THE DIFFERENCES OF STUDENT’S ENTREPRENEURSHIP BETWEEN ROLE PLAYING METHOD AND EXAMPLES NON EXAMPLES METHOD IN STUDENTS CLASS XI SMA ADIGUNA BANDAR LAMPUNG

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada beberapa sub bab yang berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah. Hal lain yang perlu dibahas pada bab ini sehingga menjadi lebih jelas yaitu: rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub bab akan diuraikan berikut ini.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pendidikan sering dikatakan persiapan untuk hidup yang lebih baik. Maju mundurnya suatu negara sangat bergantung pada sistem pendidikan yang dilaksanakan. Melalui pendidikan dapat pula tumbuh proses perubahan tingkah laku, kemampuan, bakat, minat, talenta, dan potensi diri sekaligus membawa perubahan bagi pembaharuan bangsa dan negara.

Tuntutan kualitas sumber daya manusia makin lama makin tinggi dan menuntut kekhususan yang lebih sulit untuk dipenuhi. Lapangan kerja yang terbatas membuat orang mencari jalan untuk bertahan hidup agar dapat hidup layak. Berwirausaha merupakan satu alternatif jalan keluar terbaik untuk membantu negara menyerap pengangguran. Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku seseorang dalam menangani kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,


(2)

2 menciptakan, menerapkan cara kerja dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik untuk memperoleh keuntungan yang besar, atau kemampuan menggerakkan orang-orang dan berbagai sumber daya untuk berkreasi, mengembangkan dan menerapkan solusi terhadap berbagai masalah agar dapat menciptakan makna dan memenuhi kebutuhan manusia.

Pada dasarnya manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya, baik pendidikan formal, informal maupun pendidikan non-formal, karena dengan pendidikan potensi dirinya dapat berkembang melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat. Pengaruh pendidikan kewirausahaan selama ini sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa, dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda (Kourilsky dan Walstad, 1998). Untuk itu, dibutuhkan peran dunia pendidikan untuk senantiasa membangun dan mengarahkan kemampuan serta minat para lulusan SMA bergerak dan mengembangkan kewirausahaan sehingga lapangan pekerjaan yang sedikit dan sulit tidak menjadi masalah bagi para lulusan, karena dengan sikap, minat, perilaku dan pengetahuan mereka sudah mampu untuk menjalankan usahanya sendiri dimasa yang akan datang.

Minat berwirausaha dapat dibentuk dan dipelajari sepanjang kehidupan dengan pendidikan. Pendidikan kewirausahaan dapat diperoleh dari pendidikan formal, informal, maupun non formal. Pendidikan formal diperoleh melalui persekolahan, pendidikan non-formal diperoleh melalui lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan informal diperoleh melalui lingkungan keluarga.


(3)

3 Menurut pendapat Sutjipto (2002) mengatakan bahwa minat berwirausaha dapat dibentuk dan dipelajari sepanjang kehidupan. Minat, sikap dan jiwa kewirausahaan dapat tumbuh dan berkembang karena pengaruh lingkungan yang ada disekitarnya, salah satunya adalah lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Herawati (1998) bahwa wirausaha adalah sikap diri yang terbentuk dari perpaduan antara sifat pembawaan sejak lahir dengan pendidikan dan pengaruh lingkungan.

Lingkungan dalam bentuk “role models” berpengaruh terhadap minat berwirausaha (Alma, 2007:7). Role models ini dapat dilihat dari orang tua, saudara, keluarga yang lain (kakek, paman, bibi, anak), teman, pasangan, atau pengusaha sukses yang diidolakannya.

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dikatakan sebagai pendidikan yang pertama karena anak pertama kali mendapatkan pengaruh pendidikan dari dan didalam keluarganya. Sedangkan dikatakan sebagai pendidikan yang utama karena sekalipun anak mendapatkan pendidikan dari sekolah, namun tanggung jawab kodrati pendidikan ada pada keluarga (Wahyudin, 2008:3-7).

Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian adalah SMA Adiguna Bandar Lampung, para siswa sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat keluarga ekonomi menengah yang rata-rata latar belakang orang tuanya wirausaha sebagai pedagang. Sedangkan yang latar belakang orang tuanya non wirausaha terdiri dari pegawai negeri, pegawai swasta dan buruh.


(4)

4 Orang tua adalah penentu utama dalam pembentukan sikap anaknya dikemudian hari, karena anak pertama kali berhadapan dengan lingkungan luar dirinya adalah dengan lingkungan keluarga. Pendidikan dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan sentral bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi individu yang lebih baik. Orang tua berkewajiban untuk memberikan perhatian kepada keluarga dan mendidik anak-anaknya secara adil untuk mendapatkan perkembangan yang optimal.

Keluarga terutama orang tua sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan minat berwirausaha pada anaknya. Dukungan dari orang tua merupakan gambaran kekuatan yang dimiliki antara lain dapat dilihat dari pekerjaan kedua orang tua, penghasilan, tingkat pendidikan, fasilitas yang disediakan sebagai pendukung untuk melakukan kegiatan wirausaha, kebiasaan, nasehat dan keteladanan yang berkaitan dengan kewirausahaan.

Bekerja merupakan kegiatan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam satu keluarga, orang tualah yang memegang peranan penting tersebut. Orang tua bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor lingkungan keluarga seperti halnya latar belakang pekerjaan orang tua yang beraneka ragam akan berperan penting dan mempengaruhi pada pola pikir anak dalam menentukan pekerjaannya di masa yang akan datang, seperti: seorang petani, karyawan swasta, pegawai negeri sipil dan wiraswastawan. Latar belakang pekerjaan orang tua akan berpengaruh pada pola pikir anak dalam menentukan pekerjaan. Anak-anak biasanya cenderung mempunyai cita-cita untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya, demikian juga orang tua menginginkan anaknya


(5)

5 mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari dirinya. Maka latar belakang pekerjaan orang tua berperan penting pada anak dalam menentukan pekerjaannya di masa mendatang.

Menurut Duchesnau et al (dalam Riyanti, 2003), wirausaha yang berhasil adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang juga wirausaha, karena memiliki banyak pengalaman yang luas dalam dunia usaha. Profesi orang tua memiliki peran strategis sebagai budaya pembentuk minat berwirausaha, hal ini menunjukkan bahwa budaya kewirausahaan terbentuk karena lingkungan, kebiasaan, dan faktor diri pribadi yang melekat sejak mereka kecil dan saat mereka tumbuh besar.

Orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha diyakini dapat menjadi panutan (entrepreneurial role model) yang akan membentuk minat anak untuk berwirausaha dimasa depan (Dunn & Holtz-Eakin, 2000).

Sedangkan jika orang tua yang berprofesi non wirausaha cenderung tidak mempunyai banyak pengalaman yang cukup dalam dunia usaha. Para orang tua tidak menginginkan anak-anaknya menerjuni bidang wirausaha, dan mereka berusaha mengarahkan anak-anaknya untuk lebih memilih bekerja menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta, apabila anaknya sudah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar belakang pekerjaan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan terhadap minat berwirausaha pada anaknya. Dengan latar belakang pekerjaan orang tua yang


(6)

6 berbeda-beda maka akan berbeda pula pengaruhnya terhadap minat berwirausaha pada anak.

Penyebab lain dari kurangnya minat ini mempunyai latar belakang pandangan negatif dalam masyarakat terhadap profesi wirausaha. Banyak faktor psikologis yang membentuk sikap negatif masyarakat sehingga mereka kurang berminat terhadap profesi wirausaha, antara lain sifat agresif, ekspansif, bersaing, egois, tidak jujur, kikir, sumber penghasilan tidak stabil, kurang terhormat, pekerjaan rendah, dan sebagainya (Alma, 2007:2). Pandangan negatif ini sering dianut oleh sebagian besar masyarakat, sehingga mereka tidak tertarik pada wirausaha.

