DOCRPIJM 1501145895BAB II PROFFIL

BAB 2 PROFIL KOTA BAUBAU

2.1. Wilayah Administrasi 2.1.1. Luas Wilayah Luas wilayah Kota Baubau mengalami perubahan menjadi 293,18 km2.

  Salah satu faktor penyebab pertambahan Luas kota Baubau adalah reklamasi pantai. Kota Baubau terdiri dari 8 kecamatan dengan luas wilayah per kecamatan sebagai berikut : Betoambari 31,40 km2, Murhum 6,09 km2, Batupoaro 1,68 km², Wolio 33,56 km2, Kokalukuna 16,85 km2, Sorawolio 111 km2, Bungi 59,20 km2 dan Lea-Lea 33,40 km2. Wilayah daratan Kota Baubau sebagian besar terdapat di daratan Pulau Buton yang memanjang di Selat Buton dan terdapat 1 (satu) pulau yaitu Pulau Makassar (Puma).

Gambar 2.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Baubau (Km2)

  Tahun 2015

  Sumber : BPS, Kota Baubau Dalam Angka 2016

2.1.2. Batas Wilayah

  Secara astronomis, Kota Baubau terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5.21° – 5.33° Lintang Selatan dan di antara 22.30° – 122.47° Bujur Timur. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Baubau memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Buton, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Buton Selatan, Sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Buton, Sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

Gambar 2.2. Peta Administrasi Kota Baubau

  Sumber : Revisi RTRW Kota Baubau 2011-2030 (2011)

  2.2. Potensi Wilayah Potensi unggulan daerah adalah komoditas-komoditas dan/atau produk- produk yang dihasilkan oleh daerah tersebut dan dijadikan andalan dalam rangka pengembangan ekonomi daerah. Melalui kebijakan tersebut diharapkan masing-masing daerah akan dapat mengembangkan produk-produk utama yang mempunyai daya saing tinggi berdasarkan keuntungan kompetitif daerah yang bersangkutan.

  Berdasarkan topografi, geomorfologi dan kesesuaian lahan dan jenis tanah, Kota Baubau adalah kota yang berkarakteristik ekonomi modern (jasa dan perdagangan) sekaligus tradisional (pertanian). Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah Kota Baubau merupakan kawasan hutan dan pertanian yang subur.

  Dalam sub-sektor perdagangan, Kota Baubau sudah lama memainkan peran sebagai pintu gerbang yang menghubungkan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dalam skala regional Pulau Buton dan sekitar, Kota Baubau merupakan pusat akumulasi perdagangan wilayah-wilayah belakang (hinterland) bagi Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Muna.

  Dalam sektor pertanian, Kota Baubau mempunyai komoditas unggulan dan sub-sektor tanaman bahan makanan, yaitu padi dengan pusat pengembangan di Kelurahan Ngkari-Ngkari Kecamatan Bungi dan sebagian di Kecamatan Sorawolio. Kedua kecamatan ini merupakan pemasok beras di Kota Baubau. Selanjutnya, sebagai bekas pusat pemerintahan dan kebudayaan Kerajaan dan Kesultanan Buton, Kota Baubau juga mempunyai potensi budaya dan wisata alam dan bahari yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu icon Kota Baubau.

  Sampai saat ini, beberapa situs peninggalan kejayaan Kerajaan dan Kesultanan Buton yang tetap terlestarikan dan terpelihara adalah benteng Keraton yang merupakan benteng terluas di dunia dengan panjang keliling 2.740 meter dan memiliki 12 pintu gerbang dan 16 meriam, Mesjid Agung Keraton yang didirikan pada tahun 1712 masehi pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin Durul Alam, Mesjib Kuba yang didirikan pada masa Sultan Muhammad Idrus pada tahun 1826 masehi, tiang bendera terletak di sebelah kiri Mesjid Agung Keraton yang berdiri pada titik 00 (nol derajat) dan didirikan bersamaan dengan Mesjid Agung Keraton, Benteng Sorawolio, makam Raja- Raja dan Sultan Buton, dan lain-lain. Dalam wisata alam dan bahari, Kota Baubau mempunyai tempat-tempat yang dapat dijadikan sebagai daerah tujuan wisata, seperti Pantai Nirwana, Gua Lakasa, Kawasan Permandian Air Jatuh, Bukit Wantiro, Bumi Perkemahan Samparona, dan lain-lain.

  2.3. Demografi dan Urbanisasi Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015 penduduk Kota Baubau sebanyak 154.877 jiwa yang terdiri atas 76.395 jiwa penduduk laki-laki dan

  78.482 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi penduduk tahun 2014 jumlah penduduk kota Baubau tahun 2015 mengalami pertumbuhan sebesar 2,24 persen.

  Perbandingan penduduk perempuan dengan penduduk laki-laki atau rasio jenis kelamin tahun 2015 sebesar 97 persen yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 97 orang laki-laki.

  Bila dilihat dari jumlah penduduk per kelompok umur maka dapat diketahui bahwa penduduk terbanyak berada pada usia 0 – 4 tahun dan jumlah penduduk paling sedikit pada usia 60 – 64 tahun.

  Kepadatan penduduk di Kota Baubau tahun 2015 mencapai 528 jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 8 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di kecamatan Batupoaro dengan kepadatan sebesar 17.435 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Sorawolio sebesar 72 jiwa/Km2. Jumlah rumah tangga pada tahun 2015 sebanyak 33.085 atau meningkat 2,22 persen dari tahun 2014.

