ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PENGELOLAAN TANAH “CATON” (TANAH PEMERINTAH) DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN.
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PENGELOLAAN TANAH “CATON” (TANAH PEMERINTAH) DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN
PAMEKASAN
SKRIPSI
OLEH
:
RIANI KHOLIFAH NIM: C02209131
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah
Surabaya 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang “Analisis Hukum Islam Terhadap
Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) Di Desa Ragang Kecamatan Waru
Kabupaten Pamekasan”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan? Dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap Praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan?.
Data penelitian ini diperoleh dari Desa ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan Madura yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu memaparkan atau menjelaskan data-data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan metode induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus, yaitu tentang deskripsi akad
pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan, kemudian ditarik kepada hal-hal yang bersifat umum kaitannya dengan hukum Islam serta ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian menyatakan Bahwa praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan adalah kepala dusun melakukan kerjasama dengan petani melalui perjanjian dengan syarat harus memberikan uang Rp 5.000.000,00 Rp 7.000.000,00 sampai Rp 10.000.0000,00 dengan ketentuan sebelum tanah tersebut digarap maka petani wajib memberikan uang dengan jangka waktu 2 tahun Selain itu ketika sudah masa panen maka yang menggarap tanah harus memberikan keuntungan yaitu berupa hasil panen 10 % baik petani untung maupun rugi. Sedangkan analisis hukum Islam terhadap praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. Dalam praktiknya perjanjian tersebut dinamakan kerjasama tetapi dalam teori agama Islam bisa dinamakan kerjasama jika pengelolaan tersebut ketika untung dibagi menjadi 2, perbuatan tersebut dilarang karena merugikan salah satu belah pihak yaitu petani yang dalam hukum Islam tidak diperbolehkan.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu dicantumkan antara lain: Pertama Bagi Pemilik modal khususnya kepala dususn yang memiliki tanah “caton” dalam mengambil keputusan hukum hendaknya mempertimbangkan asas kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan Al- Qur’an dan Hadis serta dalam bertransaksi sesuai dengan hukum
Islam karena yang terjadi dalam praktik tersebut harus menggunakan sistem kerjasam yang diskriminatif. Kedua Bagi Pengelola khususnya bagi petani ketika terjadi akad sewa dan bagi hasil hendaklah perjanjian tersebut di tulis supaya jika terjadi permasalahan pihak pengelola supaya menuntut sesuai dengan bukti-bukti yang ada yang sesuai dan diperbolehkan dalam ajaran agama Islam.
(7)
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Kajian Pustaka ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistimatika Pembahasan ... 18
BAB II: MUD}HA<RABAH DAN IJARA<H DALAM HUKUM ISLAM ... A. Mud}ha<rabah ... 20
1. Pengertian Mud}ha<rabah ... 20
2. Dasar Hukum Mud}ha<rabah ... 24
3. Rukun Dan Syarat Mud}ha<rabah ... 28
4. Macam-Macam Mud}ha<rabah ... 32
5. Biaya Pengelolaan Mud}ha<rabah ... 34
6. Berakhirnya Mud}ha<rabah ... 35
7. Pendapat Ulama Tentang Mud}ha<rabah (Qira>d}h) ... 36
(9)
1. Pengertian Ijara<h ... 40
2. Dasar Hukum Ijara<h ... 42
3. Rukun Dan Syarat Sahnya Ijara<h ... 45
4. Macam-Macam Ijara<h ... 49
5. Pembatalan dan berakhirnya sewa menyewa ... 50
BAB III: PRAKTIK AKAD PENGELOLAAN TANAH “CATON” (TANAH PEMERINTAH) DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Gambaran Umum Desa Ragang ... 53
1. Letak lokasi... 53
2. Kependudukan Menurut Agama/ Penghayat ... 54
3. Keadaan Penduduk Menurut Usia ... 55
4. Keadaan Sosial Ekonomi Dan Adat Istiadat ... 55
5. Struktur Organisasi ... 58
6. Visi Dan Misi ... 58
B. Praktik Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan ... 59
BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD PENGELOLAAN TANAH “CATON” (TANAH PEMERINTAH) DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Analisis Tentang Praktik Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan ... 63
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan ... 68
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt telah menjadikan manusia masing-masing berhajat pada satu dengan yang lainnya supaya mereka saling menolong satu dengan yang lainnya dalam segala urusan. Salah satunya adalah sistem kerjasama antara orang yang memiliki modal dengan orang yang memiliki tenaga. Maka Islam memberikan aturan-aturan yang baik dan tepat sekali dalam menjawab permasalahan akad sistem kerjasama tersebut, sehingga praktik muamalah ini dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan untuk lebih jelasnya maka penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan akad sistem kerjasama.
Aktifitas perekonomian merupakan bagian terpenting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Islam juga tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan perekonomian. Aktifitas perekonomian dalam Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana, memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta kebutuhan hidup dalam jangka panjang. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di tegaskan dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2, yang berbunyi:1
ردَش َها َنرإ َها اْوُقَ تاَو ،رناَوْدُعْلاَو رْْرإا ىَلَع اْوُ نَواَعَ تَاَو ىَوْقَ تلاَو ّرِلا ىَلَع اْوُ نَواَعَ تَو . رباَقرعلا ُدْي
(11)
2
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maidah 2)
Dalam melaksanakan hidup dan kehidupan, Islam selain
mensyari’atkan akidah dan ibadah yang benar sebagai alat penghubung antara
hamba dan penciptanya juga merumuskan tata cara yang baik dan benar dalam muamalah sebagai penghubung antara manusia satu sama lain. Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.2
Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan manusia khususnya umat Islam dalam melakukan interaksi sosial sehari-hari harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, apabila muamalah dilakukan oleh manusia dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada, maka semua manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing khususnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Islam, kerjasama dikenal dengan istilah shirkah. Secara bahasa, shirkah mempunyai arti al-ikhtila>t yang berarti percampuran,3 dalam bahasa Arab istilah kerjasama dapat dikatakan al-shirkah dan al-sharikah dan merupkan deviasi dari kata shari<ka sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Makrum.4 Sedangkan secara istilah shirkah atau kerjasama adalah
2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 3
3 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifaya Al-Akhyar, (Indonesia : Dar Ihya' Al-Kutub Al-Arabiyah), Juz. I,
280
(12)
3
tetapnya hak kepemilikan bagi dua orang atau lebih sehingga tidak terbedakan hak pihak yang satu dengan hak pihak yang lain.
