Non-Nuclear Weapon States NNWS

Universitas Sumatera Utara bekerja disana yang dipublikasikan. Informasi mengenai program di Dimona dibeberkan oleh teknisi Mordechai Vanunu pada 1986. Analisis gambar mengidentifikasi bunker senjata, peluncur misil bergerak, dan situs peluncuran pada foto satelit. Badan Tenaga Atom Internasional mempercayai Israel memiliki senjata nuklir. Israel mungkin telah melakukan sebuah uji coba senjata nuklir dengan Afrika Selatan pada 1979, tetapi hal ini belum dikonfirmasikan. Menurut Natural Resources Defense Council dan Federasi Ilmuwan Amerika, Israel memiliki sekitar 75-200 senjata. Cadangan hulu ledak nuklir di dunia tercatat turun menjadi 15.850, kebanyakan karena kebijakan Amerika Serikat dan Rusia 116 . Temuan tersebut diumumkan oleh lembaga penelitian asal Swedia, Stockholm Peace Research Institute SIPRI 117 . Namun begitu SIPRI juga mengklaim kedua negara adidaya dan tujuh negara lain yang memiliki senjata nuklir terus memodernisasi alat perangnya, yang secara nyata menjadi kegagalan Nuclear Non-Proliferation Treaty dalam menjalankan rezimnya untuk membatasi kepemilikan nuklir dan membatasi negara pemilik senjata nuklir untuk memodernisasi senjatanya.

2. Non-Nuclear Weapon States NNWS

Non-Nuclear Weapon States dalam perjanjian Nonproliferasi nuklir adalah negara yang menyandang status untuk boleh memiliki nuklir namun hanya 116 “Remajakan Senjata Nuklir, Negara Adidaya Waspadai Perang Terbuka” sebagaimana dimuat dalam http:www.dw.comidremajakan-senjata-nuklir-negara-adidaya- waspadai-perang-terbukaa-18517525 diakses pada tanggal 26 agustus 2015 pukul 13.00 117 Stockholm International Peace Research Institute SIPRI adalah lembaga independen internasional di Swedia yang didedikasikan untuk penelitian konflik, persenjataan, pengawasan senjata dan perlucutan senjata. Didirikan pada 6 Mei 1966, SIPRI memberikan data, analisis dan rekomendasi, berdasarkan sumber umum, untuk pembuat kebijakan, peneliti, media dan menarik masyarakat Universitas Sumatera Utara sebatas untuk kepentingan damai saja, dan tidak boleh memiliki senjata nuklir ataupun proyek nuklir manapun yang bisa berujung terhadap pemakaian senjata nuklir. NNWS dalam perjanjian nonproliferasi nuklir hanya dibenarkan untuk memiliki nuklir demi kepentingan damai, dan apabila ternyata diketahui memiliki senjat nuklir atau mengembangkan proyek senajata nuklir, maka bisa dikenakan sanksi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Proyek pengembangan nuklir NNWS diawasi oleh Badan Atom Internasional atau International atomic Energy Agency IAEA, yang mana IAEA berperan sebagai sebuah forum antar pemerintah an intergovernmental forum untuk keilmuan dan kerjasama teknik dalam pemanfaatan secara damai teknologi nuklir di seluruh dunia. Dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian internasional dan keamanan serta untuk mewujudkan tujuan- tujuan millenium Dunia the World’s Millennium Goals bidang sosial, ekonomi, dan peningkatan kualitas lingkungan. Peran IAEA dalam kesepakatan perjanjian nonproilferasi nuklir adalah sebagai tindak lanjut Traktat NPT didasarkan pada dua perangkat hukum yaitu perjanjian keselamatan comprehensive Comprehensive Safeguard Agreement dan Protokol Tambahan Additional Protocols dan cara-cara lainnya seperti Small Quantities Protocol SQP. pengamanan berupa tindakan-tindakan independen IAEA dengan membuat sebuah verifikasi yang didasarkan pada pernyataan yang dibuat oleh negara-negara anggota tentang bahan-bahan nuklir yang dimiliki negaranya dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengannya NNWS juga diharuskan unuk menandatangani protocol tambahan yang berfungsi memudahkan IAEA untuk masuk kedalam negaranya untuk melakukan inspeksi terhadap proyek pengembangan nuklir yang dikembangkan oleh NNWS Universitas Sumatera Utara tersebut, protocol tambahan ini dibuat karena insiden Irak yang ternyata mengembangkan senjata nuklir secara diam-diam dimana Irak telah menjadi negara peserta Traktat NPT pada tahun 1970 sebagai NNWS dan telah menandatangani safeguard agreement dengan IAEA seperti yang diharuskan oleh Traktat. Oleh karena itu, Irak dianggap tetap pada komitmennya sebagai NNWS. Peran IAEA adalah hanya lembaga yang melakukan verifikasi semata-mata atas laporan dari Irak tentang bahan nuklir dan instalasi yang dimilikinya. Jadi, meskipun selama ini seluruh instalasi nuklir di Irak selalu diumumkan dan dilaporkan ke IAEA ternyata sejak awal tahun 1990-an diketahui bahwa Irak telah mengembangkan program senjata nuklir secara diam-diam. Pada kasus Irak, kesalahan terdapat pada masalah bahwa sistem verifikasi karena seharusnya tidak selalu menganggap benar semua hal yang dilaporkan oleh negara anggota Traktat. Dengan kata lain, IAEA pada saat itu percaya penuh terhadap laporan yang dibuat oleh Irak tentang bahan nuklir dan instalasinya. Padahal arti penting dari sistem verifikasi justru terletak pada tindakan lanjutan untuk mendeteksi apakah sebuah negara mencoba memanfaatkan kelemahan sistem ini untuk melakukan kegiatan yang tidak dilaporkan. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka pada tahun 1997 diadopsi Protokol Tambahan NPT Additional Protocol NPT. Protokol Tambahan ini memberikan tim pengawas IAEA kewenangan yang lebih besar atas ruang lingkup dan akses informasi yang berkaitan dengan instalasi nuklir negara peserta Traktat. Lebih lanjut, praktek di Irak ini telah menyadarkan bahwa IAEA perlu melaksanakan tindakan-tindakan lanjutan untuk meningkatkan pendeteksian dini terhadap program senjata nuklir di suatu negara. Tindakan lanjutan tersebut meliputi akses atas informasi yang Universitas Sumatera Utara berkenaan dengan peredaran bahan bakar nuklir dan lokasinya, dan tindakan teknis lainnya, misalnya pengambilan sample lingkungan environmental sampling.

B. Hak dan kewajiban negara anggota perjanjian Non-proliferasi Nuklir