BAB III.doc 51KB Jun 02 2011 09:33:52 AM

BAB III
HASIL KEGIATAN WORKSHOP II

A. Peningkatan Ketersediaan Pangan
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan ketahanan
pangan, yaitu: (i) evaluasi terhadap institusi ketahanan pangan nasional, (ii) perlu
Peraturan Pemerintah (PP) tentang diversifikasi pangan, (iii) setiap daerah harus
diberi raport tentang standart minimal untuk ketahanan pangan nasional, dan (iv)
Kemenko Kesra harus mengambil program spesifik yang memang belum
dikerjakan departemen lainnya. Berkaitan dengan program ketahanan pangan,
khususnya

diversifikasi

pangan,

menurut

Deputi

II


Kemenko

Kesra;

“Kementerian Kesra sebenarnya bertugas mengkoordinasikan, bukan melakukan
implementasi di lapang, sehingga tidak akan terjadi overlaping dengan
departemen lain. Sedangkan Bulog sebagai institusi merupakan bagian dari Badan
Ketahanan Pangan, bukan badan ketahanan beras”. Dengan demikian, diperlukan
peran Bulog yang lebih jauh dan koordinasi intensif antar departemen terkait
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Ketersediaan pangan terdiri dari berbagai aspek, tetapi untuk negara agraris
seperti Indonesia maka produksi pangan dalam negeri dapat menjadi pilihan
pertama. Produksi pangan yang kontinyu di dalam negeri dibebankan kepada para
petani yang berdasarkan data statistik rata-rata memiliki lahan di bawah 0,5
hektar. Keterbatasan lahan tersebut menyebabkan kontinuitas produksi pangan
bermutu menjadi suatu dilema bagi para petani kecil. Di satu pihak petani kecil
harus memenuhi kebutuhan keluarganya dan di lain pihak petani harus
menggunakan dananya untuk membeli sarana produksi bagi proses usahatani
berikutnya. Tanpa bantuan pihak luar (dalam hal ini pemerintah), petani kecil akan

terus menghadapi dilema lingkaran setan kesejahteraan yang rendah.
Upaya meminimalisir lingkaran setan sebagaimana diutarakan di atas dapat
dilakukan melalui 2 (dua) opsi, yaitu: I) Memutus siklus kesejahteraan petani

8

yang menurun dengan mengurangi pembelanjaan sarana produksi, dan II)
Memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga petani dari kebutuhan
sekunder petani. Melalui opsi-opsi tersebut pemerintah dapat membantu dalam
beberapa hal, yaitu: mengurangi biaya sarana produksi di suatu proses usahatani
yang tengah berlangsung dan proses usahatani berikutnya.
Terkait dengan opsi I, sebenarnya pemerintah sudah melaksanakan akan
tetapi pelaksanaannya yang memang masih perlu diperbaiki. Misalnya pupuk pada
saat dibutuhkan petani, teryata barangnya tidak ada, kalau ada harganya sangat
mahal. Yang lainnya, misalnya pelatihan bagi petani juga sudah dihidupkan lagi,
pemberian penghargaan, dulu sudah ada kontes sapi, benih bermutu juga sudah
ada, dan bahkan diberikan secara gratis, bantuan alat mekanisasi pertanian juga
sudah diberikan, hanya jumlahnya yang memang masih sangat terbatas, dan KKP
(kredit khusus petani) sudah ada akan tetapi masih sulit diakses petani karena

untuk bisa mendapatkan kredit harus menyerahkan anggunan sertifikat, disisi lain
sebagian besar petani kita hanya memiliki petok “D”. Sedangkan terkait opsi II,
sudah ada program BOS, Jamkesmas. Namun demikian diharapkan Pemda perlu
berperan aktif. Gagasan pembentukan warug desa untuk menampung padi/gabah
petani merupakan gagasan yang sangat baik sehingga perlu ditindaklanjuti.
B. Mengefektifkan Distribusi Pangan
Suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen bahan pangan tetapi
faktanya fluktuasi harga pangan dapat mengancam ketahanan pangan. Distribusi
pangan terkait erat dengan stabilisasi pangan dalam arti ketersediaan maupun
harga pangan. Upaya mengefektifkan distribusi pangan dapat dilakukan dengan
cara memberikan stimuli pengembangan kelembagaan tunda jual bagi petani
dengan cara memberikan bantuan gudang kecil untuk kelayakan menyimpan
bahan pangan produksi petani, mempermudah transportasi pengangkutan bahan
pangan antar daerah, dan mengembangkan kemampuan penggunaan teknologi
pasca panen dengan cara memberi bantuan alat pasca panen seperti mesin serba

9

guna untuk tepung beras, tepung jagung, tepung ketan, tepung tapioka, dan
sebagainya.

Selanjutnya, stabilisasi ketersediaan pangan dapat dilakukan dengan cara
memberikan bantuan pendanaan bagi pembeli gabah seperti pedagang gabah,
koperasi petani/pertanian, dan gapoktan untuk membeli gabah petani dan
menjualnya pada pelaku stok nasional dalam hal ini Bulog/Dolog. Stabilisasi
ketersediaan pangan dan stabilisasi harga panen produk pangan (khususnya beras)
dapat dilaksanakan antara lain dengan membuka Warung Padi/Warung
Tani/Warung Desa bagi lembaga-lembaga pedesaan untuk membeli gabah petani
dari petani kecil dengan harga beli gabah bersubsidi untuk selanjutnya dibeli oleh
Bulog/Dolog. Warung Padi/Warung Tani/Warung Desa juga dapat difungsikan
sebagai lembaga penyalur beras warga miskin (Raskin) untuk program raskin
yang sedang berjalan (saat ini masih melalui Desa/Keluarga dan RT). Selain itu,
stabilisasi harga pangan dapat juga dilakukan dengan cara melakukan operasi
pasar khusus (Raskin).
C. Peningkatan Diversifikasi Pangan
Menurut

