ransum. Hal ini disebabkan tingginya kandungan kalsium di dalam ransum yang digunakan pada penelitian ini sebesar 1.20 sementara yang direkomendasikan National Research Council 1994 yaitu 0.90, sehingga dengan adanya pemberian fitase dalam ransum akan berakibat kalsium tersebut bersaing dengan fitase dalam menempati posisi aktifnya sehingga fitat tidak dapat dihidrolisis dengan baik. Hal ini disebabkan oleh pembentukan kompleks Ca-fitat yang sukar larut pada level Ca yang tinggi dalam ransum maka fitase yang ditambahkan dalam ransum akan berkompetisi dengan Ca dalam mengambil posisi aktif dari fitat, kompetisi mengakibatkan fitat tidak terhidrolisis secara sempurna. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi secara numerik memperlihatkan bahwa kecernaan kalsium pada perlakuan P4, ransum dengan pemberian fitase 1000 FTUkg sebesar 36.23 lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol sebesar 31.88. Selain itu literatur juga menunjukkan bahwa protein ikut memegang peranan dalam penyerapan kalsium. Pakan yang mengandung protein dengan konsentrasi yang cukup tinggi akan mempermudah penyerapan kalsium. Kadar protein yang tinggi dalam makanan akan meningkatkan absorpsi kalsium pada taraf tertentu. Beberapa peneliti melaporkan bahwa jika masukan kalsium meningkat, maka jumlah kalsium yang diabsorpsi relatif menurun Piliang 2007. Di dalam ransum juga terdapat mineral-mineral lainnya yang saling berinteraksi dalam menempati posisi aktifnya. Hal ini sesuai yang dilaporkan Solomons 1988 bahwa ketersediaan mineral dalam tubuh tidak terlepas dari interaksi antar mineral-mineral. Mineral yang mempunyai kemiripan secara fisik dan kimia, secara biologis akan berinteraksi antagonis terhadap mineral lainnya. Interaksi antar mineral terutama terjadi di dalam saluran pencernaan, mineral yang mirip secara kimia akan berbagi saluran untuk absorspsi. Masuknya 2 buah atau lebih mineral secara bersamaan akan menyebabkan kompetisi dalam penyerapan. Kecernaan Fosfor Rataan persentase kecernaan fosfor tertera pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan rataan fosfor tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan dalam ransum. 57 Penyerapan fosfor berkaitan erat dengan kandungan kalsium dalam ransum. Kandungan fosfor dan protein yang tinggi dalam ransum mempengaruhi proses metabolisme dan absorpsi kalsium. Selain itu dikemukakan juga bahwa pakan yang mengandung fosfor dengan kadar yang tinggi berlebihan akan menyebabkan menurunnya absorspsi kalsium Piliang 2007. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan Sebastian et al. 1996 bahwa suplementasi fitase 600 Ukg dalam ransum yang mengandung 1.25 Ca menurunkan pemanfaatan fosfor. Sedangkan suplementasi fitase 600 Ukg dalam ransum ayam broiler berbasis jagung-bungkil kedelai dapat memperbaiki pemanfaatan fosfor secara lebih efektif pada ransum yang mengandung level Ca rendah 0.6 dari pada ransum yang mengandung level Ca normal 1 yang direkomendasikan. Kecernaan Serat Kasar Rataan persentase kecernaan serat kasar tertera pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan rataan kecernaan serat kasar nyata P0.05 dipengaruhi oleh perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan pemberian enzim mampu meningkatkan kecernaan serat kasar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian enzim. Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa rataan persentase serat kasar yang tercerna oleh ayam antara perlakuan P7, P5, P4, P2 berbeda nyata dengan P3 dan P1. Perlakuan P3 tidak berbeda dengan P5, P4, P2 dan P6 tetapi berbeda nyata dengan P7. Perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P3 dan P6. Rataan kecernaan serat kasar pada perlakuan P7 yaitu ransum dengan pemberian kombinasi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg + fitase 1000 FTUkg yaitu 29.81 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1, ransum tanpa pemberian enzim yaitu 15.70. Tingginya kecernaan serat kasar pada perlakuan P7 karena kombinasi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum + fitase 1000 FTUkg lebih efektif menghidrolisis serat dan fitat sehingga meningkatkan kecernaan serat kasar. Namun