  Gambar 2.3. Grafik Perkembangan Penduduk Kota Baubau Tahun 2011-2015

  

2 Murhum 10.613 11.180 21.793 0,95 14,07 3.578

  No Kecamatan Total Persentase Penduduk Kepadatan

  

8 Lea-lea 3.640 3.874 7.514 0,94 4,85 225

76.395 78.482 154.877 0,97 100,00 528 Jumlah Jumlah Penduduk (Jiwa)

  

7 Bungi 3.971 4.059 8.030 0,98 5,18 136

  72

  6 Sorawolio 3.994 4.031 8.025 0,99 5,18

  

5 Kokalukuna 9.367 9.562 18.929 0,98 12,22 1.123

  

4 Wolio 21.502 21.360 42.862 1,01 27,69 1.277

  

3 Batupoaro 14.217 15.074 29.291 0,94 18,91 17.435

  

1 Betoambari 9.091 9.342 18.433 0,97 11,90 587

  Sumber : BPS, Baubau Dalam Angka tahun 2016, diolah

  151.485 154.877 Laki-Laki Perempuan

  

2011 2012 2013 2014 2015

139.717 142.576 145.427

  Perekonomian suatu wilayah diukur berdasarkan perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang memberikan kerangka dasar yang

   Potensi Ekonomi Wilayah

   Isu Strategis Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan 2.4.1.

  Sumber : BPS, Baubau Dalam Angka tahun 2016, diolah 2.4.

  Penduduk Kota Baubau Tahun 2015

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk, Sex Ratio, Persentase dan kepadatan

  Penduduk per Km2 Sex Ratio digunakan untuk mengukur aktifitas ekonomi yang sedang berlangsung dalam suatu kegiatan perekonomian. Angka PDRB sebagai indikator ekonomi digunakan sebagai landasan evaluasi kinerja perekonomian dan penyusunan berbagai kebijakan serta memberikan grafik aliran seluruh nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dan seluruh faktor-faktor produksi untuk menghasilkan nilai tambah barang dan jasa. Nilai PDRB tersebut dihitung berdasarkan masing-masing sektor.

  Kinerja perekonomian Kota Baubau selama tahun 2015 cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan total nilai PDRB Kota Baubau, baik yang dihitung berdasarkan Harga Berlaku (PDRB ADHB) maupun Harga Konstan (PDRB ADHK). Selama tahun 2015, nilai PDRB ADHB Kota Baubau mencapai Rp 5.996,0 Milyar, jika dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 5.324,3 Milyar. sementara PDRB ADHK tahun 2015 sebesar Rp.

  

5.051,7 Milyar, yang mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun

2014 sebesar 4.635,9 Milyar.

  Dari segi pertumbuhan ekonomi, Kota Baubau mengalami trend peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2015 pertumbuhan mencapai 8,97 persen, yang mengalami peningkatan jika dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya, yakni 8,63 persen pada tahun 2014 dan 7,99 persen pada tahun 2013.

Tabel 2.2. PDRB Kota Baubau Tahun 2012-2015

  Uraian Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 PDRB ADHB

  4.234,7 4.721,0 5.324,3 5.996,0 (MilyarRp)

  PDRB ADHK 3.951,8 4.267,6 4.635,9 2010 (MilyarRp)

  5.051,7 PDRB Perkapita

  36,5* 29,33 31,90 35,15

  ADHB (JutaRp) PDRB Perkapita

  32,5* 27,33 28,83 30,00

  ADHK 2010 Pertumbuhan 9,83 7,99 8,63

  8,97 Ekonomi (%)

  Sumber : BPS, Baubau Dalam Angka tahun 2016, diolah *). Angka Tahun 2015 merupakan angka sementara.

  Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh lapangan usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 13,83 persen. Sedangkan seluruh lapangan usaha ekonomi PDRB yang lain pada tahun 2015 mencatat pertumbuhan yang positif.

  Adapun lapangan usaha-lapangan usaha lainnya berturut-turut mencatat pertumbuhan yang positif, di antaranya lapangan usaha Pertambangan dan Penggalian 13,25 persen, lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 12,78 persen, lapangan usaha Jasa Perusahaan sebesar 11,20 persen, lapangan usaha Industri Pengolahan sebesar 10,53 persen, lapangan usaha Jasa Pendidikan mencatat sebesar 9,89 persen,lapangan usaha Konstruksi sebesar 9,64 persen, lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 9,53 persen, lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 9,46 persen, lapangan usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 9,32 persen, lapangan usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 7,98 persen, lapangan usaha Real Estate sebesar 7,95 persen, lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 7,73 persen, lapangan usaha Jasa Lainnya sebesar 7,56 persen, lapangan usaha Jasa Kesehatan dan kegiatan Sosial sebesar 6,70 persen, lapangan usaha Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang sebesar 6,29 persen dan lapangan usaha Pertanian sebesar 0,91 persen.

  Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan di Kota Baubau meningkat pesat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan berbagai infrastruktur dasar perkotaan, seperti pasar, pelabuhan, pembukaan dan pengaspalan jalan guna menunjang Kota Baubau sebagai pusat perdagangan dan jasa bagi daerah belakangnya ( hinterland). Bersamaan dengan itu pula, peran serta sektor swasta ataupun masyarakat dalam pembangunan daerah terus meningkat, khususnya dalam pembangunan rumah toko (Ruko) pada wilayah-wilayah strategis yang ada di Kota Baubau. Pada tahun 2016, struktur perekonomian Kota Baubau didominasi oleh 3 sektor utama ( the main source of growth), yakni (1) Sektor konstruksi/bangunan dengan kontribusi sebesar 19,49 persen, (2) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor berkontribusi 18,95%; serta diikuti oleh (3) Sektor pertanian, kehutanan dan Perikanan dengan kontribusi sebesar 13,66 persen. Ketiga sektor tersebut secara bersama-sama tercatat memberikan sumbangan lebih dari separuh total perekonomian di Kota Baubau, Sedangkan 15 sektor penggerak ekonomi lainnya rata-rata hanya menyumbang dibawah 10% terhadap pergerakan ekonomi Kota Baubau.

