Naskah Akademis Pemmerintah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik.
NASKAH AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA
TENTANG PENYELENGGARAAN
PELAYANAN PUBLIK
KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA
DAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
(2)
KATA PENGANTAR
Pemerintah Kabupaten Jembrana bekerjasama dengan
Fakltas Hukum Universitas Udayana untuk menyusun
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah. Berdasarkan kerjasama tersebut Fakultas Hukum pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang selanjutnya membentuk tim peneliti yang bertugas melakukan penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah .
Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum ‒ tidak
menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik.
Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Jembrana, sehingga Tim Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya. Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.
Denpasar, November 2015 Tim Peneliti PPH FH-UNUD Ketua,
(3)
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar ……….. ii
Daftar Isi ……….. iv
Daftar Tabel ……….. vii
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Identifikasi Masalah……… 6
C. Tujuan dan Kegunaan………. 6
D. Metode……….. 8
BAB II KAJIAN TEORITIS………. 13
A Kajian Teoritis……… 13
B Kajian terhadap asas / prinsip yang terkait dengan penyusunan norma………. 15
C Kajian Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat……… 20
D Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah………. 24
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT………. 25
A Kondisi Hukum Dan Satus Hukum Yang Ada B Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Lain... 28
(4)
YURIDIS………... 32
A. Pandangan Akhli dan UU 12/2011…………. 32
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH… 40 A Ketentuan Umum……… 40
B Materi Yang Akan Diatur………... 42
BAB VI PENUTUP………. 44
A Simpulan ……….. 44
B Saran……… 45
DAFTAR PUSTAKA >> 46
LAMPIRAN:
Racangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Tentang Pelayanan Publik
(5)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)……….. 16 Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan penjelasan……… 17 Tabel 3 : Visi dan Misi... 22 Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun
2014... 22
Tabel 5: Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan... 31
Tabel 6 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia... 34 Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan………. 38
Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011…… 39
(6)
(7)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan publik sesungguhnya yang menjadi produk dari
organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik
service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan public dalam bentuk pelayanan jasa dan barang. Pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak yang didasrkan pada komitmen pelayanan yang melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” 1
Pemerintah Kabupaten Jembrana belum memiliki dasar pengaturan tentang pelayanan public. Pemerintah Kabupaten Jembrana terus berbenah diri dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dalam upaya meningkatkan pelayanan publik . Sarana dan prasarana juga terus dilengkapi sehingga aparatur negara mampu lebih cepat memberikan pelayanan terhadap keperluan masyarakat, baik terhadap perizinan, kependudukan, kesehatan, maupun keperluan lainnya. Kawasan perkantoran Pemerintah Kabuapten Jembrana cukup strategis, dan beberapa
instansi terkait berada dalam suatu kawasan sehingga
mempermudah masyarakat jika berhubungan dengan aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah yang mampu melakukan tugas
(8)
dengan baik dan cekatan tentu akan menerima penghargaan dari pemerintah, upaya itu guna mendorong aparat melakukan tugas dengan baik. Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu
proses pelaksanaan urusan publik.2 Sedangkan tugas mengatur
lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi. Keberadaan pelayanan publik
sebagai bentuk pelayanan penyelenggaraan administrasi
pemerintah, pembangunan dan masyarakat Kabupaten Jembrana , memiliki peranan dan fungsi strategis sebagai bahan
pertanggungjawaban proses administrasi dan fungsi-fungsi
manajemen.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menentukan
pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Mengenai otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
(9)
Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587). UU 23/2004 merupakan dasar hukum pembentukan peraturan daerah. Pasal 236 menentukan:
Pasal 236
(1)Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan
TugasPembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2)Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 344 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah mengatur bahwa Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32) Dalam Pasal Produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berbentuk:
a. Perda atau nama lainnya; b. Perkada;
c. PB KDH; dan d. Peraturan DPRD
Pasal 5 UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ( selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik ) adalah menyangkut dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah.Pengaturan dasar kewenangan dimaksud adalah :
(10)
(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait.
(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang
pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang
(11)
dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.
(6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.
b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan
perjanjian dengan penerima pelayanan.
Pengaturan terkait dengan materi muatan diatur dalam Pasal 8 yang mengatur :
(1) Organisasi Penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan
pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan.