demikian kondisi ini tidak terwujud pada performan ayam broiler, kemungkinan karena penggunaan serat dalam pakan tidak cukup tinggi, serat kasar ransum periode starter 9.17 sedangkan serat kasar ransum periode finisher 7.42, penggunaan dedak padi dalam penelitian ini tidak cukup 58 tinggi yaitu 30 dalam ransum, misalkan penggunaan dedak padi sampai 70 kemungkinan pengaruhnya nyata terwujud dalam performan ayam dapat tercapai. Hasil penelitian ini sesuai yang dilaporkan Frigard et al. 1994 bahwa penambahan enzim pemecah serat dalam pakan rye tidak hanya berpengaruh pada performans broiler tetapi juga dapat meningkatkan secara nyata kecernaan dari komponen serat kasar. Energi Metabolis Energi metabolis adalah perbedaan antara kandungan energi bruto ransum dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta. Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan energi metabolis, dihasilkan nilai energi metabolis murni EMM dan nilai energi metabolis murni terkoreksi nitrogen EMMn. Rataan EMM dan rataan EMMn tertera pada Tabel 12. Tabel 12 Rataan energi metabolis murni EMM dan energi metabolis murni terkoreksi nitrogen EMMn ayam broiler umur 6 minggu Perlakuan EM kkalkg EMM kkalkg Δ 1 EMMn kkalkg Δ 2 P1 2785 2832 c 2 3312 c 19 P2 2785 2970 ab 7 3469 ab 25 P3 2785 2877 bc 3 3359 bc 21 P4 2785 2893 bc 4 3385 bc 22 P5 2785 3091 a 11 3582 a 29 P6 2785 2914 bc 5 3383 bc 21 P7 2785 3045 a 9 3531 a 27 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata P0.01. P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 1000 FTUkg ; = Berdasarkan perhitungan gross energi pakan finisher hasil analisa x 0.725 NRC 1994 ; EMM = energi metabolis murni ; EMMn = energi metabolis murni terkoreksi nitrogen ; Δ 1 = deltadeviasi perbedaan EMM dengan EM ; Δ 2 = deltadeviasi perbedaan EMMn dengan EM Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan EMM dan EMMn sangat nyata P0.01 dipengaruhi oleh perlakuan pemberian enzim dalam ransum. Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa ransum dengan pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg P5 maupun kombinasinya dengan fitase 1000 FTUkg P7 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan kontrol ransum tanpa enzim. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya pemberian enzim berpengaruh sangat nyata terhadap EMM dan EMMn. Tingginya EMM dan EMMn perlakuan P5 dan P7 dibandingkan 59 perlakuan kontrol tanpa enzim karena enzim pemecah serat baik secara individu maupun dikombinasikan dengan fitase 1000 FTUkg ransum mampu menghidrolisis serat berupa xilan, glukan yang terdapat didalam dedak menjadi senyawa gula sederhana. Enzim pemecah serat maupun kombinasinya dengan fitase 1000 FTUkg dapat mencerna serat menjadi energi tersedia sehingga kecernaan gizi meningkat. Namun demikian hal ini tidak terwujud dalam performan ayam broiler yang dipelihara selama 6 minggu yang mungkin disebabkan oleh kecukupan gizi ayam broiler yang diberi pakan tanpa enzim P1. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan Friesen et al. 1992 bahwa penambahan enzim dalam pakan broiler yang terdiri dari wheat, barley, oat dan rye dapat meningkatkan secara nyata P0.01 AMEn Apparent Metabolizable Energy , juga dapat memperbaiki bobot badan dan konversi ransum ayam broiler. Wu et al 2004 juga melaporkan bahwa kombinasi enzim phytase dan xylanase maupun secara individu dapat meningkatkan energi metabolis pada pakan broiler yang mengandung wheat. Tabel 12. memperlihatkan bahwa pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg P5 memberikan nilai EMMn dan EMM sangat nyata lebih tinggi dibandingkan nilai EM, masing- masing sebesar 29 dan 11. Adanya perbedaan nilai EMMn dan EMM disebabkan karena nilai EMMn memperhitungkan adanya konversi energi sebagai faktor koreksi dari nitrogen sebesar asam urat yang jika dioksidasi secara sempurna menghasilkan 8.22 kkalg. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Sibbald 1983 tentang keseimbangan nitrogen dan laporan McDonald et al. 2002 bahwa penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah retensi nitrogen karena kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi bruto dari protein kasar sangat bervariasi. Aktivitas Sakarifikasi Ekstrak Isi Rempela dan Pakan Aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela dan ekstrak pakan pada ayam broiler tanpa enzim maupun yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya selama 6 minggu penelitian disajikan pada Gambar 3 dan 4. 