KELEMAHAN ASPEK YURIDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

KELEMAHAN ASPEK YURIDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK
MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Laili Furqoni, S.H., M.H.
Dosen Bagian/Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember

Abstrak
Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 (tiga belas) buah
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lahirnya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai alat pemberantasan korupsi telah menunjukkan kemauan
politik penyelenggara negara untuk melawan korupsi. Akan tetapi, dari kajian
akan kebijakan formulasinya ternyata menunjukkan bahwa dalam UndangUndang tentang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) masih
memiliki celah-celah hukum yang dapat melemahkan upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi. Adapun beberapa hal yang menjadi kelemahan aspek yuridis
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, antara lain adalah : masalah
kualifikasi delik; tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus,
pidana pokok korporasi hanya denda; tidak adanya ketentuan khusus mengenai
pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi; tidak adanya
ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari istilah pemufakatan jahat;

aturan peralihan dalam Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
dinilai berlebihan karena secara sistemik sudah ada Pasal 1 ayat (2) KUHP;
formulasi pidana mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2 ayat (2);
dan masalah recidive.
Kata Kunci : Aspek Yuridis, formulasi, perundang-undangan, korupsi
I.

Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Korupsi adalah suatu perbuatan yang sudah lama dikenal di dunia dan di
Indonesia. Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dahulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era reformasi.
Korupsi di Indonesia berkembang sexara sistemik. Bagi banyak orang, korupsi
bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu
kebiasaan.