(2) Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi:
a.pelaksanaan pelayanan;
b.pengelolaan pengaduan masyarakat;
c.pengelolaan informasi;
d.pengawasan internal;
e.penyuluhan kepada masyarakat; dan
f. pelayanan konsultasi.
(3) Penyelenggara dan seluruh bagian Organisasi Penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah mengatur No 96 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tentang Pelayanan Publik mengatur bahwa Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi :
a. ruang lingkup pelayanan publik;
b. sistem pelayanan terpadu;
c. pedoman penyusunan standar pelayanan;
d. proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat dalam
(12)
e. pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berkenaan dengan materi muatan peraturan daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PP 38/2007), yang memasukan urusan pemerintahan bidang pelayanan publik diatur dalam Lampiran huruf T PP
38/2007 (huruf T tersebut tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, Dan Persandian).
Ketentuan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan Daerah Kabupaten JembranaNomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Berdasarkan UU 23 Tahun 2014 menunjukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana memiliki kewenangan mengatur dalam bentuk Peraturan Daerah.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi masalah, yakni bahwa Pelayanan Publik di Kabupaten Jembrana merupakan suatu hal yang mendapat perhatian sehingga perlu dilakukan pengaturan, oleh karena itu perlu
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang
Pelayanan Publik.
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1.Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik ?.
(13)
2.Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembran tentang Pelayanan Publik ?.
3.Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik ?.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik .
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang Pelayanan Publik .
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Publik.
(14)
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian
hukum.3
D.1 Jenis Penelitian.
Di dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian yaitu : 4
a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitataif.
b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris,
mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.
Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis
penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.5
Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer ( primary sources or authorities )
bahan-bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan
bahan hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan
3 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, hal. 177-178.
4 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia Jakarta, 1985, hal. 9.
5 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, hal. 109-110.
(15)
hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.
D.2. MetodePendekatan.
Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode
pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute
approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan
analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan (
comparative approach ), pendekatan histories ( historical approach
), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan
kasus ( case approach).6 Dalam penelitian ini digunakan beberapa
cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (
statute approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan
pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ),
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan, antara lain UU Kearsiapan dan UU Pemda.
Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach )
dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai
pendelegasian kewenangan sesuai dengan penelitian ini..7
Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu.
6 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset, hal. 93-137.
(16)
D.3. Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.8 Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah UU Kearsiapan dan UU Pemda serta peraturan
perundang-undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian
kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di dalamnya kamus dan ensiklopedia.
Selain itu akan digunakan data penunjang, yakni berupa informasi dari lembaga atau pejabatdi lingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Jembrana
D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait dengan Pelayanan Publik.
1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang
dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi,
interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus
8 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, hal. 134.
(17)
M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup
isi maupun struktur hukum positif.9 Pada tahap deskripsi ini
dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.10 Lebih
lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan : The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.11
( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain )
Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat
dibedakan menjadi :12
1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran
ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang
dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan ( biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ;
9 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )
dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember hal. 33.
10 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,
Avy-rouz, hal. 16.
11 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Barkely & Los Angeles, hal. 111.
12 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), hal. 14 .
(18)
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan
penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan,
secara materiil mempunyai pengaruh terhadap
pelaksanaan undang-undang.
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik, penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.
Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-undangan yang lain.
Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini
dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Kearsipan.
(19)
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Tugas utama pemerintah adalah memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, melayani kepentingan
masyarakat secara merata dan berkedilan, memberikan
perlindungan dan rasa aman serta kemudahan dalam
memberikan pelayanan. Pengertian Layanan Publik,
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan
adalah pelayanan masyarakat (public service). Pelayanan tersebut
diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dandilakukan secara universal. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya,
pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(20)
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.
2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat
dibedakan lagi menjadi :
a. Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
b. Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk
penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya
pengguna/klien tidak harus mempergunakannya
karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan. Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan
sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2. Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar
pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
(21)
3. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
4. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang
memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
5. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan
pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
(22)
penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.
Tabel 1 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk
Peraturan
Perundang-undangan harus
dilakukan
berdasarkan pada
asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat
bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat
dilaksanakan
bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. kedayagunaan dan
kehasilgunaan
bahwa setiap PPu dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan rumusan
bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
(23)
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.
Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU
12/2011 Ayat (1)
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan
asas:
a. Pengayoman bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan
(PPu) harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
(24)
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu
senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus
memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan Kedudukan
dalam Hukum dan
Pemerintahan
bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan
Kepastian Hukum
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian
hukum.
j. Keseimbangan,
Keserasian, dan
Keselarasan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
(25)
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2)
PPu tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
antara lain:
a. dalam Hukum Pidana,
misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata,
misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik. Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.
Berdasarkan Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Penyelenggaraan Pelayanan Publik berasaskan:
a.kepentingan umum;
b.kepastian hukum;
c.kesamaan hak;
d.keseimbangan hak dan kewajiban;
e.keprofesionalan;
f. partisipatif;
g.persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h.keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k.ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Dalam Pasal 344 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang asas-asas yang melandasi tentang pelayanan public antara lain :
(26)
b. kepastian hukum; c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penyusunan Raperda Kabupaten Jembranadidasarkan pada asas-asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun asas yang termuat dalam UU Pelayanan Publik dan dalam UU Pemda .
C.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI
YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
MASYARAKAT
Pemerintah Kabupaten Jembrana sangat menyadari bahwa otonomi daerah dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat utamanya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas termasuk memberi ruang kepada
masyarakat untuk menyampaikan pengaduan atas
penyelenggaraan pelayanan publik. Pengaduan maksudnya
adalah pengaduan masyarakat yang merupakan bentuk
penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat, baik secara lisan maupun tertulis kepada Aparat
Pemerintah Daerah, berupa saran, gagasan atau
keluhan/pengaduan yang bersifat membangun.
Setiap penyelenggara pelayanan publik memang harus terus menerus melakukan upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diselenggarakannya
(27)
agar seiring dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta memberi perlindungan kepada masyarakat dari penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pemerintah Kabupaten Jembrana melkaukan upaya melalui reformasi paradigma lama melalui peningkatan kesadaran perangkat birokrasi yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku : 13
a. melayani bukan dilayani;
b. mendorong bukan menghambat;
c. mempermudah bukan mempersulit;
d. sederhana bukan berbelit-belit;
e. transparan bukan tertutup;
f. terbuka untuk setiap orang dan bukan unutk
segelintir orang.
Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana dalam memberikan layanan perizinan memerapkan Standar Operasional yang konsisten pedoman :
1. arah dan kepastian;
2. proporsional;
3. professional;
4. berstandar;
5. serta memenuhi prinsip-prinsip pelayanan prima yang
mengarah pada tercapainya tujuan, visi dan misi. Visi dan misi pelayanan public yang selama ini dalam praktek di Kabupaten Jembrana antara lain :
13
Kantor Pleyanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana, 2014, Buku Pelayanan Perijinan Terpadu, h. 2-4
(28)
Tabel 3 : Visi dan Misi
Visi Terwujudnya pelayanan prima di bidang perizinan dan
non perijinan dengan pola pelayanan terpadu dengan loket yang cepat, tepat, benar dan transpara.
Misi Memberikan pelayanan yang berkualitas dan merata bagi
masyarakat dengan kepastian prosedur, biaya dan waktu yang ditetapkan
Sumber : Kantor Pelalayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana
Jumlah layanan yang dilayani sebanyak 69 jenis, terdiri dari layanan perijinan sebanyak 51 buah, nonperijinan 12 buah, akta catatan sipil 5 buah dan 1 buah layanan Kartu Tanda Pencari Kerja dengan rincian dalam tabel sebagi berikut :
Tabel 4 : Jenis Layanan Perizinan Di Kabupaten Jembrana Tahun 2014
