HUBUNGANANTARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP) KLAS I KEDUNGPANE SEMARANG

(1)

i

HUBUNGANANTARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA NARAPIDANA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP) KLAS I KEDUNGPANE

SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh Nur Fadhilah NIM. 6411410030

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015


(2)

ii

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Maret 2015

ABSTRAK Nur Fadhilah

Hubungan AntaraPenyalahgunaan Narkoba dengan Fungsi Kognitif pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas I Kedungpane Semarang, XIV+ 96 halaman+ 14 tabel + 2 gambar + 10 lampiran

Penyalahgunaan narkoba secara berulang akan mengganggu sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter di dalam susunan syaraf sentral, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi kognitif, fungsi afektif, psikomotorik dan komplikasi medik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana di LP Klas 1 Kedungpane Semarang.

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian meliputi seluruh narapidana penyalahguna narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang berjumlah 45 orang. Pengambilan sampel penelitian digunakan metode simple random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar kuesioner Mini Mental State Eximination (MMSE). Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan uji statistik chisquare dan alternatifnya yaitu uji Fisher setelah dilakukan penggabungan sel dengan derajat kemaknaan (α =5%) =0,05.

Simpulan dari penelitian ini yaitu, Penyalahgunaan narkoba tidak berhubungan secara signifikan dengan fungsi kognitif pada narapidana narkoba di lapas Klas 1 kedungpane semarang. Saran bagi narapidana narkoba di Lapas Klas 1 Kedungpane Semarang yaitu sebaiknya meningkatkan latihan fisik menjadi dua sampai lima kali perminggu dengan tujuan supaya meningkatkan aliran darah regional pada area otak dan meningkatkan stimulasi fisik dan mental untuk memperbaiki fungsi kognitif. Sedangkan bagi peneliti lain, saran yang diberikan adalah Perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang terapi latihanfisik untuk memperbaiki gangguan fungsi kognitif pada narapidana narkoba.

Kata Kunci: Fungsi Kognitif , Narapidana Narkoba , Penyalahgunaan Narkoba Kepustakaan: 54 (1995-2014)


(3)

iii

Public Health Department Sport SciencesFaculty Semarang State University March 2015

ABSTRACT

Relation between abuse drug with cognitive in prisoner at Pemasyarakatan (LP) class I Kedungpane Semarang

XIV+ 96 pages+ 14 Tables+ 2 Pictures+ 10 Appendix

Abuse of the drug by continue that will disturb signal to deliver nerve which is neurotransmitter system in the central struture of nerve. So, it causes disruption of the cognitive function, affective function, psychomotor and medical complications. The aim of the research is that know the relationship between abuse drug with cognitive function in prisoner at LP class 1 Kedungpane Semarang.

The kinds of this research is survey analytic with plan cross sectional. The population of research cover all prisonerss abuse drug at LP class 1 Kedungpane Semarang with amount 45 person. The taking sample of the research uses simple random sampling method. Instrument of the research uses questioner Mini Mental State Eximination (MMSE). Data are get in the research which is process by using stastistics chisquare and alternative is Fisher test after with degree of meaning (α =5%) =0,05.

The conclution of the research is the abuse of drug does not significant influence to cognitive function in drug’s prisoner at LP class 1 Kedungpane Semarang. The suggestion for drug’s prisoner at LP class 1 Kedungpane Semarang is the prisoner that should increase the physical exercises two until five every week. The aim of the physical exercises so that increase the current of regional blood in the brain areas, increase the physical stimulation and mental to repair cognitive function. While for other researcher, the suggestion is gave that is necessary to do the next research about therapy physical exercises to repair trouble in drug’s prisoner.

Keyword: Kognitive function, Drug’s prisoner, Drug Abuse Bibliogrphy: 54 (1995-2014)


(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP) KLAS I KEDUNGPANE SEMARANG” adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah digunakan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian manapun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam daftar pustaka.

Semarang, 12 Maret2015


(5)

(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Tiga macam doa yang pasti dikabulkan (mustajabah), yang sama sekali tidak ada keraguan tentang itu, yaitu: doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpergian (musafir), dan doa orang teraniaya."(HR. Bukhari, Muslim, dari Abi Hurairah)

"Keridhaan Allah terletak pada keridhaan ibu bapak dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan ibu bapak." (HR. Tirmidzi)

"Doa orang tua untuk anaknya bagaikan doa nabi untuk umatnya."(HR.ad-Dailami)

Persembahan

Saya persembahkan skripsi ini kepada: 1. Bapakku (Duryat)dan Ibuku (Trisnawati)

tercinta

2. Adikku (Dhina Mahfira) dankeluargaku tersayang

3. Hendri, Eka, Airi, Mamih Diah, Puji, Kori, Isa, Wanti dan Teman-teman IKM 2010 4. Almamaterku


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“HUBUNGAN ANTARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DENGAN

FUNGSI KOGNITIF PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN (LP) KLAS I KEDUNGPANE SEMARANG”dengan baik dan lancar.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Drs. Harry Pramono, M.Si.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Irwan Budiono, S.KM., M.Kes.

3. Dosen Pembimbingdr. Intan Zainafree, M.H.Kes. yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini

4. Dosen penguji pertama Sofwan Indarjo, S.KM., M.Kes. dan penguji kedua dr. Fitri Indrawati, M.P.H. atas kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bekal ilmu pengetahuan yang diberikan selama kuliah.


(8)

viii

6. Bapak Drs. Supratiknyo, MH., selaku Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENHUKHAM) dan A. Yuspahruddin BH, Bc.IP, SH, MH. selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas ijin penelitian yang telah diberikan.

7. Ibu Ari Tris Ochtia Sari, S Psi., selaku kepala seksi bimbingan kemasyarakatan sekaligus Psikolog di Lapas Kedungpane Semarang yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. Bapak Daru, selaku Pembina narapidana di LP Kedungpane Semarang yang telah membantu penulis dalam perijinan dan berbagai pengalaman, serta staff di LP Kedungpane Semarang.

8. Seluruh responden atas partisipasinya dalam pelaksanaan penelitian.

9. Teman-teman Jurusan IKM angkatan 2010 atas kekompakan dan kerjasamanya. 10. Semua pihak yang terlibat, atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga amal dan keikhlasan semua pihak mendapat balasan dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, 12 Maret 2015 Penulis


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

PERNYATAAN ... iv

PERSETUJUAN ... v

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penelitian ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11


(10)

x

2.2 Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ... 11

2.3 Jenis-jenis Program Pembinaan Lapas Klas I Kedungpane Semarang ... 12

2.4 Pengertian Narkoba ... 16

2.5 Penggolongan Narkoba ... 17

2.6Mekanisme Kerja Narkoba dalam Tubuh ... 22

2.7 Pengertian Fungsi Kognitif ... 24

2.8Patofisiologi Gangguan Kognitif ... 24

2.9Faktor Risiko terjadinya gangguan kognitif ... 25

2.10Diagnosis Gangguan Fungsi Kognitif ... 28

2.11MMSE (Mini Mental State Examination) ... 29

2.12 Kerangka Teori... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Kerangka Konsep ... 32

3.2 Variabel Penelitian ... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ... 33

3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 33

3.5 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 35

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

3.7 Sumber Data Penelitian ... 38

3.8 Instrumen Penelitian... 39

3.9 Teknik Pengambilan Data ... 39


(11)

xi

3.11 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN 44 ... 43

4.1 Gambaran Umum ... 43

4.2 Hasil Penelitian ... 49

BAB V PEMBAHASAN ... 56

5.1 Analisis Hasil Penelitian ... 56

5.2 Kelemahan Penelitian... 64

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1 Simpulan ... 65

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(12)

xii

DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 1.1: Keaslian Penelitian ... 8

Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 33

Tabel 4.1: Jumlah Pegawai Lapas ... 46

Tabel 4.2: Jenis Kelamin Penghuni Lapas ... 47

Tabel 4.3: Status Penghuni Lapas ... 47

Tabel 4.4: Macam Tindak Pidana ... 48

Tabel 4.5: Macam Narapidana Narkoba ... 48

Tabel 4.6: Distribusi UsiaResponden ... 49

Tabel 4.7: Distribusi Pendidikan Responden ... 50

Tabel 4.8: Distribusi Lama Penyalahgunaan Narkoba ... 50

Tabel 4.9: Fungsi Kognitif ... 51

Tabel 4.10: Lama di Lapas ... 51

Tabel 4.11: Hasil Tabulasi Silang 2x2 Usia dengan Fungsi Kognitif ... 52

Tabel 4.12: Hasil Tabulasi Silang 2x2 Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif ... 53

Tabel 4.13: Hasil Tabulasi Silang 2x2 Lama Penyalahgunaan Narkoba dengan Fungsi Kognitif ... 54


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1: Kerangka Teori... 31 Gambar 3.1: Kerangka Konsep ... 32


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing ... 73

Lampiran 2: Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Ilmu Keolahragaan... 74

Lampiran 3: Surat Ijin Penelitian dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENHUKHAM) ... 75

Lampiran 4: Data Jumlah Tahanan dan Narapidana di Lapas Klas I Kedungpane Semarang... 76

Lampiran 5: Data Jumlah Pidana Narkoba Pengguna di Lapas Klas I Kedungpane Semarang... 77

Lampiran 6: Kuesioner MMSE ... 78

Lampiran 7: Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 83

Lampiran 8: Analisis Univariat ... 85

Lampiran 9: Analisis Bivariat ... 87


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Narkoba, singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lain, merupakan bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga jika disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial (Sumadi, 2013). Narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan (BNN, 2010).