Selain lingkungan keluarga, dibutuhkan peran dunia pendidikan untuk membangun dan mengarahkan kemampuan serta minat siswa untuk mengembangkan kewirausahaan. Menurut Yoesoef (Purwanto, 2002:16) bahwa untuk membentuk sikap kewirausahaan, termasuk di dalamnya minat berwirausaha, adalah mulai dengan tahap pemahaman teori, studi kasus, dan pemberian motivasi, ketiga tahapan ini dapat dilakukan di lingkungan sekolah.

Pembelajaran kewirausahaan di sekolah diharapkan dapat memberikan pengetahuan, pengalaman, menumbuhkan nilai, sikap dan minat serta keterampilan kerja bagi siswanya melalui: (1) Materi pembelajaran yang sesuai dengan kenyataan siswa, (2) Metode pembelajaran yang digunakan, (3) Kemampuan guru (4) Pengalaman langsung yang dapat menumbuhkan minat berwirausaha.


(7)

7 Menurut Henderson (Uyoh dan Bambang, 2007 : 4) mengemukakan bahwa "pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, yang berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir."

Hakikat dari sebuah pendidikan adalah proses pembelajaran, “tidak ada kualitas pendidikan tanpa pembelajaran”. Berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan sekolah dianggap kurang berguna bilamana belum menyentuh perbaikan proses pembelajaran. Guru merupakan komponen utama yang paling menentukan keberhasilan pendidikan karena ditangan Gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana serta iklim pembelajaran menjadi lebih berarti bagi kehidupan peserta didik.

Kosasih (dalam Lie, 2002:15) mengatakan bahwa “suatu pendidikan disebut berkualitas dari segi proses jika proses pembelajarannya berlangsung efektif dan peserta didik mengalami proses belajar yang bermakna, didukung oleh (sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana) yang memadai”

Menurut Suryabrata (1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan.


(8)

8 Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Proses pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas pula, proses pembelajaran merupakan suatu interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu pendidikan sangat penting bagi setiap manusia karena dengan pendidikan manusia dapat meningkatkan mutu kehidupan, dapat meningkatkan harkat, derajat manusia itu sendiri di dalam lingkungan masyarakat.

Pendidikan merupakan proses penerapan ilmu pengetahuan kepada siswa, dan dalam proses pendidikan tersebut diperlukan adanya suatu strategi pembelajaran, penggunaan metode, media dan model pembelajaran yang tepat sehingga dapat menciptakan suatu suasana belajar yang nyaman dan dapat membangkitkan semangat dan minat belajar pada siswa di semua bidang pelajaran terutama pada mata pelajaran kewirausahaan.

SMA Adiguna Bandar Lampung adalah sebuah sekolah umum biasa, mata pelajarannya juga umum, tetapi pada saat siswa kelas 2 dikelompokkan menjadi 2 jurusan yaitu IPA dan IPS. Sejak tahun 2010 siswa SMA Adiguna diberikan mata pelajaran kewirausahaan yang dikhususkan untuk siswa kelas X dan XI.

Mata pelajaran kewirausahaan merupakan pelajaran vokasional, yaitu pelajaran untuk memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kerja bagi siswanya. Sebagai mata pelajaran yang memiliki karekteristik mengedepankan kebutuhan sosial, maka sarat dengan teori-teori dan konsep-konsep yang membutuhkan kemampuan pemahaman materi yang sangat baik karena pemahaman teori dan


(9)

9 pada semester-semester selanjutnya. Materi kewirausahaan kelas XI SMA dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada berisi materi yang sarat dengan teori dan alokasi waktu yang sedikit.

Peran pelajaran kewirausahaan diperlukan untuk membangun minat dalam berwirausaha, karena pendidikan kewirausahaan saat ini sangat penting guna menciptakan para wirausaha-wirausaha dari generasi muda untuk membangun perekonomian negara ini. Pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh melalui proses belajar mengajar merupakan modal dalam menumbuhkan minat untuk berwirausaha.

Prinsip dasar dalam pendidikan kewirausahaan adalah peserta didik harus dibuat tertarik dan termotivasi, Selain itu mereka harus bisa dibuat melihat adanya kesempatan untuk bisnis yang menguntungkan (opportunity factors), dan mereka juga harus memiliki beberapa keahlian seperti social skill, indutrial skill, organizasional skill dan strategic skill. Pendekatan yang digunakan harus berbeda dengan pendekatan tradisional (lecturer style teaching) dan harus diganti dengan metode action learning approach. Kurikulum ini harus didukung dengan sistem pengajaran yang membangun inspirasi, kreasi dan pemaknaan hidup.

Penelitian ini dilatarbelakangi karena adanya kekurangan khususnya pembelajaran kewirausahaan dalam menumbuhkan minat berwirausaha, dimana mata pelajaran ini lebih menekankan kemampuan siswa untuk menghafal dan mengingat informasi sehingga siswa kurang didorong untuk mengembangkan pemahaman konsep dan peran siswa. Pada semestinya siswa dapat memahami teori, konsep dan istilah kewirausahaan yang sangat banyak. Banyak materi dan


(10)

istilah-10 istilah kewirausahaan yang asing menuntut siswa memahami konsep teori kewirausahaan secara cepat, karena waktu pembelajaran yang sangat singkat. Semestinya siswa dapat dengan mudah memahami teori, konsep serta istilah-istilah kewirausahaan dengan mengamati lingkungan disekitar mereka, karena kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan disekitarnya. Keaktifan siswa memegang peranan yang sangat penting karena tidak mungkin guru dapat memberikan seluruh materi melalui proses pembelajaran tatap muka, hal ini juga akan menghambat kreativitas siswa.

Memperhatikan tujuan dan esensi pendidikan, sebaiknya penyelenggaraan pembelajaran mampu mempersiapkan, membina, dan membentuk kemampuan peserta didik yang menguasai pengetahuan, sikap,minat, nilai dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran harus didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif agar siswa dapat terlibat dalam pembelajaran dan mampu mengembangkan bahan pelajaran yang diterima oleh guru.

Terdapat beberapa faktor yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan diantaranya adalah pemilihan model pembelajaran dalam proses pembelajaran. Dengan adanya model pembelajaran yang tepat, maka siswa akan lebih mudah memahami materi yang diajarkan, disamping itu siswa juga cenderung lebih aktif hingga akhirnya diharapkan hasil belajar dan minat akan meningkat. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan guru didalam melaksanakan proses pembelajaran adalah kemampuan guru dalam menguasai dan menerapkan model serta metode pembelajaran.


(11)

11 Kosasih (dalam Solihatin, 2007:1) mengatakan bahwa pemilihan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki seorang guru. Ini relevan dengan tugas seorang guru dalam mengenali dan memahami perbedaan individu siswanya. Guru harus memiliki berbagai kemampuan yang dapat menunjang tugasnya agar tujuan pendidikan dapat dicapai. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam meningkatkan kompetensi profesinya ialah kemampuan mengembangkan model pembelajaran.

Dalam mengembangkan model pembelajaran seorang guru harus dapat menyesuaikan antara model yang dipilihnya dengan kondisi siswa, materi pelajaran, dan sarana yang ada. Menurut Arends (1997) dalam Trianto (2007: 9) berpendapat bahwa tidak ada satupun model pembelajaran yang paling baik di antara yang lainnya, karena masing–masing model pembelajaran dapat dirasakan baik, apabila telah diuji cobakan untuk membelajarkan kompetensi tertentu. Sedangkan menurut Mulyasa (2005: 95) Kemampuan guru dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dan karakteristik siswa merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus menguasai beberapa jenis model pembelajaran agar proses belajar mengajar berjalan lancar dan tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.