No Nama Jenis Pelayanan Keterangan
1 Persetujuan prinsip Non Perizinan
2 Izin Lingkungan Perizinan
3 Izin Undang-Undang Gangguan ( HO) Perizinan
4 Izin Mendirikan Bangunan ( IMB) Perizinan
5 Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) Perizinan
6 Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha ( TDU )
Usaha penggilingan Padi/ Huller dan
penyosohan beras
Perizinan
7 Izin Pemasangan Reklame Perizinan
8 Izin Usaha Hotel Perizinan
9 Izin Usaha Pondok Wisata Perizinan
10 Izin Usaha restoran /Rumah Makan/Warung
Wisata
Perizinan
11 Rekomendasi pemakaian gedung Mandapa
Kesari
Non Perizinan
12 Rekomendasi pemakaian Tanah Lapang Non Perizinan
13 Izin Usaha Peternakan Perizinan
14 Tanda Pendaftaran peternakan Rakyat Perizinan
15 Izin pemotongan ternak, penganan daging
serta hasil ikutannya
Perizinan
16 Izin Usaha Perikanan Perizinan
17 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Perizinan
18 Tanda Daftar Usaha Perikanan Perizinan
19 Izin Menebang Kayu Kebun /Kayu Rakyat Perizinan
20 Surat Ijin Usaha Konstruksi (S IUJK) Perizinan
(29)
NKTT)
22 Tanda Pendaftaran Usaha (TPU ) VCD Rental Non Perizinan
23 Izin Menyelenggaran pendidikan Khusus
Luar sekolah
Perizinan
24 Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional Perizinan
25 Izin Usaha Pusat Perbelanjaan ( IUPP) Perizinan
26 Izin Usaha Toko Modern ( IUTM) Perizinan
27 Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP) Perizinan
28 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol Perizinan
29 Surat Izin penjualan Minuman Beralkohol Perizinan
30 Tanda Daftar Perusahaan ( TDP) Non Perizinan
31 Izin Usaha Undustrai Perizinan
32 Tanda Daftar Industri ( TDI) Non Perizinan
33 Tanda Daftar Gudang ( TDG) Non Perizinan
34 Izin Apotek Perizinan
35 Izin Optical Perizinan
36 Izin Berpraktek Dokter Umum Perizinan
37 Izin Berpraktek Dokter Gigi Perizinan
38 Izin Klinik; BP; RB; BKIA Perizinan
39 Izin Balai Pengobatan Gigi Perizinan
40 Izin Unit Tranfusi Darah Perizinan
41 Izin Tukang Gigi Perizinan
42 Izin Praktik Fisioterapi Perizinan
43 Izin Praktik Perorangan Dokter / Dokter Gigi Perizinan
44 Surat Izin Praktik bidan ( SIPB) Perizinan
45 Surat Izin Praktik perawat ( SIPP) Perizinan
46 Sertifikat Produksi Pangan Rumah Tangga (
SPP-IRT)
Non Perizinan
47 Izin Toko Obat Perizinan
48 Izin Salon Kecantikan Perizinan
49 Surat Izin Kerja Tenaga Medis Perizinan
50 Ijin Laboratoriun Kesehatan Swasta Perizinan
51 Surat Izin Mendirikan Rumah Sakit Umum Perizinan
52 Izin Operasional Rumah Sakit Umum Perizinan
53 Izin Operasional menara ( IOM) Perizinan
54 Izin Penimbunan / Penyimpanan BBM Perizinan
55 Rekomendasi penutupan Jalan Non Perizinan
56 Izin Usaha Angkutan Kendaraan Umum Perizinan
57 Kartu Tanda Pemilikan Izin Usaha Angkutan
Kendaraan Bermotor Umum
Non Perizinan
58 Izin Trayek Angkutan Pedesaan Perizinan
59 Izin Insidentil ( Penyimpanan Trayek) Perizinan
60 Surat Tanda Uji Kendaraan Bermotor Non Perizinan
61 Izin Tempat Penampungan Sementara ( TPS)
Limbah B3
Perizinan
(30)
63 Izin Pengambilan dan pemanfaatan Air Tanah
Perizinan
64 Akta Perkawinan Perizinan
65 Akta Perceraian Perizinan
66 Akta Kematian Perizinan
67 Akta Kelahiran Perizinan
68 Akta Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak,
Pengesahan Akata Anak, Perubahan Nama
Perizinan
69 Kartu Tanda Pencari Kerja ( AK-1) Tenaga kerja
Sumber : Buku Pelayanan Perizinan Terpadu Yang Diterbitkan Oleh
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten
Jembrana Tahun 2014
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN
KEUANGAN DAERAH.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembranatentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan sarana untuk menjaga agar terlaksananya :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang
layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembranatentang Pelayanan Publik membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, sehingga sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana .
(31)
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG
TERKAIT
A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA
Dengan diberlakukannya UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, seluruh instansi pemerintah dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan akuntabel. Untuk itu setiap unit pelayanan diharapkan mampu berinovasi menciptakan berbagai terobosan yang memudahkan masyarakat mendapatkan layanan tanpa melanggar norma hukum yang berlaku.