Dalam dunia kedokteran narkotika merupakan suatu zat atau obat yang bermanfaat untuk mengobati penyakit tertentu. Contoh narkotika yang biasa dipakai untuk pengobatan yaitu morfin, zat ini dipakai untuk penghilang rasa sakit dan pembiusan pada suatu operasi, serta kodein dipakai untuk penghilang batuk. Sedangkan psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (Gono, 2007). Namun, seiring berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negatif, seseorang yang pada awalnya awam terhadap narkoba berubah menjadi seorang pecandu yang sulit terlepas dari ketergantungannya.

World Drug Report (2012) menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat sekitar 230 juta orang atau sekitar 5% penduduk dunia usia 15-64 tahun yang


(16)

menyalahgunakan obat setidaknya satu kali dalam 12 bulan. Dari semua jenis penyalahgunaan obat, ganja merupakan zat yang paling banyak digunakan yaitu antara 119 juta sampai 224 juta (UNODC, 2012).Laporan badan PBB untuk Obat dan Kriminalitas pada tahun 2013 menemukan bahwa sudah ada 236 jenis obat-obatan baru selang waktu 2005-2012. Laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2013 juga mengatakan bahwa Asia merupakan daerah terbesar kedua sebagai tempat munculnya jenis-jenis obat narkotika baru. Daerah-daerah di Asia didominasi oleh Asia timur dan Asia Tenggara (Brunei Darussalam, China, Hongkong, Indonesia, Japan, Phillippines, Singapore, Thailand, Vietnam) (Robert, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2011, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba 2,2% dari total populasi penduduk Indonesia berusia 10 tahun hingga 59 tahun. Angka prevalensi diprediksikan meningkat menjadi 2,8% pada tahun 2015. Badan Narkotika Nasional (BNN) juga melaporkan pengguna narkotika dan obat terlarang di Indonesia per 2012 meningkat menjadi 4 juta orang atau meningkat 2 persen dari populasi dan meningkat dari riset sebelumnya yang sebesar 3,8 juta jiwa (Lilis H., 2014). Sedangkan pada tahun 2013 penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah mencapai 4,58 juta. Dengan demikian jumlah tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya (Abdullah, 2013).

Peningkatan kasus narkoba juga berdampak dengan meningkatnya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia, baik yang berstatus


(17)

narapidana ataupun narapidana. Berdasarkan SDP (Sistem Database Pemasyarakatan) diketahui bahwa penghuni lapas di Indonesia pada tahun 2014 berjumlah 166.109 orang. Dari jumlah tersebut sekitar 33%-nya adalah para narapidana dan narapidana yang tersangkut narkoba (Kementrian Hukum dan HAM, 2014). Berita kriminal di media massa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita tentang penyalahgunaan narkoba. Korban narkoba meluas ke semua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang, supir angkot, anak jalanan, pekerja, dan lain sebagainya (Fransiska, 2011).

Berdasarkan Data Direktorat Tindak Pidana Narkoba pada tahun 2011, jumlah tersangka kasus Narkoba di Jawa Tengah dari tahun 2007 sampai 2011 yang berperan sebagai konsumen mencapai 2.343 orang (BNN, 2012). Sedangkan dari Data yang dimiliki BNN sampai akhir 2013, di Jawa Tengah sudah 340 orang menjadi tersangka narkoba. Maka, Jateng berada di urutan ke-9 dalam kasus narkoba dibawah DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Barat (Abdullah, 2013). Penyalahgunaan narkoba di Kota Semarang juga mengalami peningkatan. Dilihat dari meningkatnya jumlah perkara terkait narkoba di Pengadilan Negeri Semarang. Bahkan, penyalahgunaan narkoba sudah mendominasi jumlah perkara pidana khusus yang disidangkan. Tahun 2011 Pengadilan Negeri Semarang menyidangkan 119 perkara narkoba dari total 879 perkara. Jumlah itu meningkat di tahun 2012, yakni 125 perkara. Di tahun 2012 ada 299 perkara pidana khusus dan 933 pidana umum. Serta kembali mengalami peningkatan dari 908 kasus pada


(18)

tahun 2012 menjadi 910 kasus pada tahun 2013. Tersangka yang diamankan juga lebih banyak, dari 925 orang meningkat menjadi 935 orang (Handriana, 2013).

Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006 di 33 provinsi di Indonesia bahwa penyalahgunaan alkohol, rokok dan zat adiktif lebih tinggi pada pria daripada perempuan. Hasil dari survei tersebut juga didapatkan bahwa penggunaan narkoba jenis injeksi lebih tinggi pada pria daripada perempuan dengan rasio 8 banding 1 (BNN, 2006). Hal ini disebabkan karena pria cenderung lebih ekspresif daripada perempuan serta lebih berani dalam melakukan hal-hal yang mengandung risiko tinggi (Kurniawati, 2010).

Davison (2004) menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba menyebabkan seseorang mengalami kemunduran mental, perubahan mood, gangguan afektif, dan kepribadian adiksi. Begitu pula menurut Sarwono (2011), pemakaian zat narkoba secara berulang akan mengganggu sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter di dalam susunan syaraf sentral, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi kognitif, fungsi afektif, psikomotorik dan komplikasi medik.

Menurut National Institute on Drug Abuse (NIDA), penyalahgunaan narkoba akan membawa konsekuensi pada kesehatan baik selama intoksikasi (akut), menetap (berjalan lama tetapi tidak permanen), dan yang berlangsung lama (kronis). Dampak yang diakibatkan selama intoksikasi adalah penurunan ingatan jangka pendek, penurunan (perhatian, pertimbangan dan fungsi kognitif lainnya), kerusakan koordinasi dan keseimbangan, serta meningkatnya denyut jantung.


(19)

Dalam jangka yang lebih lama akan mengakibatkan penurunan daya ingat dan ketrampilan belajar dan dalam jangka panjang dapat menjadi adiksi atau ketagihan, peningkatan resiko terkena batuk kronis, bronchitis, dan episema, serta peningkatan resiko terkena kanker pada bagian kepala, leher, dan paru (NIDA, 2005).

Beberapa penelitian sampai saat ini masih lebih banyak menunjukkan betapa penggunaan ganja dan zat psikoaktif lainnya dalam kehidupan manusia tetap merugikan. Herning dan cadet (2001) bersama National Institute on Drug Abuse (NIDA) melaporkan hasil penelitiannya dimana bukti-bukti awal menunjukkan bahwa penyalahgunaan ganja yang kronis dapat menghambat aliran darah ke otak dan meningkatkan resiko terkena stroke pria dengan usia 18 sampai 30 tahun. Penelitian juga menemukan bahwa aliran darah dalam otak orang dewasa muda yang menyalahgunakan ganja sebanding dengan orang tua berumur 60 tahun yang tidak menyalahgunakan ganja (NIDA, 2002).

Seorang pengguna heroin selama 3 tahun, salah satu ginjalnya harus diangkat dan fungsi hatinya menurun. Pecandu alkohol dapat mengalami tukak lambung, kanker usus, juga berakibat sirosis hati dan kanker hati. Sindroma ketergantungan menimbulkan terjadinya ketergantungan fisik dan psikis sehingga tubuh memerlukan jumlah narkoba yang makin bertambah karena efek toleransi (Somba, 2014).

Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 11 Maret 2014 di LP Klas 1 Kedungpane Semarang dengan melakukan wawancara terhadap pegawai lapas, diperoleh informasi bahwa narapidana narkoba masih mengalami


(20)

ketergantungan karena sering ditemukan penyelundupan narkoba kedalam lapas dengan berbagai macam cara, dan pernah ditemukan narapidana yang memakai narkoba di dalam lapas. Keberadaan mereka didalam lapas tidak menjamin para narapidana sudah lepas dari narkoba. Maka peneliti melakukan tes kognitif yang meliputi penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa dengan skor sempurna adalah 30. Tes dilakukan pada 5 narapidana, mereka berusia 24-30 tahun dengan latar belakang pendidikan dan lama pemakaian narkoba yang berbeda maka ditemukan 4 dari 5 narapidana tersebut dicurigai mengalami gangguan kognitif karena skor mereka dibawah skor normal yaitu <24 dan skor kognitif untuk subyek berpendidikan ≤ 27.