Berdasarkan pengalaman penulis di kelas di SMA Adiguna Bandar Lampung, khususnya dalam pembelajaran Kewirausahaan guru belum sepenuhnya mengembangkan model pembelajaran Role Playing. Siswa hanya berorientasi mendengar dan mencatat pelajaran setelah itu menghapal, hal ini tidak efektif


(12)

12 untuk diterapkan, karena siswa tidak memperoleh penguasaan konsep dan kurang mampu menarik perhatian minat belajar anak didik dalam proses pembelajaran.

Selama ini dalam kegiatan pembelajaran kewirausahaan di SMA Adiguna Bandar Lampung masih menggunakan metode belajar konvensional yaitu metode ceramah dengan menggunakan media powerpoint dan kadang-kadang divariasikan dengan metode lain seperti latihan soal. Metode ini memposisikan siswa sebagai objek pembelajaran dan guru sebagai pusat kegiatan belajar. Sehingga pembelajaran kewirausahaan belum efektif, hal ini terbukti dari nilai rata-rata dan persentase nilai yang diperoleh siswa pada mata pelajaran kewirausahaan berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) atau Standar Ketuntasan yaitu sebesar 70.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan diketahui hasil belajar kewirausahaan siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung sebagai berikut:

Tabel 1.1 Hasil Belajar Kewirausahaan Berdasarkan Nilai UAS Pada Siswa Kelas XI Semester Ganjil di SMA Adiguna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011 - 2012

No Kelas Interval Frekuensi Presentase (100%)

1 40 – 49 21 20,58

2 50 – 59 22 21,56

3 60 – 69 27 26,47

4 70 – 79 23 22,55

5 80 – 89 9 8,84

6 90 – 100 0 0

Jumlah 102 100 %

Sumber : Arsip nilai guru mata pelajaran kewirausahaan

Berdasarkan pada Tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa pembelajaran kewirausahaan belum maksimal, karena dari 102 orang siswa yang mengikuti


(13)

13 baru mencapai 31,39% atau sebanyak 32 orang siswa. Sedangkan 68,61% atau sebanyak 70 orang siswa belum mencapai kriteria ketuntansan minimum (KKM) dimana kriteria ketuntasan minimum adalah sebesar 70. Dengan demikian penguasaan kewirausahaan siswa masih tergolong rendah. Pendapat Djamarah dan Zain (2006:107) apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 65% dikuasai siswa maka prestasi keberhasilan siswa pada mata pelajaran tersebut tergolong rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, diantaranya: tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, kondisi lingkungan, metode dan strategi pembelajaran, materi dan sumber belajar, selain itu faktor psikologis anak, latar belakang sosial dan budaya siswa, kondisi kelas, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.

Persoalan yang dihadapi di atas adalah belum efektifnya pembelajaran kewirausahaan, baik dilihat dari aspek isi (content), metode pembelajaran yang kurang bervariasi, materi dan sumber belajar yang minim. Selain itu, berdasarkan pengamatan penulis di kelas, bahwa siswa belum mengoptimalkan kemampuan dirinya diantaranya kurang keberanian dalam mengemukakan gagasan (ide), minat berwirausaha serta materi pembelajaran kewirausahaan yang tidak mengaitkan pada kenyataan siswa, dan konsep tentang materi tersebut belum dikuasai sepenuhnya oleh peserta didik. Sehingga siswa tidak dapat menumbuhkan minat dan kurangnya keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah.

Harapan dari tujuan pendidikan adalah untuk memungkinkan seseorang menjadi problem solver yang efektif dalam kehidupan nyata karena manusia akan


(14)

14 menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan dan mencoba untuk menemukan cara terbaik untuk memecahkan persoalan tersebut.

Pada saat ini kewirausahaan merupakan mata pelajaran yang dapat diajarkan disekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sehingga kewirausahaan telah tumbuh sangat pesat.

Lain halnya dalam pembelajaran kewirausahaan di SMA Adiguna Bandar Lampung cenderung lebih bersifat teoritis, sehingga siswa tidak memiliki kemampuan untuk memulai suatu usaha, dan belum munculnya motivasi dalam diri siswa untuk melakukan wirausaha, hal ini dipengaruhi oleh belum adanya rangsangan untuk berwirausaha, menganggap bahwa berwirausaha tidak akan sukses, dan merupakan bakat sejak lahir, takut untuk rugi, capek, budaya di lingkungan masyarakat khususnya orang tua anak yang beranggapan bahwa setiap orang tua akan bangga jika anaknya menjadi pegawai, baik pegawai swasta maupun pegawai negeri. Nilai yang diambil anak didik dalam belajar kewirausahaan adalah mampu menumbuhkan kreatifitas, inovasi dan semangat tidak menyerah.

Pelaksanaan pembelajaran didalam kelas merupakan salah satu tugas guru, dan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Dalam proses pembelajaran masih ditemui adanya kecenderungan minimalnya keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan kecenderungan siswa lebih bersifat pasif sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru dari pada mencari dan menemukan


(15)

15 tidak terciptanya proses pembelajaran yang menyenangkan dan bervariasi yang dapat menambah semangat belajar siswa. Tetapi banyak juga siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

Berdasarkan pra-penelitian yang dilakukan pada guru-guru di SMA Adiguna Bandar Lampung, ternyata banyak guru-guru yang belum menerapkan pembelajaran yang mengaktifkan dan melibatkan siswa mulai dari awal proses pembelajaran sampai dengan akhir proses pembelajaran. Hal ini terlihat dari metode/ pendekatan/strategi yang digunakan oleh guru-guru di SMA Adiguna Bandar Lampung seperti yang tertera pada Tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2 Penggunaan Metode/Pendekatan/Strategi Guru SMA Adiguna Bandar Lampung TP 2011/2012.

No Metode/Pendekatan/Strategi Jumlah guru Prosentase (%)

1. Ceramah 22 53,66

2. Diskusi 5 12,19

3. Demonstrasi 3 7,32

4. Laboratorium 2 4,88

5. Kooperatif 3 7,32

6. Tanya jawab 4 9,75

7. Simulasi 2 4,88

Jumlah 41 100

Sumber: Pengolahan Data Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 1.2 di atas sebagian besar guru menggunakan metode ceramah, dan terlihat 3 orang guru mengunakan pembelajaran kooperatif dan 2 orang guru menggunakan pembelajaran simulasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru masih merupakan satu-satunya sumber belajar (teacher centre). Berdasarkan


(16)

16 Tabel 1.2 tersebut menunjukkan bahwa tidak satu gurupun yang pernah menerapkan model pembelajaran role playing.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka diperlukan upaya guru untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam menentukan metode atau strategi pembelajaran, hal tersebut dilakukan untuk menumbuhkan minat berwirausaha siswa sehingga guru diharapkan mampu meningkatkan potensi kemampuan siswa. Salah satu strategi pembelajaran yang diduga dapat mengatasi kelemahan tersebut adalah metode pembelajaran simulasi melalui model pembelajaran role playing. Selain model pembelajaran role playing diberikan solusi model pembelajaran yaitu model examples non examples. Kedua metode tersebut diharapkan dapat meningkatkan partisipasi aktif dari seluruh siswa selama proses pembelajaran dan memberikan pengalaman kepada siswa dimasa yang akan datang.

Metode simulasi merupakan salah satu metode mengajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Proses pembelajaran yang menggunakan simulasi cenderung objeknya bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang bersifat pura-pura. Dalam pembelajaran, siswa akan dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok. Disamping itu, dalam metode simulasi siswa diajak untuk bermain peran beberapa perilaku yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.


