1.1 Latar Belakang
Daging merupakan salah satu hasil ternak yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia, khususnya sebagai sumber protein
hewani. Sejauh ini penyediaan daging di Indonesia masih belum cukup memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Daging merupakan bahan pangan yang
bernutrisi tinggi, kandungan gizi yang tinggi tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.
Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang belum memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Seperti misalnya
proses penirisan darah yang kurang sempurna saat penyembelihan yang dapat menyebabkan warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar
mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah
akibat pencemaran dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena sifat
fisikokimianya water activity, pH, zat gizinutrisi mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar
daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi
syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar. Karena kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh
lingkungan sekitar, diperlukanlah penanganan daging yang baik agar kandungan gizi serta kualitas daging tetap terjamin.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apa itu daging? 2. Bagaimana cara penanganan daging yang baik?
1.3 Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan daging.
2. Mengetahui cara penanganan daging yang baik.
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daging
Menurut Soeparno 2005 daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya hati, paru-paru, limpa, pankreas, otak, jantung, ginjal dan jaringan otot
termasuk dalam definisi ini. Lawrie 1998 mendefinisikan daging dalam arti khusus sebagai bagian
dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Pada praktiknya, definisi ini terbatas hanya pada beberapa lusin dari sekitar 3000 spesies mamalia. Pengertian
daging juga dapat diperluas mencakup organ-organ seperti hati, ginjal, otak dan jaringan lain yang dapat dimakan. Definisi daging yang lebih sesuai dengan
kondisi di Indonesia adalah definisi menurut SNI 01-3947-1995, yaitu urat daging otot yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan
telinga Dewan Standardisasi Nasional, 1995. Salah satu daging ternak yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah
daging sapi Soeparno, 2005. Daging sapi memiliki ciri–ciri warna merah segar, seratnya halus dan lemaknya berwarna kuning. Daging sapi memiliki kandungan
kalori 20,7, protein 18,8 dan lemak 14 Buege, 2001. Kandungan protein daging olahan lebih sedikit dibandingkan kandungan protein daging segar
Soeparno, 2005. Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau.
Selama proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan kurang menarik. Warna daging segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin,
warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin, hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari
nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak Soeparno, 1994.
Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging terbentuk dari otot yang telah berhenti fungsi fisiologisnya setelah pemotongan Soeparno,
2005. Otot tersusun dari banyak ikatan serabut yang disebut fasikuli yang terdiri atasserabut-serabut otot yang terdiri atas myofibril kumpulan fibril. Miofibril
tersusun dari banyak filament dan disebut miofilamen. Berdasarkan ukuranya dari terbesar sampai dengan ukuran terkecil, otot tersusun dari fasikuli, serabut
otot, myofibril, dan miofilamen Lawrie, 1998. Sebagian besar serabut otot mengandung lebih dari 50 protein myofibril. Di dalam myofibril terdapat 55
sampai 60 myosin dan kira-kira 20 akttin Abarle dkk, 2001. Kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menenyukan daging
itu yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Warna, daya mengikat air, dan beberapa aroma daging dapat dideteeksi baik sebelum maupun sesudah
pemasakan dan akan memberikan sensasi yang lebih lama terhadap konsumen dibandingkan dengan juiciness, tekstur, keempukan, rasa, dan kebanyakan aroma
yang terdeteksi saat pengunyahan Lawrie, 1998. pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Setelah ternak
disembelih terjadi penurunan pH karena adanya penimbunan asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada beberapa ternak, penurunan
pH terjadi satu jam pertama setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Peningkatan pH dapat terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme.
Nilai pH daging sapi setelah proses perubahan glikolisis menjadi sam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2.
Keempukan daging dipengaruhi oleh faktor antemortem seperti genetic termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, faktor umur, manajemen, jenis kelamin,
stress, dan faktor postmortem yang meliputi pelayuan, dan pembekuan termasuk faktor lama dan suhu penyimpanan, metode pengolahan, ermasuk pemasakan, dan
penambahan bahan pengempuk. Semakin halus teksturnya maka daging semakin empuk Soeparno, 2005.
Penyimpanan daging pada suhu beku merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan daging. Penggunaan suhu yang rendah dalam
penyimpanan daging yang dikemas diketahui dapat mengurangi resiko kontaminasi mikroba, namun tidak dapat menghilangkanya. Keuntungan daging
disimpan dalam suhu beku yaitu memperpanjang waktu simpan dan dalam menghambat perubahan-perubahan kimiawi daging. Penyimpanan daging dalam
bentuk beku juga cenderung diimbangi dengan eksudasi cairan atau drip dalam proses pencairan kembali atau yang dikenal dengan thawing Lawrie, 1998.
2.2 Penanganan Daging