Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan.

3 Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapa dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu K.U.H.P. 55s, 72s, 9, 370, 376, 394, 404, 141

2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan.

Berdasarkan Kamus Bahasa Besar Indonesia KBBI, anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat dan martabat sebagai manusia utuhnya. 15 Apa yang dimaksud tentang anak? Batasan tentang anak sangat penting dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan anak dengan benar dan tearah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang yang tanguh dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Dalam kaitan itu, pengaturan tentang batasan anak dapat dilihat pada : a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain dalam beberapa pasal yaitu : 1 Pasal 72 berbunyi : 16 1 Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan pada orang yang umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum 15 M. Nasir DJamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika, halaman.8. 16 Nashriana. 2012. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, halaman.4. Universitas Sumatera Utara dewasa, atau kepada orang yang dibawah penilikan curetele orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil. 2 Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawasi atau curator penilik atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau tidak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga. 2 Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun, yaitu: 17 1 Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,- dihukum barangsiapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuina bahwa orang itu belum berumur 17 tahun sesuatu tulisan, gambar, atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara dipergunakan untuk mencegah kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya. 17 Ibid, halaman.5. Universitas Sumatera Utara 2 Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa di hadapan serorang yang belum dewasa seperti yang tersebut dalam ayat diatas memperdengarkan isi surat tulisan yang melanggar perasaan kesopanan. 3 Dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 bulan atau kurangan selama- lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,- dihukum barangsiapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau sementara waktu, menyampaikan di tangan atau memperlihatkan kepada orang yang belum dewasa sebagai tersebut dalam ayat pertama, isi surat yang menyinggung perasaan kesopanan, jika ia ada alasan yang cukup untuk menyangka, bahwa Tulsan, gambar, atau barang itu melanggar perasaan kesopanan atau cara itu ialah cara untuk mencegah kehamilan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153 ayat 5 menyatakan bahwa memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang. 18 c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Menurut ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak , maka anak adalah belum mencapai 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. 19 d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 18 Ibid, halaman.6. 19 Ibid Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah umur 18 delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. 20 e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak didalam kandungan. 21 f Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut ketentuan pasal 1 angka 2 bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 22 Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi tiga fase, yaitu : 23 1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tujuh tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak- anak, maka kritis trozalter pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak. 20 Ibid ,halaman.7. 21 Ibid 22 Republik Indonesia. Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.Bab I.Ketentuan Umum. Pasal 1. 23 Wagiati Soetedjo dan Melani. 2013. Hukum Pidana Anak. Bandung : PT Refika Aditama, halaman.7. Universitas Sumatera Utara 2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolngkan ke dalam 2 periode, yaitu : a Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7–12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasui masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi masa tersembunyi b Masa remajapra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkmebangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebaban tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, brandal, kurang sopan, liar dan lain-lain. c Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung danmasa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 empat fase yaitu : 1.Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueralpra-pubertas. 2.Masa menentang kedua, fase negatif, Trozalter kedua, periode verneinung. Universitas Sumatera Utara 3.Masa pubertas sebenernya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari masa pubertas laki-laki 4.Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun. Juvenile delinquency ialah perilaku jahatdursila, atau kejahatankenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang.Juvenile berasal dari bahasa latin juvenlis artinya anak-anak,anak muda,cirri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat,a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki, durjana, dursila, dan lain-lain. Deliquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun. 24 Dalam pendekatan psikologis,menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegnsia, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecendurangan psikopatologis, dan lain-lain. 25 24 Dr.Kartini Kartono. 2002. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja.Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, halaman.6. 