HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA KOTORAN KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

(1)

HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA

KOTORAN KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

(Skripsi)

Oleh

SHINTA TRILUSIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE ASPECT OF PERSONAL HYGIENE AND THE ASPECT OF RISKY BEHAVIOUR AND THE CONTAMINATION

OF WORM EGGS IN THE DIRT UNDER THE NAILS OF STUDENTS IN 4TH, 5TH, AND 6TH GRADE IN STATE ELEMENTARY SCHOOL 1 PINANG

JAYA BANDAR LAMPUNG ACADEMIC YEAR 2012/2013

By

SHINTA TRILUSIANI

Helminthiasis is the second greatest Indonesian society health problem after malnutrition. The contamination of worm eggs in the dirt under the nails might be a factor of the risk of helminthiasis. The purpose of this research is to figure out the relationship between the aspect of personal hygiene and the aspect of risky behaviour and the contamination of worm eggs in the dirt under the nails.

Cross sectional method with proportional random sampling, n = 79 samples. The aspect of personal hygiene and the aspect of risky behaviour were identified by interview; and the nail examination was done by using sedimentation method. The analysis testing was done by chi square test (α=0.05) and to assess the closeness of


(3)

the inter-variables relationship, the contingency coefficient test was used. The aspects of personal hygiene which are discussed in this research are the habit of washing hands by using soap and the habit of clipping the nails. Meanwhile, the aspects of risky behaviour being discussed are the habit of playing on the ground and scratching anus.

The result of this research shows that 17 respondents (21.5%) are contaminated by worm eggs. The most contaminating species is Ascaris lumbricoides. There is a significant relationship between the habit of washing hands by using soap

(p-value=0.001) (C=0.455) and the habit of playing on the ground (p-value = 0.001) (C=0.373) with the contamination of worm eggs. There is no significant relationship between the habit of clipping the nails (p-value =0.375) (C=0.099) and the habit of scratching anus (p-value=0.161) (C=0.156) with the contamination of worm eggs.


(4)

ABSTRAK

HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA

KOTORAN KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

Oleh

SHINTA TRILUSIANI

Helminthiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar setelah malnutrisi di Indonesia. Kontaminasi telur cacing pada kuku tangan dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya helminthiasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku.

Metode cross sectional dengan proportional random sampling, n=79 sampel. Aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko diidentifikasi dengan metode wawancara dan pemeriksaan kuku dilakukan dengan metode sedimentasi. Uji analisis chi square (α=0.05) dan untuk menilai keeratan hubungan antar variabel digunakan uji koefisien kontingensi. Adapun aspek personal higiene yang dibahas pada penelitian ini adalah kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun, kebiasaan memotong kuku dan aspek perilaku berisiko yang dibahas adalah kebiasaan bermain tanah, juga kebiasaan menggaruk anus.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 17 responden (21,5%) yang terkontaminasi telur cacing dan spesies terbanyak yang mengontaminasi adalah Ascaris lumbricoides. Terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun (nilai p=0.001) (C=0.455) dan kebiasaan bermain tanah (nilai p=0.001) (C=0.373) dengan kontaminasi telur cacing. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan memotong kuku (nilai p=0.375) (C=0.099) dan kebiasaan menggaruk anus (nilai p=0.161) (C=0.156) dengan kontaminasi telur cacing.


(5)

HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA KOTORAN

KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

Oleh

SHINTA TRILUSIANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(6)

Judul Skripsi : HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA KOTORAN KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

Nama Mahasiswa : Shinta Trilusiani Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011079

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Betta Kurniawan, M.Kes. dr. TA Larasati, M.Kes. NIP. 197810092005011001 NIP. 197707182005011004

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dr. Sutyarso, M. Biomed. NIP. 195704241987031001


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Betta Kurniawan, M.Kes. _______________

Sekretaris : dr. TA Larasati, M.Kes. _______________

Penguji : Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed. _______________

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP : 195704241987031001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lais pada tanggal 9 April 1991, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari Bapak Darwin, MM. dan Ibu Nurhijratul Aini, S.Pd.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Raudatul Aftal 1997, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 26 Kota Bengkulu pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Negeri 1 Kota Bengkulu pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Kota Bengkulu pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Pada periode 2010-2011 sebagai sekretaris 2 Komisi B dan setengah periode 2011-2012 sebagai Sekretaris Umum DPM FK Unila. Pada setengah periode 2011-2012, penulis memiliki amanah sebagai Staf Komisi Perundang-undangan dan Advokasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Lampung (DPM Unila). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten dosen Patologi Klinik. Penulis juga aktif di beberapa organisasi eksternal kampus.


(9)

Sebentuk Pengabdian Hati Untuk yang Tercinta..

Ibu dan Ayah Terbaik Dunia Akhirat


(10)

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs.55 : 55)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan

ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah

bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau

berharap..”(Qs.94 : 5

-8)

Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa merintis jalan mencari ilmu, maka Alla

h akan

memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR.Muslim)

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada

menjaga lidah. Aku memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian

yang lebih baik daripada taqwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun

tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala

bentuk rezeki, tetapi tidak menemukan rezeki yang lebih baik daripada sabar..

-(Umar bin Khatab RA)-

“Teruslah berger

ak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga

kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih

bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Tetaplah

berjaga, hingga kelesuan itu l

esu menemanimu.”

-(alm.KH.Rahmat Abdullah)-

"Zero is where everything starts..nothing would ever be born if we didn't depart from

there..nothing would ever be achieved.." -(Shinichi Kudo)-


(11)

ii SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Hanya kepada Tuhan seluruh makhluk, Dialah Allah Azza wa Jalla. Pemilik bumi, pemilik tempat akhir untuk kembali, penguasa seutuhnya hati, penulis menghaturkan puji demi puji dan syukur yang banyaknya tak terukur, alhamdulillah untuk ridho,hidayah dan izin dari-Nya untuk setiap daya upaya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat dan segunung rindu penulis ucapkan semoga senantiasa mengalir kepada manusia terbaik yang pernah singgah ke bumi, pejuang yang tak pernah lelah menegakkan Dien-Nya, pembawa cahaya dan pemusnah kegelapan, pembawa kecerdasan dan pemusnah kebodohan, dialah sang utusan terakhir, begitu dinanti pertemuan lagi syafaat darinya, Rasulullah SAW. Beriringan do’a penulis haturkan teruntuk para sahabat dan keluarga Rasulullah SAW terkasih yang menjadi teman setia dalam perjuangan panjang yang dilakoni demi menegakkan islam, sebagai agama yang sejati.

Skripsi dengan judul “Hubungan Aspek Personal Higiene dan Aspek Perilaku Berisiko dengan Kontaminasi Telur Cacing pada Kotoran Kuku Siswa Kelas 4, 5 dan


(12)

iii salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, secara moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah yang lebih berhak untuk memberikan balasan yang berlimpah dan lebih baik. Ucapan terima kasih diberikan kepada :

1. Sepasang bidadari Ayah Darwin, MM. dan Ibu Nurhijratul Aini, S.Pd yang menjadi penguat dikala penulis lemah, yang menjadi semangat disaat penulis nyaris menyerah, yang selalu menyelipkan nama penulis dalam doa-doa panjang di atas sajadahnya yang basah oleh air mata penuh cinta, Ibu terbaik dunia akhirat dan Ayah juara 1 dunia akhirat.

2. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. dr.Muhartono Sp.Pa selaku pembimbing akademik.

4. dr. Betta Kurniawan, M.Kes selaku pembimbing utama yang telah sabar dalam memberikan bimbingan ketika penulis mengalami kendala dalam penelitian maupun pengolahan data, serta kritik dan saran, juga motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. dr. TA Larasati, M.Kes selaku pembimbing kedua yang telah membimbing penulis sehingga penulis mampu berfikir kritis, memberikan saran dan kritik yang sangat konstruktif dan mengajarkan penulis banyak hal mengenai penelitian yang selama ini penulis tidak pahami.


(13)

iv 6. Dra.Endah Setyaningrum, M.Biomed. sebagai penguji yang telah memberikan banyak saran, kritik dan dengan sabar memberikan arahan kepada penulis sehingga terjadi perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Achmad Sarkawi selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri 1 Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung yang telah mempersilahkan penulis untuk melakukan penelitian di SD Negeri 1 Pinang Jaya. Terima kasih juga untuk keramahtamahan, tanggapan dan kerjasama yang sangat baik dalam proses penelitian.

8. Semua siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung khususnya siswa kelas 4, 5 dan 6 yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini dan dilibatkan sebagai responden.

9. Kakak-kakak penulis, kakak Yuda Agusta, S.H. , donga Dhany Apriansyah, S.E. , dan kakak ipar Kak Nicholist Christa Stephanie, S.H. yang senantiasa menemani

dalam perjalanan panjang penyelesaian skripsi ini dalam do’a maupun support

yang sangat berharga.

10.Kak Aulya Adha Dini, S.Ked., seorang emak, seorang kakak, seorang sahabat. Bahkan terima kasih pun tidak akan pernah cukup untuk keikhlasan dalam persaudaraan yang indah ini.

11.Mba Desta Indriana, S.Pd. yang telah menjadi suporter pemberi semangat, pendengar dan penasehat yang baik saat penulis jenuh.

12.Teman-teman yang telah ikut membantu dalam proses penelitian : Harli, Wida, Nurul, Nora, Elis, Ghina, dek Zyga, dek Anggia, Kak Usep, Kak Heru, Hilman, Nabila, Sari, Ica, Satya, Hani, Nola, Nida, Ririn dan teman-teman lain yang ikut


(14)

v berpartisipasi secara tidak langsung. Tanpa kalian, penulis mungkin tidak pernah tahu akhir dari penelitian ini. Terima kasih, sungguh terima kasih.

13.Sahabat hebat yang tak kenal lelah mendengarkan kicauan dan membantu penulis : Wida, Nora, Nurul, Hani, Nida, Dira, Arum, Wika, Ghina, Megan, Marlintan, Elis, Riscan, Tuntun Evi, Intan pp, Cici untuk semangat yang tak pernah henti. 14.Sahabat yang jauh dimata lekat di hati : Tika, Fhosya, Indah, Ubay, Pita, Eti,

Agung, Anut. Terkadang api rindulah yang menyadarkan kita untuk tidak pernah lelah atau bahkan menyerah dalam perjuangan menjemput asa yang terlanjur membara.

15.Teman-teman seperjuangan dalam penyelesaian skripsi ilmu parasitologi : R.A Siti Marhani, Nolanda Trikanti, atas kerjasama dan waktu panjang yang telah kita ukir bersama.

16.Terkhusus untuk staf ruangan H-PEQ : Mba Jetta, Mba Lutfhi, Mba Mega, serta Bang Richard (Bang Aswan Roni) atas kerjasama dan kebaikan hatinya terhadap penulis selama ini.

17.Keluarga besar MPM-DPMU masa juang 2011-2012 : Mba Desta, Mba Yesi, Mba Serli, Mba Eny, Mba Hesti, Kak Indra, Kak Mahfudz, Kak Usep, Kak Eko, Kak Andro, Kak Tomi, Kak Agus, Kak Hari, Kak Jarwo, Kak Cahyo, Abdul, Ali, Handi dan teman-teman lain yang tidak bosan bertanya mengenai kemajuan dari skripsi ini sehingga penulis menjadi terpacu untuk menyelesaikannya. Sungguh terima kasih untuk ukhuwah yang indah ini.


(15)

vi 18.Teman-teman KKN Tematik Unila Tahap 2 Tahun 2012 Kampung Margajaya Indah, Pagar Dewa, Tulang Bawang Barat : Marisa, Eva, Desi, Titan, Rini, Perti, Mares, Andika, Torik terima kasih untuk 39 hari yang tak terlupakan.

19.Kakak tingkat 2008 yang walau sibuk senantiasa bersedia membantu penulis dalam penelitian ini : Kak Heru Sigit Pramono, S.Ked., dan Kak Zerri Ilham, S.Ked. Terima kasih telah bersedia untuk direpotkan dengan sejumlah pertanyaan, dan sebagai second opinion seputar penelitian ini.

20.Teman-teman kosan puteri Pondok Arbenta, Nora, Ririn, Ebi, Nabila, dek Putri,dek Fau, dek Selvi, dek Sabrin, dek Nurul, dan keluarga besar Pondok Arbenta yang tidak bisa penulis satu per satu. Terima kasih untuk support dan pemaklumannya terhadap penulis yang mungkin sering mengganggu ketenangan. 21.Keluarga besar DORLAN (Kedokteran Nol Sembilan) atas kebersamaan luar

biasa dalam 3 tahun ini. Sulit diukir dengan kata-kata walau dengan puisi karya maestro dunia sekalipun.

Akhir kata, penulis telah berusaha menyelesaikan penelitian ini dengan baik, namun celah untuk timbulnya kekurangan tetap saja ada. Penulis berharap kekurangan pada skripsi ini dapat diperbaiki dengan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna, baik bagi pembaca maupun bagi penulis. Aamiin.

Bandar Lampung, November 2012 Penulis,


(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi cacing (helminthiasis) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama infeksi cacing usus. Cacing usus umumnya termasuk golongan nematoda dan penularannya ada yang melalui perantaraan tanah soil transmitted helminths (STH) dan ada yang tidak membutuhkan tanah dalam siklus hidupnya non soil transmitted helminths (non STH). Cacing usus golongan STH yang masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia yaitu Ascaris lumbricoides, Trichiuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

(Depkes RI, 2004).

Cacing usus golongan non STH yang dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan, diantaranya Enterobius vermicularis dan Trichinella spiralis.

Enterobiasis adalah penyakit infeksi yang tersebar luas di seluruh belahan dunia, baik di negara-negara maju maupun berkembang (Chukiat dkk,2000).


(23)

2

Prevalensi helminthiasis sangat tinggi terutama di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyebab kesakitan terbanyak di seluruh dunia. Tiga setengah miliar penduduk dunia terinfestasi parasit intestinal, termasuk cacing perut (Ascaris lumbricoides, Trichiuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan empat ratus lima puluh juta diantaranya mengenai anak-anak (Purba, 2005).