Dalam penelitian Okkywulandari (2014), kadar timbal remaja jalanan DIY tidak berhubungan secara bermakna dengan skor MMSE dan CDT. Variabel lain yang berhubungan dengan gangguan kognitif adalah penyalahgunaan narkoba, lama dijalanan, tekanan darah diastole dan lama pendidikan.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana di LP Klas 1 Kedungpane Semarang.

1.2Rumusan masalah 1.2.1 Umum

Berdasarkan latar belakang di atas, maka timbul permasalahan yaitu adakah hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana di LP Klas 1 Kedungpane Semarang?


(21)

1.2.2 Khusus

1.2.2.1 Apakah usia berhubungan dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang?

1.2.2.2 Apakah pendidikan berhubungan dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang?

1.2.2.3 Apakah lama penyalahgunaan narkoba berhubungan dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang?

1.2.2.4 Apakah lama di lapas berhubungan dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang?

1.3Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana di LP Klas 1 Kedungpane Semarang.

1.4Manfaat

1.4.1 Bagi LP Kedungpane Klas 1 Semarang

Memberikan informasi kepada instansi terkait mengenai hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif dan dapat dijadikan pertimbangan dalam pemberian terapi dan latihan fisik untuk pemulihan kondisi narapidana narkoba.


(22)

Memberikan informasi kepada narapidana narkoba mengenai hubungan antara penyalahgunaan narkoba terhadap fungsi kognitif agar lebih memahami bahaya narkoba bagi kesehatan.

1.4.3 Bagi Peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh narkoba terhadap fungsi kognitif narapidana narkoba.

1.5Keaslian penelitian

Keaslian penelitian dapat digunakan untuk membedakan penelitian yang dilakukan sekarang dengan penelitian sebelumnya (tabel 1.1).

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Judul penelitian Nama Peneliti Tahun dan Tempat Penelitian Rancangan Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian Pengaruh Narkoba terhadap Kesehatan Periodontal Narapidana Narkoba di Poltabes Ms Hubungan Kadar TimbalDala m Darah Beby Ayu Pratiwi Clara Valencia Okkywula ndari 2009, Sumatera Utara 2014, Yogyakarta Teknik wawancara dan pengukuran Cross sectional Variabel bebas: pengaruh narkoba Variabel terikat: kesehatan periodontal Variabel bebas: Kadar Timbal Dalam Darah Ada pengaruh narkoba terhadap kesehatan periodontal narapidana narkoba Poltabes MS. Shabu memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kondisi kesehatan periodontal dibandingkan dengan ganja pada narapidana narkoba Kadar timbal remaja jalanan DIY tidak

berhubungansecara bermaknadengan skor


(23)

Lanjutan (Tabel 1.1)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

dengan Gangguan Kognitif Remaja Jalanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hubungan Dukungan Sosial terhadap Depresi Remaja Mantan Penyalahgun aan Napza di Lembaga Pemasyaraka tan Klas IIa Pondok Bambu Jakarta Timur Tahun 2009 Heni Nurhaen 2009, Jakarta Timur Deskriptif korelasional Variabel terikat: Gangguan Kognitif Variabel bebas: dukungan sosial Variabel terikat: Depresi remaja

MMSE dan CDT. Variabel lain yang berhubungan dengan gangguan kognitif adalah penyalahgunaan narkoba, lama di jalanan, tekanan darah diastole dan lama pendidikan Hasil penelitian menunjukkan perbedaan depresi pada remaja penyalahgunaan NAPZA menurut riwayat kehilangan orang yang dicintai. Ada hubungan antara dukungankeluarga dengan depresi pada remaja penyalahgunaan NAPZA, uji korelasi menunjukkan variabel skor dukungan sosialtidak memiliki hubungan (r = –0,038) yang bermakna dengan depresi pada remaja penyalahgunaanNA PZA di

LapasPondok Bambu, Jakarta Timur dalam batas


(24)

kepercayaan 5% (p = = 0,671)

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian mengenai hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana narkoba di Lembaga Permasyarakatan Klas 1 Kedungpane Semarang.

2. Variabel terikat penelitian ini adalah fungsi kognitif. 1.6Ruang lingkup penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilakukan di LP Klas 1 Kedungpane Semarang. 1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014 1.6.3 Ruang Lingkup Materi

Materi penelitian ini dibatasi pada pengaruh penyalahgunaan narkoba terhadap fungsi kognitif yang menyangkut materi dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya mengenai perilaku kesehatan dan psikologi kesehatan.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan

Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya Harsono (1995) mengatakan narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman dan Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem peradilan pidana dan pelaksanaan putusan pengadilan (hukum) di dalam kenyataannya tidak mempersoalkan, apakah seseorang terbukti bersalah atau tidak (Panjaitan, 1995). Lembaga pemasyarakatan (Lapas) adalah suatu tempat bagi penampungan dan pembinaan manusia yang karena perbuatannya dinyatakan bersalah dan diputuskan oleh hakim dengan pidana penjara.

2.2 Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Sahardjo mengemukakan beberapa fungsi Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana yang dikutip oleh Petrus Irawan Panjaitan (1995), pembinaan narapidana meliputi:

a. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina


(26)

b. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan

c. Pembinaan berencana, terus-menerus, dan sistematis

d. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan dan kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Pembinaan narapidana di Lapas mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang berbudi pekerti yang baik. Dan salah satu tujuannya yaitu berusaha ke arah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, menjadi seseorang yang benar-benar sesuai dengan jati dirinya. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) Warga Binaan Pemasyarakatan dengan/ ke dalam masyarakat. Khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat.

2.3 Jenis-jenis Program Pembinaan Lapas Klas I Kedungpane Semarang 2.3.1 Program Mapenaling/Admisi Orientasi

Merupakan program masa awal penelitian, pengamatan dan pengenalan lingkungan yang dilakukan terhadap narapidana yang baru di Lapas Klas I Semarang.


(27)

a. Mapenaling

1. Penelitian Latar belakang warga binaan (Pendidikan, pekerjaan, pidana, keluarga, dsb.)

2. Pengamatan (sikap, perilaku, tutur kata, dsb.)

3. Pengenalan lingkungan (Hak, Kewajiban, larangan, dan sanksi, jadwal kegiatan harian, program pembinaan, ruang/tempat penyelenggaraan kegiatan).

b. Pengenalan pembinaan kerohanian

c. Pengenalan bimbingan mental dan meditasi berupa Psikoterapi yang meliputi: 1. Assesment (Tes Depresi)

2. Psikospiritual

a) SEFT (Self Emotional Freesom Technique) b) ESQ (Emotional Spiritual Question)

c) Yoga

d) Senam ritmik dan pernapasan e) Hipnoteraphy

3. Psikososial

a) RET (Rational Emotive Therapy) b) CBT (Cognitive Behaviour Therapy) c) Psycolanguage

d. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara e. Pembinaan kesadaran hukum


(28)

2.3.2 Program Pembinaan

Pembinaan dan bimbingan yang dilakukan di Lapas Klas I Semarang berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Warga Binaan, dibagi kedalam dua bidang yaitu:

2.3.2.1 Pembinaan Kepribadian

Adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual, Sikap dan Perilaku, Profesional, Kesehatan Jasmani dan Rohani narapidana.

1. Pembinaan Mental Spiritual

a. Kegiatan Agama Islam, meliputi sholat wajib berjamaah dan sholat jum’at, program baca tulis Al Quran, Madrasah Diniyah, Mujahadah, Pengajian Bakdal Dhuhur, Diba’an, Sholat Idul Fitri dan Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

b. Kegiatan Agama Kristen/Katolik, meliputi Kebaktian Pembinaan Iman, Kebaktian Kebangunan Rohani, Pendalaman Alkitab, Ibadah dan perayaan paskah, ibadah dan perayaan pentakosta, Ibadah dan perayaan kenaikan isa al masih, Ibadah dan perayaan natal dan tahun baru.

2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara dengan mengadakan Upacara Kesadaran Nasional dilaskanakan upacara setiap tanggal 17 tiap bulan dan Upacara Hari Besar Kenegaraan.

3. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) a. Kursus dan latihan keterampilan.


(29)

c. Kegiatan Perpustakaan.

d. Memperoleh informasi dari luar melalui majalah, radio, televisi.

4. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang berperkara narkoba, antara lain:

a. Penyuluhan setiap bulan bekerja sama dengan Yayasan Wahana Bakti Sejahtera Semarang

b. Pojok informasi setiap Selasa dan Kamis bekerja sama dengan Yayasan Wahana Bakti Sejahtera Semarang

c. Penerbitan Buletin Tobat dua kali setiap bulan

5. Pembinaan kesadaran hukum, menyelenggarakan kegiatan berupa Ceramah dan Temu Wicara.

6. Pembinaan Kesenian, berupa Band (Musik), Gamelan/Karawitan dan Marawis

7. Pembinaan Jasmani (Olahraga) meliputi bola voli, bulu tangkis, tenis meja dan footsall

8. Pembinaan Kemandirian

a. Pendataan keahlian dan ketrampilan kerja b. Pengelompokan bidang kerja

c. Pengenalan kegiatan kerja, meliputi penjahitan, pengelasan dan bubut, perkayuan, perikanan, pertanian/perkebunan, sablon, pembuatan sabun, pembuatan sepatu, binatu, jasa cuci motor/mobil, pembuatan kasur Palembang, pembuatan keset pres dan jahit.


(30)

9. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Program ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

a. Asimilasi: bekerja dengan pihak III, kerja bakti dan pelatihan pertanian. b. Integrasi: memberikan kesempatan untuk Pembebasan Bersyarat (PB),

Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) 2.3.2.2 Pembinaan Kemandirian

Adalah suatu program pembinaan yang dilakukan oleh lapas dimana seorang narapidana akan diberikan pelatihan ketrampilan berdasarkan minat dan bakatnya dan kemudian diarahkan untuk dapat memproduksi suatu barang atau jasa yang mempunyai nilai upah/premi/insentif sebagai mana diatur menurut undang-undang.

a. Kerja Produktif, yaitu: batako/paving blok, bingkai/keset, pertukangan kayu, menjahit, cukur rambut, pertanian, sablon, cucian kendaraan, laundry, penjahitan sandal dan sepatu, pembuatan kasur lipat, las listrik dan acetylen, pembuatan kompos.

b. Kegiatan Kerja Rumah Tangga, yaitu: pemuka, juru masak, pembantu ruang kantor, kebersihan, pertamanan, kebersihan luar blok, kebersihan lingkungan luar kantor.

2.4 Pengertian Narkoba

Narkoba, singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lain, merupakan bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi


(31)

tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga jika disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial (Sumadi, 2013). Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah psikologi seperti perasaan, fikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk kedalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena dan lain sebagainya (Kurniawan, 2008).

Menurut Sarjono (2007) narkoba ialah zat kimiawi yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental dan perilaku seseorang. Sedangkan menurut Martono dan Joewana (2006) narkoba adalah obat, bahan, atau zat, dan bukan tergolong makanan jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan, berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, kerja otak berubah (meningkat atau menurun); demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (jantung, peredaran darah, pernapasan, dan lain-lain).

2.5 Penggolongan Narkoba 2.5.1 Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik berbentuk sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa, zat yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan menyebabkan ketergantungan (Sunarno, 2007). Narkotika di bagi atas 3 golongan:


(32)

Dalam golongan ini narkotika hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan saja (IPTEK), tidak digunakan untuk terapi. Disamping itu golongan ini mempunyai potensi sangat tinggi akan terjadinya efek ketergantungan obat atau adiksi/ketagihan. Contoh narkotika golongan I ini adalah:

1. Tanaman papaver somniferum L. (opioit) serta produk yang dihasilkan. 2. Tanaman Erytroxylum coca (kokain) serta produk yang dihasilkan. 3. Tanaman Canabis sativa (ganja) serta produk yang dihasilkan. b. Golongan II

Narkotika golongan II berkhasiat untuk pengobatan, tetapi digunakan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan tersebut. Narkotika golongan ini juga digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: morfin, petidin, metadon, opium, dihidromorfin, dan ekogin.

c. Golongan III

Narkotika golongan III adalah jenis narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan, dan banyak digunakan untuk terapi, juga untuk pengembanagan ilmu pengetahuan. Obat ini hanya berpotensi ringan untuk mengakibatkan ketergantungan. Misalnya: kodein, etil-morfin, asetil dihidrokodein, dan norkodein.

Dilihat dari penggolongan tersebut jelaslah bahwa narkotika hanya digunakan untuk pelayanan kesehatan yang terbatas dan tidak untuk umum.


(33)

Disamping itu juga masih dilakukan penelitian yang lebih dalam untuk dunia ilmu pengetahuan (Darmono, 2006).

Berdasarkan bahan pembuatannya, narkotika dibedakan menjadi tiga jenis: 1. Narkotika Alami

Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktifnya diambil langsung dari tumbuh-tumbuhan. Zat adiktif adalah zat yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contoh: ganja, koka, dan opium.

2. Narkotika Semisintetis

Adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat adiktifnya agar memiliki khasiat yang lebih kuat. Contoh: morfin, kodein, heroin, dan kokain. 3. Narkotika Sintetis

Narkotika sintetis adalah narkotika yang dibuat dari bahan kimia. Contoh: petidin, methadone, naltrexon, dan lain-lain.

Narkotika sintetis memiliki akibat yang lebih rendah, maka sering digunakan untuk proses penyembuhan bagi penderita akibat narkoba. Tujuannya untuk mengurangi pengaruh narkoba sedikit demi sedikit pada penderita (pasien) (Winarto, 2007).

2.5.2 Psikotropika

Psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Sarjono, 2007).


(34)

Sedangkan menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dalam Amriel (2007) psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :

1. Golongan I: adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan dan tidak digunakan dalam terapi. Contoh: MDMA (ekstasi), LSD, dan STP.

2. Golongan II: adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan ketergantungan, digunakan sangat terbatas pada terapi: amfetamin, metamfetamin, fensiklidin, dan ritalin.

3. Golongan III: adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang dan sering digunakan dalam terapi. Contoh: pentobarbital dan flunitrazepam. 4. Golongan IV: adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan untuk

menyebabkan ketergantungan dan sangat luas digunakan dalam terapi. Contoh: diazepam, klobazam, fenobarbital, klorazepam, klordiazepoxide, dan nitrazepam (Nipam, pil BK/Koplo, DUM, MG, Lexo, Rohyp, dan lain-lain) (Martono dan Joewana, 2006).

Berdasarkan ilmu farmakologi, psikotropika dikelompokkan ke dalam 3 golongan:


(35)

Contohnya adalah valium, BK, rohipnol, magadon, dan lain-lain. Jika diminum, obat ini memberikan rasa tenang, mengantuk, tentram, damai. Obat ini juga menghilangkan rasa takut dan gelisah.

2. Kelompok stimulan/perangsang saraf pusat/anti tidur

Contohnya adalah amfetamin, ekstasi, dan shabu. Ekstasi berbentuk tablet beraneka bentuk dan warna. Amfetamin berbentuk tablet berwarna putih. Bila diminum, obat ini mendatangkan rasa gembira, hilangnya rasa permusuhan, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba cepat, namun kurang terkendali. Shabu berbentuk tepung kristal kasar berwarna putih bersih seperti garam.

3. Kelompok halusinogen

Halusinogen adalah obat, zat, tanaman, makanan, atau minuman yang dapat menimbulkan khayalan. Contohnya adalah LSD (Lysergic Acid Diethylmide), getah tanaman kaktus, kecubung, jamur tertentu (misceline), dan ganja. Bila diminum, psikotropika ini dapat mendatangkan khayalan tentang peristiwa-peristiwa yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks, dsb. Kenikmatan didapat oleh pemakai setelah ia sadar bahwa peristiwa mengerikan itu bukan kenyataan, atau karena kenikmatan-kenikmatan yang dialami, walaupun hanya khayalan (Partodiharjo, 2010).


(36)

2.5.3 Bahan adiktif lainnya

Golongan adiktif lainnya yaitu zat/bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak. Yang sering disalahgunakan adalah:

a. Alkohol, yang terdapat pada berbagai minuman keras.

b. Inhalansia/solven, yaitu gas atau zat yang mudah menguap yang terdapat pada berbagai keperluan pabrik, kantor, dan rumah tangga.

c. Nikotin yang terdapat pada tembakau (Martono dan Joewana, 2006).

2.6 Mekanisme Kerja Narkoba dalam Tubuh

Cara kerja narkoba di dalam tubuh manusia berbeda-beda, tergantung cara pemakaiannya. Cara pemakaian narkoba dapat dibedakan atas:

a. Melalui saluran pernapasan: dihirup melalui hidung (shabu), dihisap sebagai rokok (ganja).

b. Melalui saluran pencernaan: dimakan atau diminum (ekstasi, psikotropika). c. Melalui aliran darah: disuntikan melalui pembuluh darah (putaw), ditaburkan

ke sayatan di kulit (putaw, morfin) (Partodiharjo 2010). 2.6.1 Melalui Saluran Pernapasan

Narkoba yang masuk ke saluran pernapasan setelah melalui hidung atau mulut, sampai ke tenggorokan, terus ke bronkus, kemudian masuk ke paru-paru melalui bronkiolus, dan berakhir di alveolus. Di dalam alveolus, butiran “debu” narkoba itu diserap oleh pembuluh darah kapiler, kemudian dibawa melalui pembuluh darah vena ke jantung. Dari jantung, narkoba disebar ke seluruh tubuh.