(17)

17 daya tarik tersendiri bagi siswa. Sebab biasanya siswa akan sangat antusias terhadap pelajaran manakala pelajaran tersebut menyangkut kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat, dan metode bermain peran sangat difokuskan pada kenyataan-kenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Dalam proses pembelajarannya metode ini mengutamakan pola permainan dalam bentuk dramatisasi. Dramatisasi dilakukan oleh kelompok siswa dengan mekanisme pelaksanaan yang diarahkan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan / direncanakan sebelumnya. Kelebihan atau keunggulan dari metode bermain peran (role playing) adalah mampu menarik perhatian anak, sehingga suasana kelas semakin hidup (Zuhairi, 1983: 103). Menarik perhatian terhadap suatu objek merupakan perwujudan dari konsep minat, hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Amiruddin (2000:9). Minat adalah kecenderungan yang menetap, untuk merasa tertarik pada bidang tertentu. Oleh karena itu metode role playing dapat menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti suatu proses pembelajaran. Kondisi ini melibatkan siswa secara aktif, karena siswa mempunyai minat terhadap peran yang dimainkannya.

Sedangkan metode examples non examples adalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan. Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar tersebut menjadi sebuah bentuk diskripsi singkat mengenai


(18)

18 apa yang ada didalam gambar. Penggunaan Model Pembelajaran Example Non Example ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa.

Peran penting dari metode mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran adalah sangat penting. Keberhasilan sebuah mata pelajaran, terutama keberhasilan penguasaan materi pelajaran oleh siswa akan sangat ditentukan oleh seberapa baik seorang guru menerapkan metode mengajarnya di kelas maupun di luar kelas.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan ini dalam bentuk penelitian dengan judul “Perbedaan Minat Berwirausaha Siswa Antara Metode Role Playing dan Metode Examples Non Examples Pada Pembelajaran Kewirausahaan Kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah:

1. Sebagian guru belum mampu menerapkan model atau strategi pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan menumbuhkan minat berwirausaha siswa.

2. Dalam pembelajaran, guru belum mampu mengaitkan materi dengan masalah-masalah atau keadaan nyata siswa.

3. Masih belum maksimalnya hasil belajar kewirausahaan siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar.


(19)

19 4. Pembelajaran masih terpusat pada guru (teacher centered), guru

mempunyai peran yang dominan dalam kegiatan belajar.

5. Sebagian besar guru masih menggunakan metode belajar konvensional yaitu ceramah didalam proses belajar mengajarnya

6. Siswa kurang aktif dan fokus dalam kegiatan pembelajaran serta belum mengoptimalkan kemampuan dirinya dalam mengemukakan gagasan (ide) 7. Siswa tidak memperoleh penguasaan konsep dan kurang mampu menarik

perhatian minat belajar anak didik dalam proses pembelajaran.

8. Siswa lebih ditekankan pada kemampuan untuk menghafal dan mengingat informasi sehingga siswa kurang didorong untuk mengembangkan pemahaman konsep dan peran siswa.

9. Proses pembelajaran pada mata pelajaran kewirausahaan guru di SMA Adiguna Bandar Lampung belum menerapkan metode pembelajaran role playing.

10.Proses pembelajaran pada mata pelajaran kewirausahaan guru di SMA Adiguna Bandar Lampung belum menerapkan metode pembelajaran examples non examples.

11.Pembelajaran kewirausahaan di SMA Adiguna Bandar Lampung cenderung lebih bersifat teoritis.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, terdapat dua hal yang dipersoalkan. Hal pertama adalah perbedaan pembelajaran kewirausahaan dengan model pembelajaran tertentu, apakah suatu pembelajaran kewirausahaan dengan model


(20)

20 pembelajaran tertentu dapat menumbuhkan minat berwirausaha siswa dibanding dengan model pembelajaran yang lain. Hal kedua adalah apakah latar belakang pekerjaan orang tua siswa dapat mempengaruhi minat berwirausaha siswa setelah diberikan model pembelajaran tertentu pada pembelajaran kewirausahaan. Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan benar dan terarah, dilakukan pembatasan-pembatasan sebagai berikut.

a. Ada dua model pembelajaran kewirausahaan yang akan diteliti perbedaannya terhadap minat berwirausaha siswa, yaitu dengan metode role playing dan metode examples non examples.

b. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI semester genap tahun pelajaran 2012/2013 di SMA Adiguna Bandar Lampung.

c. Minat berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan serta kesediaan untuk bekerja keras atau berkemauan keras untuk berdikari atau berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut dengan resiko yang akan terjadi, serta belajar dari kegagalan.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, serta pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada perbedaan minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples tanpa


(21)

21 memperhatikan latar belakang pekerjaan orang tua (wirausaha dan non wirausaha) pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung?

2. Apakah ada perbedaan minat berwirausaha siswa yang latar belakang pekerjaan orang tua wirausaha dan non wirausaha tanpa mempertimbangkan metode pembelajaran yang digunakan pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung?

3. Apakah terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan latar belakang pekerjaan orang tua terhadap minat berwirausaha siswa pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung?

4. Apakah ada perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples yang pekerjaan orang tuanya wirausaha?

5. Apakah ada perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples yang pekerjaan orang tuanya non wirausaha?

6. Apakah ada perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pekerjaan orang tuanya wirausaha dan non wirausaha apabila pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran role playing?

7. Apakah ada perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pekerjaan orang tuanya wirausaha dan non wirausaha apabila pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran examples non examples?


(22)

22 1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penulis menyimpulkan tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk menganalisis:

1. Perbedaan minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples tanpa memperhatikan latar belakang pekerjaan orang tua (wirausaha dan non wirausaha) pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung.

2. Perbedaan minat berwirausaha siswa yang latar belakang pekerjaan orang tua wirausaha dan non wirausaha tanpa mempertimbangkan metode pembelajaran yang digunakan pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung.

3. Interaksi antara metode pembelajaran dengan latar belakang pekerjaan orang tua terhadap minat berwirausaha siswa pada siswa kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung.

4. Perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples yang pekerjaan orang tuanya wirausaha.

5. Perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pembelajarannya menggunakan role playing dan metode examples non examples yang pekerjaan orang tuanya non wirausaha.

6. Perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pekerjaan orang tuanya wirausaha dan non wirausaha apabila pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran role playing.


(23)

23 7. Perbedaan rata-rata minat berwirausaha siswa yang pekerjaan orang tuanya wirausaha dan non wirausaha apabila pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran examples non examples

1.6. Kegunaan Penelitian

Kegunaan hasil penelitian ini secara umum adalah untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran kewirausahaan di kelas XI SMA Adiguna Bandar Lampung. Secara khusus dapat diuraikan manfaat hasil penelitian ini sebagai berikut.

1.6.1 Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang metode pembelajaran khususnya role playing dan metode examples non examples yang dapat digunakan sebagai acuan bagi guru-guru kewirausahaan pengaruhnya pada minat berwirausaha siswa. Serta memberikan peluang peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hal yang sama dengan menggunakan teori-teori lain yang belum digunakan dalam penelitian ini.

1.6.2 Kegunaan Praktis

Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:

1. Bagi guru: Dengan dilaksanakannya penelitian ini, guru dapat lebih terampil menggunakan dan menyusun strategi (penerapan metode, model dan langkah-langkah) pembelajaran Kewirausahaan selanjutnya yang tentu sangat bermanfaat bagi perbaikan proses belajar mengajar.