60 18.22 37.36 42.41 14.41 16.88 4.90 12.58 5 10 15 20 25 30 35 40 45 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan Akt if it a s s akari fi kas i U m l P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Gambar 3 Rataan aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya pada ayam broiler umur 6 minggu. 32.36 35.81 28.57 13.09 10.28 10.02 13.40 5 10 15 20 25 30 35 40 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan Akt ivi ta s sakar if ikasi U m l P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Gambar 4 Rataan aktivitas sakarifikasi ekstrak pakan yang diberi enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya pada ayam broiler umur 6 minggu. Gambar 3 menunjukkan bahwa aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela terendah yaitu 4.90 Uml pada perlakuan P2, ransum dengan pemberian natugrain dan tertinggi yaitu 42.41 Uml pada perlakuan P5, ransum dengan pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 unitkg. Rataan aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela berbeda sangat nyata P0,01 dipengaruhi oleh perlakuan. Uji lanjutan menunjukkan perlakuan P5 dan P6 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P7, P3, P4, P1 dan P2, tetapi perlakuan P1 tidak berbeda dengan P2. Rendahnya aktivitas sakarifikasi pada perlakuan P2 61 karena natugrain tidak efektif dalam ransum yang mengandung dedak. Tingginya aktivitas sakarifikasi pada perlakuan P5 dan P6 karena enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg baik secara individu maupun yang dikombinasikan dengan fitase 500 FTUkg mampu memecah serat dalam pakan menjadi gula sederhana. Gambar 4 menunjukkan bahwa aktivitas sakarifikasi ekstrak pakan terendah yaitu 10.02 Uml pada perlakuan P2, ransum yang diberi enzim natugrain dan tertinggi yaitu 35.81 Uml pada perlakuan P6, ransum yang diberi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum + fitase 500 FTUkg. Tingginya aktivitas sakarifikasi pada ransum yang diberi kombinasi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg + fitase 500 FTUkg diukur berdasarkan gula bebas dan gula reduksi yang dihasilkan lebih tinggi. Suhu Lingkungan Kondisi suhu dan kelembaban selama penelitian yaitu rataan suhu minimum–maksimum harian dan kelembaban udara relatif setiap minggu selama penelitian berlangsung seperti disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Rataan suhu minimum dan maksimum harian dan kelembaban udara relatif setiap minggu selama 6 minggu penelitian Minggu Suhu Harian o C Kelembaban Udara Relatif Minimum Maksimum I 26 31 65 II 25 30 70 III 25 30 66 IV 23 30 68 V 23 30 69 VI 22 29 75 Rataan 24 30 69 Rataan suhu minimum harian berkisar 24 o C dan rataan suhu maksimum harian berkisar 30 o C. Rataan suhu selama penelitian menunjukkan bahwa suhu lingkungan masih berada pada kisaran yang aman bagi kelangsungan pertumbuhan broiler. Amrullah 2004 menyatakan bahwa laju pertumbuhan broiler yang optimum dalam selang pemeliharaan umur 3-7 minggu, berlangsung 62 pada suhu 20 hingga 24 o C karena produksi panas tubuh minimal situasi yang paling efisien terlihat pada suhu sekitar 23 o C. Sedangkan rataan kelembaban udara relatif selama penelitian berlangsung adalah 69 persen. Kondisi ini masih cukup baik karena termasuk dalam kisaran batas toleransi yaitu 60–70 Soeharsono 1976. Menurut Oluyemi Robert 1979 menyatakan bahwa kelembaban udara relatif bagi pemeliharaan ayam berkisar 50–80. Selain faktor suhu dan kelembaban, ada faktor lain yaitu ventilasi kandang yang digunakan selama penelitian berlangsung cukup baik yang merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pemeliharaan ayam broiler selama 6 minggu penelitian. Mortalitas Mortalitas merupakan faktor penting di dalam usaha peternakan ayam broiler karena berkaitan erat dengan keuntungan bila ditinjau dari segi ekonomi. Menurut Bell Weaver 2002 menyatakan bahwa pada