(37)

Narkoba masuk dan merusak organ tubuh (hati, ginjal, paru-paru, usus, limpa, otak, dan lain-lain). Narkoba yang masuk ke dalam otak merusak sel otak. Kerusakan pada sel otak menyebabkan kelainan pada tubuh (fisik) dan jiwa (mental dan moral). Kerusakan sel otak menyebabkan terjadinya perubahan sifat, sikap, dan perilaku (Partodiharjo, 2010).

2.6.2 Melalui saluran pencernaan

Narkoba masuk melalui saluran pencernaan setelah melalui mulut, diteruskan ke kerongkongan, kemudian masuk lambung, dan diteruskan ke usus. Di dalam usus halus, narkoba dihisap oleh jonjot usus, kemudian diteruskan ke dalam pembuluh darah kapiler. Narkoba lalu masuk ke pembuluh darah balik, selanjutnya masuk ke hati. Dari hati, narkoba diteruskan melalui pembuluh darah ke jantung, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Narkoba masuk dan merusak organ-organ tubuh (hati, ginjal, paru-paru, usus, limpa, otak, dan lain-lain). Setelah di otak, narkoba merusak sel-sel otak. Karena fungsi dan peranan sel otak, narkoba tersebut menyebabkan kelainan tubuh (fisik) dan jiwa (mental dan moral). Cara pemakaian seperti ini mendatangkan reaksi setelah relative lebih lama karena jalurnya panjang (Partodiharjo, 2010).

2.6.3 Melalui aliran darah

Berbeda dengan dua jalan sebelumnya, jalan ini adalah jalan tercepat atau “jalan tol”. Narkoba langsung masuk ke pembuluh darah vena, terus ke jantung, dan seterusnya sama dengan mekanisme melalui saluran pencernaan dan pernapasan (Partodiharjo, 2010).


(38)

2.7 Pengertian Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses belajar, mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Herlina, 2010). Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi, perhatian, kosentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan pemecahan masalah. Gangguan fungsi kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak karena kemampuan untuk berpikir akan dipengaruhi oleh otak (Lisnaini, 2012). Menurut Ginsberg (2008) fungsi otak yang lebih tinggi dapat disubklasifikasi menjadi:

1. Fungsi kognitif yang terdistribusi, yang tidak terlokalisasi pada region otak tertentu, namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian pada kedua sisi otak, seperti: Atensi dan konsentrasi, Memori, Fungsi eksekutif dan Konduksi sosial dan kepribadian.

2. Fungsi kognitif yang terlokalisasi, yang tergantung dari struktur dan fungsi normal dari satu area/tertentu pada satu hamister serebri.

2.8 Patofisiologi Gangguan Kognitif

Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan


(39)

mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik, ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut (Steiger, 2011).

Narkoba merupakan bahan-kimia yang menepuk sistem komunikasi otak dan meniru atau mengganggu cara-cara sel saraf mengirim, menerima, dan memproses informasi secara normal. Beberapa zat psikoaktif, seperti ganja dan heroin, dapat mengaktifkan neuron-neuron karena struktur kimiawi mereka menyerupai neurotransmiter alami. Kemiripan struktur kimia ini dapat mengelabuhi reseptor dan membiarkan zat psikoaktif ini mengunci dan mengaktifkan sel saraf. Sementara itu, neurotransmiter-neurotransmiter alami dihalangi untuk berkomunikasi dengan sel neuron. Meski zat psikoaktif ini menyerupai bahan kimiawi di dalam otak, mereka tidak mengaktifkan sel saraf dengan cara yang sama seperti neurotransmiter alami, dan mereka memancarkan pesan-pesan abnormal dalam jaringan otak. Zat psikoaktif lain, seperti amfetamin atau kokain, dapat menyebabkan sel-sel syaraf melepaskan sejumlah besar neurotransmiter-neurotransmiter alami atau mencegah pengambilan kembali (reuptake) bahan-kimia otak ini. Gangguan pada sistem neurotransmiter ini menyebabkan terganggunya fungsi kognitif (Kapeta, 2013).

2.9 Faktor Risiko terjadinya gangguan kognitif

Beberapa penyakit atau kelainan pada otak dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain:


(40)

Dengan meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi da morfologi (proses degeneratif). Usia lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan terhadap efek primer atau sekuder cedera kepala, sehingga efek terjadinya gangguan kognitif lebih besar (Capruso dan Levin, 2006).

2.9.2 Pendidikan

Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer. Tingkat fungsi intelektual premorbid mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan respon terhadap rehabilitasi (Lifshitz et al., 2007).

2.9.3 Genetik

Termasuk faktor genetik adalah faktor bawaan, jenis kelamin dan ras. Penyakit genetik yang berhubungan dengan gangguan kognitif diantaranya Huntington, Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne Muscular Distrofi, dan sindroma Down (Flint, 1999).

2.9.4 Cedera kepala

Trauma kepala secara langsung mencederai struktur dan fungsi otak, dan dapat mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan tingkah laku. Studi kohort mendapatkan bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif (Wreksoatmodjo, 2013).


(41)

Beberapa zat toksik yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif antara lain karbonmonoksida, logam berat, alkohol, obat-obatan (seperti kokain, mariyuana, halusinogen, amfetamin, dan lain-lain) (Hamidah, 2011)

2.9.6 Infeksi susunan saraf pusat

Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis maupun abses otak dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif (Hamidah, 2011).

2.9.7 Tumor otak

Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat menimbulkan satu atau kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala-gejala yang dapat timbul antara lain afasia, disorientasi, kesulitan membaca, menulis, atau berhitung, kebingungan, dan gejala psikiatrik. Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor (Hamidah, 2011).

2.9.8 Nutrisi

Zat gizi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak bukan hanya makro tetapi juga zat gizi mikro. Diperkirakan 10% dari total seng berada di otak dan berada pada neuron di hipokampus yaitu menempati lumen vesikel sinaps yang berisi glutamate. Seng ikut berperan dalam neuromodulator pada glutaminergik sinaps. Bila terjadi defisiensi seng maka akan terjadi gangguan terhadap penghantaran stimulus yang diterima oleh akson dan badan neuron sehingga dapat terjadi gangguan memori. Kekurangan yodium dapat menyebabkan kemunduran mental, terlambatnya perkembangan motorik, gangguan otot dan saraf, gangguan bicara, pendengaran serta pertumbuhan yang terhambat (Arizal et al., 2002).


(42)

2.9.9 Stres

Selain reaksi emosional, orang seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stresor yang serius. Akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis (Koo et al., 2003).

2.10Diagnosis Gangguan Fungsi Kognitif

Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk menentukan adanya defisit kognitif. Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa, memori, visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk memfokuskan (memusatkan) dan mempertahankan perhatian pada suatu masalah. Atensi memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan endogen yang mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu diabaikan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah perhatian pasien mudah terpengaruh oleh benda di sekitarnya, salah satu cara pemeriksaannya adalah dengan menyuruh pasien menghitung mundur mulai dari angka 20 (Ginsberg, 2008).

Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata. Komprehensi dapat dinilai dengan menyuruh pasien melakukan perintah-perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal


(43)

Pada pemeriksaan visual ruang, pasien disuruh menggambar obyek atau menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi vikal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi. Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan waktu, atau menilai kemampuan recall. Gangguan fungsi semantik adalah jika pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu minggu ada berapa hari.

Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan. Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus temporalis mesial dan talamus (Stout, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah, pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengamdil keputusan. Pemeriksaan fungsi eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau menjawab pertanyaan (Sturb, 1997 cit Setyopranoto dkk., 2000).

2.11MMSE (Mini Mental State Examination)

Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer


(44)

adalah tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan (Turana, 2004).

Fungsi kognitif yang terdistribusi dan terlokalisasi dapat dinilai secara klinis dengan menggunakan berbagai komponen pemeriksaan seperti tes pemeriksaan status mental mini/mini mental state examination (MMSE). MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, registrasi, atensi, mengingat kembali, bahasa, dan meniru (Ginsberg, 2008). Ada beberapa faktoryang dapat mempengaruhi hasil tes MMSE seperti umur yang muda, latar belakang pendidikan yang tinggi dan kondisi saat tes dijalankan. MMSE ini secara luas digunakan untuk screening fungsi kognitif dan sensitive untuk mendeteksi dementia (Muzamil, 2014).

MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dengan skor maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23, yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif (Dikot & Ong, 2007).