Data Amerika Serikat menyatakan bahwa ada sekitar 20-42 juta orang yang terinfeksi Enterobius vermicularis, dengan prevalensi tertinggi pada anak-anak (Lohiya dkk, 2000).Penelitian di beberapa negara berkembang menunjukkan prevalensi Enterobius vermicularis sebesar 14% - 19% (Chaisalee dkk, 2001).

Di Indonesia, helminthiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar setelah malnutrisi. Prevalensi tertinggi dijumpai dikalangan anak usia sekolah dasar. Menurut laporan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan diantara anak usia 5-14 tahun, helminthiasis merupakan penyumbang terbesar angka kesakitan (12% anak perempuan dan 11% anak laki-laki) (Sajimin,2000). Angka prevalensi Enterobius vermicularis di Indonesiayaitu sebesar 3% - 80%, dengan kelompok usia terbanyak yang terinfeksi adalah kelompok usia antara 5-9 tahun (Yuliati,1994).

Kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat


(24)

3

menyebabkan banyak kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia (Sudomo, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sadjimin tahun 2000, gangguan gizi dapat disebabkan oleh infeksi cacing, khususnya cacing usus yang ditularkan melalui tanah.

Selain itu, larva cacing seperti A. lumbricoides yang masuk ke paru-paru dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus. Keadaan ini disebut dengan sindroma Loeffler. Cacing A. lumbricoides dewasa juga dapat menimbulkan gangguan usus seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi, bahkan jika terjadi infeksi berat bisa menimbulkan

malabsorpsi makanan. Kondisi yang lebih serius dapat terjadi ketika cacing menggumpal di dalam usus lalu menimbulkan penyumbatan sehingga terjadi obstruksi ileus (Effendy, 2006).

Golongan cacing tambang dapat menghisap darah melalui perlekatan giginya pada dinding usus yang perlahan-lahan dapat menimbulkan anemia hingga penurunan produktifitas. Pada infeksi berat yang disebabkan oleh cacing T. trichiura, rektum dapat terdorong keluar saat mengejan (prolapsus recti). Pada tempat perlekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Cacing ini juga dapat menghisap darah


(25)

4

sehingga bisa menimbulkan kondisi anemia pada hospesnya (Irianto, 2009).

Infeksi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan. Helminthiasis

banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan terkena pada kelompok masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang. Kondisi ini dapat menyebabkan tingginya angka prevalensi helminthiasis

ditambah lagi dengan sosial ekonomi masyarakat yang rendah (Sajimin,2000).

Hasil penelitian Zukhriadi pada siswa SD di Kabupaten Sibolga tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor perilaku perorangan siswa terhadap kecacingan siswa di SD Sibolga Sumatera Utara.

Pada tahun 2003 penderita kecacingan di Bandar Lampung sebanyak 1208 siswa (Dinkes, 2003). Pada tahun 2011 telah dilaporkan hasil penelitian mengenai kecacingan, khususnya STH pada siswa SDN 2 Kampung Baru, Bandar Lampung menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan STH di SDN 2 Kampung Baru, Bandar Lampung adalah 26,7% (Pramono,2011).


(26)

5

Sudomo (2008) juga berpendapat bahwa kelompok ekonomi lemah ini mempunyai resiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya.

Aspek personal higiene meliputi kebersihan kuku, penggunaan alas kaki dan kebiasaan cuci tangan (Jalaludin, 2009). Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan miikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan diantaranya melalui tangan yang kotor. Pada kuku jari tangan yang kotor, kemungkinan terselip telur cacing. Telur cacing akan tertelan ketika makan. Hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan (Onggowaluyo, 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham pada tahun 2011 menunjukkan bahwa adanya hubungan yang erat antara kebiasaan memotong kuku dan mencuci tangan terhadap prevalensi kecacingan pada siswa SD Negeri 2 Kampung Baru, Bandar Lampung.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purba pada tahun 2005 di SD Negeri 106160 Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan mengenai pemeriksaan telur cacing pada kotoran kuku dan higiene siswa,


(27)

6

didapatkan hasil positif ditemukannya telur cacing pada 15,09% dari 53 sampel yang digunakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2000) menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang terkontaminasi telur A. lumricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.

Penularan cacing usus bisa terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar, melalui udara yang tercemar atau secara langsung melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing yang infektif (Pracaya, 1994).

Enterobius vermicularis yang digolongkan dalam kelompok contagious or faecal-borne helminthes adalah salah 1 cacing usus yang penyebaran infeksinya dapat terjadi melalui kontaminasi tangan oleh anus (Garcia 2001 dan Yuliati, 1994).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Pinang Jaya Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung karena berdasarkan survei yang telah penulis lakukan, halaman sekolah tersebut yang masih


(28)

7

tanah, dan halaman tersebut menjadi tempat bermain bagi siswa SD Negeri 1 Pinang Jaya. Selain itu, di Bandar Lampung belum ada penelitian mengenai hubungan personal higine dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa sekolah dasar, sehingga penulis merasa perlu dilakukannya penelitian mengenai hal tersebut.

B. Rumusan Masalah

Kecacingan merupakan suatu kondisi yang menjadi masalah kesehatan dunia dan menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas (Sudomo,2008). Salah satu aspek yang mempengaruhi tingkat kecacingan adalah aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko. Tangan yang terkontaminasi oleh telur cacing dapat menjadi salah satu media penularan. Oleh karena itu, penulis mengangkat rumusan masalah yakni adakah hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013?


(29)

8

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun pada siswa kelas 4, 5 dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

b. Mengetahui gambaran kebiasaan memotong kuku pada siswa kelas 4, 5 dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

c. Mengetahui gambaran kebiasaan bermain tanah pada siswa kelas 4, 5 dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

d. Mengetahui gambaran kebiasaan menggaruk anus pada siswa kelas 4, 5 dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.


(30)

9

e. Mengetahui gambaran kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013

f. Mengidentifikasi jenis telur cacing yang paling banyak mengontaminasi kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

g. Mengetahui hubungan antara kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

h. Mengetahui hubungan antara kebiasaan memotong kuku dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

i. Mengetahui hubungan antara kebiasaan bermain tanah dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

j. Mengetahui hubungan antara kebiasaan menggaruk anus dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

k. Mengetahui aspek personal higiene yang paling erat hubungannya dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5,


(31)

10

dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

l. Mengetahui aspek perilaku berisiko yang paling erat hubungannya dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi khususnya bidang helminthologi dan sebagai pengembangan ilmu kedokteran komunitas.

2. Bagi Peneliti

Melalui penelitian kali ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam hal riset.

3. Bagi Pembaca dan Peneliti Lain

Dapat menjadi landasan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif dan bagi pembaca diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan terutama pada ilmu parasitologi.


(32)

11

4. Bagi Instansi Terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi pengambilan keputusan dalam tindakan mencegah kecacingan sedini mungkin.

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori perilaku dari L. Blum, status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku, lingkungan fisik, sosial ekonomi, budaya, dsb. Antara satu faktor dengan faktor yang lain saling berkaitan. Bila keempat faktor tersebut bekerja secara optimal, maka status kesehatan akan optimal. Sedangkan, bila salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan akan tergeser ke arah dibawah optimal (Notoadmodjo, 2005).