Lebih lanjut, dalam kajian hukum Islam terdapat beberapa konsep kerjasama dalam muamalah, seperti, qira>d, mud{a>rabah, muza>ra'ah, dan mukha<barah. Seluruh konsep kerjasama dalam muamalah tersebut di atur secara rinci dan teratur oleh Islam, mulai dari orang-orang yang bekerjasama sampai pada modal dan pekerjaannya.
Akad mud{a>rabah adalah salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh Islam disebut dengan mud{a>rabah sedangkan ulama fiqih hijaz menyebutnya dengan qira<d.5 Secara terminologi, para ulama fiqih mendefinnisikan mud{a<rabah
atau qira<>d.
Menurut para fuqaha, mud{a>rabah ialah akad antara kedua pihak (orang) yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukann. Akad mud{a>rabah merupakan bentuk muamalah yang dihalalkan dalam Islam selama tidak terdapat unsur-unsur haram atau yang dapat membatalkan transaksi jual beli seperti riba yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam ka’idah fiqh disebutkan:6
َلا ْص ُل ْرف َلا ْش َي رءا رإا َب َحا ُة َح ، َت َي ُد َل َدلا رل ْي ُل َع َل َتلا ى ْح رر رْي
5 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),175
(13)
4
Artinya: “Pada dasarnya setiap sesuatu diperbolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas keharamaannya”.
Akad kerjasama yang terjadi di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan biasanya ketika musim hujan dan musim kemarau masyarakat desa melakukan pertanian antara lain pertanian padi dan tembakau dimana pada musim hujan masyarakat desa melakukan panen padi sedangkan pada musim kemarau panen tembakau. Sebagian masyarakat Desa Ragang biasanya ketika musim hujan atau musim kemarau banyak yang membutuhkan sawah untuk bercocok tanam dan biasanya menggunkan sistem kerjasama tanah “caton” kepada aparatur desa antara lain kepada kepala desa, kepala dusun dimana masyarakat yang mendapatkan tanah hanya aparatur desa. Dalam praktiknya yang terjadi di Desa Ragang perjanjian tersebut dinamakan kerjasama tetapi dalam teori agama Islam bisa dinamakan kerjasama jika pengelolaan tersebut ketika untung dibagi menjadi 2, tetapi pada dasarkan praktik tersebut terdapat perjanjian antara kerjasama yaitu ketika panen maka hasilnya dibagi menjadi 2 ketika awal perjanjian merupakan akad sewa dimana dalam praktiknya kepala dusun harus mendapatkan uang dari sewa tersebut.7
Setiap masa jabatan kepala desa mendapatkan tanah dari pemerintah untuk di kelola dan kepala desa membagikan tanah tersebut kepada kepala dusun yaitu 7 kepala dusun dengan ukuran tanah 500 Meter per dusun selama 5 tahun masa jabatan. Ketika tanah itu sudah dibagikan mayoritas dari kepala dusun melakukan kerjasama dengan petani dengan perjanjian akad tanah
(14)
5
caton tersebut boleh dikerjakan petani dengan syarat harus memberikan uang di muka Rp 5.000.000,00 Rp 7.000.000,00 sampai Rp 10.000.0000,00 dengan ketentuan sebelum tanah tersebut digarap maka dari petani wajib memberikan uang di muka dengan jangka waktu 2 tahun (selama masa jabatan). Selain itu ketika sudah masa panen maka yang menggarap tanah harus memberikan keuntungan yaitu berupa hasil panen 10 % baik petani untung maupun rugi dimana ketika menjual hasil panen tersebut harus ada bukti pembayaran dari pembeli tersebut. Ketika masa jabatan 5 tahun biasanya kepala dusun yang melakukan kerjasama yaitu 4 tahun dan yang 1 tahun biasanya di garap sendiri.8
Dalam praktik tersebut biasanya masyarakat desa ada yang untung dan ada yang rugi dimana dalam kerjasama tersebut biasanya yang sering adalah panen padi dan yang sering rugi adalah panen tembakau. Untung ruginya pertanian tersebut kepala dusun tidak mau menanggung yang penting dalam setiap panen masyarakat yang menyewa tersebut harus memberikan keuntungan dari persewaan tersebut yaitu 10 % dari hasil panen.
Ketentuan membayar Rp 5.000.000,00 dengan syarat tanah yang dikelola tidak subur atau jauh dari sungai, ketentuan membayar Rp 7.000.000,00 sampai Rp 8.000.000,00 dengan syarat tanah yang di garap terkadang subur atau tidak begitu susah mencari air, sedangkan ketentuan membayar Rp 9.000.000,00 sampai Rp 10.000.000,00 tanah yang digarap
(15)
6
adalah tanah subur yaitu dekat dengan air baik itu sungai maupun sumur umum.9
Ketika terjadi kerugian bagi petani kepala dusun tidak mau tau karna sesuai perjanjian tanah tersebut dikelola oleh petani tanpa menanggung kerugian. Praktik tersebut merupakan suatu bentuk kerjasama yang hanya boleh di pakai yaitu dalam waktu 2 tahun tidak lebih dan harus digantikan kepada petani berikutnya. Sedangkan uang yang dibayarakn tersebut tidak masuk ke dalam kas desa tetapi langsung masuk secara pribadi kepada aparatur desa yang mendapatkan tanah “caton”.10
Praktik tersebut tentang kerjasama pengelolaan tanah milik pemerintah merupakan sebuah praktik yang sangat umum di kalangan masyarakat tanpa mempertimbangkan kerugian yang diakibatkan dari kedua belah pihak. Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi perbuatan tersebut antara lain:11
1. Dalam pengetahuan umum dan pengetahuan agama masyarakat desa minim dengan ilmu pengetahuan dan masih kental dengan tradisi adat dan tidak ada yang bisa mengubahnya sedikit pun sehingga dalam praktik tersebut dalam penjual tembakau sudah terbiasa petani menjual kepada tengkulak tembakau tersebut.