  Tabel 2.3 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Kota Baubau Atas Dasar Harga Berlaku 2015 2016

  Struktur PDRB Pendekatan Produksi atau Sektoral

  A Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 14,02 13,16 B Pertambangan dan Penggalian 4,7 4,81 C Industri Pengolahan 4,4 4,56

  D Pengadaan Listrik dan Gas 0,05 0,05 E Pengadaan air, Pengelolaan Sampah, 0,35 0,36

  Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi 19,19 19,49

  G Perdagangan Besar dan Eceran; 18,71 18,95 Reparasi Mobil dan Motor

  H Transportasi dan Pergudangan 5,1 5,65

  I Penyediaan Akomodasi dan Makan 1,31 1,31 Minum

  J Informasi dan Komunikasi 3,92 4,03 K Jasa Keuangan dan Asuransi 3,2 3,32

  L Real Estate 3,06 2,69 M Jasa Perusahaaan 0,15 0,15

  N Administrasi Pemerintahan, Pertanahan 9,31 8,28 dan Jaminan Sosial O Jasa Pendidikan 7,39 7,81

  P Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,62 1,87 Q Jasa Lainnya 3,5 3,51

  Struktur PDRB Pendekatan Pengeluaran A Konsumsi Rumah Tangga 60,98 60,63

  B Konsumsi Pemerintah 17,96 17,94 C Konsumsi LNPRT 1,13 1,13

  D PMTB 45,67 44,87

  E Perubahan Inventori 1,23 1,03 F Ekspor

  33,45 35,08 G Impor

  60,46 55,15

  Sumber: BPS Kota Baubau (2015), Produk Domestik Regional Bruto Kota Baubau Tahun 2010-2015 (diolah). Keterangan 2015** adalah angka sementara, 2016 adalah angka asumsi

  Jika ditinjau dari PDRB menurut pengeluaran, sebagian besar penggunaan PDRB Kota Baubau masih tercatat untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Sumbangan komponen ini sebesar 61,33 persen pada tahun 2014, kemudian menurun menjadi 60,98% pada tahun 2015, dan diasumsikan akan menurun lagi menjadi 60,63% pada tahun 2016. Komponen penggunaan lainnya yang cukup berperan yaitu komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), dan Ekspor impor baik dari/dan ke luar negeri maupun daerah lain.

  Struktur PDRB pengeluaran Kota Baubau menunjukkan adanya deficit perdagangan barang dan jasa yang berkepanjangan. Hal itu ditunjukkan dengan lebih besarnya peran impor terhadap PDRB dibanding ekspor dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai dengan nilai ekspor netto terus mengalami defisit tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi Kota Baubau sejak tahun 2013 hingga tahun 2015 tercatat sangat ditopang oleh pertumbuhan positif pengeluaran konsumsi, baik konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, maupun konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga.

2.4.2. Lingkungan Strategis 1.

   Topografi

  Kondisi topografi wilayah Kota Baubau relatif bervariasi mulai dari topografi yang datar, bergelombang hingga berbukit. Kawasan yang mempunyai kemiringan lahan 0 – 8% adalah kawasan yang berada di bagian Utara dan Barat wilayah Kota Baubau, semakin ke Timur, kemiringan semakin besar dan merupakan perbukitan yang membentang dari Utara ke Selatan.

  Daerah tertinggi sebagian berada di Kecamatan Sorawolio. Topografi wilayah datar berada pada tempat-tempat yang saat ini merupakan pusat-pusat permukiman di Kecamatan Murhum, sebagian Kecamatan Betoambari dan Kecamatan Wolio.Berdasarkan kondisi topografi tersebut, maka Kota Baubau dapat dibagi atas tiga keadaan wilayah, meliputi : 1.

  Lahan Datar; terdapat di sepanjang pantai dengan ketinggian 5 meter di atas permukaan laut dan tersebar di wilayah kecamatan dan Kecamatan Sorawolio dengan kemiringan 0 – 8%.

2. Daerah Agak Datar; terdapat di bagian utara dan tenggara pusat Kota Baubau dengan ketinggian 5 –10 m di atas permukaan laut.

  3. Daerah bergelombang; berada pada ketinggian sekitar 60 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan 15 – 30%, terutama terdapat di Kecamatan Betoambari.

2. Morfologi

  Secara umum kondisi fisik wilayah Kota Baubau memiliki karakteristik wilayah pesisir. Morfologi perkembangan Kota Baubau tumbuh pada dataran rendah di sepanjang pinggir pantai dengan limitasi perkembangan berupa kondisi topografi wilayah yang berbukit ke arah dalam. Ketinggian tempat tertinggi sebagian besar berada di Kecamatan Sorawolio. Topografi wilayah datar berada pada tempat-tempat yang saat ini merupakan pusat- pusat permukiman di Kecamatan Betoambari dan Wolio. Sementara itu, tinjauan geomorfologi/bentang alam merupakan elemen penting dalam penentuan kesesuaian pemanfaatan lahan atau kemampuan daya dukung lahan.

  Kondisi bentangan alam atau geomorfologi merupakan elemen penting dalam penentuan kesesuaian pemanfaatan lahan atau kemampuan daya dukung lahan. Kota Baubau dikelilingi oleh daerah belakang (hinterland) berupa dataran yang termasuk dalam kelas kelerengan agak curam yaitu berkisar antara 15 –40% dan kelerengan sebagian tempat di atas 40% serta beberapa bagian wilayah dengan kelerangan antara 2 –15% yang terdapat di Kecamatan Murhum dan Kecamatan Bungi. Kelerangan yang cukup tinggi merupakan limitasi dalam pengembangan pusat-pusat permukiman Kota Baubau terutama ke arah Selatan, pada wilayah-wilayah dengan kelerangan di atas 15% dimanfaatkan untuk perkebunan dan hutan.

  3. Klimatologi Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi Betoambari suhu udara di

  Kota Baubau pada tahun 2015 berkisar antara 21,30 0C sampai dengan 34,500C. Suhu terendah terjadi pada bulan Agustus sedangkan suhu tertinggi terjadi pada bulan November. Sementara itu, rata-rata tekanan udara selama tahun 2015 tercatat antara 1.012,70 mb – 1.016,70 mb. Tekanan terendah terjadi pada bulan Januari dan tertinggi pada bulan Oktober sedangkan rata-rata kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus sebesar 4,20 knot.

  Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Stasiun Meterologi Betoambari Kota Baubau di tahun 2015 selama 3 bulan berturut

  • – turut tidak terjadi hujan yaitu pada bulan Agustus – Oktober. Selama tahun 2015 hari hujan terbanyak terjadi pada bulan April yaitu selama 22 hari dengan curah hujan 336,00 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 350,00 mm dengan lama hujan sebanyak 20 hari.

  4. Hidrologi Kondisi hidrologi yang teramati meliputi air permukaan dan air tanah yang terdapat dalam wilayah Kota Baubau.

  1) Air Permukaan Sumber air permukaan di Kota Baubau berasal dari aliran air Sungai

  Baubau yang melintas dalam wlayah Kota Baubau membagi wilayah Kecamatan Wolio dan Betoambari dan sungai ini bermuara di Selat Buton. Disamping itu juga terdapat sumber air bersih PDAM yang menggunakan sumber air baku dari Sungai Bungi dan mata air dari Kaongke-ongkea. Sampai saat ini pelayanan PDAM Kota Bau- Bau belum melayani.

  Beberapa permasalahan menyangkut air baku yang ada sekarang adalah:

  • Berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah daerah Kota Baubau pada saat ini, maka sulit untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber air baku tersebut dengan kemampuan daerahnya. Oleh karena itu perlu upaya- upaya pemerintah dan partsipisasi masyarakat yang besar dalam mengelola air bersih di Kota Baubau untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengelola air bersih di Kota Baubau adalah dengan mempertahankan lahan-lahan hijau yang masih ada serta dan menghutankan kembali kawasan - kawasan tangkapan air pada daerah hulu. Sedangkan menunggu dari pemerintah pusat mungkin akan memerlukan waktu yang lama, sehingga diperlukan alternatif pemecahannya di masa mendatang.
  • Potensi sumber air baku untuk keperluan Air Bersih di Kota Baubau sampai 10 tahun mendatang nampaknya sangat menghawatirkan, namun perlu dipikirkan sumber air lain sebagai tambahan untuk mengantisipasi kebutuhan penduduk akan datang.

  2) Air Tanah Dalam Keadaan air tanah di Kota Baubau umumnya dipengaruhi oleh sumber air yang berasal dari mata air Wakonti dan mata air Wamembe berupa mata air dengan debit yang terbatas. Beberapa sumber air mengalir sepanjang tahun walaupun dengan debit yang terbatas, sedangkan mata air Bungi, mata air Koba mempunyai kapasitas debit yang cukup baik begitu juga dengan sumber air Kaongke-ongkea di Kecamatan Sorawolio.

5. Geologi dan Tata Lingkungan

  Formasi geologi sebagai pembentuk struktur batuan di wilayah Kota Baubau yang berada di Pulau Buton Bagian Selatan memiliki karakteristik geologi yang kompleks dicirikan oleh adanya jenis satuan batuan yang bervariasi akibat pengaruh struktur geologi. Beberapa jenis batuan yang dapat ditemukan di Kota Baubau pada umumnya antara lain;

  (i) Satuan Tcm berupa batuan Molase Sulawesi Sarasin dan Sarasin yang terdapat di sebagian besar Kecamatan Wolio, Kecamatan Bungi, dan Kecamatan Sorawolio;

  (ii) Batu Gamping (Kl) terdapat di sebagian besar wilayah Kecamatan Betoambari (bagian Timur) dan di wilayah Waara;

  (iii) Batuan Sedimen (S) menempati sebagian besar wilayah Kecamatan Sorawolio;

  (iv) Batuan Ultra Basa (Ub) yang hanya terdapat di wilayah Kecamatan Sorawolio. Struktur geologi sangat mempengaruhi pola penyebaran batuan dan keterdapatan bahan galian.

  Dari aspek bencana geologi kemungkinannya relatif kecil begitu pula dengan kemungkinan pengaruh gelombang laut, karena secara geografis kawasan Pelabuhan Baubau berada di bagian Barat Pulau Buton sehingga terlindungi dari pengaruh gelombang Laut Banda. Jenis tanah di Kota Baubau pada umumnya sama dengan jenis tanah di Kabupaten Buton (terutama wilayah yang berada di Pulau Buton), yaitu didominasi oleh pedzolik merah kuning dan mediteran yang memerlukan perlakuan khusus bila dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman.

  1. Dataran Rendah Dari aspek morfogenetik bentuk lahan dataran rendah dapat dibedakan menjadi dua kelompok fisiografi, yaitu Alluvial dan Marin.

  Kelompok Alluvial terbentuk dari deposit alluvium berbahan halus yang berasal dari bagian hulu dan daerah sekitarnya. Sungai utama dan cabang- cabangnya (anak sungai) serta aliran permukaan mendeposisikan bahan- bahan suspensi, debu, pasir, kerikil dan kerakal sehingga terbentuk dataran aluvial luas yang berumur subresen yang dijumpai dalam bentuk lahan tanggul sungai, alur-alur drainase. Pengikisan dasar sungai secara vertikal dan turunnya permukaan sungai mengakibatkan terbentuknya teras sungai. Proses-proses erosi, deposisi, dan sedimentasi serta pergerakan air dapat membentuk lahan baru dengan bentuk wilayah datar. Kelompok Marin merupakan dataran pantai yang terbentuk karena proses agradasi, yaitu proses pengendapan material yang diangkut sungai, sehingga terjadi penambahan daratan. Proses lain juga dapat terjadi melalui pengangkatan daratan atau penurunan muka laut, kedua proses tersebut secara terpisah akan menyebabkan terbentuknya teras marin. Bentuk lahan dari kelompok marin yang dijumpai di Kota Baubau, berupa dataran pasang surut, endapan delta dan beting pasir.