(24)

24 2. Bagi siswa: Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa untuk berusaha meningkatkan aktivitas belajarnya sehingga dapat menumbuhkan minat berwirausaha siswa, meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep dan berfikir, lebih peka dan mampu menganalisis masalah-masalah kewirausahaan yang terjadi disekitarnya.

3. Bagi sekolah: Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang banyak dalam rangka memperbaiki pembelajaran didalam kelas, peningkatan kualitas sekolah.

4. Bagi kurikulum : Hasil penelitian ini akan memberikan masukan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep dan merangsang minat, sehingga dapat mengembangkan kurikulum dalam menggunakan metode pembelajaran.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian akan difokuskan pada ruang lingkup penelitian dan ruang lingkup ilmu. Untuk mengetahui kedudukan keilmuan dalam cakupan pendidikan IPS, rincian lengkapnya sebagai berikut.

1.7.1 Ruang Lingkup

Fokus ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Objek dalam penelitian ini adalah metode role playing dan metode examples non examples terhadap minat berwirausaha siswa.


(25)

25 3. Tempat penelitian ini dilaksanakan di SMA Adiguna Bandar Lampug.

4. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2012-2013.

1.7.2 Ruang Lingkup Ilmu

Pendidikan IPS sebagai bentuk program pendidikan ilmu sosial untuk tingkat sekolah bahannya bersumber dari disiplin ilmu-ilmu sosial baik berupa fakta, konsep, ataupun generalisasi dan teori.

Ada lima tradisi social studies, yaitu (1) IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (Social studies as citizenship transmission); IPS sebagai ilmu-ilmu social (Social studies as social sciences); (3) IPS sebagai penelitian mendalam (Social studies as reflective inquiry); (4) IPS sebagai kritik kehidupan social (Social studies social criticism); (5) IPS sebagai pengembangan pribadi individu (Social studies as personal development of the individual) (Sapria, 2009: 13).

Banyak hal yang dapat kita kembangkan mengenai masalah-masalah sosial yang kita anggap penting. Selain itu kita dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan siswa, karena ciri pembelajaran IPS yang dianggap sebagai hasil pembaruan adalah (1) bahan pelajaran akan lebih banyak memperhatikan kebutuhan dan minat siswa; (2) bahan pelajaran akan lebih banyak memperhatikan masalah-masalah sosial; (3) bahan pelajaran akan lebih memperhatikan keterampilan berpikir, khususnya keterampilan meneliti; (4) bahan pelajaran akan lebih memberikan perhatian terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan alam sekitarnya; serta (5) susunan bahan pelajaran akan


(26)

26 lebih bervariasi mulai dari pendekatan kewargaan negara, fungsional, humanistik, dan struktural.

Dalam kajian ilmu IPS terdapat 10 tema utama yang berfungsi sebagai mengatur alur untuk kurikulum social di setiap tingkat sekolah. Sepuluh konsep social studies dari NCSS dalam Pargito (2010:35) yaitu (1) culture; (2) time, continuity and charge; (3) people, places and environments; (4) individual development and identitiy; (5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and govermance; (7) production, distribution and consumption; (8) science, technology and society; (9) global connections, dan (10) civic idealsand practices.

Ilmu pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Rumusan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas dan fenomena sosial melalui pendekatan interdisipliner.

Mata pelajaran kewirausahaan merupakan pelajaran vokasional, yaitu pelajaran untuk memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kerja bagi siswanya. Sebagai mata pelajaran yang memiliki karekteristik mengedepankan kebutuhan sosial, maka sarat dengan teori-teori dan konsep-konsep yang membutuhkan kemampuan pemahaman materi yang sangat baik karena pemahaman teori dan konsep sangat dibutuhkan sebagai dasar untuk mempelajari materi kewirausahaan.

Salah satu tema pada IPS di atas menunjukkan tentang produksi, distribusi dan konsumsi yang merupakan bagian utama pada ekonomi. Kegiatan produksi dan


(27)

27 distribusi yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok memiliki motif mencari keuntungan. Kegiatan ekonomi tersebut juga dapat dilakukan dalam kewirausahaan, karena Wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.

Sumbangan Pendidikan kewirausahaan terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial adalah membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya, pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah. Pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, program pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai aspek.

Oleh karena itu Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Instruksi ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Kebijakan untuk menanggulangi masalah yang terkait dengan kewirausahaan antara lain dapat dilakukan dengan cara: (a) menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, dan kegiatan pengembangan diri, (b) mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan yang mampu meningkatkan


(28)

28 pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan karakter dan keterampilan berwirausaha, dan (c) menumbuhkan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah.


(29)

29

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada sub bab yang berupa kajian pustaka, tinjauan tentang belajar dan pembelajaran, pembelajaran simulasi, metode role playing, metode example non example, latar belakang pekerjaan orang tua siswa, kewirausahaan, penelitian yang relevan, kerangka pikir dan hipotesis. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 KAJIAN PUSTAKA

Dalam mendukung penelitian ini penulis menggunakan teori-teori serta kajian-kajian pustaka, kerangka pikir dan hipotesis untuk menfokuskan penelitian ini.

2.1.1 Pengertian Belajar dan Pembelajaran

2.1.1.1 Pengertian Belajar

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.

Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar. Cronbach, HaroldSpears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20) sebagai berikut :


(30)

30 1. Cronbach memberikan definisi : “Learning is shown by a change in behavior

as a result of experience”.

“Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagaihasil dari pengalaman”.

2. Harold Spears memberikan batasan: “ Learning is to observe, to read, to initiate, to try something themselves, to listen, to follow direction”.

Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.

3. Geoch, mengatakan :“ Learning is a change in performance as a result of practice”.

Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.

Sementara itu menurut Moh. Surya (1997), “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subyek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik.

Belajar dikaitkan dengan perubahan tingkah laku yang mempunyai makna suatu perubahan bentuk tingkah laku seseorang sebagai akibat dari pengalaman yang dirasakan, dijiwai dan diaktualisasikan dengan pola tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Soemanto (1998:105), “Belajar merupakan proses dasar dari


(31)

31 perkembangan hidup manusia, dengan belajar manusia melakukan perubahan kuantitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang”. Sedangkan Djamarah dan Zain (2006:11) mendefinisikan belajar sebagai berikut: “Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan”

Dalam hal ini terkandung maksud bahwa proses belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang sebagai akibat dari adanya pengalaman yang dirasakan, dijiwai, dan diaktualisasikan dengan pola tingkah laku. Senada dengan pendapat diatas diungkapkan oleh Sudjana (1995:5) bahwa “ Belajar adalah suatu perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek atau latihan”. Perubahan tingkah laku individu sebagai hasil belajar ditunjukkan dalam berbagai aspek seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, persepsi, motivasi atau aspek gabungan dari aspek-aspek tersebut.

Belajar dikatakan sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep atau pun teori. Sardiman (1994:24) menyatakan bahwa belajar dikatakan sebagai proses interaksi mengandung dua maksud, yakni:

1. Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang belajar,

2. Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.

Dalam belajar siswa akan menemui kesulitan, kesulitan tersebut dapat timbulkan oleh faktor dari luar diri siswa dan faktor yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003:56-71) yang menyatakan bahwa ”Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah faktor dari dalam


(32)

32 individu yang meliputi: faktor kesehatan, faktor fisik, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan, dan kesiapan. Sedangkan faktor dari luar individu meliputi faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat”.

Kemudian Winkel (2007:2) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sebagai berikut:

1. Faktor internal, meliputi cara belajar, kebiasaan belajar, aktivitas belajar, motivasi belajar.

2. Faktor eksternal meliputi:

a. Faktor yang berupa proses belajar di sekolah seperti disiplin belajar, fasilitas belajar, dan aktivitas guru.

b.Faktor sosial ekonomi, interaksi guru dengan murid.

c. Faktor keadaan politik, seperti keadaan ekonomi, keadaan waktu dan iklim tempat tersebut.