2. Desa Ragang merupakan sebuah desa yang jauh dari keramaian kota atau desa yang sangat terpencil antara desa dengan jalan raya ditempuh selama
9 M. Muyar, Kepala Desa, Wawancara, Pamekasan, Pada tanggal 25 september 2015 10 Salim, Petani, Wawancara, Pamekasan, Pada tanggal 25 september 2015
(16)
7
satu jam sehingga dalam penjualan tembakau tersebut sudah tidak ada alasan lagi untuk menjualnya kepada tengkulak karena jauh dari keramaian kota.
3. Pekerjaan masyarakat atau mata pencahariannya adalah petani dan buruh tani dimana dalam musim hujan dan kemarau biasanya petani hanya menanam padi dan tembakau saja, padi pada musim hujan sedangkan tembakau pada musim kemarau.
4. Kepercayaan masyarakat petani sangat kental kepada kekeluargaan sehingga untuk menjual hasilnya kepada tengkulak merasa sangat percaya meskipun merasa dirugikan.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin mengadakan penelitian yang lebih mendalam dan jelas agar dapat diketahui kejelasan tata cara dan praktik kerjasama tersebut dengan judul: “Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Yang tidak sesuai dengan syarat dan aturan dalam persepektif hukum Islam.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalaui latar belakang yang telah peneliti paparkan tersebut di atas, terdapat beberapa problema dalam pembahasan ini yang dapat peneliti identifikasi, yaitu:
1. Hukum akad pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
(17)
8
2. Praktik akad pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
3. Mekanisme akad pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
4. Ija>b qabu>l yang digunakan pemberi modal dan pengelola di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
5. Petani cenderung dirugikan dalam transaksi tersebut.
6. Faktor yang melatar belakangi terjadinya praktik tersebut serta tidak ada kejelasan dalam transaksi tersebut.
7. Analisis hukum Islam terhadap Praktik akad pengelolaan tanah “caton”
(tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang:
1. Praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
2. Analisis hukum Islam terhadap Praktik akad pengelolaan tanah “caton”
(tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
(18)
9
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah dalam penulisan penelitian ini, maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap Praktik akad pengelolaan tanah
“caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah sebagaimana berikut:
1. Untuk memahami praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. 2. Untuk menganalisis hukum Islam terhadap praktik akad pengelolaan
tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
E. Kajian Pustaka
Dari hasil kajian pustaka yang telah peneliti lakukan, peneliti hanya menemukan satu hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dan mempunyai relevansi dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan, sebagai berikut:
(19)
10
Penelitian yang berjudul: “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan.”
Hasil dari penelitian tersebut, ialah bahwa dalam melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian, masyarakat masih banyak menggunakan hukum adat, dan bentuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Kabupaten Ogan Komering dikenal dengan istilah paroan, yang berarti bagi hasil tersebut dibagi separuh-separuh atau 50% untuk pemilik lahan dan 50% untuk penggarap. Adapun objek perjanjian bagi hasil tanah pertanian tidak hanya tanaman bahan makanan dan penggarap saja, tetapi dapat pula mencakup bahan makanan keras. Sedangkan penyelesaian yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, biasanya diselesaikan dengan cara musyawarah antara pihak-pihak yang bersangkutan tanpa adanya campur tangan dari kepala desa.12
Antara penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peniliti lakukan mempunyai aspek kesamaan, yaitu sama-sama mengkaji tentang kerjasama dan bagi hasil. Adapun perbedaannya, bahwa penelitian tersebut di atas lebih menekankan pada aspek bagi hasil antara pemilik dan penggarap dalam bagi hasil tanah pertanian. Sedangkan penelitian yang sedang peneliti lakukan, kajiannya lebih menekankan pada aspek praktik kerjasama pertanian pengelolaan tanah “caton” di mana dalam akad terdapat pemberian uang dan
12 Mufidatul Rosyidah, “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Kabupaten Ogan
Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan” Skripsi pada Jurusan Muamalah Fakultas IAIN Sunan Ampel Surabaya.
(20)
11
bagi hasil ketika masa panen dalam hal ini yang banyak dirugikan adalah pengelola karena pemilik modal tidak mau tau untung dan rugi pengelola. F. Kegunaan Hasil Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang peneliti kedepankan dalam penelitian ini, maka kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam dua aspek, sebagaimana berikut: 1. Teoritis
a. Menambah informasi dalam khazanah keilmuan dalam bermuamalah, khususnya dalam praktik pengelolaan tanah “caton” dalam perspektif hukum Islam.
b. Menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk pengembangan hukum Islam dalam bidang Muamalah.
c. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya peneliti mengenai praktik pengelolaan tanah
“caton” dalam perspektif hukum Islam. 2. Praktis
a. Memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat, khususnya kepada pemilik tanah dan pengelola dalam perspektif hukum Islam. b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam
melakukan transaksi praktik pengelolaan tanah “caton”, khususnya bagi masyarakat yang melakukan transaksi tersebut.
(21)
12
G. Definisi Oprasional
Agar tidak terdapat kekeliruan dan kesalahan intepretasi dalam memahami penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan judul “Analisis
Hukum Islam Terhadap Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah) Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan” maka penulis akan memaparkan beberapa istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:
1. Hukum Islam adalah: Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah RasulNya tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang terbebani hukum, konteks ini berupa hukum Islam berupa Al-Quran, Hadis, KHI dan Fiqh.13 Orang terbebani
hukum adalah masyarakat yang melakukan praktik yang digunakan adalah kerjasama di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan sedangkan akad yang digunakan adalah sewa dengan transaksi pengelolaan tanah pemerintah.
2. Akad Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah): sebuah praktik dimana praktik yang digunakan adalah kerjasama di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan sedangkan akad yang digunakan adalah sewa dengan transaksi pengelolaan tanah pemerintah yang diberikan ke aparatur desa kemudian dari aparatur desa dikelola oleh masyarakat dengan perjanjian harus memberikan uang sebesar Rp 5.000.000 sampai Rp 10.000.000 dalam jangka waktu 2 tahun. Sedangkan
13 Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Supel
(22)
13
ketika masa panen maka pengelola harus memberikan keutungan yaitu 10 % dari hasil panen tersebut.
