Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cair

Tabel 2.2. Re American C Dissability di Dinilai berdasarkan para stimulasi Verbal, respon Bisa pula menggunakan pasien berdasarkan mat ExposureEnvironment C kemudian pasien di Lo

2.2. Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cair

n College of Surgeons Committee on Trauma, 2008 dinilai dari tingkat kesadaran pasien saat diteri parameter yang disingkat AVPU : Alert, respon pa pon pasien terhadap stimulasi nyeri Pain, dan Unr kan skor Glasgow Coma Scale yang mengamati sta ata, verbal dan motorik Reiff, Rue III, 2009 nt Control dilakukan dengan mengekspos seluruh Log Roll untuk mengevaluasi bagian belakang 14 airan , 2008 terima di UGD. pon pasien terhadap Unresponssive. status neurologi 2009. Selanjutnya uh tubuh pasien g tubuh pasien dengan memperhatikan C-spine Protection. Pasien diperiksa dalam lingkungan bersuhu hangat dan kering Brzozowski, dan Hans, 2012. Resusitasi cairan dimulai dengan pemberian cairan kristaloid isotonik hangat 37°C-40°C sebanyak 1-2 liter melalui pemasangan dua buah kateter intravena dengan diameter besar. Saat pemasangan kateter sekaligus diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium serta crossmatch sebagai persiapan apabila pasien membutuhkan transfusi darah. Apabila tubuh pasien tidak merespon dengan pemberian cairan per intravena maka diberikan transfusi darah American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008; Reiff, Rue III, 2009. Target resusitasi cairan adalah hemodinamik normal, produksi urine 0,5-1ccKg berat badan per jam, koreksi defisit basa, mengembalikan kadar laktat 0,5-1 mmolL, dan kadar Hb 7-9 grdl Reiff, Rue III, 2009; Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández- Mondéjar, dkk, 2013. Transfusi darah berfungsi merestorasi kapasitas pengangkutan oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan dan organ. Pemberian transfusi diawali dengan pemberian PRC akan tetapi saat terjadi transfusi darah masif pemberian 10 atau lebih unit PRC perlu diingat untuk mencegah dan memberhentikan proses koagulopati. Cara pencegahan koagulopati dengan pemberian transfusi platelet dan FFP. Patokannya platelet diberikan bila jumlah platelet pasien dibawah 50.000 selml atau bila ditemukan suspek disfungsi platelet. Apabila pendarahan masih berlanjut nilai INR atau APTT meningkat, diberikan FFP. Cryoprecipitate diberikan apabila konsentrasi fibrinogen kurang dari 80 mgdl Cryer, 2009. Protokol transfusi masif diberlakukan apabila volume kehilangan darah pasien mencapai 70mlKg, dimana untuk setiap pemberian 1 unit PRC diberikan pula 1 unit FFP secara bersamaaan begitu pula diberikan 6 pak platelet untuk setiap pemberian 6 unit PRC. Saat pasien sudah selesai menjalani pembedahan dan dirawat di ruangan intensif maka target kadar Hb disesuaikan menjadi 8,5-10 grdl, target ini diberlakukan universal untuk pasien trauma baik pada pasien geriatri, memiliki komorbid gangguan saraf pusat, COPD ataupun gangguan ginjal Cryer, 2009.

2.1.3.2 Secondary Survey Head to Toe Examination

Pemeriksaan ini dilakukan setelah primary survey selesai, tujuannya mengidentifikasi lesi mayor yang terdapat pada pasien. Termasuk dikerjakan “finger and tubes in every orifices ”, pemeriksaan fisik yang dimulai dari ujang kepala sampai kaki, pengambilan sampel darah hematologi rutin, elektrolit, BUNSC, PTAPTT dan INR, Lipase, level alkohol dan beberapa tes lainnya, termasuk crossmatch untuk persiapan transfusi. Selain itu juga penunjang lainnya seperti rontgen dan ultrasonografi turut dikerjakan. Semua dikerjakan secara simultan Brzozowski, dan Hans, 2012. Fokus pemeriksaan secondary survey pada penelitian ini ditekankan pada pemeriksaan abdomen karena abdomen seringkali menjadi tempat mengumpulnya darah akibat ruptur nya organ atau pembuluh darah organ abdomen akibat trauma. Dikerjakan pemeriksaan fisik yang lebih cermat meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi abdomen, untuk mengetahui tanda-tanda peritonitis. Dikerjakan pula pemeriksaan rectal tussae untuk mendapatkan informasi adanya pendarahan saluran cerna bagian bawah, posisi prostat, integritas rektum dan tonus spinkter ani. Pada pasien perempuan, pertimbangkan pemeriksaan bimanual atau spekulum untuk mendeteksi adanya trauma pelvis Brzozowski, dan Hans, 2012.