(33)

12

Aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko

Gambar 1.Kerangka Teori

Jika dikaitkan dengan teori L.Blum sebelumnya, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan adalah perilaku. Adapun perilaku yang dibahas pada penelitian ini adalah mengenai aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko yang berhubungan dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku. Aspek personal higiene tersebut diantaranya kebiasaan mencuci tangan, dan kebiasaan memotong kuku. Adapun aspek perilaku berisiko yang dibahas pada penelitian ini adalah kebiasaan bermain tanah dan kebiasaan menggaruk anus. Apabila ditemukan adanya kontaminasi telur cacing, hal ini dapat menjadi media penularan

Status Kesehatan Keturunan Pelayanan Kesehatan Perilaku Lingkungan Kejadian Kecacingan

Kontaminasi telur cacing  Kebiasaan mencuci tangan

dengan menggunakan sabun

 Kebiasaan memotong kuku  Kebiasaan bermain tanah  Kebiasaan menggaruk anus

Gangguan kesehatan

Gangguan gizi

Gangguan kecerdasan


(34)

13

dan memperbesar kemungkinan untuk terjadinya kejadian kecacingan yang akan mempengaruhi status kesehatan anak.

2. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas menunjukkan bahwa aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko mempengaruhi adanya kontaminasi telur cacing. Berdasarkan uraian di atas maka disusun kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.Kerangka Konsep F.Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara aspek personal higiene kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun dan kebiasaan memotong kuku dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

2. Terdapat hubungan antara aspek perilaku berisiko kebiasaan bermain tanah dan kebiasaan menggaruk anus dengan kontaminasi telur Aspek personal

higiene dan Aspek perilaku berisiko

Ada telur cacing Pemeriksaan laboratorium

kotoran kuku tangan siswa

Jenis telur cacing

Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun Kebiasaan memotong kuku Kebiasaan bermain tanah Kebiasaan menggaruk anus


(35)

14

cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

3. Aspek personal higiene yang paling erat hubungannya dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5 dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 adalah mencuci tangan menggunakan sabun.

4. Aspek perilaku berisiko yang paling erat hubungannya dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 adalah kebiasaan bermain tanah.


(36)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Higiene

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaannya kesehatan. Dalam pengertian ini termasuk pula upaya melindungi, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan manusia baik perseorangan maupun masyarakat sehingga berbagai faktor lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar, 1993).

Tidak berbeda jauh dengan pendapat Azwar, Entjang (2000) berpendapat bahwa usaha kesehatan pribadi (aspek personal higiene) adalah daya upaya seseorang untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri.

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun


(37)

16

untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004).

Kebersihan diri atau personal higiene yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Penduduk miskin dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi semua jenis cacing (Brown, 1983).

Dalam praktiknya upaya higiene ini antara lain meminum air yang sudah dierebus sampai mendidih dengan suhu 100 ºC selama 5 menit, mandi 2 kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit, dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang (Azwar 1993).

a) Faktor Aspek Personal Higiene Perorangan

Aspek personal higiene pada penelitian ini adalah aspek personal higiene yang berkaitan dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku.

1. Kebiasaan Mencuci Tangan Dengan Sabun

Anak-anak sering terserang kecacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut atau makan nasi tanpa cuci tangan.


(38)

17

Namun demikian, sesekali orang dewasa juga dapat menderita kecacingan. Cacing yang paling sering ditemui ialah cacing gelang, cacing tambang, cacing benang, cacing pita dan cacing kremi (Oswari, 1991).

Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku jari tangan yang kotor, dan kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan (Onggowaluyo,2002).

2. Kebiasaan memotong kuku

Menurut Departemen Kesehatan R.I (2001), usaha pencegahan kecacingan antara lain : menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan. Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan kecacingan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Margono, 2000).

B. Perilaku berisiko

Menurut teori Skinner yang dikutip oleh Notoadmojo (2007), perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari


(39)

18

luar). Jika digabungkan dengan kata berisiko, maka perilaku berisiko dapat berarti respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) yang memiliki risiko untuk timbul atau meningkatnya suatu penyakit.

1. Kebiasaan Bermain di Tanah

Tanah merupakan media transmisi yang digunakan oleh cacing golongan Soil transmitted helminths untuk berkembang. Pada usia anak sekolah, anak-anak masih rentan untuk bermain di tanah. Kebiasaan ini apabila tidak didukung oleh aspek personal higiene yang baik dapat meningkatkan faktor risiko untuk terkontaminasi telur cacing.

2. Kebiasaan Menggaruk Anus

Pada enterobiasis, cacing kremi yang bermigrasi ke daerah anus akan menyebabkan pruritus ani, sehingga penderita menggaruk daerah sekitar anus dan sering menimbulkan luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah (Margono, 2010).

C. Kontaminasi

Kontaminasi merupakan pengotoran atau pencemaran oleh unsur luar dapat berubah zat kimia, mikroorganisme atau pun telur cacing.


(40)

19

Penularan cacing usus bisa terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar, melalui udara yang tercemar atau secara langsung melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing yang infektif.

D. Kuku Tangan

Kuku berfungsi melindungi ujung jari yang lembut dan penuh syaraf serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan rambut yang terbentuk dari keratin protein yang kaya sulfur. Kulit ari pada pangkal kuku berfungsi melindungi dari kotoran. Kuku tumbuh dari sel mirip gel yang lembut yang mati, dan mengeras dan terbentuk saat mulai tumbuh keluar dari ujung jari. Pada kulit di bawah kuku terdapat banyak pembuluh kapiler yang memiliki suplai darah kuat sehingga menimbulkan kemerah-merahan. Seperti tulang dan gigi, kuku merupakan bagian terkeras dari tubuh karena kandungan airnya yang sangat sedikit (Purba, 2005).

Nutrisi yang baik sangat penting bagi pertumbuhan kuku. Pertumbuhan kuku jari tangan dalam 1 minggu rata-rata 0,5-1,5 mm, empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan kuku jari kaki. Pertumbuhan kuku juga dipengaruhi oleh panas tubuh. Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang


(41)

20

mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing (Onggowaluyo, 2002).

E. Definisi Kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit karena parasit cacing pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus yang sebagian besar menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Terdapat beberapa spesies nematoda usus yang

ditularkan melalui tanah, disebut “ Soil transmitted helmints”, dimana

yang terpenting adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura (Margono, 2000).

Helminthiaisis adalah keadaan patologis karena infestasi cacing atau suatu penyakit dimana seseorang mempunyai cacing di dalam ususnya.

Helminthiasis yang banyak ditemukan pada manusia adalah Ascariasis

akibat cacing gelang (Ascaris lumbricoides), Tricuriasis akibat cacing cambuk (Tricuris trichiura). Necatoriasis akibat cacing tambang (Necator americanus) yang termasuk cacing yang ditularkan melalui tanah atau soil transmited desease (Depkes. 2004).


(42)

21

F. Soil Transmitted Helminths

Soil transmitted helminths adalah nematoda usus yang dalam hidupnya memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk dari tidak infektif menjadi infektif.