2. Perbukitan

  Bahan induk kelompok perbukitan adalah batuan basal yang tergolong batuan vulkanik Proses endogen dan eksogen mengubah bentuk asli morfologi volkan menjadi perbukitan, yaitu melalui proses-proses pengangkatan, erosi, gradasi, deposisi, dan gerakan masa, sehingga terbentuk perbukitan dengan amplitudo kurang dari 200 meter dibanding daerah sekitarnya dan membentuk bukit-bukit kecil dengan pola acak. Variasinya ke dalam bentuk lahan ditentukan oleh kemiringan lereng.

6. Potensi Bencana Alam Bencana alam menjadi salah satu perhatian serius dalam penataan ruang.

  Daerah atau kawasan yang nantinya diidentifikasi berpotensi terjadinya bencana alam agar diarahkan menjadi kawasan lindung atau kawasan budidaya bersyarat. Pengenalan akan kemungkinan bencana alam sangat diperlukan dalam perencanaan suatu wilayah, sehingga bencana alam yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda dapat dihindari atau diminimalisir.

   Gelombang Pasang Air Laut Kawasan rawan gelombang pasang ditetapkan dengan kriteria kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang dengan kecepatan antara 10 (sepuluh) sampai dengan 100 (seratus) kilometer per jam yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi bulan atau matahari.

  Kawasan rawan gelombang pasang di Kota Baubau yang terjadi hampir setiap tahunnya terjadi di Kelurahan Wameo dan Bone-Bone di Kecamatan Batupoaro.  Longsor Yang dimaksud dengan “longsor” adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi. Kawasan rawan tanah longsor berada di Kecamatan Wolio;  Banjir Yang dimaksud dengan “daerah rawan banjir” adalah kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulangkali). Yang dimaksud dengan “banjir” adalah aliran air di permukaan tanah ( surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia dan lingkungan. kawasan rawan banjir di Kota Baubau berdasarkan RTRW berada di Kecamatan Bungi.

   Pemanasan Global Isue pemanasan global ( global warming) terkait dengan peningkatan temperatur rata -rata permukaan bumi dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan dampak pada mencairnya es di kutub Utara dan Selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut ( sea level rise).

  Pemanasan global diyakini disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia. Hasil pembakaran jenis ini antara lain gas karbondioksida (CO2) yang dalam skala global berjumlah miliaran ton setiap tahun disemburkan ke atmosfir bumi. Akibatnya, sinar matahari yang tiba di permukaan bumi tak leluasa dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Panas tersebut terperangkap dekat permukaan bumi, menghasilkan gejala seperti di rumah kaca yang digunakan untuk menyemaikan tanaman (efek rumah kaca). Peningkatan gas-gas rumah kaca di atmosfer secara terus menerus akan meningkatkan suhu di bumi. Dampak awal yang dapat dikenali akibat peningkatan gas rumah kaca adalah perubahan iklim. Akibat yang merugikan dari perubahan iklim adalah perubahan terhadap lingkungan fisik dan biota. Dampaknya, terjadi kerusakan terhadap komposisi ketahanan atau produktivitas ekosistem alam. Proses perubahan iklim terjadinya peningkatan suhu permukaan bumi yang diikuti naiknya suhu permukaan laut, perubahan curah hujan, perubahan frekuensi dan intensitas badai, dan naiknya tinggi permukaan laut akibat mencairnya es di kutub. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan terhadap berbagai sektor antara lain industry pertanian, perikanan, pariwisata, terjadinya krisis air bersih dan meningkatnya penyakit tertentu. Diperkirakan dampak perubahan iklim diantaranya naiknya permukaan laut, krisis air bersih di perkotaan, rusaknya infrastruktur wilayah pantai, menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya wabah berbagai macam penyakit dan lainnya. Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan global ( global warming) yang melanda seluruh belahan bumi ini. Pemanasan global pada dasarnya merupakan suatu perubahan fenomena iklim global yaitu dengan peningkatan temperatur rata –rata permukaan bumi dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan IPCC (International Panel On Climate Change) bahwa rata - rata suhu permukaan global meningkat 0,3 - 0,6 sejak akhir abad 19 dan sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4 - 5,80 (Dahuri,2002). Menurut Mustain (2002) pemanasan global tersebut disebabkan oleh adanya efek rumah kaca dan menipisnya lapisan ozon di atmosfer bumi. Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut (Sea Level Rise). Diperkirakan dari tahun 1999-2100 mendatang kenaikan muka air laut sekitar 1,4-5,8 m (IPCC dalam Dahuri, 2002).

2.4.3. Isu – Isu Strategis

  Isu-isu strategis Wilayah Kota Baubau secara umum dan secara khusus pada bidang Cipta Karya adalah sebagai berikut :

I. Persampahan

  1. Kapasitas Pengelolaan Sampah erat kaitannya dengan:

  a. Makin besarnya timbulan sampah berupa peningkatan laju timbulan sampah perkotaan antara 2-4% per tahun.

  Dengan bertambahnya penduduk, pertumbuhan industri dan peningkatan konsumsi masyarakat dibarengi peningkatan laju timbulan sampah.

  b. Rendahnya kualitas dan tingkat pengelolaan persampahan.

  Rendahnya kualitas pengelolaan persampahan terutama pengelolaan TPA memicu berbagai protes masyarakat. Di sisi lain rendahnya tingkat pengelolaan sampah mengakibatkan masyarakat yang tidak mendapat layanan membuang sampah sembarangan atau membakar sampah di tempat terbuka.

  c. Keterbatasan Lahan TPA Keterbatasan lahan TPA merupakan masalah terutama di kota-kota besar dan kota metropolitan. Fenomena keterbatasan lahan TPA memunculkan kebutuhan pengelolaan TPA Regional namun banyak terkendala dengan banyak faktor kepentingan dan rigiditas otonomi daerah.

  2. Kemampuan Kelembagaan Masih terjadinya fungsi ganda lembaga pengelola sampah sebagai regulator sekaligus operator pengelolaan serta belum memadainya SDM (secara kualitas dan kuantitas) menjadi masalah dalam pelayanan persampahan.