2.1.3.3 Investigasi

Pasien dengan distensi abdomen yang progresif, hemodinamik yang tidak stabil dengan kecurigaan dikarenakan trauma abdomen, Pemeriksaan penunjang seperti FAST secara simultan selama secondary survey, sensitivitasnya mencapai 95 untuk mendeteksi adanya cairan bebas pada splenorenal space lien; sebanyak 50 kasus atau Morisson’s Pouch hepar; sebanyak 40 kasus. Pasien kategori ini termasuk indikasi dikerjakan laparotomi eksplorasi. Sedangkan pasien dengan tanpa indikasi laparotomi, penggunaan FAST dan atau CT abdomen adalah untuk menyingkirkan injury di organ lain Mac Kinnon D, 2012; Brzozowski, dan Hans, 2012. FAST yang sensitif bisa mendeteksi sampai 200cc cairan bebas intraperitoneal, sehingga saat ini diagnostik menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage di Trauma Centre modern fungsinya terbatas karena sudah digantikan oleh FAST dan atau CT Reiff, Rue III, 2009. Penatalaksanaan Damage Control Surgery Penanganan pasien dengan trauma tusuk abdomen yang menunjukkan tanda-tanda peritonitis harus dikerjakan laparotomi eksplorasi di kamar operasi karena sekitar 1 dari 3 pasien tersebut mengalami pendarahan intraabdomen White dan Yancey, 2011; Emery 2014. Protokol yang penanganan trauma abdomen adalah Damage Control Surgery, secara khusus dikerjakan Damage Control Laparotomy. Pembedahan dan ekspos cavum abdomen dalam durasi lama, memperburuk kondisi fisiologis pasien menyebabkan peningkatan morbitas dan mortalitas pasien. Karena itu pembedahan awal dipersingkat sehingga penatalaksanaan pasien trauma berat terbagi atas tiga fase, yaitu : kontrol pendarahan dan kontaminasi, resusitasi dan reekplorasi terencana untuk penanganan pembedahan definitif Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015. Indikasi nya berupa instabilitas hemodinamik, koagulopati, asidosis pH 7.2, hipotermia temperatur core 35°C, injury pada multipel cavum tubuh, perkiraan durasi operasi lama, dan keperluan transfusi masif. Apabila protokol ini dikerjakan, saat pendarahan dan kontaminasi telah terkontrol maka penutupan sementara cavum abdomen dengan memperhatikan sterilitas, melindungi saluran cerna, mencegah eviserasi dan adhesi, traksi dinding abdomen secukupnya untuk mencegah sindrom kompartemen abdomen dikerjakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan, memindahkan, dan mengkuantifikasi drainage cairan abdomen Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013; Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015. Tahap kontrol pendarahan dan kontaminasi harus selesai dalam 60-90 menit Germanos, Gourgiotis, Villias, Bertucci, Dimopoulos, dan Salemis, 2008. Teknik yang dikerjakan vacuum-assisted abdominal dressings dan the Bogota bag, dilanjutkan tahap resusitasi yang bertujuan untuk membalikkan proses asidosis dengan merestorasi volume darah sirkulasi dengan cairan hangat dan selimut hangat, memberikan ventilasi dengan udara hangat. Bukti klinis tercapainya keseimbangan fisiologis adalah tekanan darah, dentak jantung dan temperatur tubuh normal, produksi urine adekuat, klirens peningkatan kadar laktat, serta normalisasi profil koagulasi dan Hb. Semua ini harus tercapai sebelum berlanjut ke tahap operasi definitif Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015. Tahap operasi definitif dimulai dengan menginspeksi traktus saluran cerna mulai dari diaphragmatic hiatus sampai ke refleksi peritoneum di sekitar distal rektum, sekaligus memastikan posisi