Berikut ini spesies-spesies soil transmitted helminth (STH) yang paling sering menyebabkan infeksi kecacingan :

1. A. lumbricoides

2. T. trichiura

3. N. americanus

4. A. duodenale

a) Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

1. Klasifikasi

Menurut Levine (1989) Ascaris lumbricoides termasuk dalam : Phylum : Nematoda

Klas : Secernentasida

Ordo : Ascaridorida

Famili : Ascaridae

Genus : Ascaris


(43)

22

2. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu lebih kurang 3 minggu.

Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus kemudian menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu lebih kurang 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Margono, 2000).


(44)

23

(a) (b) (c)

Gambar 3: (a) dan (c) Telur A. lumbricoides fertil, (b) Telur A.Lumricoides infertil (Prianto, J., dkk., 2006)

Gambar 4 :Telur A. lumbricoides fertil (a)dan yg paling kanan decorticated (b)(Prianto, J., dkk., 2006)

Gambar 5 : Telur A. lumbricoides infektif (Prianto, J., dkk., 2006)

a

b a


(45)

24

Gambar .6 Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) (Anonim, 2008)

3. Patofisiologi

Menurut Effendy (2006), daur hidup Ascaris lumbricoides yang dapat menyebabkan gangguan pada manusia disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding

alveolus yang disebut sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler terjadi akibat suatu reaksi alergi.

Penyebabnya adalah migrasi dari cacing parasit Ascaris lumbricoides ke dalam saluran pernafasan. Reaksi alergi dirangsang oleh protein yang terdapat di permukaan tubuh cacing, sehingga menyebabkan peningkatan eosinofil (infiltrat) dalam paru yang cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi di bagian paru lain. Sindrom Loeffler juga menyebabkan timbulnya kondisi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk dan demam. Pada foto


(46)

25

thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbsi). Keadaan yang serius terjadi ketika cacing menggumpal dalam usus lalu terjadi penyumbatan pada usus sehingga menyebabkan

ileus obstructive.

4. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofelia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Ascaris lumbricoides perutnya nampak buncit dikarenakan jumlah cacing dan perut kembung, matanya pucat dan kotor seperti sakit mata dan batuk pilek. Perut sering sakit, diare dan nafsu makan kurang. Oleh karena penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar.

Oleh karena gejala klinis yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan feses untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur cacing di dalam feses tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai


(47)

26

sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi dengan cara menghitung jumlah telur cacing. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut ataupun hidung (Irianto, 2009).

5. Epidemiologi

Telur cacing gelang keluar bersama feses pada tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Kecacingan gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor dan tercemar tanah yang terdapat telur cacing (Irianto, 2009).

6. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing dengan harga yang terjangkau (Irianto, 2009). Pencegahan kecacingan ascariasis sendiri dapat dilakukan dengan memutus siklus hidup cacing misalnya dengan menggunakan jamban ketika buang air besar dan memasak sayuran hijau yang diperoleh dari daerah yang menggunakan feses sebagai pupuk (Khomsan, 2002).


(48)

27

b) Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

1. Klasifikasi

Menurut Levine (1989) cacing tambang termasuk dalam : Phylum : Nematoda

Klas : Secernentasida

Ordo : Strongylorida

Famili : Ancylostomatida

Genus : Ancylostoma Necator

Spesies : Ancylostoma duodenale

Necator americanus

2. Morfologi dan Daur Hidup

Hospes parasit ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mukosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm. Cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang berawal dari telur cacing yang keluar bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan


(49)

28

hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis.

Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya lebih kurang 250 mikron, sedangkan larva filariformpanjangnya lebih kurang 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronkus lalu ke trakea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Irianto, 2009).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28o-32oC

sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu (Margono, 2000). Telur hookworm sulit dibedakan antara spesies. Bentuk oval dengan ukuran 40-60 mikron dengan dinding tipis transparan dan berisi

blastomer (Prianto, J., dkk., 2006).

Gambar 7 : Gambar telur hookworm sulit dapat dibedakan antara telur N. americanus dan A. duodenale. (Prianto, J., dkk., 2006).


(50)

29

Gambar 8 . Siklus Hidup Cacing Tambang (N.americanus dan A.duodenale) (Anonim, 2008)

3. Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus dan melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Kecacingan tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) sehingga dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Akan tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Irianto, 2009).

4. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik karena kecacingan tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,


(51)

30

prestasi kerja menurun, dan anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia(Irianto, 2009).

Diagnosis infeksi cacing tambang ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses segar. Dalam feses yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N. americanus dan A. duodenale dapat dilakukan biakan feses misalnya dengan cara Harada-Mori (Puspita, 2009).

5. Epidemiologi dan Pengobatan

Kejadian penyakit ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama. Setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian feses sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Margono, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur seperti pasir dan humus dengan suhu optimum 32oC-38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.


(52)

31

Pengobatan adalah dengan menggunakan salah satu dari albendazol, mebendazol, levamisol dan pirantel pamoat dosis tunggal (Puspita, 2009).

c) Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) 1. Klasifikasi

Menurut Levine (1989) cacing cambuk termasuk dalam : Phylum : Nematoda

Klas : Adenophorasida

Ordo : Dorylaimorida

Famili : Trichuridae

Genus : Trichuris

Spesies : Trichuris trichiura

2. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan cacing jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon

ascendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama feses. Telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah


(53)

32

yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes) kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon ascendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Margono, 2000).

Gambar 9 . Telur T. trichiura (Prianto, J., dkk., 2006).


(54)

33

3. Patofisiologi

Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum, namun dapat juga ditemukan di dalam kolon ascendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum bahkan kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus

akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Irianto, 2009).

4. Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala, sedangkan kecacingan cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak dan menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolaps rektum. Kecacingan cambuk yang berat juga sering disertai dengan kecacingan lainnya atau protozoa. Diagnosis pasti dapat ditegakkan bila ditemukan telur di dalam feses pada pemeriksaan mikroskopis (Margono, 2000).


(55)

34

5. Epidemiologi

Hal penting untuk penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah oleh feses. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 300 C.

Di berbagai negeri, pemakaian feses sebagi pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera yang memakai feses sebagai pupuk (Margono, 2000).

Dahulu kecacingan cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura

adalah albendazole/ mebendazole dan oksantel pamoate (Margono, 2000).


(56)

35

G. Non Soil Transmitted Helminths

Non soil transmitted helminths adalah golongan cacing yang di dalam siklus hidup dan cara penularannya tidak membutuhkan tanah. Cacing yang termasuk dalam golongan ini, dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia diantaranya:

1. Enterobius vermicularis

2. Trichinella spiralis

a) Enterobius Vermicularis

Taksonomi E.vermicularis menurut anonim (2012) adalah Phylum : Nematoda

Klas : Secernetea

Ordo : Rhabditida

Famili : Oxyuridae

Genus : Oxyuris

Spesies : Oxyuris vermicularis

Berikut penjabaran mengenai Enterobius vermicularis menurut Margono (2003)

1. Epidemiologi

Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup di dalam satu lingkungan yang sama (asrama, pantiasuhan). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan


(57)

36

mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan sekitar 3-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis

adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa (Margono, 2000).

2.Morfologi

Cacing jenis ini bersifat kosmopolit, tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum yang disebut alae. Bulbus esophagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Bentuk esophagus ini khas untuk Enterobius vermicularis. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya, dan spikulum pada ekor jarang ditemukan. Tidak mempunyai buccal cavity, ujung posterior esophagus menggelembung

(double bulb oesophagus). Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan sekum. Makanannya berasal dari isi usus.