Asisten

Deputi


Kompensasi

Sosial

Kedeputian

Bidang

Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Dr. Ir. Dodo Rusnanda Sastra, MSi, diversifikasi pangan
diartikan sebagai peningkatan konsumsi pangan non beras dengan prinsip gizi
seimbang. Lebih lanjut, gizi seimbang adalah gizi mengandung karbohidrat,
protein, lemak yang mencukupi kalori sesuai standar kebutuhan hidup sehat
sebesar 2.200 KKal/Kapita/Hari.
Beberapa faktor yang mendorong dilakukannya diversifikasi pangan, yaitu:
keanekaragaman hayati, keanekaragaman pangan lokal, jumlah dan pertumbuhan
penduduk serta penyediaan pangan terfokus beras dengan laju produktivitas
melandai. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan dalam
pengembangan


diversifikasi

tersebut.

Permasalahan

strategis

dalam

pengembangan diversifikasi pangan, yaitu: i) jumlah penduduk yang besar
membutuhkan konsumsi beras yang besar, ii) kebijakan pengembangan pangan

10

terfokus beras, iii) pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam, iv)
konsumsi pangan hewani masih di bawah anjuran, v) beberapa daerah masih
mengalami kerawanan pangan secara berulang pada musim paceklik dan
kerawanan mendadak di daerah yang terkena bencana, dan vi) penerapan
teknologi produksi dan teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat tidak

mampu mengimbangi pangan olahan asal impor yang membanjiri pasar.
Kebijakan pengembangan pangan berfokus beras dapat mengurangi penggalian
dan pemanfaatan potensi sumber-sumber pangan lain dan mempengaruhi
pengembangan usaha penyediaan bahan pangan lain. Sementara itu, pola
konsumsi pangan masyarakat yang masih belum beragam dipengaruhi oleh faktor
sosial budaya dan ekonomi. Faktor sosial budaya meliputi: informasi,
pengetahuan, kebiasaan, kelembagaan maupun budaya lokal yang spesifik.
Sedangkan faktor ekonomi meliputi: perdagangan, tingkat pendapatan rendah dan
harga pangan cenderung naik.
Data lapang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi pangan ratarata 1,9%, bahkan pada tahun 2007 laju pertumbuhan produksi pangan mencapai
5,06%. Berdasarkan laju pertumbuhan produksi pangan tersebut sebenarnya impor
beras sudah tidak diperlukan lagi. Namun demikian, bersamaan dengan itu, karena
banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pertanian dan laju
pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi sehingga menyebabkan konsumsi
beras cukup tinggi (> 100 kg per kapita per tahun). Tingginya tingkat konsumsi
beras yang menyebabkan ketergantungan terhadap impor beras dan tingginya laju
pertumbuhan pangan sebagaimana diutarakan di atas menunjukkan diperlukannya
suatu program ketahanan pangan, khususnya diversifikasi pangan. Untuk
mewujudkan ketahanan pangan, diversifikasi pangan dapat dijadikan salah satu
andalan kegiatan.

Program diversifikasi pangan sebenarnya sudah lama dicanangkan, hanya
saja hingga saat ini belum memberikan hasil nyata. Hal ini dimungkinkan karena
belum adanya konsistensi kalangan industri dan bahkan pemerintah dalam
implementasi program tersebut. Masih terdapat industri makanan yang bergantung
pada bahan baku beras, misalnya: industri kue. Bahan baku industri kue dirasa

11

masih belum cukup beranekaragam. Bahan baku tepung pada industri ini
sebenarnya dapat di-anekaragam-kan dengan tepung jenis lainnya, terutama
tepung umbi-umbian yang bayak ditanam petani, seperti: ubi jalar, singkong,
kentang, dan lain-lain. Selain itu, masih terdapat program pemerintah yang
menunjukkan ketergantungan yang kuat terhadap beras, misalnya: program beras
untuk masyarakat miskin (Raskin). Untuk mengatasi kekurangan pangan dalam
jangka pendek pada masyarakat miskin, sebaikya pemerintah memiliki bahan
pangan alternatif sebagai sumber karbohidrat selain beras. Misalnya dari yang
semula 15 kg beras diubah menjadi 10 kg beras dan 5 kg jenis sumber karbohidrat
terutama dari umbi-umbian. Dipilihnya umbi-umbian sebagai bahan pokok
alternatif karena umbi-umbian memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu: dapat
tumbuh di lahan kering, memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi,

menghasilkan energi/hektar lebih banyak dibandingkan beras dan gandum, dapat
tumbuh di daerah marjinal, sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual
sewaktu waktu, dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati.
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
mesukseskan program diversifikasi pangan, yaitu: (i) membuat payung hukum
diversifikasi pangan, (ii) melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang
penganekaragaman pangan dan negoisasi dengan kalangan pabrikan untuk
mensubtitusikan tepung beras dan tepung terigu dengan jenis tepung lain sebagai
bahan baku, (iv) melakukan koordinasi dengan departemen pendidikan guna
memasukkan diversifikasi pangan dalam kurikulum sekolah, dan (v) mengganti
program raskin (beras untuk keluarga miskin) dengan program pankin (pangan
untuk keluarga miskin), yang artinya tidak hanya berupa beras saja akan tetapi
sebagian bisa diganti dengan sumber pangan lainya non beras dan non terigu.

12