(45)

2.12Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Wreksoatmodjo (2013), Kapeta (2013), Hamidah (2011), Partodiharjo (2010), Ginsberg (2008), Lifshitz et al (2007), Capruso dan Levin (2006).

Zat psikoaktif memblokir neurotransmitter alami

 Usia

 Pendidikan

 Genetik

 Cedera kepala

 Infeksi

susunan saraf pusat

 Tumor otak

 Nutrisi Gangguan

neurotransmitter Penyalahgunaan narkoba

Zat psikoaktif meniru neurotransmitter alami Zat psikoaktif meningkatkan sekresineurotransmitter Fungsi kognitif:  Orientasi  Memori

 Perhatian dan perhitungan  Memngingat kembali  bahasa Stress Melalui saluran pernapasan Melalui saluran pencernaan Melalui aliran darah Otak


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2Variabel Penelitian

1.1.1 Variabel bebas (independent variabel)

Variabel bebas atau independen merupakan suatu variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2008). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah Lama Penyalahgunaan dan Lama di Lapas.

1.1.2 Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat atau dependent merupakan variabel yang dapat dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2008). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah fungsi kognitif.

1.1.3 Variabel Perancu (Confounding Variabel) Variabel Bebas : Lama Penyalahgunaan dan

Lama di Lapas

Variabel perancu :

 Umur

 Tingkat Pendidikan

variable terikat : Fungsi kognitif


(47)

Variable Perancu (Confounding Variable) Adalah jenis variabel yang berhubungan (asosiasi) dengan variabel bebas dan berhubungan dengan variabel tergantung tetapi bukan merupakan variabel antara.(Sudigdo, 1995). Variabel perancu dalam penelitian ini adalah umur dan pendidikan.

3.3Hipotesis

Hipotesis di dalam suatu penelitian adalah jawaban sementara penelitian, atau biasa disebut juga sebagai patokan duga dalil sementara, yang kebenarannya dapat dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis ini baru dapat dikatakan benar atau salah, dan dapat diterima atau ditolak (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:72).Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah, “Ada Hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif pada narapidana di LP Klas 1 Kedungpane Semarang”.

3.4Definisi Operasional dan Skala pengukuran Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

N0 Variabel Definisi

Operasional Alat ukur Kategori Skala 1

Penyalahgu-naan

narkoba

Penyalahgunaan narkoba (napza) adalah penggunaan narkoba bukan untuk tujuan pengobatan, dalam jumlah berlebih, secara

Kuesioner Lama

penyalahgunaan: a. 2-5 tahun b. 6-9 tahun c. >10 tahun


(48)

teratur dan

berlangsung cukup lama (Martono, 2006).

2 Fungsi kognitif

Suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil, visual, dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan antar neuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Wiyoto, 2002). Kuesioner MMSE Kategori skor MMSE:  Normal: 24-30  Probable gangguan kognitif: 17-23 Nominal

3 Usia Umur adalah

lamanya hidup yang dihitung sejak dilahirkan hingga penelitian ini dilakukan (Notoatmodjo, 2007).

Kuesioner a. 15-24 tahun b. 25-34 tahun c. 35-44 tahun d. 45-54 tahun


(49)

N0 Variabel Definisi Operasional Alat ukur Kategori Skala 4 Tingkat

Pendidikan

Pendidikan formal yang telah ditempuh responden..

Kuesioner 1. Rendah (< wajar 9 tahun) 2. Tinggi ( ≥

wajar 9 tahun)

Ordinal

5 Lama di Lapas

Keberadaan penghuni di dalam lapas sejak

dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum sampai saat

penelitian dilakukan.

Kuesioner 1. <1 tahun 2. ≥ 1 tahun

Ordinal

3.5Jenis dan Rancangan Penelitian 3.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survei analitik.

3.5.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dimana pegukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat (Sudigdo S. dan Sofyan I, 2002:97).


(50)

3.6Populasi dan sampel penelitian 3.6.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari (Sugiyono, 2006:117). Atas dasar tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh narapidana penyalahguna narkoba di lapas kedungpane semarang yang berjumlah 45 orang.

3.6.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi itu sendiri (Notoatmodjo, 2005:79). Adapun langkah-langkah dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut:

3.6.2.1 Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu:

1) Umur responden ≤55 tahun atau sampai usia pertengahan menurut WHO. Umur dibatasi untuk mengendalikan pengaruh usia terhadap gangguan kognitif secara umum (Cristy, 2011).

2) Narapidana penyalahguna narkoba

3)

Responden merupakan pengguna narkoba dalam jangka waktu sekurang-kurangnnya 2 tahun


(51)

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Responden yang memenuhi kriteria inklusi namun tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

2) Adanya riwayat penyakit di kepala seperti infeksi otak, cedera kepala dan tumor otak.

3.6.2.2 Sistematika Pengambilan Sampel

Peneliti menentukan sampel yang terdapat dalam populasi yaitu secara simple random sampling.

3.6.2.3 Besar Sampel

Perhitungan besar sampel minimal menggunakan rumus sebagai berikut:

(Sumber: Stanley Lemeshow, 1997:54)

Keterangan:

n = Besar sampel N = Populasi (45 orang)

= Standar deviasi dengan derajat kepercayaan (95%) =1,96 D = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)


(52)

Untuk proporsi atau sifat tertentu yang tidak diketahui, maka besarnya p yang digunakan adalah (50%) = 0,5

Jadi jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 24 orang. Sedangkan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 29 orang.

3.7Sumber data 3.7.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner sebagai panduannya. Adapun data yang ingin didapatkan adalah data tentang skor fungsi kognitif pada narapidana penyalahguna narkoba.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data tidak langsung yang diperoleh dari pihak instansi yaitu lapas Kedungpane Semarang. Adapun data yang ingin didapatkan meliputi data mengenai jumlah narapidana penyalahguna narkoba dan profil lapas.


(53)

3.8Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data (Notoadmojo,2005). Dalampenelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner MMSE (Mini Mental State Examination).

3.9Teknik Pengambilan Data 3.9.1 Pengisian kuesioner

Pengisian kuesioner merupakan teknik pengambilan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2008:142). Pengisian kuesioner oleh responden dilakukan dengan menggunakan tes MMSE untuk mengetahui skor kognitif responden.

3.9.2 Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji dokumen yang berkaitan dengan penelitian, yaitu data jumlah narapidana narkoba di lapas kedungpane berdasarkan usia.

3.10 Prosedur penelitian

Penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi hasil pelaksanaan, serta tahap analisis dan penyusunan laporan, adapun uraian tahapan tersebut adalah:

3.10.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Adapun persiapan dalam penelitian ini meliputi:


(54)

1. Penetapan sasaran penelitian.

2. Koordinasi dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini tentang tujuan dan prosedur penelitian.

3. Melakukan survei pendahuluan dilapangan dan menganalisa hasil dari survei pendahuluan.

4. Melakukan penyusunan proposal penelitian.

3.10.2 Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan adalah kegiatan yang dilakukan saat penelitian. Adapun kegiatan pada tahap pelaksanaan adalah:

1. Penelitian dibantu oleh ahli psikolog 2. Penentuan sampel penelitian.

3. Wawancara dengan subyek penelitian menggunakan kuesioner MMSE

3.10.3 Tahap evaluasi hasil pelaksanaan

Tahap evaluasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan penelitian.

3.10.4 Tahap analisis dan penyusunan laporan

Tahap analisis dan penyusunan laporan dalam penelitian ini meliputi, analisis data, serta penyusunan laporan.


(55)

3.11 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 3.11.1 Pengolahan Data

Data dari lapangan dikumpulkan, kemudian diperiksa, dan diteliti kelengkapannya, serta diolah menggunakan software SPSS dengan langkah sebagai berikut:

1. Editing

Editing yaitu pengecekan terhadap kelengkapan data dan keseragaman data yang diperoleh dari lapangan.

2. Coding

Coding yaitu pemberian kode pada setiap jawaban untuk mempermudah dalam pengolahan data.

3. Tabulating

Tabulating yaitu pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian untuk mempermudah dalam pembacaan hasil penelitian.

4. Entry

Entry yaitu kegiatan memasukkan data yang telah didapat ke dalam program komputer untuk dilakukan pengolahan data. Kemudian, analisis data ditentukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dangan variabel terikat. Selain itu, analisis data juga dapat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.

3.11.2 Analisis Data

3.11.2.1 Analisis Univariat

Merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dimana pada umumnya, menghasilkan distribusi dan prosentase dari


(56)

tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:188). Hal ini sangat dibutuhkan guna mendapatkan gambaran awal mengenai keadaan umum responden sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan ketika analisis data penelitian dilakukan.