usaha pemeliharaan ayam broiler memperlihatkan bahwa tingkat kematian pada periode starter hingga pemeliharaan sampai umur 6 minggu dengan total kematian sebesar 3.14 masih menguntungkan dengan nilai konversi ransum sebesar 1.70. Pada penelitian ini tidak terdapat adanya kematian ternak ayam broiler akibat perlakuan ransum maupun penyakit, dengan demikian suplementasi enzim kedalam ransum tidak berpengaruh negatif terhadap kematian ayam. Tidak adanya ayam yang mati pada penelitian ini juga karena sistem pengelolaan yang digunakan dalam penelitian ini baik dan sesuai dengan petunjuk pemeliharaan ternak ayam broiler seperti pemberian vaksin ND I, ND II, vaksin IBD dan pemberian anti stress. Rekapitulasi Analisa Statistik pada Berbagai Peubah Rekapitulasi analisa statistik pada berbagai peubah penelitian pemberian enzim natugrain, enzim fitase, enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum dan kombinasinya pada broiler selama 6 minggu disajikan pada Tabel 14. 63 Tabel 14 Rekapitulasi pengaruh perlakuan terhadap peubah penelitian No Parameter Anova Signifikansi P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 1 Konsumsi ransum NS - - - - - - - 2 Pertambahan bobot badan NS - - - - - - - 3 Konversi ransum abc a abc c bc ab bc 4 Karkas dan bagian-bagian karkas : Karkas a a a a b ab b Karkas dada b b b a b b b Karkas paha NS - - - - - - - Karkas sayap NS - - - - - - - Karkas punggung NS - - - - - - - 5 Organ dalam : NS Ginjal NS - - - - - - - Rempela NS - - - - - - - Jantung NS - - - - - - - Hati NS - - - - - - - Lemak abdomen NS - - - - - - - Panjang usus halus NS - - - - - - - Bobot usus NS - - - - - - - 6 Kadar air feses NS - - - - - - - 7 Kecernaan protein NS - - - - - - - 8 Kecernaan kalsium NS - - - - - - - 9 Kecernaan fosfor NS - - - - - - - 10 Kecernaan serat kasar c ab bc ab ab abc a 11 Energi metabolis EMM EMMn c ab bc bc a bc a 12 Aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela bc c b b a a b 13 Aktivitas sakarifikasi ekstrak pakan - TD TD TD TD TD TD TD Keterangan: P1 = Ransum Kontrol tanpa enzim, P2 = Ransum Kontrol + Natugrain 200 ppmkg, P3 = Ransum Kontrol + fitase 500 FTUkg, P4 = Ransum Kontrol + fitase 1000 FTUkg, P5 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg, P6 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 500 FTUkg, P7 = Ransum Kontrol + enzim pemecah serat PU4-2 + BS4 7.5 unit kg + fitase 1000 FTUkg ; NS = Non Signifikan ; TD = Tidak Dianalisis ; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05 dan berbeda sangat nyata P0.01. 64 KESIMPULAN Enzim fitase 1000 FTUkg P4 dalam ransum merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan efisiensi ransum dan bobot karkas dada. Enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg P5 maupun kombinasinya dengan fitase 1000 FTUkg P7 sangat nyata meningkatkan energi metabolis murni terkoreksi nitrogen EMMn dan energi metabolis murni EMM. Kombinasi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg dengan fitase 1000 FTUkg P7 nyata meningkatkan kecernaan serat kasar. Aktivitas sakarifikasi ekstrak isi rempela tertinggi pada perlakuan pemberian enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg P5 dan kombinasinya dengan fitase 500 FTUkg P6. Aktivitas sakarifikasi ekstrak pakan tertinggi diperoleh pada ransum yang diberi enzim pemecah serat Bacillus pumilus + Eupenicillium javanicum 7.5 Ukg dikombinasi dengan fitase 500 FTUkg P6. SARAN Untuk aplikasi pemberian enzim dilapangan disarankan menggunakan enzim fitase 1000 FTUkg P4 dalam ransum, yang dapat meningkatkan efisiensi ransum dan bobot karkas yang tinggi. 65 DAFTAR PUSTAKA Abdelsamie RE, Ranaweera KNP, Nano WE. 1983. The influence of fibre content and physical texture of the diet on the performance of broiler in the tropics. Br Poult Sci 24: 383–390. Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan ke-3. ISBN 979-3822-00-7. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor. Annison G. 1992. Commercial enzyme suplementation of wheat based diets raises ileal glycanase activities and improves apparent metabolizable energy, starch and pentosan digestibilities in broiler chickens. Anim Feed Sci Technol

38: 105–121.