(58)

37

Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebaldari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap desifektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati setelah setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar.

(a) (b)

Gambar 11 (a) Enterobius vermicularis dewasa, (b) telur Enterobius vermicularis (Anonim, 2012)

Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejunum dan


(59)

38

bagian atas ileum. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.

Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada infeksi berulang tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir.

3. Patologi dan Gejala Klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan irirtasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid bergerak dan dapat bersarang di vagina dan tuba falopii sehingga menyebabkan radang di


(60)

39

saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.

Telur tersembunyi dalam lipatan perianal sehingga jarang didapatkan di dalam tinja. Beberapa jam kemudian, telur telah menjadi matang dan infektif, untuk selanjutnya terjadi hal-hal di bawah ini :

 Autoinfeksi karena daerah perianal gatal, digaruk, telur menempel pada tangan atau di bawah kuku, kemudian telur ini termakan oleh hospes yang sama

 Telur tersebar pada kain tempat tidur, pakaian bahkan pada debu dalam kamar, mengkontaminasi makanan atau minuman sehingga dapat menginfeksi orang lain. Seseorang dapat pula terinfeksi dengan menghirup udara yang tercemar (infeksi aerogen/per inhalasi).

 Retrograd infeksi, mungkin telah ada larva yang menetas setelah cacing betina meletakkan telur di perianal., larva masuk kembali ke usus melalui anus sehingga akan terjadi infeksi baru.

Penyebaran cacing ini bersifat kosmopolit, terutama menyerang anak-anak. Infeksi cacing ini cenderung timbul pada kelompok tertentu, misalnya pada satu keluarga, anak sekolah, panti asuhan serta kelompok institusional lainnya.


(61)

40

Beberapa gejala karena infeksi cacing E. vermicularis dikemukakan oleh beberapa penyelidik yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.

Gambar 12. Siklus Hidup Enterobius vermicularis (Anonim, 2008)

4. Diagnosis

Untuk mendiagnosis enterobiasis, pemeriksaan tinja hasilnya kurang baik karena hasil positif kurang lebih 5% dari yang seharusnya. Sedangkan menurut Margono diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan cebok. Metode ini dikenal dengan metode Scotch adhesive tape swab. Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape yang bila ditempelkan di sekitar anus, telur cacing akan


(62)

41

menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari bertutut-turut.

Gambar 13. Diagnosis Enterobiasis Menggunakan Anal Swab (Anonim,2012)

5. Pengobatan dan Prognosis

Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberikan pengobatan bila ditemukan salah seorang anggota mengandung cacing kremi. Obat piperazin sangat efektif bila diberikan waktu pagi dan kemudian minum air segelas sehingga obat sampai ke sekum dan kolon. Pirvinium pamoat juga efektif. Efek samping mungkin terjadi mual dan muntah. Obat lain yang juga dapat diberikan adalah tiabendazol. Dikatakan mebendazol dan pirvinium efektif terhadap semua stadium perkembangan cacing kremi, sedangkan pirantel dan piperazin yang diberikan dalam dosis tunggal tidak efektif terhadap stadium muda. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik.


(63)

42

H. Faktor Lain yang Mempengaruhi Kecacingan 1. Faktor Sanitasi Lingkungan

1) Kepemilikan jamban

Jamban yang tidak memenuhi syarat-syarat jamban yang sehat akan menyebabkan penyebaran penyakit yang bersumber pada feses melalui berbagai macam cara (Notoatmojo, 1997)

2) Lantai rumah

Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan. Lantai rumah dapat terbuat dari: ubin, plesteran dan tanah yang dipadatkan (Depkes RI, 1990). Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmodjo (1997), syarat-syarat rumah yang sehat memiliki lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat terbuat dari: ubin atau semen, kayu dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan.

3) Ketersediaan air bersih

Menurut Departemen Kesehatan R.I (1990), air sehat adalah air bersih yang dapat digunakan untuk kegiatan manusia dan harus terhindar dari kuman-kuman penyakit dan bebas dari bahan-bahan kimia yang dapat mencemari air bersih tersebut, dengan akibat orang yang memanfaatkannya bisa jatuh sakit. Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri, keracunan dan penyakit perut lainnya), kecacingan (misalnya:


(64)

43

cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam keong, kaki gajah) (Depkes RI, 1990)

2. Faktor Pelayanan Kesehatan

Kecacingan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan bagi anak serta produktivitas kerja pada orang dewasa. Infestasi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, higiene, dan sanitasi di lingkungan tempat tinggal serta manipulasi terhadap lingkungan di daerah dengan kelembaban tinggi dan terutama bagi kelompok masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang. Kondisi ini dapat menyebabkan tingginya angka prevalensi kecacingan ditambah lagi dengan sosial ekonomi masyarakat yang rendah.

Pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah akan sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan termasuk pelayanan kesehatan secara keseluruhan terwujud dengan telah berhasilnya pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan secara merata, khususnya pelayanan kesehatan terhadap kecacingan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yaitu dengan pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali dan pembuatan MCK


(65)

44

(Mandi, Cuci, Kakus) yang sehat dan teratur, serta pendidikan kesehatan tentang higiene dan sanitasi masyarakat. Pelayanan kesehatan ini pun belum dapat merata dimasyarakat sehingga prevalensi kecacingan belum menurun secara signifikan (Puspita, 2009).


(66)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian dengan pengukuran variabel yang dilakukan satu waktu untuk mengetahui hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini menggunakan data primer, data sampel diperoleh dengan melakukan wawancara pada siswa yang terpilih dari SD yang sudah ditentukan. Sedangkan untuk pemeriksaan kotoran kuku dilakukan dengan metode sedimentasi.

B.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober tahun ajaran 2012/2013. Pengambilan sampel dan data penelitian dilakukan di SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung, sedangkan pemeriksaan sampel


(67)

46

dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

C.Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 sampai dengan kelas 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung pada tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 99 orang.

2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan proportional random sampling

(Notoadmojo, 2005). Besar sampel yang dibutuhkan ditentukan menurut persamaan Taro Yamane yaitu:

N n =

1 + N (d2)

Keterangan:

N = Besar populasi n = Besar sampel


(68)

47

99 n =

1 + 99 (0,05)2 99 =

1,2475 = 79

Jadi, besar sampel yang dibutuhkan adalah 79 orang

Sedangkan untuk pemilihan sampel adalah dengan teknik proportional random sampling pada siswa kelas 4, 5 dan 6. Penulis memilih kelas 4, 5 dan 6 berdasarkan pendapat Behrman (2000) yang menyatakan, mulai pada saat siswa berada di kelas 4, perkembangan kognitif dan linguistik siswa berada pada tahap yang lebih baik dibandingkan saat 3 tahun pertama sekolah.

Kemudian tentukan jumlah sampel berstrata dengan rumus : ni = (Ni : N).n

Tabel 1 . Jumlah Sampel Pada Tiap Kelas Berdasarkan Proporsi No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah Sampel

1 IV 34 : 99 x 79 27

2 V 31 : 99 x 79 25

3 VI 34 : 99x 79 27


(69)

48

Keterangan :

ni = Jumlah Sampel Ni = Populasi Per Strata N = Populasi

n = Besar Sampel

D. Variabel Penelitian

Adapun variabel penelitian pada penelitian ini adalah:

1. Variabel Terikat

Kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa 2. Variabel Bebas

Aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko siswa.