Dari pendapat di atas jelas bahwa yang mempengaruhi belajar siswa bermacam-macam diantaranya fasilitas belajar, sehingga perlu ditumbuhkan agar siswa lebih giat dalam melakukan kegiatan belajar.

Sesuai dengan uraian di atas, bahwa belajar merupakan proses yang dapat mempengaruhi daya pikir seseorang dan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik sebagai realisasi dari pengetahuan yang diperolehnya perubahan yang disadari dan timbul akibat praktek, pengalaman, latihan bukan secara kebetulan. Terbentuknya tingkah laku sebagai hasil belajar mempunyai tiga ciri pokok yakni: (a) tingkah laku baru itu berupa kemampuan aktual dan


(33)

33 potensial, (b) kemampuan itu berlaku dalam waktu relatif lama, dan (c) kemampuan itu diperoleh memulai usaha.

2.1.1.2 Prinsip-Prinsip Belajar

Menurut Ahmadi (2000:26) ” Belajar adalah merupakan suatu proses yang sangat komplek, oleh sebab itu diperlukan suatu landasan dan pemikiran yang jelas dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan belajar itu sendiri”.

Mengingat bahwa belajar adalah merupakan proses individu karenanya diperlukan adanya prinsip-prinsip belajar menurut Roestiyah (2000:26) adalah sebagai berikut:

1. Belajar hanya berhasil kalau anak melihat tujuan pelajaran itu.

2. Tujuan itu hendaknya timbul dari kehidupan anak dan bertahan dengan kehidupan anak.

3. Kalau tujuan itu berharga bagi anak, ia akan secara tekun menghadapi berbagai rintangan, kesulitan dan situasi-situasi yang tidak menyenangkan. 4. Hasil pelajaran yang sejati merupakan pola kelakuan.

5. Proses belajar terutama terdiri dari berbuat hal-hal yang harus dipelajari, disamping bermacam-macam hal yang ikut membantu proses belajar itu. 6. Kegiatan–kegiatan belajar serta hasilnya berpusat pada hubungan dengan satu

tujuan.

7. Belajar bereaksi sebagai suatu keseluruhan, serempak baik sacara jasmani, rohani maupun secara emosional.

8. Belajar bereaksi terhadap sebagian dari lingkungan yang mengandung arti baginya.

9. Dalam proses belajar, anak dibantu oleh orang-orang di dalam lingkungan itu agar lebih efisien belajar.

10. Anak juga mengajar tujuan-tujuan lain disamping tujuan utama, yang berhubungan maupun yang tak berhubungan dengan tujuan utama.

Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip atau azas-azas belajar adalah merupakan landasan utama yang harus dimiliki oleh setiap siswa yang hendak belajar. Karena belajar merupakan proses psikis yang


(34)

34 dipengaruhi oleh kemauan pisik juga, karena unsur-unsur dalam belajar harus dipenuhi semaksimal mungkin.

2.1.1.3 Hakekat Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Munandir (2000:255) memberikan batasan mengenai pembelajaran sebagai berikut: “Pembelajaran ialah hal membelajarkan, yang artinya mengacu ke segala daya upaya bagaimana membuat seseorang belajar, bagaimana menghasilkan peristiwa belajar di dalam diri orang tersebut.

Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction” atau “pengajaran”. Dalam pengajaran perumusan tujuan adalah yang utama dan setiap proses pengajaran senantiasa diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Dimyati dan Mujiono, 2007:55). Sedangkan menurut Undang-undang RI No.20/2003 menyatakan “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah suatu proses penciptaan atau pengkondisian sebuah lingkungan belajar yang dilakukan guru untuk memungkinkan siswa belajar, yaitu adanya perubahan tingkah laku pada diri siswa, dan perubahan tersebut dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran di kelas. Namun adakalanya terkandung pembelajaran berlangsung


(35)

35 tanpa kehadiran guru. Kalaupun guru hadir, ia bukan seorang “penyampai bahan”, atau “penyaji materi”, melainkan sekedar media, guru adalah media, dan ia salah satu saja dari media pembelajaran. Pembelajaran tanpa seorang guru mengasumsikan kemandirian dan otoaktivitas siswa selaku pebelajar. Selanjutnya Depdiknas (2002:9) memberikan definisi pembelajaran sebagai berikut:

“Pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan subyek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Dengan demikian, jika pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya jika pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangkaian upaya atau kegitan guru dalam rangka membuat siswa belajar.

Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:

- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.

- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.


(36)

36 - Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan. Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan analisis teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu sistem atau proses yang dilakukan oleh seorang guru dalam rangka menghasilkan terjadinya peristiwa belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.

2.1.1.4 Teori Belajar

Ada empat kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar humanisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar konstruktivisme.


(37)

37 Berikut ini akan dikemukakan tentang teori-teori belajar:

1. Teori Belajar Konstruktivisme

Kontruksi berarti bersifat membangun, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Akan tetapi manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Suparno, 1997:29).

Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.


(38)

38 Prinsip-prinsip teori konstruktivisme menurut Suparno dalam Trianto (2010:75) adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun siswa secara aktif.

2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa. 3. Mengajar adalah membantu siswa.

4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir. 5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa,

6. Guru sebagai fasilitator.

Teori Kontruktivisme menetapkan 4 asumsi tentang belajar, yaitu:

- Pengetahuan secara fisik dikonstruksikan oleh peserta didik yang terkibat dalam belajar aktif.

- Pengetahuan secara simbolik dikonstruksikan oleh peserta didik yang membuat representasi atas kegiatannya sendiri.

- Pengetahuan secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang menyampaikan maknanya kepada orang lain.

- Pengetahuan secara teoritik dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba menjelaskan obyek yang tidak benar-benar dipahaminya.

Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan


(39)

39 mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka. Dan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

2. Teori Belajar Behavioristik

Secara umum teori behavioristik melihat kualitas manusia dari aspek perilaku yang dapat dilihat. Menurut teori behavioristik bahwa belajar terjadi bila perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan dapat diamati. Teori ini berpandangan bahwa Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000: 143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah interaksi yang berupa stimulus dan output yang berupa respon yang diterima oleh manusia. Hubungan ini dikenal dengan hukum akibat, latihan, dan kesiapan. Hukum akibat menyatakan bahwa ketika stimulus dan respon dihargai secara positif akan terjadi penguatan dalam belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah


(40)

40 laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

3. Teori Belajar Kognitif

Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :  Bahan yang dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.


(41)

41  Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

 Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

 Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

 Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

4. Teori Belajar Humanisme

Pendekatan humanisme merupakan pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat.

Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia


(42)

42 yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya.

Pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Disini pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.

2.1.1.5 Pembelajaran Simulasi

2.1.1.5.1. Pengertian Pembelajaran Simulasi

Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura- pura atau berbuat seolah- olah. Kata simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura- pura. Dengan demikian, simulasi dalam metode pembelajaran dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui perbuatan yang bersifat pura- pura atau melalui proses tingkah laku lak imitasi. Sa’ud (2005: 129) menyatakan bahwa simulasi adalah sebuah replikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu


(43)

43 Simulasi merupakan suatu metode pembelajaran praktek interaktif yang melibatkan penciptaan situasi atau ruang belajar dalam suatu program pelatihan. Tujuan dari simulasi adalah untuk memunculkan pengalaman pembelajaran selama mengikuti program pelatihan. Metode ini mirip dengan permainan peran, tetapi dalam simulasi, peserta peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri saat melakukan kegiatan. Misalnya: sebelum melakukan praktek penerbangan, seorang siswa sekolah penerbangan melakukan simulasi penerbangan terlebih dahulu.