H. Metode Penelitian
Adapun penulisan dan pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, karena data yang dikemukakan bukan data angka. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.14
1. Data Yang Dikumpulkan
Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka data yang dikumpulkan adalah sebagaimana berikut:
a. Primer
1) Prosedur akad pengelolaan tanah pemerintah di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
2) Praktik akad pengelolaan tanah pemerintah di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
b. Sekunder
1) Dampak positif dan negatif yang terjadi dalam akad pengelolaan tanah pemerintah di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
(23)
14
2) Ija>b dan qabu>l, serta akad yang digunakan dalam akad pengelolaan tanah pemerintah di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
2. Sumber Data
Agar memperoleh data yang kompleks dan komprehensif, serta terdapat korelasi yang akurat sesuai dengan judul penelitian ini, maka sumber data dalam penelitian ini di bagi dua, yaitu:
a. Sumber Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, data primer yang dimaksud adalah:15
1) Pemilik Modal Desa Ragang: yaitu aparatur desa yang diberikan tanah oleh pemerintah melalui kepala desa dan kemudian dialokasikan kepada kepala dusun dan dikelola oleh masyarakat desa dengan membayar uang panjar yang telah ditentukan dari awal di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. 2) Pengelola: yaitu orang yang mengelola tanah “caton” dengan
membayar uang panjar kepada kepala dusun dalam masa 2 tahun yang ada di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
3) Kepala Desa: Adalah aparat desa dimana dalam menjalankan administrasi pemerintahan desa dengan membagikan tanah
(24)
15
“caton” kepada 7 kepala dusun yaitu per kepala mendapatkan 500 meter tanah.
4) Tokoh Masyarakat: masyarakat desa yang memiliki public figure yaitu seperti para kiai, orang kaya, serta ustad yang ada di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
b. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai pendukung data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur yang mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini seperti buku, catatan, dan dokumen. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, ialah sebagaimana berikut:
1) Majma’ al-Malk Fahd, Al-Qur’an dan Terjahmanya dengan
Bahasa Indonesia, (al-Madi>nah al-Munawwarah: Majma’ Malk
Fahd, 1418 H),
2) Abd Al-Rahman Al-Jazairi, Al-Fiqh ‘Ala Al-Maz|a>hib
Al-‘Arba’ah, Bairut: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz. II, 2003.
3) Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
4) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
5) Depatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Kudus: Mubarokatan Toyyibah)
(25)
16
6) Jalal Al-Din Al-Suyuti, As}ba>h} wa Naz}a>ir, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2005)
7) Imam Taqiyuddin, Kifa>yah al-Akhya>r, (Indonesia: Da>r Ihya’ Al -Kutub Al-‘Arabiyah)
8) Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973)
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang akurat dan dibutuhkan oleh peneliti sesuai dengan judul penelitian, maka dalam pengumpulan data peneliti menggunakan beberapa metode, sebagaimana berikut:
a. Observasi
Observasi yaitu merupakan proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.16
Peneliti menggunakan observasi sebagai salah satu teknik pengumpulan data, yaitu untuk mengamati secara langsung praktik atau proses akad pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
b. Interview
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.17
Metode wawancara digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, yaitu untuk memperoleh data mengenai praktik atau proses akad
16 Ibid., 145.
17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rieneka
(26)
17
pengelolaan tanh “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
Disamping itu, teknik wawancara digunakan peneliti untuk menanyai langsung mengenai sejarah dan latar belakang parktik dan terjadinya proses akad pengelolaan tanh “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
c. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto, dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.18 Adapun dokumentasi dalam penelitian ini yaitu berupa akad atau proses pengelolaan tanah “caton”
di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. 4. Teknik Analisa Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan ke orang lain.19
Untuk menganalisa data-data yang telah dikumpulkan secara keseluruahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
18 Ibid., 125.
19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rieneka
(27)
18
deskriptif analisis yaitu peneliti mendeskriptifkan dan memaparkan data yang diperoleh dilapangan mengenai akad pengelolaan tanh “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. Lebih lanjut, digunakan pola pikir induktif, yaitu mengemukakan data yang besifat khusus mengenai praktik atau proses akad pengelolaan tanh “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. Kemudian dianalisis dengan paparan yang bersifat umum sesuai dengan hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan peneliti dalam menulis penelitian ini, dan memudahkan pembaca dalam membaca hasil penelitian ini, maka diperlukan kerangka pembahasan yang sistematis. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut:
Bab Pertama. Bab pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari beberapa sub judul, yaitu: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua. Bab kedua berisi tentang landasan teori, pada bab ini peneliti berbicara tentang akad ija<rah dan mud{a>rabah. Dalam bab ini, secara rinci peneliti akan membicarakan tentang pengertian ija<rah dan mud{a>rabah, macam-macam ija<rah dan mud{a>rabah, serta hal-hal yang berkaitan dengan ija<>rah dan mud{a>rabah.
(28)
19
Bab Ketiga. Pada bab ketiga, peneliti memaparkan tentang hasil penelitian, yang terdiri dari: A. Gambaran Umum Desa Ragang yang terdiri dari: 1. Letak georgrafis 2. Struktur 3. Visi Misi Desa Ragang B. Praktik akad pengelolaan tanah “caton” di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten pamekasan yang terdiri dari: 1. Latar belakang terjadinya praktik akad pengelolaan tanah “caton” 2. Proses praktik akad pengelolaan tanah “caton”
dengan system kerjasama 3. Akad yang digunakan dalam Praktik akad pengelolaan tanah “caton” 4. Sistem kerjasama dalam praktik akad pengelolaan tanah “caton”.
Bab Keempat. Pada bab keempat akan disajikan tentang hasil analisa menganai praktik akad pengelolaan tanah “caton” dengan sistem kerjasama di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan menurut hukum Islam. Bab Kelima. Bab kelima merupakan penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
(29)
BAB II
MUD}A<RABAH DAN IJA<RAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Mud}a<rabah
1. Pengertian Mud}a<rabah
Akad mud}a<rabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mud}a>rabah pemilik dana (shahibul ma>l) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (muda<rib). Pada prinsipnya akad mud}a<rabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.1
Mud}a<rabah berasal dari kata d}a<rb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
1 Abdul Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, (Beirut: Daarul Kutub Al
(30)
21
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu rizeki.2
Mud}a<rabah adalah salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh Islam di sebut dengan mud}ha<rabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan qira<d yang berarti al-qat‟ (potongan). Pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mud}a<rabah berasal dari akar kata d}ara<ba pada kalimat al-d}a<rb fi al ard}h, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, mud}a<rabah menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal.3
Sedangkan menurut istilah syara‟, mud}a<rabah merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
2 Ibid.,
(31)
22
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan mud}a<rabah atau qira<d dengan :
ْ نَأ ْ ْ دَيْ ْ عَف ْ اَم لَا ْ ْ كِل ْ َْلِا ْ ْ لِماَع لا ْ َْرَجَتَ ي اًاَم ْ ِْ يِف ْ ْ ن و كَيَو ْ ْ ح برّلا ْ ااكََِ ش م
Artinya: “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama”.