E. Definisi Operasional

Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan terhadap variabel bebas dan variabel terikatBerikut definisi operasional dari variabel yang digunakan.


(70)

49

Tabel.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

(Variabel Terikat)

Kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku

Ditemukannya telur cacing pada sampel kotoran kuku siswa kelas 4, 5, 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya

Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung

-Pemeriksaa n kotoran kuku dengan metode sedimentasi 0 = terkontaminasi 1 = tidak terkontaminasi

Nominal

(Variabel Bebas)

Aspek personal higiene siswa kelas 4, 5, dan 6 yaitu : -Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun -Kebiasaan memotong kuku

Aspek perilaku berisiko siswa kelas 4, 5, dan 6, yaitu :

-Mencuci tangan sebelum makan menggunakan sabun -Mencuci tangan setelah buang air besar

menggunakan sabun -Mencuci tangan setelah bermain di tanah menggunakan sabun

-Memotong dan membersihkan kuku secara teratur 1 minggu sekali dan tidak ada kotoran kehitaman di sekitar kuku.

-Bermain menggunakan tangan di lingkungan

-Wawancara dengan kuesioner

0 = Tidak pernah/kadang-kadang 1 = Selalu

Baik ≥ 2

Kurang baik <2

0 = Lebih dari seminggu sekali 1= Seminggu sekali Baik = 1 Kurang baik = 0

Selalu (setiap hari)/kadang-kadang= 0


(71)

50

-Kebiasaan bermain tanah

-Kebiasaan menggaruk anus

yang masih tanah.

-Menggaruk anus menggunakan tangan di malam hari

Tidak Pernah = 1 Baik = 1

Kurang baik = 0

Selalu/Kadang-kadang = 0 Tidak Pernah = 1

Baik = 1 Kurang baik = 0

F.Prosedur Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2005) berikut prosedur yang akan dilakukan pada penelitian ini.

Memotong kuku dengan gunting kuku dan dikumpulkan dalam pot plastik 20 ml

Melakukan wawancara dengan responden

Melakukan persiapan pemeriksaan kotoran kuku dengan metode sedimentasi

Menambahkan 10 ml KOH 1% kemudian tunggu 30 menit

Mengaduk lalu menuangkan ke tabung sentrifuge


(72)

51

Mengambil sedimen dengan menggunakan pipet dan meletakkannya di atas objek gelas, lalu menutup dengan cover glass

Melakukan pemeriksaan dengan mikroskop pembesaran 40x

Melakukan pencatatan hasil

Melakukan pengolahan data

G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Sampel yang diambil memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

1. Siswa kelas 4, 5, dan 6 yang bersekolah di SD Negeri 1 Pinang Jaya Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung.

2. Sampel bersedia menjadi subjek penelitian dan mengikuti semua proses penelitian.

Adapun kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Siswa yang memiliki gangguan berbicara.

2. Siswa berhalangan hadir saat penelitian.

3. Siswa menggunting kuku sebelum dilakukannya penelitian.

H. Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan pengumpulan data primer berupa kuesioner yang akan ditanyakan kepada siswa yang terpilih menjadi responden dengan


(73)

52

metode wawancara dan pengambilan sampel kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung pada bulan Oktober 2012.

I. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan, akan diolah menggunakan program SPSS 16.0. for windows. Proses pengolahan data terdiri dari beberapa langkah, yaitu :

a. Editing, untuk melakukan pengecekan kuesioner mengenai data yang diharapkan lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukan data kedalam komputer.

d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukan ke komputer.

Untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan analisis data bivariat. Analisis data univariat adalah dimana variabel-variabel yang ada dianalisis untuk memberikan gambaran mengenai kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun, kebiasaan memotong kuku, kebiasaan


(74)

53

bermain tanah, kebiasaan menggaruk anus dan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa di SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung.

Analisis data bivariat adalah untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan aspek personal higiene dan aspek perilaku berisiko dengan kontaminasi telur cacing pada kotoran kuku siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel nominal dengan variabel nominal maka uji statistik yang digunakan adalah uji kai kuadrat (chi square), yaitu :

∑ (f0– fh)2

χ 2 =

fh

Keterangan :

χ 2

= Kai kuadrat

f0 = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

fh = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian dengan α = 0,05

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk uji chi square yaitu :


(75)

54

2. Sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel.

3. Bila jumlah subjek penelitian >40, tanpa melihat nilai expected.

Namun, jika data yang diperoleh tidak memenuhi syarat untuk uji chi square maka akan digunakan uji alternatifnya yaitu uji fisher (Dahlan, 2010).

Keeratan suatu hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas dapat diketahui dengan menggunakan rumus Koefesien Kontingensi

(Contingency Coefficient) yaitu :

C =

Keterangan :

C = Koefisien Kontingensi

X2 = Harga chi-square yang diperoleh

N = Jumlah semua dalam tabel fh (Priyatno, 2008)

Selanjutnya menilai keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat digunakan kriteria sebagai berikut :

Indeks 0,000 sampai 0,199 berarti hubungan sangat lemah Indeks 0,200 sampai 0,399 berarti hubungan lemah Indeks 0,400 sampai 0,599 berarti hubungan sedang


(76)

55

Indeks 0,600 sampai 0,799 berarti hubungan kuat Indeks 0,800 sampai 1,000 berarti hubungan sangat kuat


(77)

92

DAFTAR PUSTAKA

Agustina. 2000. Telur Cacing Ascaris Lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta pada tanah di Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung, Jawa Barat,Skripsi, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Azwar, A. 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara

Behrman, R.E., Kliegman, R. dan Arvin, A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.1. EGC. Jakarta. Hal : 70-71.

Brown, W.H. 1983. Dasar Parasitologi Klinis, Penerjemah Rukmono. Jakarta

Chaisalee, T. Tukaew, A. Wiwanitkit, V. Suyaphan, A. 2001. Very High Prevalence

of Enterobiasis Among the Hilltribal Children in Rural District “Mae Suk” .

Medscape General Medicine. Thailand

Chandra,V. 2010. Gambaran Kontaminasi Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Negeri 060891 Kecamatan Medan Baru tentang Infeksi Cacing Tahun 2010, Skripsi, Medan : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Ching, C.W. 2010. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminths di Dusun II Desa Sidomulyo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tahun 2010, Skripsi, Medan : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara


(78)

93

Chukiat, S. Chanathep, P. Pataropora, W. Areewan, L. Pornthep, C. 2000. Prevalence of Enterobiasis and Its Incidence After Blanket Chemotherapy in a Male Orphanage.

Dahlan, S. 2004. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

DepKes RI. 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi. Jakarta

_________. 2001. Pedoman Modul dan Materi Pelatihan “Dokter kecil”. Jakarta.

Effendy, D. 2006. Analisis Faktor Yang Berhubungan dengan Infeksi Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri 70 Kelurahan Bagan Deli, Skripsi, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Emiliana, T. 1991. Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminths di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No.72, hal 12-16

Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology. Edisi 4. ASM Press. Washington DC.