Prosedur Pembelajaran

Proses simulasi tergantung pada peran guru /fasilitator. Ada empat prinsip yang harus dipegang oleh fasilitator/guru. Pertama adalah penjelasan. Untuk melakukan simulasi, pemain harus benar-benar memahami aturan mainnya, oleh karena itu sebelum permainan dimulai, guru/ fasilitator harus menjelaskan tentang aturan permainan dalam simulasi. Kedua adalah mengawasi (refeereing). Simulasi dirancang untuk tujuan tertentu dengan aturan dan prosedur permainan tertentu. Oleh karena itu, fasilitator harus mengawasi jalannya permainan agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan. Ketiga adalah melatih (Coaching). Dalam simulasi, pemain akan melakukan kesalahan. Oleh karena itu, fasilitator harus memberikan bimbingan, saran dan petunjuk agar pemain tidak mengulangi kesalahan yang sama. Keempat adalah diskusi. Dalam simulasi, refleksi menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, setelah simulasi selesai, fasilitator harus mendiskusikan beberapa hal antara lain: kesulitan- kesulitan, hikmah yang bisa diambil, bagaimana memperbaiki kekurangan simulasi dan sebagainya (Hamzah Uno, 2007:29).


(44)

44 Dalam permainan simulasi, yang harus dilakukan oleh guru adalah, (1) Mempersiapkan siswa yang menjadi pemeran simulasi, (2) Menyusun skenario dengan memperkenalkan siswa terhadap aturan, peran, prosedur, pemberi skor (nilai), tujuan permainan dan lain- lain. Guru menunjuk siswa untuk memegang peran- peran tertentu dan menguji cobakan simulasi untuk memastikan bahwa seluruh siswa memahami aturan main simulasi tersebut., (3) Melaksanakan simulasi, siswa berpartisipasi dalam permainan simulasi dan guru melakukan peranannya sebagimana mestinya (Hamzah Uno, 2007:30).

Permainan simulasi dapat merangsang berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang persaingan (kompetisi), kerja sama, empati, sistem sosial, konsep, keterampilan, kemampuan berpikir kritis, pengambilan keputusan dan lain-lain. Simulasi sosial adalah simulasi yang dimaksudkan mengajak peserta melalui suatu pengalaman yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial. Jenis model pembelajaran sosial misalnya melalui bermain peran dan atau simulasi. Dalam bermain peran, siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Fungsi model pembelajaran sosial adalah (1) untuk menggali perasaan siswa, (2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsi, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai cara.

Anitah, W. Dkk (2007: 5.24) penggunaan metode simulasi menuntut beberapa kemampuan guru, antara lain:


(45)

45

1. mampu membimbing siswa dalam mengarahkan teknik, prosedur dan peran

yang akan dilakukan siswa dalam simulasi,

2. mampu memberikan ilustrasi,

3. mampu menguasai pesan yang dimaksud dalam simulasi,

4. mampu mengamati proses simulasi yang dilakukan siswa.

Adapun kondisi dan kemampuan siswa yang harus diperhatikan dalam penerapan metode simulasi adalah:

1. kondisi, minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam bersimulasi,

2. pemahaman terhadap pesan yang akan disimulasikan,

Ada beberapa jenis model simulasi di antaranya, yaitu:

1. Bermain peran (role playing)

Dalam proses pembelajarannya metode ini mengutamakan pola permainan dalam bentuk dramatisasi. Dramatisasi dilakukan oleh kelompok siswa dengan mekanisme pelaksanaan yang diarahkan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan/direncanakan sebelumnya. Simulasi ini lebih menitik beratkan pada tujuan untuk mengingat atau menciptakan kembali gambaran masa silam yang memungkinkan terjadi pada masa yang akan datang atau peristiwa yang aktual dan bermakna bagi kehidupan sekarang.

2. Sosiodrama

Dalam pembelajarannya yang dilakukan oleh kelompok untuk melakukan aktivitas belajar memecahkan masalah yang berhubungan dengan masalah


(46)

46 individu sebagai makhluk sosial. Misalnya, hubungan anak dan orangtua, antara siswa dengan teman kelompoknya.

3. Permainan simulasi (Simulasi games)

Dalam pembelajarannya siswa bermain peran sesuai dengan peran yang ditugaskan sebagai balajar membuat suatu keputusan.

Kelebihan Dan Kelemahan Pembelajaran Simulasi

Sanjaya (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dengan menggunakan simulasi sebagai metode mengajar.

Kelebihan Model pembelajaran ini di antaranya adalah:

1. Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi

yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.

2. Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.

3. Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.

4. Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.

5. Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses permbelajaran.

Kelemahan model pembelajaran ini, di antaranya adalah:


(47)

47

2. Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat

hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.

3. Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering memengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.

2.1.2 Model Pembelajaran Role Playing

Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain.

Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.

Menurut Zuhaerini (1983: 56), model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: (a) menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; (b) melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan


(48)

masalah-48 masalah sosial-psikologis; dan (c) melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.

Melalui bermain peran, emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Model mengajar ini membuat proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap, nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya. Mudairin (2009: 4) menjelaskan bahwa untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi murid terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan.

Menurut Uno (2011: 221) Pembelajaran Pembelajaran dengan model role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.

Kelebihan Dan Kekurangan Metode Role Playing

Kelebihan metode ini adalah, sebagai berikut:


(49)

49 2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam

situasi dan waktu yang berbeda.

3. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.

4. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan. 5. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis

dan penuh antusias.

6. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. 7. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat

memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri .

8. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.

Kelemahan Metode Role Playing

Kelemahan metode role playing antara lain:

1. Metode bermain peran memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak. 2. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun

murid.

3. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu.


(50)

50 4. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.

5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.

Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :

1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.

2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.

3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang. 4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.

5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.

6. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.

7. Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.

8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya. 9. Guru memberikan kesimpulan secara umum.

10. Evaluasi. 11. Penutup.


(51)

51 2.1.3 Model Pembelajaran Example Non Example

Metode Example non Example adalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan. Gambar dapat melalui OHP, Proyektor, ataupun yang paling sederhana adalah poster. Menurut Suyatno (2009 : 73) Sajian gambar ditempel atau memakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati gambar, lalu diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, persentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, evaluasi, dan refleksi. Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar tersebut menjadi sebuah bentuk diskripsi singkat mengenai apa yang ada didalam gambar.

Menurut Rochyandi, Yadi (2004:11) model pembelajaran kooperatif tipe example non example adalah:

“Tipe pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan cara guru menempelkan contoh gambar-gambar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan gambar lain yang relevan dengan tujuan pembelajaran, kemudian siswa disuruh untuk menganalisisnya dan mendiskusikan hasil analisisnya sehingga siswa dapat membuat konsep yang esensial.”

Gambar mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar, yakni untuk mempermudah dan membantu siswa dalam membangkitkan imajinasinya dalam belajar. Selain itu dengan mengggunakan gambar siswa dapat melatih mencari dan memilih urutan yang logis sesuai dengan materi yang diajarkan. Metode pembelajaran Examples Non Examples tercakup teori belajar konstruktivisme.


(52)

52 Menurut teori konstruktivisme, satu prinsip yang paling penting bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa juga harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Dalam proses pembelajaran ini guru dapat memberikan kemudahan, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang terdiri dari example dan non-example dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada.

- Example memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan

- non-example memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas.

Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada. Metode ini memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota dan mengisi kekurangan masing-masing-masing-masing.