  3. Kemampuan Pembiayaan Kemampuan pendanaan terutama berkaitan dengan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah daerah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan sampah. Selain itu adalah rendahnya dana penarikan retribusi pelayanan sampah sehingga biaya pengelolaan sampah menjadi beban APBD. Permasalahan pendanaan secara keseluruhan berdampak pada buruknya kualitas penanganan sampah.

  4. Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha/Swasta Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan belum dikembangkan secara sistematis potensi masyarakat dalam melakukan sebagian sistem pengelolaan sampah, serta rendahnya minat pihak swasta berinvestasi di bidang persampahan karena belum adanya iklim kondusif membuat pengelolaan sampah sulit untuk ditingkatkan.

  5. Peraturan perundangan dan Lemahnya Penegakan Hukum Lemahnya penegakan hukum terkait pelanggaran dalam pengelolaan sampah dan kurangnya pendidikan masyarakat dengan PHBS sejak dini juga menjadi kendala dalam penanganan sampah.

II. Air Minum

  Isu- isu strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dapat diuraikan sebagai berikut : 1.

   Peningkatan Akses Aman Air Minum

  Terkait peningkatan akses aman air minum, isu strategis dan permasalahan yang ada antara lain : a) Kesepakatan MDG’s di bidang air minum mengikat komitmen pemerintah untuk dapat mencapai cakupan pelayanan 68,87 % penduduk pada tahun 2015, dan sesuai dengan RPJMN 2015-2019 pada tahun 2019, menjadi 100 % penduduk memperoleh akses air minum aman.

  b) Ketersediaan dan sinkronisasi data antar instansi belum memadai terutama SPAM BJP dan non PDAM.

  c) SPAM masih ada yang belum memenuhi K-4 dan tingkat kehilangan air masih mencapai 30%.

2. Penyelengaraan Pendanaan

  Isu strategis dalam aspek pendanaan, antara lain: a) Investasi Penyelenggaraan SPAM selama ini lebih bergantung dari sumber dana internal PDAM dan pemerintah, potensi masyarakat dan dunia usaha belum didayagunakan secara optimal;

  b) Pemerintah daerah dan PDAM belum memanfaatkan kebijakan pendanaan Penyelenggaraan SPAM yang di subsidi oleh pemerintah;

  3. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Beberapa isu strategis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan, antara lain: a. SKPD teknis belum sepenuhnya berfungsi sebagai regulator/pembina;

  b. Pemerintah daerah masih menyusun dokumen perencanaan khusus untuk Penyelenggaraan SPAM berupa Jakstrada dan RISPAM yang menyeluruh;

  c. Penyelenggara SPAM non PDAM masih lemah; 4.

   Penyelenggaraan dan Penerapan Perundang-undangan

  Beberapa isu strategis yang terkait dengan penerapan peraturan perundang- undangan, antara lain: a) NSPK bidang air minum di tingkat pusat (PP nomor 16 tahun 2005 dan

  PP nomor 38 tahun 2007) Belum ditindak lanjuti untuk menjadi peraturan di daerah; b) Pengaturan pemanfaatan air tanah dalam di wilayah pelayanan PDAM yang telah dilayani SPAM perpipaan belum ada; c) Dokumen perencanaan Penyelenggaraan SPAM (Rencana Induk, Studi

  Kelayakan dan Perencanaan Teknis) masih ada yang belum lengkap dan memenuhi kaidah teknis; d) Pelaksanaan konstruksi fisik SPAM masih ada yang belum mengikuti perencanaan teknis yang lengkap dan benar.

  5. Pemenuhan Kebutuhan Air Baku untuk Air Minum Beberapa isu strategis dalam hal pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum, antara lain: a) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air baku masih belum optimal; b) Kapasitas daya dukung dan kualitas air baku di beberapa IKK makin menurun.

  c) Penyelenggara SPAM belum memiliki Surat Ijin Pemanfaatan Air Baku (SIPA).

6. Peningkatan Peran dan Kemitraan badan Usaha dan Masyarakat

  Beberapa isu strategis peran kemitraan Badan Usaha dan Masyarakat, antara lain: a) Potensi masyarakat dan dunia usaha belum diberdayakan secara optimal;

  b) Kesadaran masyarakat akan penghematan air masih rendah;

  c) Pembinaan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam Penyelenggaraan SPAM masih terbatas;

  d) Sektor swasta masih kurang tertarik untuk melakukan investasi dalam Penyelenggaraan SPAM; 7.

   Penyelenggaraan SPAM Melalui Penerapan Inovasi Teknologi

  Beberapa isu strategis terkait Penyelenggaraan SPAM melalui penerapan inovasi teknologi, antara lain:

  a) Inovasi teknologi yang lebih efisien dalam pengolahan air masih belum optimal; b) Inovasi teknologi yang efisien dalam penggunaan energi dan penurunan kehilangan air fisik masih perlu ditingkatkan;

c) Pemanfaatan air hasil daur ulang IPAL belum berkembang.

  III.

   Pengembangan Permukiman

  Isu-isu Strategis terkait penyelenggaraan pengembangan permukiman, antara lain :

1. Isu Kesenjangan Pelayanan

  a. Dinamika kependudukan dan fenomena urbanisasi yang beragam di wilayah Kota Bau Bau.

  b. Sistem penyediaan perumahan yang peduli orang miskin ( Propoor Housing Delivery Sistem)

  2. Isu Manajemen Pembangunan

  a. Pembangunan perumahan masih didekati sebagai sektor yang belum terpadu dengan sistem pembangunan perkotaan.

  b. Tanah merupakan isu kunci dalam pembangunan perumahan.

  c. Lemahnya Tata Kelola ( Governance) bidang Perumahan,baik itu tantangan desentralisasi, belenggu system yang kaku, involusi kepranataan, kesenjangan kebijakan-praktek, serta misskoordinasi.