Secara teknis, mud}a<rabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sha<hib al-ma>l) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mud}a<rabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Maka dari itu salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqih Islam disebut dengan mud}a>rabah sedangkan ulama fiqih hijaz menyebutnya dengan qira<d}.4 Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinnisikan mud}a<rabah atau qira<d} dengan:5 Menurut para fuqaha, mud}a<rabah ialah akad antara kedua pihak (orang) yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah
4 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 175
5 Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
(32)
23
ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Qira<d} ialah perakadan atas harta benda yang diberikan kepada orang lain guna diperdagangkan serta laba untuk kedua belah pihak.6 Sedangkan Qa<rd} ialah memberikan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan lagi semisalnya (bukan barang tersebut).7 Karena mud}a<rabah adalah pemberian modal niaga dari s}hahibul ma>l kepada mud}a<rib, maka para ulama menyamakan mud}a<rabah dengan qira<d}h. Perkataan mud}a<rabah berasal dari ad}l-d}larbu fil ard}l (berjalan di muka bumi) yaitu perjalanan untuk berdagang.8
a. Menurut Hanafiyah, mud}a<rabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain bertugas untuk mengelola jasa atersebut.
b. Menurut Sayyid Sabiq berpendapat, mud}a<rabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi menjadi dua sesuai dengan kesepakatan keduanya.9
6 Moh. Anwar, Fiqh Islam (Muamalah, Munakahat, Faro'id dan Jinayah), Cet. Ke-2, 1988, 63. 7 Ibid., 52
8 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi),
(Bandung: CV Diponegoro, Cet. Ke-1, 1984), 264.
(33)
24
c. Menurut imam taqiyuddin mud}a<rabah ialah akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.10
Setelah diperoleh beberapa pengertian diatas kiranya dapat kita pahami bahwasannya mud}a<rabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini menunjukkan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah bentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.11
2. DasarHukum Mud}a<rabah
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan mud}a<rabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
َْلاَق ْ ْ لّو سَر ْ ِْل ْ ىّلَص ْ ْ ل ْ ِْ يَلَع ْ َْمّلَسَو ْ ْ ثَاَث ْ ّْنِه يِف ْ ْ ةَكَرَ ب لا ْ ْ ع يَ ب لا ْ َْلِإ ْ ْ لَجَا ْ ْ ةَضَراَقم اَو ْ ْ طَا خَاَو ْْ لا ْرِ بْ ِْ يِعّشلاِِ ْ ِْت يَ ب لِل ْ ِْع يَ ب لِلًَ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”.
َْناَك ْ َْنِدرِيَس ْ ْ ساّبَع لا ْ ِْن ب ْ ِْبرِلَطم اِد بَع ْ اَذِا ْ َْعَفَد ْ َْلاَم لا ْ ْاةَبَراَض م ْ َْطَرَ ت شِا ْ ىَلَع ْ ِِْبِحاَص ْ ْ نَا ْ ًَْْ َْك ل سَي ِِْْب ْ اار ََ ْ, ًََْو ْ َْلِز َ ي ْ ِِْب ْ ْايِداَو ْ ًََْو ْ َْيََِ شَي ْ ِِْب ْ ْاةّباَد ْ َْتاَذ ْ ْ دِبَك ْ ْ ةَب طَر ِْْإَف ْْ ن ْ َْلَعَ ف ْ َْكِلَذ ْ َْنِمَض ْ َْغَلَ بَ ف ْ ْ ت رَش ْ ْ ل و سَر ْ ِْل ْ ىّلَص ْ ْ ل ْ ِْ يَلَع ْاَو ‘ِِْل َْْوْ مّلَس ْْ َأَفْ ْ زاَج
Artinya:“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai Mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu
10 Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiyyuddin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung,: Alma‟arif.t.t) 301. 11 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 176.
(34)
25
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)”.12
Akad mud}a<rabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar dibidang perdagangan yang tidak mempunyai modal untuk berdagang. Atas dasar tolong-menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan oleh para ulama Fiqih tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, 2:198 sebagai berikut:
َْس يَل ْ ْ م ك يَلَع ْ ْ حاَ ج ْ ْ نَأ ْ او غَ ت بَ ت ْ ْاا ضَف ْ ْ نِم ْ ْ م كِربَر ْ اَذِإَف ْ ْ م ت ضَفَأ ْ ْ نِم َْْع ْ تاَفَر ْ َّّْااو ر ك ذاَف ْ َْد ِع ْ ِْرَع شَم لا ْ ِْماَرَ ْا ْ ْ و ر ك ذاَو ْ اَمَك ْ ْ م كاَدَ ْ ْ نِإَو ْ ْ م ت ك ْ ْ نِم ْ
ِِْل بَ ق ْ َْنِمَل ْ َْيِرلاّضلا Artinya:”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.(Qs, Al-Baqarah: 198)13
Ayat diatas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan oleh Allah diatas
12 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah Al-Akhyar, (Mesir: Dar al-kitab al-araby, Juz I), 301. 13 Ibid., 32.
(35)
26
bumi. Para ulama juga beralasan dengan praktik mud}a>rabah yang dilakukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya; bahkan harta yang dilakukan secara mud}a>rabah itu dizaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat, hadis dan praktik para sahabat itu, para ulama fiqih menetapkan bahwa akad mud}a>rabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya maka hukumnya adalah boleh.