Pemerintah Daerah menyadari bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, salah satu faktor yang menentukan adalah kualitas pelayanan publik. Dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik, Pemkab Jembrana memiliki komitmen yang jelas, hal itu dapat dibuktikan dalam
RPJMD Kabupaten Jembrana dengan tegas tercantum
peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu prioritas pembangunan daerah. Atas dasar prioritas pembangunan
daerah tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik diantaranya membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai wujud Pelayanan
Terpadu Satu Pintu dan memberikan penghargaan bagi
SKPD/unit pelayanan yang berprestasi dan memiliki komitmen dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
(32)
Pembentukan (BPPT) yang mulai beroperasi 1 Mei 2013 lalu merupakan wujud nyata komitmen kami dalam mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat serta mendorong
tumbuhnya iklim investasi yang sehat di Kabupaten Jembrana,”
tegas Bupati seraya menambahkan dalam memberikan pelayanan dan memimpin Jembrana selalu dengan hati yang tulus.
Selain itu menurut Bupati, bahwa dalam upaya untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, Jembrana juga sudah mengarahkan agar seluruh SKPD untuk melakukan survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM).
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang
Pelayanan Publik adalah:
1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
(33)
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 473 ).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
7. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar Pelayanan.
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten
Jembrana(Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana
Tahun 2008 Nomor 2).
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah.
Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang Pelayanan Publik. Sebagai dasar hukum formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945,
sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan
(34)
Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945..
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Dalam sistem negara hukum modern, kekuasaan Negara dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat misalnya kekuasaan membentuk undang-undang merupakan kekuasaan
negara yang dipegang oleh badan legislatif.14 Sedangkan cabang
kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksana atau
eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi yang diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Lagi pula sebagai produk lembaga
14 Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1.
(35)
politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan forum politik, A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;
The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no small measure to futile endeavoursof Parliament to work
out the details of large legislative changes… the substance no
less than the form of law would,it is probable, be a good deal improved if the executive government of England could, ike that of France , by means of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of law, work out the detailed application of the general principles embodied in the acts of the legislature [(1898),1959,pp52-53].15
( terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan
bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah
dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan
perubahan legislative yang besar secara
terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal tersebut memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan yang baik apabila pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam
undang-undang dari badan pembuat undang-undang .
[(1898),1959,pp52-53].
Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang
akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative
15 Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
(36)
delegation of rule making power.16 Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Mengingat arti pentingnya pemerintah Indonesia
menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pelayanan publik. Hal ini terbukti dengan diperlukannya beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang pelayanan publik.
Materi pokok yang diatur mengenai Penyelenggaraan Kearsipanyang akan diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tabel 5 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN Perda
Jembrana No 2 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana
UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ANALISIS a. pelaksanaan pelayanan; b. pengelolaan pengaduan Pasal 4 Urusan wajib sebagaimana dimaksud Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggara Pengkajian kewenangan kaitan antara jenis peraturan
(37)
masyarakat;
c. pengelolaan
informasi;
d. pengawasan
internal;
e. penyuluhan
kepada masyarakat; dan
f. pelayanan
konsultasi.
dalam Pasal 3 adalah
urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarak an oleh
Pemerintahan Daerah yang berhubungan dengan
pelayanan dasar
nya
pelayanan publik
berdasarkan Urusan
Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah
dan materi
muatan peraturan
perundang-undangan menunjukkan terdapat adanya dasar kewenangan pembetukan
Peraturan Daerah
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah, UU No 23 Tahun 2014 dan Peraturan Daerah Kabupaten JembranaNo. 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana
(38)
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011
Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen, adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung “kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut17.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar
dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum18.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan
17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hal. 40
18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
(39)
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu mencerminkan nilai kepastian hukum.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie19, Bagir
Manan20, dan Solly Lubis21.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia22
Landasan Jimly
Asshiddiqie
Bagir Manan M. Solly Lubis
Filosofis Bersesuaian
dengan
nilai-nilai filosofis
yang dianut oleh suatu Negara.
Contoh,
nilai-nilai filosofis
Negara Republik Indonesia
terkandung
dalam Pancasila sebagai
“ staatsfunda-mentalnorm”.
Mencerminkan
nilai yang
terdapat dalam
cita hukum
(rechtsidee), baik
sebagai sarana
yang melindungi nilai-nilai
maupun sarana mewujudkannya
dalam tingkah
laku
masyarakat.