3.11.2.2 Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable bebas dengan variabel terikat. Dalam penelitian ini uji statistik yang digunakan yaitu uji chi-square dengan bantuan SPSS versi 16. Adapun syarat uji chi-square adalah tidak ada sel yang nilai observed yang bernilai nol, sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel. Jika uji chi-square tidak terpenuhi, maka dipakai uji alternatifnya, alternative uji chi-square untuk tabel 2x2 adalah uji fisher, alternatif uji chi-square untuk tabel 2xk adalah uji kolmogorov-smirnov dan penggabungan sel adalah langkah alternatif uji chi-square untuk tabel selain 2x2 dan 2xk. Setelah dilakukan penggabungan sel akan didapatkan tabel Bxk yang baru. Uji hipotesis dipilih sesuai dengan tabel bxk yang baru. Yaitu jika p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, sedangkan jika p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak. (Sopiyudin Dahlan, 2004:18).


(57)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN 6.1SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Hubungan Penyalahgunaan Narkoba dengan Fungsi Kognitif pada Narapidana Narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang” dapat disimpulkan sebagai berikut:

6.1.1 Simpulan Umum

Penyalahgunaan narkoba tidak berhubungan secara signifikan dengan fungsi kognitif pada narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang. Terdapat variable lain yang berhubungan terhadap fungsi kognitif narapidana narkoba yaitu lama di lapas.

6.1.2 Simpulan Khusus

1. Tidak ada hubungan antara umur dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang.

2. Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang.

3. Tidak ada hubungan antara lama penyalahgunaan narkoba dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang.

4. Ada hubungan antara lama di lapas dengan fungsi kognitif narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang.


(58)

6.2 SARAN

Dari hasil penelitian mengenai “hubungan Penyalahgunaan Narkoba dengan Fungsi Kognitif pada Narapidana Narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang” disarankan:

6.2.1 Bagi Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang

Hendaknya hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam meningkatkan upaya pemulihan kemampuan kognitif tahanan maupun narapidana narkoba di lapas Kedungpane Semarang misalkan dengan menambah jadwal untuk program latihan fisik.

6.2.2 Bagi Narapidana Narkoba

Saran kepada narapidana narkoba di Lapas Klas I Kedungpane Semarang yaitu sebaiknya meningkatkan latihan fisik menjadi dua sampai lima kali perminggu dengan tujuan supaya meningkatkan aliran darah regional pada area otak dan meningkatkan stimulasi fisik dan mental untuk memperbaiki fungsi kognitif.

6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang terapi latihan fisik untuk memperbaiki gangguan fungsi kognitif pada narapidana narkoba.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, 2013, BNNUsahakan Tempat Rehabilitasi di Jateng, diakses 5 Januari 2014,

(http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/12/09/182590)

Amriel R.I., 2007, Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba, Jakarta: Salemba.

Arizal, daris A, Hidayat A., Gizi dan Perannya. Dalam: Hardhywinoto, setiabudhi t.,

editor, Anak unggul berotak prima, Jakarta: gramedia pustaka utama; 2002.

Aziz Aimul, Hidayat, 2008, Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data, Salemba, Jakarta.

Capruso DX, Levin HS., Neurobehavioral Outcome of Head Trauma, Neurol clin 2006.

Darmono, 2006, Toksikologi Narkoba dan Alkohol: Pengaruh Neurotoksisitasnya pada Saraf Pusat, Jakarta: UI Press.

Dikot, Y., & Ong, PA., 2007, Diagnosa Dini dan Penatalaksanaan Demensia di Pelayanan Medis Primer, Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat & Asna Dementia Standing Commiitee.

Emery CF. The role of physical exercise as a reliabilitive aid for cognitive loss in healthy and chronically ill older adults. In: Hill RD, Lars B, Neely AS, editors. Cognitive Rehabilitation In Old Age. 1st ed. New York: Oxford University Press; 2000.p.124-39.

Flint J., The genetic basic of cognition, Brain 1999; 122: 2015-31.

Fransiska E., 2011, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan Dan Penanggulangannya, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1.


(60)

Geda YE, Roberts RO, Knopman DS, Christianson Teresa JH, Pankratz VS, Ivnik RJ, et al., Physical exercise, aging, and mild cognitive impairment A population-based study, Arch Neurol 2010;67:80-6.

Gono, JNS., 2007, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan Pencegahaannya, Semarang: FISIP Undip.

Gould, T.J., 2010, Addiction and Cognition, Addiction science & clinical practice, Pennsylvania.

Griesbach GS, Hovda DA, Molteni R, Wu A and Pinilla FG, Voluntary exercise following traumatic brain injury: brain-derived neurotrophic factor upregulation and recovery of function, Neuroscience 2004; 125: 129-39.

Handriana, Eka, Penyalahgunaan Narkoba di Semarang Meningkat, Thu 31 Jan

2013, diakses tanggal 5 Januari 2014,

(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/31/1436 48/Penyalahgunaan-Narkoba-di-Semarang-Meningkat/)

Kalechstein, A.D., Garza, R., Mahoney, J.J., Fantegrossi, W.E., Newton, T.F., 2007, MDMA use and neurocognition: a meta-analytic review, Psychopharmacology, 189:531-537.

Kapeta, 2013, Ilmu Pengetahuan Adiksi Part 2, diakses pada tanggal 5 Januari 2014, (http://kapeta.org/causes/ilmu-pengetahuan-adiksi-part-2/)

Kurniawan, J, 2008, Arti Definisi & Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis Narkoba Sebagai Zat Terlarang. http://juliuskurnia.wordpress.com, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.

Koo JW, et al. Postnatal environment can counteract prenatal effect on cognitive ability, cell proliferation and synaptic protein expression. The FASEB J 2003.

Lalenoh, Robert, Rata-rata 40 Pengguna Narkoba Mati Setiap Hari, diakses 7 April 2014, ( http://www.okemanado.com/2014/04/07/rata-rata-40-pengguna-narkoba-mati-setiap-hari/)


(61)

Larasati, T. L., (2013), Prevalensi Demensia di RSUD Raden Mattaher Jambi, Jambi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Lionel Ginsberg, 2008, Neurologi, Jakata: Erlangga

Lumbantobing, S.M., 2006, Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia, Edisi 4, Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Martono L.H dan Joewana S., 2006, Peran Orang Tua Mencegah Narkoba, Jakarta: PT. Balai Pustaka.

M. Sopiyudin Dahlan. 2004. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT ARKANS.

Muzamil MS., 2014, Hubungan antara Tingkat Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif pada Usila di Kelurahan Jati Kecamatan Padang Timur, Jurnal Kesehatan, 2014;3 (2).

NIDA, 2002.”Chronic Marijuana Abuse May Increase Risk of Stroke” in Research Findings Vol. 17, No. 1.

Ningrum dkk, 2014, Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lain (Napza) sebagai Faktor Risiko Gangguan Kognitif pada Remaja Jalanan, Yogyakarta: FK UGM.

Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.

Okkywulandari, Clara Valencia, 2014, Hubungan Kadar Timbal dalam Darah Dengan Gangguan Kognitif Remaja Jalanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Diy). Yogyakarta: FK UGM.


(62)

Robert J. Thoma, et al, 2010, Adolescent Substance Abuse: The Effects of Alcohol and Marijuana on Neuropsychological Performance, Vol. 35, Issue 1, pages 39–46.

Rogers, R.D., & Robbins, T.W., 2001, Investigating the neurocognitive deficits associated with chronic drus misuse, Current Opinion in Neurobiology, 11:250-257.

Roohi, N.N., Hamidi, F., Farahani, K.S., 2010, Cognitive consquences of drug abuser: comparison with abuse of stimulants and opioid with regard to attention and working memory, Procedia Social and Behavioral Science, 5- 1698-1701.

Sarjono, 2007, Mengenal Narkoba dan Bahayanya, PT. Bengawan Ilmu, Semarang.

Ningrum, SW., 2014, Prevalensi Demensia di RSUD Raden Mattaher Jambi, Jambi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Sarwono, S. W., 2011, Psikologi Remaja Edisi Revisi, Jakarta: PT Rajagrafido Persada.

Singh-Manoux A, Hillsdon M, Brunne E, Marmot M., 2005, Effects of physical activity on cognitive functioning in middle age: evidence from the Whitehall II prospective cohort study, Am J Public Health, 95:2252–8.

Soekidjo Notoatmodjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta Pusat: Rineka Cipta.

___________, 2010, Statistika untuk penelitian, penerbit ikatan Indonesia (IKAPI), Bandung.

Somba, Imanuel Maryo, 2014, Analisis Status Fungsi Ginjal Mantan Penyalahguna Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif ( Napza ) di Pusat Rehabilitasi Yayasan Al Islami, Pondok Pesantren Nurul Haromain Kulonprogo, Pondok Rehabilitasi Tetirah Dzikir, dan Rs Grhasia. Yogyakarta: FK UGM.