Ulama Fiqih sepakat bahwa mud}a<rabah disyaratkan dalam islam berdasarkan Al-Qur;an, Hadits, ijma‟ dan Qiyas.14
a. Al-Qur‟an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mud}a<rabah, antara lain:
َْنو رَخآَو َْنو بِر ضَي ِْف ِْض رأا َْنو غَ ت بَ ي ْ نِم ِْل ضَف ِّّْا
Artinya: “dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS, Al-Muzammil:20)15
اَذِإَف ِْتَيِض ق ْ ةاّصلا او رِشَت ناَف ِْف ِْض رأا او غَ ت باَو ْ نِم ِْل ضَف ِّّْا او ر ك ذاَو َّّْا اايِثَك ْ م كّلَعَل َْنو حِل ف ت
Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah” (QS-Al-Jumu‟ah: 10)16
b. Hadits
Diantara hadis yang berkaitan dengan mud}a<rabah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW, bersabda:
Artinya: “tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qira<d}h (memberikan modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas
14Rachmad Syafi‟i, FiqihMuamalah, (Bandung: CV pustaka Setia, 2001), 224. 15 Ibid.,224.
(36)
27
untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib)
Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh thabrani dan Ibn Abbas bahwa Abbas Ibn Abdul Muthallib jika memberikan harta untuk Mud}a>rabah, dia menyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang, dan membeli hati yang lembab jika melanggar persyaratan tersebut, ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut telah disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya.17 c. Ijma‟
Di antara ijma‟ dalam mud}a<rabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mud}a<rabah Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.18 Disamping itu para ulama juga beralasan dengan praktik mud}a<rabah dilakukan oleh sebagian sahabat, sedangkan sahabat yang lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan secara mud}a<rabah itu, di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ijma‟ dikalangan para sahabat.19 d. Qiyas
17 Ibid., 226
18 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-1,
2001), 95-96.
19 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-1,
(37)
28
Mud}a<rabah dapat dipandang sama dengan musaqah yang memang dihajatkan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena ada orang yang punya kebun atau tanah pertanian tetapi tidak memiliki keahlian dalam merawatnya dan memerlukan orang lain yang lebih ahli untuk mengelola kebun dan tanah yaitu. Dengan demikian dapat dipertemukan sinergi antara pemilik kebun dan pengelolanya kemudian berbagi keuntungan dari hasil yang telah dipetik.20
3. Rukundan Syarat Mud}a<rabah
Dalam arti bahasa, kata rukun diambil dari bahasa Arab rukun yang dalam bentuk jamak disebut „arkaan yang berarti the strongest side of something. Dalam kepustakaan berbahasa Inggris, untuk pengertian rukun dipakai istilah “pillars”, components atau essential requirements. Disini dapat kita lihat bahwa rukun adalah suatu hal yang sangat menentukan bagi terbentuknya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu tersebut.21
Dari pengertian tersebut, dapat kita ketahui bahwa rukun merupakan hal yang sangat penting dalam terbentuknya suatu kerjasama. Di bawah ini akan kita bicarakan berbagai macam rukun mud}a>rabah. Meskipun rumusan-nya berbeda tetapi pada dasarrumusan-nya memiliki tujuan sama, harumusan-nya perbedaan terminologi saja. Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan bahwa rukun
20 Ibid.,
21 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
(38)
29
mud}a>rabah adalah: ija>b (pernyataan penyerahan) dan qabu>l (pernyataan penerimaan), dan tidak disyaratkan lafadz tertentu dengan menunjukkan tujuan dan maknanya.
Rukun mudharabah menurut mazhab Hanafi yaitu ija>b dan qabu>l. Ija>b dan qabu>l tersebut dinilai sah dengan beberapa lafazh atau ucapan yang menunjukkan kepada tujuan yang dikehendaki. Seperti Pemilik modal berkata kepada orang yang menerima modal: ambillah uang ini, dan daya gunakanlah dengan perniagaan. Atau terimalah uang ini untuk perniagaan dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi antara kita bersama, separoh atau sepertiga. Kemudian penerima modal menjawab: aku terima, atau aku rela, atau aku menerima. Bila ia berkata: terimalah uang ini dengan separoh keuntungan, atau atas perjanjian memperoleh separoh keuntungan, dalam pada itu pihak kedua tidak menolak, maka perjanjian itu merupakan kerjasama perniagaan yang sah.22
Adapun menurut mazhab Maliki, rukun mud}a>rabah terbagi menjadi lima yaitu:
a. Modal. b. Pekerjaan. c. Keuntungan.
d. Dua orang yang melakukan pekerjaan. e. Shighat} (Ija>b dan Qabu>l)
(39)
30
Sedangkan menurut mazhab Hambali, rukun dari mud}a>rabah yaitu: ija>b dan qabu>l. Dan kerjasama mud}a>rabah itu dianggap sah dengan memakai ucapan yang bisa menyampaikan kepada kerjasama perniagaan (mud}a>rabah, qirad} atau mu‟amalah) atau semisalnya. Karena yang dimaksudkan adalah pengertian yang dikehendaki. Yang demikian itu bisa dicapai dengan setiap ucapan yang bisa menunjukkan kepadanya. Oleh karena itu dianggap cukup dalam mud}a>rabah ini suatu cara saling memberi dan menerima. Jadi kalau pelaku niaga telah menerima modal dan selanjutnya ia melakukan kerja dengan modal tadi dengan tanpa mengucapkan: aku telah menerima, maka cara demikian itu dianggap sah. Jadi tidak disyaratkan adanya ucapan, sebagaimana yang disyaratkan dalam perjanjian mewakilkan.
Menurut ulama Syafi‟iyah,23 rukun qirad} ada 6 yaitu: a. Pemilik modal menyerahkan modalnya.
b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola modal yang diterima dari pemilik modal;
c. Akad mud}a<rabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola modal; d. Harta atau pokok modal;
e. Pekerjaan pengelola modal sehingga menghasilkan laba; f. Keuntungan;
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mud}a<rabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari orang yang memiliki ahli dan modal.24
(40)
31
Syarat sah mud}a<rabah berhubungan dengna rukun mud}a>rabah itu sendiri. Syarat sahnya adalah sebagai berikut:
a. Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk mas atau perak maka mud}a<rabah dinyatakan batal.
b. Bagi yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan Tasharruf, maka akad anak-anak, orang gila dan orang yang masih dibawah pengampuan dianggap batal,
c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati diantara keduanya.
d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti setengah, sepertiga atau seperempat.
e. Pelafalan ijab dari pemilik modal dan pelafalan Kabul dari pengelola modal.