  3. Isu Lingkungan

  a. Pendataan dan pengetahuan bidang perumahan dan permukiman (praktek unggulan, informasi peluang dsb) masih terbatas.

  b.

  Perumahan dan Permukiman sebagai Instrumen Penanggulangan Kemiskinan IV.

   Air Limbah

  Isu-isu strategis dalam pengelolaan air limbah permukiman di Indonesia antara lain:

  1. Akses masyarakat terhadap pelayanan pengelolaan air limbah permukiman Sampai saat ini walaupun akses masyarakat terhadap prasarana sanitasi dasar mencapai 90,5% di perkotaan dan di pedesaan mencapai 67% (Susenas 2007) tetapi sebagian besar fasilitas pengolahan air limbah setempat tersebut belum memenuhi standar teknis yang ditetapkan.

  Sedangkan akses layanan air limbah dengan sistem terpusat baru mencapai 2,33% di 11 kota (Susenas 2007 dalam KSNP Air Limbah).

  2. Peran Masyarakat Peran masyarakat berupa rendahnya kesadaran masyakat dan belum diberdayakannya potensi masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan air limbah serta terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman berbasis masyarakat.

  3. Peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan meliputi lemahnya penegakan hukum dan belum memadainya perangkat peraturan perundangan yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan air limbah permukiman serta belum lengkapnya NSPM dan SPM pelayanan air limbah.

  4. Kelembagaan Kelembagaan meliputi kapasitas SDM yang masih rendah, kurang koordinasi antar instansi dalam penetapan kebijakan di bidang air limbah, belum terpisahnya fungsi regulator dan operator, serta lemahnya fungsi lembaga bidang air limbah.

  5. Pendanaan Pendanaan terutama berkaitan dengan terbatasnya sumber pendanaan pemerintah dan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan air limbah. Selain itu adalah rendahnya tarif pelayanan air limbah sehingga berakibat pihak swasta kurang tertarik untuk melakukan investasi di bidang air limbah.

V. Drainase

  Isu-isu strategis dalam pengelolaan Sistem Drainase Perkotaan di Indonesia antara lain:

  1. Belum adanya ketegasan fungsi sistem drainase Belum ada ketegasan fungsi saluran drainase, untuk mengalirkan kelebihan air permukaan/mengalirkan air hujan, apakah juga berfungsi sebagai saluran air limbah permukiman (“grey water”). Sedangkan fungsi dan karakteristik sistem drainase berbeda dengan air limbah, yang tentunya akan membawa masalah pada daerah hilir aliran. Apalagi kondisi ini akan diperparah bila ada sampah yang dibuang ke saluran akibat penanganan sampah secara potensial oleh pengelola sampah dan masyarakat.

  2. Pengendalian debit puncak Untuk daerah-daerah yang relatif sangat padat bangunan sehingga mengurangi luasan air untuk meresap, perlu dibuatkan aturan untuk menyiapkan penampungan air sementara untuk menghindari aliran puncak. Penampungan- penampungan tersebut dapat dilakukan dengan membuat sumur-sumur resapan, kolam-kolam retensi di atap-atap gedung, didasar- dasar bangunan, waduk, lapangan, yang selanjutnya di atas untuk dialirkan secara bertahap.

  3. Kelengkapan perangkat peraturan Aspek hukum yang harus dipertimbangkan dalam rencana penanganan drainase permukiman di daerah adalah:  Peraturan Daerah mengenai ketertiban umum perlu disiapkan seperti pencegahan pengambilan air tanah secara besar-besaran, pembuangan sampah di saluran, pelarangan pengurugan lahan basah dan penggunaan daerah resapan air (wet land), termasuk sanksi yang diterapkan.

   Peraturan koordinasi dengan utilitas kota lainnya seperti jalur, kedalaman, posisinya, agar dapat saling menunjang kepentingan masing-masing.  Kejelasan keterlibatan masyarakat dan swasta, sehingga masyarakat dan swasta dapat mengetahui tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.  Bentuk dan struktur organisasi, uraian tugas dan kualitas personil yang dibutuhkan dalam penanganan drainase harus di rumuskan dalam peraturan daerah.

  4. Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha/Swasta Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan saluran drainase terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah ke dalam saluran drainase, kurang peduli dalam perawatan saluran, maupun penutupan saluran drainase dan pengalihan fungsi saluran drainase sebagai bangunan, kolam ikan dll.

  5. Kemampuan Pembiayaan Kemampuan pendanaan terutama berkaitan dengan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah daerah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan drainase baik dari segi pembangunan maupun biaya operasi dan pemeliharaan. Permasalahan pendanaan secara keseluruhan berdampak pada buruknya kualitas pengelolaan drainase perkotaan.

  6. Penanganan Drainase Belum Terpadu Pembangunan sistem drainase utama dan lokal yang belum terpadu, terutama masalah peil banjir, disain kala ulang, akibat banjir terbatasnya masterplan drainase sehingga pengembang tidak punya acuan untuk sistem lokal yang berakibat pengelolaan sifatnya hanya pertial di wilayah yang dikembangkannya saja.

VI. Penataan Bangunan Dan Lingkungan

  Isu-isu Strategis Sektor PBL di Kota Baubau, antara lain :

  1. Penataan Lingkungan Permukiman  Masih kurangnya penerapan dan pengawasan aturan garis SEMPADAN Jalan dan Sungai.

   Kepadatan bangunan dan ketinggian bangunan pada kawasan pusat perdagangan tidak sesuai dengan RTRW Kota Baubau.

  2. Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara  Masih kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan Gedung.

   Masih banyak bangunan gedung yang pengembangannya belum berdasarkan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan  Masih banyak bangunan gedung yang belum dilengkapi sarana dan prasarana bagi penyandang cacat  Kota Baubau belum memiliki atau belum membentuk lembaga institusi dan

  Tim Ahli Bangunan Gedung yang bertugas dalam pembinaan penataan bangunan dan lingkungan.