(63)

Stanley Lemeshow. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Steiger H, et al, Neural circuits, neurotransmitters, and behavior: serotonin and temperament in bulimic syndromes, Curr Top Behav Neurosci. 2011;6:125-38.

Suardi, M., (2012), Pengantar Pendidikan : Teori dan Aplikasi, Jakarta: Indeks.

Subagyo Partodiharjo, 2010, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, Jakarta: Erlangga.

Sudigdo S., dan Sofyan I., 1995, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Sagung Seto.

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Sunarno, 2007, Narkoba (Bahaya dan Upaya Pencegahannya), PT. Bengawan Solo, Semarang.

Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004, Pemeriksaan Status Mini Mental pada usia lanjut di Jakarta, Medika, vol. 30, 9, 563-568.

UNODC, 2012, World Drug Report 2012, Online http://unodc.gov/word-drugs-repoort-2012, Diakses Pada Tanggal 10 Februari 2014.

Weuve, J. et al., 2004, Physical Activity, Including Walking, and Cognitive Function in Older Women, Journal of the American Medical Association, 292(12):1454–1461.

Winarto, 2007, Ada Apa dengan Narkoba, CV Aneka Ilmu,Semarang.

Woicik, P.A., Moeller, S.J., Alia-Klein, N., Maloney, T., Lukasik, T,M., Yeliosof, O., Wang, G., Volkow, N.D., Goldstein, R.Z., 2008, The Neuropsychology of Cocaine Addiction: Recent Cocaine Use Masks Impairment., Neuropsychopharmacology, I-II.


(64)

Yaffe K, Barnes D, Nevitt M, Li-Yung Lui, Covinsky K., 2001, A Prospective study of physical activity and cognitive decline in elderly women who walk, Arch Intern Med, 161:1703-1708.

Wreksoatmodjo, 2013, Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan Faktor Risiko Gangguan Fungsi Kognitif, Jakarta: FK Universitas Atmajaya Jakarta.


(65)

(66)

(67)

(68)

(69)

DATA JUMLAH TAHANAN DAN NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I KEDUNGPANESEMARANG


(70)

(71)

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

Original author: Marshal F. Folstein No. : _______________________

Nama subjek : _______________________ Usia subjek : _______ tahun ______ bulan Lama konsumsi

Narkoba : ______________ tahun Pendidikan : _______________________ Lama di Lapas : _______________________ Tanggal tes : _______________________ Tempat tes : _______________________

Item Tes Nilai

maks. Nilai

1

2

ORIENTASI Waktu

Tahun berapakah sekarang? Musim apakah sekarang? Bulan apakah sekarang? Tanggal berapakah sekarang? Hari apakah sekarang?

Tempat

Bisakah Anda memberitahu saya nama tempat ini? Di lantai berapakah kita sekarang?

Di kota manakah kita sekarang? Di negara manakah kita sekarang? Di propinsi manakah kita sekarang?

5

5

Total skor : ______/30 Kategori :


(72)

3

4

5

6

7

REGISTRASI

Minta subjek untuk mengulangi tiga kata (ROKOK, PINTU, BUNGA). Pengulangan pertama ialah yang dinilai. Jika subjek tidak dapat mengulang ketiganya dengan benar, minta subjek untuk terus mencoba sampai enam kali atau sampai subjek dapat mengulang dengan benar.

ATENSI DAN KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban (93, 86, 79, 72, 65)

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Subyek disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas

BAHASA

Tanyakan kepada subjek nama dari benda berikut ini (tunjukkan bendanya):

JAM TANGAN PENSIL

Responden diminta mengulang rangkaian kata: tanpa kalau dan atau tetapi ”

3

5

3

2


(1)

3.

Lama Penyalahgunaan Narkoba * Fungsi Kognitif (Sebelum

penggabungan sel)

Risk Estimate

1.400 .300 6.534

1.145 .623 2.105

.818 .321 2.088

29 Odds Ratio for

Pendidikan (Gabung) (SD + SMP / SMA/SMK + PT) For cohort Fungs i kognitif = Probable gangguan kognitif

For cohort Fungs i kognitif = Normal

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval

Crosstab

11 9 20

11.7 8.3 20.0

55.0% 45.0% 100.0%

1 0 1

.6 .4 1.0

100.0% .0% 100.0%

5 3 8

4.7 3.3 8.0

62.5% 37.5% 100.0%

17 12 29

17.0 12.0 29.0

58.6% 41.4% 100.0%

Count

Expected Count % within Lama

penyalahgunaan narkoba Count

Expected Count % within Lama

penyalahgunaan narkoba Count

Expected Count % within Lama

penyalahgunaan narkoba Count

Expected Count % within Lama

penyalahgunaan narkoba 2-5 tahun

6-9 tahun

10 tahun atau lebih Lama penyalahgunaan

narkoba

Total

Probable gangguan

kognitif Normal

Fungsi kognitif


(2)

Chi-Square Tests

.864a 2 .649

1.226 2 .542

.185 1 .667

29 Pears on Chi-Square

Likelihood Ratio Linear-by-Linear Ass ociation N of Valid Cas es

Value df

Asymp. Sig. (2-s ided)

4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .41.

a.

Symmetric Measures

.170 .649

-.081 .184 -.424 .675c

-.093 .183 -.487 .630c

29 Contingency Coefficient

Nominal by Nominal

Pears on's R Interval by Interval

Spearman Correlation Ordinal by Ordinal

N of Valid Cas es

Value

Asymp.

Std. Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Not ass uming the null hypothes is. a.

Using the asymptotic standard error as s uming the null hypothesis. b.

Bas ed on normal approximation. c.

Risk Estimate

a Odds Ratio for Lama

penyalahgunaan narkoba (2-5 tahun / 6-9 tahun)

Value

Ris k Es timate s tatistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells . a.


(3)

Lama Penyalahgunaan Narkoba * Fungsi kognitif (Setelah penggabungan)

Crosstab

12 9 21

12.3 8.7 21.0

57.1% 42.9% 100.0%

5 3 8

4.7 3.3 8.0

62.5% 37.5% 100.0%

17 12 29

17.0 12.0 29.0

58.6% 41.4% 100.0%

Count

Expected Count % within Lama Penggunaan (Gabung) Count

Expected Count % within Lama Penggunaan (Gabung) Count

Expected Count % within Lama Penggunaan (Gabung) 2-5 tahun + 6 - 9 tahun

10 tahun atau lebih Lama Penggunaan

(Gabung)

Total

Probable gangguan

kognitif Normal

Fungsi kognitif

Total

Chi-Square Tests

.069b 1 .793

.000 1 1.000

.069 1 .793

1.000 .568

.066 1 .797

29 Pears on Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Tes t Linear-by-Linear Ass ociation N of Valid Cas es

Value df

Asymp. Sig. (2-s ided)

Exact Sig. (2-s ided)

Exact Sig. (1-s ided)

Computed only for a 2x2 table a.

2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3. 31.


(4)

4.

Lama di Lapas * Fungsi Kognitif

Crosstab

Fungsi kognitif

Total

Probable

gangguan

kognitif

Normal

Lama di lapas Kurang dari 1 tahun F

12

1

13

%

92.3%

7.7%

100.0%

1 tahun atau lebih

F

5

11

16

%

31.2%

68.8%

100.0%

Total

F

17

12

29

%

58.6%

41.4%

100.0%

Symmetric Measures

.049 .793

-.049 .184 -.253 .802c

-.049 .184 -.253 .802c

29 Contingency Coefficient

Nominal by Nominal

Pears on's R Interval by Interval

Spearman Correlation Ordinal by Ordinal

N of Valid Cas es

Value

Asymp.

Std. Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Not ass uming the null hypothes is. a.

Using the asymptotic standard error as s uming the null hypothesis. b.

Bas ed on normal approximation. c.

Risk Estimate

.800 .150 4.258

.914 .476 1.755

1.143 .411 3.175

29 Odds Ratio for Lama

Penggunaan (Gabung) (2-5 tahun + 6 - 9 tahun / 10 tahun atau lebih) For cohort Fungsi kognitif = Probable gangguan kognitif For cohort Fungsi kognitif = Normal N of Valid Cas es

Value Lower Upper

95% Confidence Interval


(5)

Chi-Square Tests

Value

Df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square

11.023

a

1

.001

Continuity Correction

b

8.650

1

.003

Likelihood Ratio

12.410

1

.000

Fisher's Exact Test

.002

.001

Linear-by-Linear

Association

10.643

1

.001

N of Valid Cases

b

29

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

5.38.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp.

Std. Error

a

Approx. T

b

Approx.

Sig.

a

Nominal by

Nominal

Contingency

Coefficient

.525

.001

Interval by Interval Pearson's R

.617

.134

4.069

.000

c

Ordinal by Ordinal Spearman

Correlation

.617

.134

4.069

.000

c

N of Valid Cases

29

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null

hypothesis.


(6)