Gusrianti. 2001. Pemeriksaan Kotoran Kuku Murid SD Negeri No.15 Limo Kampuang Kecamatan Banuhampu Sei Puar Kabupaten Agam, Skripsi, Padang : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas.

Ilham, Z. 2011. Hubungan Antara Perilaku Siswa Dengan Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted Helminths di SD Negeri 2 Kampung Baru Bandar Lampung, Skripsi, Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.


(1)

2. Sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel.

3. Bila jumlah subjek penelitian >40, tanpa melihat nilai expected.

Namun, jika data yang diperoleh tidak memenuhi syarat untuk uji chi square maka akan digunakan uji alternatifnya yaitu uji fisher (Dahlan, 2010).

Keeratan suatu hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas dapat diketahui dengan menggunakan rumus Koefesien Kontingensi (Contingency Coefficient) yaitu :

C =

Keterangan :

C = Koefisien Kontingensi

X2 = Harga chi-square yang diperoleh

N = Jumlah semua dalam tabel fh (Priyatno, 2008)

Selanjutnya menilai keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat digunakan kriteria sebagai berikut :

Indeks 0,000 sampai 0,199 berarti hubungan sangat lemah Indeks 0,200 sampai 0,399 berarti hubungan lemah Indeks 0,400 sampai 0,599 berarti hubungan sedang


(2)

Indeks 0,600 sampai 0,799 berarti hubungan kuat Indeks 0,800 sampai 1,000 berarti hubungan sangat kuat


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina. 2000. Telur Cacing Ascaris Lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta pada tanah di Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung, Jawa Barat,Skripsi, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Azwar, A. 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara

Behrman, R.E., Kliegman, R. dan Arvin, A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.1. EGC. Jakarta. Hal : 70-71.

Brown, W.H. 1983. Dasar Parasitologi Klinis, Penerjemah Rukmono. Jakarta

Chaisalee, T. Tukaew, A. Wiwanitkit, V. Suyaphan, A. 2001. Very High Prevalence of Enterobiasis Among the Hilltribal Children in Rural District “Mae Suk” . Medscape General Medicine. Thailand

Chandra,V. 2010. Gambaran Kontaminasi Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Negeri 060891 Kecamatan Medan Baru tentang Infeksi Cacing Tahun 2010, Skripsi, Medan : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Ching, C.W. 2010. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminths di Dusun II Desa Sidomulyo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tahun 2010, Skripsi, Medan : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara


(4)

Chukiat, S. Chanathep, P. Pataropora, W. Areewan, L. Pornthep, C. 2000. Prevalence of Enterobiasis and Its Incidence After Blanket Chemotherapy in a Male Orphanage.

Dahlan, S. 2004. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

DepKes RI. 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi. Jakarta

_________. 2001. Pedoman Modul dan Materi Pelatihan “Dokter kecil”. Jakarta.

Effendy, D. 2006. Analisis Faktor Yang Berhubungan dengan Infeksi Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri 70 Kelurahan Bagan Deli, Skripsi, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Emiliana, T. 1991. Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminths di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No.72, hal 12-16

Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology. Edisi 4. ASM Press. Washington DC.

Gusrianti. 2001. Pemeriksaan Kotoran Kuku Murid SD Negeri No.15 Limo Kampuang Kecamatan Banuhampu Sei Puar Kabupaten Agam, Skripsi, Padang : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas.

Ilham, Z. 2011. Hubungan Antara Perilaku Siswa Dengan Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted Helminths di SD Negeri 2 Kampung Baru Bandar Lampung, Skripsi, Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.


(5)

Khomsan, A. 2002. Kaitan Pengetahuan, Perilaku, dan Kebiasaan dengan Infeksi Kecacingan pada Pekerja Pembuatan Bata Merah di Desa Mekar Mukti. Cikarang.

Lohiya, G.S., Tan, F.L., Crinella, Francis, M., Lohiya, S. 2000. Epidemiologi and Control of Enterobiasis in a Developmental Center. Western Journal of Medicine.

Mahfudin, H., P. Hadidjaja., I.S. Ismid dan V. Liana.1994. Pengaruh cuci tangan terhadap reinfeksi Ascaris lumbricoides. Majalah Parasitologi Indonesia

Margono, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. BPFKUI. Jakarta

Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta

_____________. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Onggowaluyo, S.J. 2001. Parasitologi Medik 1 Helminthologi. EGC. Jakarta

Pramono, H.S. 2011. Hubungan Status Gizi Anak, Pendidikan Orang Tua dan Status Ekonomi Keluarga Dengan Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Siswa Kelas 3, 4 dan 5 di SD Negeri 2 Kampung Baru Bandar Lampung, Skripsi, Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Prianto, L. A. , Tjahaga P. A., Darwanto. 1994. Atlas Parasitologi Kedokteran. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Priyatno, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Mediakom. Yogyakarta.

Purba, J. 2005. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Kotoran Kuku dan Higiene Siswa Sekolah Dasar Negeri 106160 Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2005, Skripsi, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.


(6)

Puspita, A. 2009. Prevalensi cacing A.lumbricoides, Cacing Tambang dan Trichuris trichiura Setelah Lima Tahun Program Eliminasi Filariasis di Desa Mainang, Alor, NTT, Skripsi, Jakarta : Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Sadjimin, T. 2000. Gambaran Epidemiologi Kejadian Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol 4, hal 1-2,6

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung, SK No : G/66/III.05/HK/2012, diakses tanggal 26 November 2012,

<http://disnakertrans.lampungprov.go.id/umk-kabupaten-kota-se-provinsi-lampung/>

Sudomo, M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Jakarta.

Wachidaniyah. 2002. Pengetahun, sikap dan perilaku anak serta lingkungan rumah dan sekolah dengan kejadian infeksi cacing anak SD, Tesis, Jogjakarta : Universitas Gajah Mada

Yuliati, O.S. 1994. Enterobiasis pada Anak Usia Dibawah 6 Tahun di Desa Cikaret. Cermin Dunia Kedokteran.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN KELAS VIII SMP NEGERI 8 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2011/2012

11 33 64

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEMONSTRASI PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PANJANG UTARA BANDAR LAMPUNG

0 10 47

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPA DENGAN PENERAPAN METODE DISKUSI PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 RAJABASA JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2011-2012

0 15 47

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENEMUAN SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

0 14 55

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

4 40 53

HUBUNGAN ASPEK PERSONAL HIGIENE DAN ASPEK PERILAKU BERISIKO DENGAN KONTAMINASI TELUR CACING PADA KOTORAN KUKU SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SEKOLAH DASAR NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

2 35 80

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DALAM BERKOMUNIKASI DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DI SEKOLAH PADA SISWA KELAS VII SMP TUNAS HARAPAN BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

1 11 89

PEMBELAJARAN MEMBACA ASPEK KEBAHASAAN PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 13 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

3 99 67

HUBUNGAN BUDAYA SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN SEKOLAH EFEKTIF DI SEKOLAH DASAR SE-KECAMATAN LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2014/2015

1 13 72

HUBUNGAN PERANAN GURU SEKOLAH DASAR NEGERI DENGAN PEMBINAAN SIKAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI SE-KECAMATAN LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015

0 13 53