Dasar filsafat atau
pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan
hasrat dan
kebijaksanaan (pemerintahan
) ke dalam
suatu rencana
atau draft
peraturan Negara.
19 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), hal . 169-174, 240-244
20 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hal. 14-17.
21 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung:
Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hal. 6-9.
22 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit., hal. 38.
(40)
Sosiologis Mencerminkan tuntutan
kebutuhan masyarakat
sendiri akan
norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan
dengan (1)
kriteria pengakuan
terhadap daya
ikat norma
hukum; (2)
kriteria penerimaan
terhadap daya
ikat norma
hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut
norma hukum
secara faktual
memang berlaku
efektif dalam
masyarakat].
Mencerminkan kenyataan yang
hidup dalam
masyarakat.
Kenyataan itu
dapat berupa
kebutuhan atau
tuntutan atau
masalah-masalah yang
dihadapi yang
memerlukan penyelesaian.
-
Yuridis Norma hukum
itu sendiri
memang
ditetapkan (1)
sebagai norma
hukum berdasarkan
norma hukum
yang lebih tinggi; (2) menunjukkan hubungan
Keharusan (1)
adanya
kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan;
(2) adanya
kesesuaian
bentuk atau
jenis peraturan
Ketentuan
hukum yang
menjadi dasar
hukum bagi
pembuatan suatu peraturan, yaitu:
(1) segi formal, yakni
(41)
keharusan
antara suatu
kondisi dengan
akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan
hukum yang
berlaku; dan (4)
oleh lembaga
yang memang
berwenang untuk itu.
perundang-undangan
dengan materi
yang diatur;
(3) tidak
bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti
tata cara
tertentu dalam
pembentukanny a.
yuridis yang
memberi kewenangan untuk
membuat peraturan tertentu; dan
(2) segi
materiil, yaitu landasan
yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.
Politis Harus tergambar
adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
1945 sebagai
politik hukum
yang melandasi pembentukan undang-undang [juga dikatakan, pemberlakuanny a itu memang
didukung oleh
faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].
Garis
kebijaksanaan
politik yang
menjadi dasar bagi kebijaksanaan -kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksana an pemerintahan. Misalnya,
garis politik
otonomi dalam
GBHN (Tap
MPR No. IV
Tahun 1973)
memberi pengarahan dalam
pembuatan UU Nomor 5
(42)
Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan
perundang-undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
(43)
Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 23
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat yang memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut
dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi
validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–
undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan24 dan teknik
penyusunan naskah akademik25 yang diadopsi Undang-Undang
23Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.
24 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011).
(44)
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang
mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan
diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
(45)
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2) memajukan kesejahteraan umum
Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang juga merupakan tanggung jawab Negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten
Jembranaperlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a.kepentingan umum;
b.kepastian hukum;
c.kesamaan hak;
d.keseimbangan hak dan kewajiban;
e.keprofesionalan;
f. partisipatif;
g.persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h.keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k.ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran masyarakat
(46)
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het
onderwerp”.26 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam
ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.27
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi
muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai
materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.28
26 A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, hal. 193-194. 27Ibid.
28 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, hal. 90.
(47)
Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur
dalam Peraturan Presiden.29
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang
khususnya dan peraturan perundang-undangan pada
umumnya.30 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya
digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan .Pedoman 98 TP3U
menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian
atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu;
dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian
di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.
29 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, hal. 62.
(48)
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik diantaranya adalah:
a. pelaksanaan pelayanan;
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi;
d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat; dan
f. pelayanan konsultasi.
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi Pokok Yang Diatur adalah Penyelenggaraan Pelayanan publikPembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian (Pedoman 111 TP3U), yakni:
a. Ketentuan Umum
b. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
c. Pembina dan Penanggung Jawab
d. Organisasi penanggung jawab
e. Organisasi penyelenggara
f. Kerjasama Penyelenggara
g. Hak dan Kewajiban Penyelenggara.
h. Kewajiban Pelaksana
i. Hak Dan Kewajiban Masyarakat.
j. Penyusunan
k. Penetapan
l. Maklumat dan Penerapan Standar Pelayanan
m.Pemantauan Dan Evaluasi
(49)
o. Pengawasan
(50)
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
Jembranabelum mempunyai Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas dirumuskan simpulan yaitu :
1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
(51)
6. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar Pelayanan.
7. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2008 Nomor 2).
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati tentang Pelayanan
Publik.
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pelayanan public sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat dalam bentuk :
g. konsultasi publik;
h. musyawarah;
i. kemitraan;
j. penyampaian aspirasi;
k. pengawasan; dan/atau
l. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
(52)
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ann Seidman, et.all, 2001, Penyusunan Rancangan
Undang-Undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis, Terjemahan ELIPS Jakarta.
Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Barkely & Los Angeles.
A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta,
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992).
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia
Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.
Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni
Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD.
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,
Avy-rouz.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012).
Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu hukum Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa Soemardi, Rimbi Press.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan,
(53)
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory
of Law and State.
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth Edition Cavendish Publishing.
Jan Gijsels,Mark Van Hocke, 2005, ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung.
Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006).
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
(Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989).
Mahendra Putra Kurnia, 2007, et all, Pedoman Naskah Akademis
Perda Partisipatif, Kreasi Total Media Yogyakarta.
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (
Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember ( selanjutnya disebut Philipus M Hadjon II ).
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana, 2014, Buku Pelayanan Perijinan Terpadu
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra
Aditya Bakti.
Subawa, Made 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
(54)
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan Penerapan Standar Pelayanan.
(55)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 32);
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun 2008 Tentang
Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana
(56)
BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR … TAHUN …
TENTANG PELAYANAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana dan sebagai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pelayanan publik diamanatkan untuk terus ditingkatkan kualitas untuk menjamin kesederhanaan, kemudahan, keterjangkauan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat;
b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang kompleks dan didukung
dengan adanya kemajuan teknologi, maka pemerintah Kabupaten Jembrana dituntut untuk
melakukan peningkatan dan perbaikan
pelayanan public kepada masyarakat;
c. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta mempertegas hak dan kewajiban setiap warga masyarakat, korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
(1)
Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2
Cukup jelas Pasal 3
Cukup jelas Pasal 4
Cukup jelas Pasal 5
Cukup jelas Pasal 6
Cukup jelas Pasal 7
Cukup jelas Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas Pasal 10
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Cukup jelas Huruf e
Cukup jelas Huruf f
(2)
Yang dimksud dengan mencantumkan alamat yang mudah diakses adalah pihak lain wajib mencantumkan alamat tempat mengadu dan sarana untuk menampung keluhan masyarakat yang mudah diakses, antara lain telepon, pesan layanan singkat (short message service (sms)), laman (website), pos-el (e-mail), dan kotak pengaduan.
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas Pasal 12
Cukup jelas Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17
Cukup jelas Pasal 18
Cukup jelas Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas Pasal 21
Ayat (1)
(3)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses identifikasi waktu adalah bahwa dalam menghiting waktu, perlu betul-betul memperhatikan prosedur yang mengatur hubungan dengan pangguna layanan, maupun prosedur yang mengatur hubungan antar petugas.
Pasal 22
Cukup jelas Pasal 23
Cukup jelas Pasal 24
Cukup jelas Pasal 25
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas Pasal 27
Cukup jelas Pasal 28
Cukup jelas Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
a. Yang dimkasud dengan internalisasi adalah suatu proses yang diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada seluruh jajaran organisasi pennyelenggara pelayanan.
b. Yang dimaksud dengan sosialisasi adalah suatu proses yang perlu dilakukan untuk membangun pemahaman dan persamaan persepsi dilingkungan unit/satker penyelenggara pelayanan.
Pasal 30
(4)
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Yang dimaksud dengan survei kepuasan masyarakat adalah pengukuran secara komprehensif kegiatan tentang tingkat kepuasan masyarakatyang diperoleh dari hasil pengukuran atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari penyelenggara pelayanan publik.
Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Cukup jelas Pasal 32
Cukup jelas Pasal 33
Cukup jelas Pasal 34
Cukup jelas Pasal 35
Cukup jelas Pasal 36
Cukup jelas Pasal 37
Cukup jelas Pasal 38
Cukup jelas Pasal 39
Cukup jelas Pasal 40
Cukup jelas Pasal 41
(5)
Pasal 42
Cukup jelas Pasal 43
Cukup jelas Pasal 44
Cukup jelas Pasal 45
Cukup jelas
(6)