25 Ibid ,halaman.26. Universitas Sumatera Utara Pendekatan sosiologis, para sosiologis berpendapat tingkah-laku delinkuen pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor- faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atau konsep dirinya. Dalam proses penentuan konsep-diri tadi, yang penting ialah simbolasi diri atau ”penamaan diri” disebut pula sebagai pendefinisian-diri atau peranan-diri. Proses simbolasi diri pada umumnya berlangsung tidak sadar dan berangsur-angsur, untuk kemudian menjadi bentuk kebiasaan jahat delinkuen pada diri anak. Semua berlangsung sejak usia sangat muda, mulai di tengah keluarga sendiri yang berantakan, sampa pada masa remaja dan masa dewasa di tengah masyarakat ramai, berlangsunglah kini pembentukan pola tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya, kemudian dirasionalisasikan dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat mekanisme negatif dan proses pembiasaan diri. 26 Oleh sebab itu, faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang diantaranya : a Faktor Internal Yaitu faktor yang berasal bathin dari anak itu sendiri dalam melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. 26 Ibid ,halaman.29. Universitas Sumatera Utara b Faktor Eksternal Yaitu faktor yang berasal dari luar diri anak dalam melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan seperti keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pengaruh massa dan lain-lain. Maka dari itu,pembahasan selanjutnya mengenai faktor-faktor mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya. 3. Penerapan Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologis. Menurut E.Utrecht hukum adalah dihimpunan petunjuk hidup perintah atau larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah itu. Pidana hukuman adalah masalah yang pokok dalam hukum pidana, sebab sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya ada;ah sejarah dari pidana dan pemidanaan. Menurut hukum pidana kita disamping pidana juga dikenal apa yang dinamakan tindakan. Perbedaan antara pidana dan tindakan secara tradisional dinyatakan sebagai berikut : pidana adalah pembalasan pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi, secara dogmatis pidana itu untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab Universitas Sumatera Utara tidak mempunai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana. 27 J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastriparnoto mengungkapkan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan- badan resmi, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman. 28 Hukum pidana atau the Criminal Law sering disebut sebagai hukum kriminil, karena memang persoalan yang dibicarakan dan yang diaturnya mengenai kejahatan-kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian hukum pidana menurut Prof. Moeljatno, S.H. adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 29 1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 27 I Made Widnyana.2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Fikahati Aneska, halaman.75. 28 Chainur Arrasjid. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.halaman.21. 29 Bambang Poernomo. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, halaman.22. Universitas Sumatera Utara 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidan, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. Pengertian kebijakan kriminal atau politik kriminal criminal policy merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Menurut Sudarto : 30 1. Dalam arti sempit, mempunyai arti keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti luas, mempunyai pengertian keseluruahan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk di dalamnya cara bekerja dari pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, mempunyai arti keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat. Kebijakan dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk dala kebijakan kriminal criminal policy. Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan sosial social policy yang terdiri kebijakanupaya untuk kesejahteraan sosial social-welfare policy dan kebijakanupaya untuk 30 Widiada Gunakaya dan Petrus Irianto. 2012. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan. Bandung : Alfabeta, halaman.16. Universitas Sumatera Utara perlindungan masyarakat soial-defence policy, dilihat dari sudut politik kriminal. 31 Kebijakan paling strategis adalah melalui sarana non-penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal sebagai sarana kebijakan kriminal, yaitu : 32 1. Sebab-sebab yang demikian kompleks berada di jangkauan hukum pidana. 2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil sub-sistem dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusian dan kemasyarakatan yang sangat kompleks sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-kutural, dsb. 3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan pengobatan kausatif. 4. Sanski hukum pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat kontradiktifpaoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. 5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan indvidupersonal, tidak bersifat strukturalfungsional. 6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. 7. Bekerjanyaberfungsinya hukum pidana memerlukan saran pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. 31 Ibid, halaman.22. 32 Ibid Universitas Sumatera Utara Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif penindasanpemberantasanpenumpasan setelah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat prventif pencegahanpenangkalan sebelum kejahatan terjadi. 33 Di dalam sistem peradilan pidana anak memiliki kekhususan dalam melakukan penerapan hukum akibat tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku kejahatan yaitu ada 2 dua sanksi yang diberikan ialah pidana dan tindakan serta batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum. Pembahasan penerapan kebijakan hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilalukan oleh anak sebagai pelaku kejahatan dalam perspektif kriminologi berdasarkan studi putusan Pengadilaan Negeri Medan No. 21 Pid.Sus-Anak2014PN.Mdn akan dibahas di bab selanjutnya.

G. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

8 157 125

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

2 17 70

Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Yang Dilakukan Oleh Anak

3 51 57

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 29

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 3 9

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

1 27 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90