  3. Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan  Rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian pembangunan  Rendahnya daya organisir diri masyarakat dalam pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan spesifik lokal  Rendahnya kesadaran kritis masyarakat terhadap masalah dan kebutuhan lokal

  [Year]

  • Belum ada Masterplan Persampahan skala kota Penyusunan Buku Putih Sanitasi, SSK & MPS sebagai dasar pelaksanaan Pengelolaan persampahan Program yang terlaksana dan telah dijalankan saat ini dapat saja menghilang setelah masa pemerintahan saat ini bila tidak dilakukan sinkronisasi program yang akan berjalan oleh pemerintahan berikutnya Wilayah
  • Data base terkait persampahan masih kurang
  • Masih kurangnya pemilahan sampah Organik & Anorganik (termasuk sampah B3) dari sumbernya Sosialisasi intensif mengenai kewajiban melakukan pemilahan sampah dari sumbernya termasuk Sampah B3 Tetap menjalankan aturan dan anjuran yang telah ditetapkan melaui Edukasi, penyuluhan, kampanye, sosialisasi, uji coba/percontohan sistem 3 R
  • Sarana pengumpulan sampah di tingkat masyarakat masih kurang (gerobak sampah, motor sampah dll) Pengadaan gerobak sampah dan motor sampah Target pelayanan dasar bidang persampahan sesuai dengan Permen PU No. 14/PRT/M/2010

  25 Tabel 2.1. Kajian Isu – Isu Strategis Kota Baubau No Aspek Po tensi

  Peluang Pengembangan T antangan Pengembangan Lo kasi

  1. Persampahan Sudah ada SKPD yang menangani masalah pengelolaan persampahan yakni Dinas kebersihan, pertamanan dan pemadam kebakaran

  Wilayah cakupan Pelayanan Persampahan di Kota Baubau meliputi 24 Kelurahan

  1. Dokumen Perencanaan (MP,FS,DED) Sudah ada perda yang mengatur tentang teknis pengelolaan sampah di Kota Baubau yakni PERDA No 6 tahun 2009

  pengembangan cakupan pelayanan persampahan pada 19 Kelurahan di Kota Baubau Tersedianya anggaran pengelolaan persampahan baik yang bersumber dari APBD, APBN maupun sumber- sumber pembiayaan lainnya

  2. Pewadahan Telah tersedia TPA dengan sistem controlled Landfill yang mengarah kepada sanitary landfill

  3. Pengumpulan Awal Tersedianya berbagai dokumen pendukung terkait pengelolaan sampah Kota Baubau diantaranya :

  tentang Standar Pelayanan Minimum ASPEK TEKNIS TEKNIS OPERASIONAL

  Masalah

FISIK LINGKUNGAN

  [Year]

  • Belum ada Pemilahan sampah (sampah Organik & Anorganik) di Tempat Penampungan Sementara Peningkatan TPS Biasa menjadi TPS Terpilah dan Pembangunan TPST 3R Dokumen Buku Putih Sanitasi (BPS)
  • Masih Kurangnya pembangunan TPS di kawasan permukiman sehingga menimbulkan tumpukan sampah Pembangunan TPST baru dan sarana penunjang
  • Belum ada Pemilahan sampah (sampah Organik & Anorganik) di truk pengangkut Pengadaan Sarana Armada truck sampah 3R Dokumen Memorandum Program Sektor Sanitasi (MPSS) Tahun 2013
  • Penetapan waktu (jam) pengangkutan sampah disesuaikan dengan ketetapan waktu pengumpulan sampah di TPS belum berjalan Sosialisasi aturan tentang penerapan waktu pembuangan sampah ke TPS Kesiapan Lahan seluas ± 8 Ha milik Pemkot di Lokasi TPA untuk Pembangunan sarana Ruang
  • Armada pengangkut sampah masih kurang Pengadaan Sarana Armada truck sampah 3R dan Pengadaan Sarana Armada Compactor Truck Kesiapan Institusi Pengelola TPA yaitu Dinas Kebersihan Kota Baubau - Biaya operasional lebih besar daripada pemasukan Peningkatan Operasi dan
  • Metode retribusi sampah disesuaikan dengan cakupan wilayah layanan persampahan belum dikaji dan dilaksanakan secara optimal
  • Kegiatan pembinaan/pemantauan sarana daur ulang misalnya Komposter, TPST masih kurang

  26

  4. Penampungan Sementara Dokumen RPIJM Kota Baubau 2014-2018 dilaksanakan Tahun 2013

  Tahun 2012

  5. Pengangkutan Dokumen Strategi Sanitasi Kota (SSK) Tahun 2012

  Laboratorium pengelolaan Gas Metan

  pemeliharaan Prasarana Persampahan

6. Pengolahan 3R

  [Year]

  7. Pengolahan Akhir di TPA Pemilahan sampah (Organik & Anorganik) di TPA masih belum Perencanaan Detail (DED) - optimal Peningkatan TPA

  Sosialisasi "Rencana" Status TPA Kota Baubau optimalisasi Peningkatan TPA kepada - sanitary landfill masyarakat sekitarnya

  • Sudah menghasilkan gas metan Penanganan lindi belum optimal -

  8. Pengendalian Pencemaran di TPA LeachateTreatment, Sumur monitoring, Buffer zone, Masih minimnya fasilitas pengendalian Instalasi pengolahan lindi, - pencemaran di TPA Wakonti Perpipaan gas metan, Drainase Air Hujan

  9. Sarana Penunjang di TPA Pengadaan Buldozer, Pengadaan Excavator, Masih minimnya sarana penunjang Pengadaan Compactor, - TPA Wakonti pembangunan Pos Jaga, Pengadaan Jembatan timbang

ASPEK NON TEKNIS

  1. Aspek Kelembagaan Kurangnya koordinasi antara 2 SKPD yang menangani Persampahan.

  Komitmen stakeholder dalam hal Disamping itu, Dinas Kebersihan sendiri