4. Macam-Macam Mud}a<rabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan oleh para pemilik modal dnegan para pekerja, para ulama fiqih membagi akad mud}a<rabah menjadi dua bagian yaitu: mud}a<rabah Muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan mud}a<rabah Muqayyadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mud}a<rabah muthlaqah, 24 Hendi suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Jaya, 2008), 139
(41)
32
pekerkja bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan didaerah mana saja yang ia inginkan. Akan tetapi, dalam mud}a<rabah muqayyadah, pekerja harus mengikuti syarat-syarat dan batasan yang dikemukakan oleh pemilik modal. Misalnya, pengelola modal harus berdagang barang tertentu, didaerah tertentu dan membeli barang pada orang tertentu.25
Jika suatu akad Mud}a>rabah telah memenuhi rukun dan syarat, sebagaimana dikemukakan diatas, maka Hukum-hukumnya adalah sebagai berikut:26
a. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan seluruh tindakannya sama dengan tindakan seorang wakil dalam jual beli. Apabila terdapat keuntungan status pekerja berubah menjadi terikat dagang yang memiliki pembagian dan keuntungan dagang yang memiliki pembagian dari keuntungan dagang itu.
b. Apabila akad ini berbentuk mud}a<rabah muthlaqa, pekerja bebas mengelola modal dengan jenis barang dagangan apa saja, di daerah mana saja dan dengan siapa saja dengan ketentuan bahwa apa yang ia lakukan itu diduga keras akan mendatangkan keuntungan. Akan tetapi, ia tidak boleh menghutangkan modal itu kepada rang lain dan tidak boleh juga memudharabahkan modal itu kepada orang lain.
25 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabahar Riyadhal-Hadithsah, Riyadh jilid III. 561
(42)
33
c. Pekerja dalam akad mud}a<rabah berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama. Akan tetapi yang sifatnya nafkah pekerja selama akad mud}a<rabah berlangsung, apakah diambilkan dari modal atau tidak, terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih. Imam Syafi‟I menyatakan bahwa pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal itu, sekalipun untuk bepergian kepentingan untuk berdagang, kecuali dengan seizin pemilik modal. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam malik dan ulama Zaidiyah, jika pekerja memerlukan uang transport dan akomodasi dalam rangka bepergian itu untuk perdagangan, maka ia boleh mengambil biaya yang dimaksud dari modal itu. Adapun ulama Hanabilah mengatakan bahwa pekerja boleh saja mengambil biaya hidupnya dari modal itu selama mengelola modal itu, apakah biaya bepergian atau tidak.
Jika kerjasama itu mendatangkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan dan modalnya kembali, tetapi jika kerjasama itu tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.
5. Biaya Pengelolaan mud}a<rabah
Biaya bagi mud}arib diambil dari hartaya sendiri selama ia tinggal di dilingkungan daerahnya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mud}a<rabah. Bila biaya mud}a<rabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh
(43)
34
bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mud}a<rabah guna keperluan dirinya ditengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mud}a<rabah. Imam malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.27
Biaya pengelolaan mud}a<rabah pada dasarnya dibebankan pada pengelola modal, namun juga tidak masalah jika biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik, menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.
6. BerakhirnyaMud}a<rabah
Mud}a<rabah menjadi batal apabila ada beberapa perkara sebagai berikut:
a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mud}a<rabah Jika salah satu syarat mud}a<rabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya
27 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam); (Yogyakarta, UII Press,
(44)
35
atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun kecuali atas kelalaiannya. b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal
atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
c. Apabila pelaksanaan atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mud}a>rabah menjadi batal.
Sedangkan para ulama fiqih menyatakan bahwa akad mud}a>rabah dinyatakan batal dalam hal-hal sebagi berikut:28
a. Masing-masing pihak menyatakan akad batal atau pekerja dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modal.
b. Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan untuk bertindak Hukum seperti gila, karena orang gila tidak lagi cakap untuk bertindak Hukum. c. Jika pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam) menurut Imam Abu
Hanifah akad mud}a<rabah akan menjadi batal.
28 Ibid.,
(45)
36
Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dimanaj oleh pekerja demikian juga halnya, mud}a<rabah batal apabila modal itu dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada lagi yang boleh dimanaj (manage) oleh pekerja.
7. Pendapat Ulama Tentang Mud}a>rabah (Qira<d})
Ulama fiqih memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang mud}a>rabah. Mazhab Hanafi memberikan definisi bahwa mud}a>rabah merupakan akad perjanjian untuk bersama-sama dalam membagi keuntungan dengan lantaran modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain. Ulama mazhab Maliki menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh menurut syara‟ ialah akad perjanjian mewakilkan dari pihak pemilik modal kepada lainnya untuk meniagakannya secara khusus pada emas dan perak yang telah dicetak dengan cetakan yang sah untuk tukar menukar kebutuhan hidup. Pemilik modal secara segera memberikan kepada pihak penerima sejumlah modal yang ia kehendaki untuk diniagakan.29
Menurut ulama mazhab Hambali mud}a>rabah atau kerjasama perniagaan adalah suatu pernyataan tentang pemilik modal menyerahkan sejumlah modal tertentu dari hartanya kepada orang yang meniagakannya dengan imbalan bagian tertentu dari keuntungannya.30 Ulama mazhab Syafi‟I menerangkan bahwa mud}a>rabah atau qirad} ialah suatu perjanjian
29 Abdul Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, (Beirut: Daarul Kutub Al
„Ilmiah), 35.
(46)
37
kerjasama yang menghendaki agar seseorang menyerahkan modal kepada orang lain agar ia melakukan niaga dengannya dan masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan dengan beberapa persyaratan yang ditentukan.31
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan oleh pemilik modal (s}hahibul ma>l) dengan pengelola usaha (mud}arib) fasilitas pembiayaan bagi hasil mud}a>rabah terbagi dua yaitu mud}a>rabah mudlaqah dan mud}a>rabah muqayadah.\32 Secara khusus tidak ada ulama yang membagi mud}a>rabah ke dalam dua jenis mud}a>rabah tersebut, tetapi para ulama telah memberikan pendapat mereka mengenai mud}a>rabah melalui syarat-syarat yang mereka rumuskan.
Syarat mud}a>rabah seperti yang dijelaskan dalam Fiqhus Sunnah yaitu:
a. Modal dibayarkan dengan tunai. Karena itu tidak sah kerjasama perniagaan dengan modal hutang yang ada ditangan penerima modal.
b. Modal itu diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan dari keuntungan yang akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan.
c. Keuntungan antara pekerja dan pemilik modal itu jelas presentasinya, seperti separoh, sepertiga, seperempat.