Nasogastric Tube. Dikerjakan pula inspeksi dan palpasi seluruh organ padat abdomen, memeriksa apakah ditemukan hematom retroperitoneum, dan inspeksi lesser sac Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015. Tahap ini dikerjakan 24-72 jam setelah pasien mengalami trauma Keel, Labler, dan Trentz, 2005. Mortalitas pada Trauma Tumpul Abdomen Mortalitas akibat trauma tumpul abdomen cukup tinggi, berkisar 10- 30, sedangkan mortalitas akibat luka tembak berkisar 5 - 15 White dan Yancey, 2011. Morbiditas dan mortalitas yang disebabkan pendarahan intraperitoneal akan meningkat dengan seiringnya penundaan kontrol pendarahan Peitzman dan Piper, 2014. Mortalitas dini pada pasien trauma tumpul abdomen batasannya adalah 5 hari Negoi, I., Paun, S., Hostiuc, S., Stoica, B., Tanase, I., Negoi, R.N, 2015. Penundaan kontrol pendarahan pada pasien trauma terutama trauma abdomen akan menyebabkan pasien akan jatuh pada kondisi bloody vicious cycle yaitu hipotermia, asidosis dan koagulopati. Seperti nampak pada gambar 2.3. Gambar 2.3. “The Bloody Vicious Cycle” Kashuk, 2008. Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh dibawah suhu 35°C. pada suhu ini, banyak kompensasi fisiologis untuk mengonservasi panas tubuh yang gagal Danzl, 2008. Hipotermia pada pasien trauma abdomen terjadi karena paparan lingkungan, perdarahan dengan hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan proses termoregulasi, saat meresusitasi pasien dengan cairan cairan dingin dan masif, serta saat pasien menjalani pembedahan dalam kamar operasi yang dingin Eldar dan Charles, 2004. Hipotermia dapat mempengaruhi koagulasi darah pada setiap tahap mayor proses clotting, yaitu: vaskuler, platelet dan aktivasi faktor clotting. Hipotermia menghambat aktivitas protease dan fungsi trombosit. Aktivitas kompleks faktor jaringan menurun seiring dengan penurunan suhu tubuh dan 50 tidak bekerja pada suhu 28 o C. Pada akhirnya hipotermia dapat menyebabkan koagulopati yang meningkatkan mortalitas pada pasien trauma Ahrenholz, D.H. 2013. Asidosis pada pasien trauma abdomen terjadi karena syok dan kelebihan ion klorida pada resusitasi. Asidosis yang sering terjadi pada kasus ini adalah asidosis metabolik . Meng dan kawan-kawan menyebutkan bahwa ketika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0, aktivitas faktor VIIa menurun sebesar 90, faktor jaringan sebesar 55 dan rata-rata aktivasi protrombin oleh faktor Xafaktor Va kompleks menurun sebesar 70. Martini dan kawan-kawan menyatakan bahwa asidosis pH 7,1 dan apabila dikombinasikan dengan hipotermia t = 32°C akan meningkatkan waktu pendarahan lien sebanyak 72. Tieu, Holcom, dan Schreiber, 2007 Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time BT atau peningkatan waktu pembekuan darah. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal dengan trias kematian pada trauma. Trauma dan syok berhubungan dengan konsumsi faktor-faktor koagulasi dan fibrinolisis yang berakhir pada koagulopati. Selain itu, koagulopati yang terjadi pada trauma dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi dan penyakit lain. John, Brohi, Dutton, Hauser, Holcomb, dan Kluger, 2008 Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR 1,2. Pada trauma, nilai INR 1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat dengan risiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. Davenport, 2011; Hagemo dkk, 2015

2.2 Penggunaan Sistem Skoring NISS pada pasien trauma abdomen