(1)

213 c. Dalam proses pembelajaran siswa diharapkan dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik sehingga siswa bisa saling memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota dan mengisi kekurangan masing-masing.

d. Lingkungan sekolah disarankan untuk lebih meningkatkan mutu pembelajaran yang berhubungan dengan kewirausahaan, serta memberikan motivasi, praktek wirausaha dan pembentukan karakter yang baik kepada peserta didik.

e. Lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat diharapkan dapat memberikan dorongan dan perhatian untuk menumbuh kembangkan minat berwirausaha dikalangan pelajar sesuai dengan bidang keahliannya karena semakin sulitnya lapangan pekerjaan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi. 2000. Ilmu Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu.

Alma, Buchari, 2007. Kewirausahaan Untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Alfabeta.

AM., Sardiman. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Drucker, PF. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan. Jakarta: Erlangga.

Dunn, T.A & Holtz-Eakin, D.J. 2000. Financial Capital and the Transition to Self-Employment: Evidence from International Links. Journal of Labour Economics, 18(2): 282-305.

Effendi, Mukhlison. 2008. Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Nadi Ofset.

Hasibuan dan Moedjino. 1996. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya.

Herawati. 1998. Kewiraswastaan. Jakarta: BP IPWI

Kadir. 2010. Statistika Untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rosemata Sampurna.

Kasmir. 2011. Kewirausahaan. (edisi revisi). Jakarta: Rajagrafindo Persada. McClelland. 1995. Pengantar Kewiraswastaan. Jakarta: Intermedia.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Meredith, G. Goffrey, 2003. Kewirausahaan: Teori dan Praktis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo


(3)

Moh. Surya. 1997.

Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran

. Bandung

PPB - IKIP Bandung.

Mulyasa E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, karakteristik dan Implementasi. P.T. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Munandir. 2001. Ensiklopedia Pendidikan. Malang: UM Press

Nasution. 1986. Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak. Jakarta: Gunung Agung.

Nurwahid. 1995. Usaha Pengembangan Minat Murid SMK Terhadap Kewirausahaan di Kota Semarang (Laporan Penelitian). Semarang : IKIP Semarang.

Pargito. 2010. Dasar-dasar Pendidikan IPS. FKIP. Bandar Lampung: Universitas lampung.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Jakarta: Sinar Grafika.

Prihatin Dwi Riyanti, Benedicta. 2003. Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: Grasindo.

Purwanto, Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remadja Karya.

Rachman, Maman. 1996. Konsep dan Analisis Statistik. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rektor Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Roestiyah N.K. 2000. Masalah Pengajaran Sebagai Suatu System, Jakarta: Rineka Cipta.

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Medi

Santoso. 1995. Lingkungan Tempat Tinggal Menentukan Minat Berwirausaha. FKIP. UNS (Laporan Penelitian). Surakarta : UNS.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon


(4)

Soemanto. 1992. Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta. Jakarta:Gunungjati.

Soemanto, Wasty. 2002. Pendidikan Wiraswasta. Jakarta: Bumi Aksara.

Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan (Cetakan Ke 5). Jakarta: Rineka Cipta.

Solihatin, Etin Raharjo. 2007. Cooperative Learning Analisi Model Pembelajaran IPS. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sofyan. 2008. Mengembangkan Wirausaha Menuju Kesuksesan. Jakarta: Penebar Swadaya

Sri Anitah, W. 2007. Microteaching dan Supervisi Klinis. Surakarta: FKIP UNS. Sudirman, dkk. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung: CV. Remadja Karya.

Suhartin C, R. I. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Dharma Karya Aksara.

Suherman, Eman, dkk. 2001. Common Text Book; Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA-UPI.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sumarsono, dan Paina Partama. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Sabda.

Suryana. 2003. Kewirausahaan, Pedoman Praktis Kiat dan Proses Menuju Sukses. Bandung: Salemba Empat.

Suparno dan Yunus, M. 2003. Keterampilan Dasar Menulis (Modul). Jakarta: Universitas Terbuka.

Sutanto, Adi. 2002. Kewiraswastaan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Suyatno. (2009). Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Buana Pustaka. Tani, Andrew EB. 2003. Orbex Plan, Orbex Implement, Management

Technologies BVI,

Tarmudji, Tarsis. 2000. Prinsip-prinsip Wirausaha. Yogyakarta : Liberty

Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Post modernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas


(5)

Tirtosudarmo, Riwanto.1984.Dinamika Pendidikan Dan Ketenagakerjaan Pemuda Di Perkotaan Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Uno, Hamzah B. 2011. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: Bumi Aksara.

Uno, Hamzah B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Wahyudin. 2008 .Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: CV.

Ipa Abong

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu pengantar). Edisi revisi. Yogyakarta: Andi

Walsh & Dewitz. 2002. Self efficacy and College Student Satisfaction. Journal of Career Assessment, 10, 315-326.

Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia Zuhairini, dkk. 1983. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta; Rineka Cipta.

LITERATUR INTERNET

Busthomi, Erwin Wahyu. 2007. Pengaruh Lingkungan Keluarga, Fasilitas Belajar dan Prestasi Belajar Program Diklat Kewirausahaan terhadap Minat Berwirausaha. Diakses tanggal 12 Januari 2013 dari

http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/pengaruh- lingkungan-keluarga-fasilitas-belajar-dan-prestasi-belajar-program-diklat- kewirausahaan-terhadap-minat-berwirausaha-studi-pada-siswa-kelas-2-dan- 3-program-penjualan-smk-negeri-1-malang-oleh-erwin-wahyu-busthomi-32646.html

Edyani, Fera. 2010. Penerapan model pembelajaran role playing untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X Jurusan Pemasaran pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Islam Batu. S1 Program Studi Pendidikan Tata Niaga. Diakses tanggl 12 Januari 2013 dari http://library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=45441

Nurkhan. 2006. Pengaruh Latar Belakang Pekerjaan Orang Tua Terhadap Minat Berwiraswasta Siswa Kelas II Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotif SMK N 1 Tulis Batang Tahun Ajaran 2005/2006. Jurusan Teknik Mesin. FakultasTeknik. Universitas Negeri Semarang. Diakses tanggal 15 Januari 2013 dari http://www.scribd.com/doc/74083064/PENGARUH-LATAR-BELAKANG-PEKERJAAN-ORANG-TUA


(6)

Mohammad-al-anshory. http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/06130048-mohammad-al-anshory.psdiakses tanggal 12 Januari 2013

Rahmanto, Hari. 2011. Pengaruh Latar Belakang Pekerjaan Orang Tua Dan Bimbingan Orang Tua Terhadap Minat Berwiraswasta Siswa Kelas XI teknik Otomotif SMKN 2 Pengasih. Diakses tanggal 12 Januari 2013 dari

http://www.thedigilib.com/doc/197668-pengaruh-latar-belakang- pekerjaan-orang-tua-dan-bimbingan-orang-tua-terhadap-minat-

berwiraswasta-siswa-kelas-xi-teknik-otomotif-smk-n-2-pengasih#.Ud3T9qyWH0M

Sudrajat, Akhmad. 2011. Konsep Kewirausahaan dan Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah. Diakses tanggal 16 Desember 2013 dari

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/06/29/konsep-kewirausahaan-dan-pendidikan-kewirausahaan/

Sutjipto. 2002. Minat Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) Terhadap Kewiraswastaan. On-line. Diambil dari hhtp://www.depdiknas.go. id/jurnal/45/sutjipto.htm

Tony Wijaya. (2007). Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi berwirausaha. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan (9, 2, 117-127). Diakses pada tanggal 3 November 2012 dari http://puslit2.petra.ac.id/ejurnal/index.php/man/articel/viewFile/16784/167