31 Ibid., 42.
32 Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
(47)
38
d. Mud}a>rabah bersifat mutlak. Maka tidak ada persyaratan si pelaksana untuk berdagang di negara tertentu atau dalam bentuk barang tertentu.33
Mengenai modal dalam mud}a>rabah para ulama mazhab sepakat bahwa modal itu berupa emas dan perak yang telah di cetak atau dengan mata uang yang berlaku menurut ketetapan hukum. Modal tersebut harus diserahkan kepada penerima modal dengan segera, serta diketahui jumlahnya. Sedangkan bagian keuntungan yang akan diperoleh pihak pelaku usaha, para ulama mazhab juga sepakat bahwa keuntungannya harus ditentukan, seperti separoh atau sepertiga. Mengenai batas waktu dalam pelaksanaan qirad}, Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa tidak boleh qirad} dengan ditentukan tempo yang tertentu yang tidak akan dibatalkan sebelum datangnya, atau apabila telah setelah sampai tempo, diakhiri hak menjual dan pembeli. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan.34
Fuqaha serta berselisih pendapat dalam hal, apabila pemilik modal mensyaratkan perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang yang berkerja, seperti: penentuan jenis barang tertentu, jenis jual beli tertentu, tempat-tempat berdagang tertentu, atau golongan tertentu yang boleh dilayani dalam perdagangan. Dalam kitabnya Imam Syafi'i menjelaskan tidak boleh bahwa saya (Imam Syafi'i) melakukan qirad} dengan anda pada sesuatu, dengan
33 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 3, (Riyad: Daarul Muayyad, 1997), 220.
34 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet.ke-5,
(48)
39
taksiran, yang tidak saya ketahui.35 Hanabilah menganggap bahwa persyaratan dimana pemilik modal melarang para pelaku niaga yaitu membatasinya dalam pendayagunaan modal, seperti ia mensyaratkan hendaknya pelaku niaga tidak melakukan jual beli kecuali dengan barang dagang tertentu, atau tidak membeli komoditi kecuali dari sifulan saja merupakan persyaratan yang batal yang tidak boleh dilaksanakan.36
Maliki juga menjelaskan bahwa pelaku niaga tidak dibatasi dalam melakukan pekerjaannya, seperti dikatakan: janganlah engkau berdagang kecuali di musim kemarau saja, atau pada musim kapas, atau pada musim gandum, atau yang semisalnya yang menentukan masa. Kalau yang terjadi demikian, maka perjanjian kerjasamanya batal.37
B. Ija<rah
1. Pengertian Ija<rah (Sewa Menyewa)
Sewa menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan "Al Ija<rah", berasal dari kata "Al-Ajru" menurut bahasa artinya ialah "Al-Iwad{h". Dalam bahasa Indonesia diartikan ganti dan upah.38 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata sewa mempunyai arti pemakaian sesuatu dengan membayar
35 Imam Syafi'i, Al-Umm, juz 4, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1413 H), 10.
36 Abdul Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, (Beirut: Daarul Kutub Al
„Ilmiah), 42.
37 Ibid., 40
(49)
40
uang.39 Secara terminologi, para Ulama mendefinisikan berbeda-beda antara lain, sebagai berikut :
a. Menurut Ulama Hanafiyah, ija>rah ialah :
"Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu dzat yang disewa dengan imbalan".40
b. Menurut Ulama Malikiyah, ija>rah ialah :
"Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan".41
39 WJS. Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Balai Pustaka, 1976, Cet. X,
937
40 Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzahib Al- Arba'ah, juz III, Beirut : Daar Al- Fikr, 1996, 94 41 Ibid, 97
(50)
41
c. Menurut Ulama Syafi'iyah, ija>rah ialah :
" Akad terhadap manfaat yag diketahui dan disengaja harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu".42
d. Menurut Ulama Hanabilah, ija>rah ialah :
" Akad terhadap manfaat harta benda yang bersifat mubah dalam periode waktu tertentu dengan suatu imbalan".43
e. Abi Yahya Zakaria Al-Anshary mendefinisikan ija>rah ialah :
" Memiliki atau mengambil manfaat suatu barang dengan memberikan imbalan dan dengan syarat tertentu".44
f. Imam Taqiyuddin mendefinisikan ija>rah ialah :
" Akad untuk mengambil manfaat suatu barang yang diketahui dengan jelas dengan pembayaran harga yang diketahui dengan jelas pula".45
g. Sayyid Sabiq mendefinisikan ija>rah ialah :
" Akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian".46 h. Ghufron A. Mas'adi mendefinisikan ija>rah sebagai transaksi yang
memperjualbelikan manfaat harta benda.47
42 Ibid, 98
43 Ibid.,
44 Abi Yahya zakaria Al-Anshary, Fath Al-Wahab,juz I, Semarang : PT. Toha Putra, tt, 246
45 Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al- Husaini, Kifayah Al-Akhyar, Beirut : Daar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, tt, 398
46 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah,jilid III, Beirut : Al-Fath Lil I'lam al-'arabi, tt, 283
47 Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet I,
(51)
42
i. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ija>rah sebagai akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.48
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sewa menyewa ialah akad yang diadakan oleh pihak penyewa dan orang yang menyewakan untuk memiliki dan mengambil manfaat obyek sewa yang diketahui dengan jelas dan mubah dengan pembayaran imbalan atau harga dengan syarat-syarat tertentu dan dalam periode yang ditentukan. Dengan demikian sewa menyewa mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya pihak penyewa dan yang menyewakan. b. Adanya akad antara kedua belah pihak.
c. Adanya obyek sewa yang dapat dipergunakan manfaatnya.
d. Adanya imbalan / harga terhadap pemanfaatan obyek sewa tersebut. e. Manfaat obyek sewa diketahui dengan jelas.
f. Dilaksanakan dalam periode tertentu.
2. Dasar Hukum Ija<rah
Menurut Ghufron A. Mas‟adi, Helmi Karim, Hamzah Ya‟qub dan M. Ali Hasan, dasar hukum diperbolehkannya sewa menyewa adalah al Qur'an, Hadits dan Ijma'.
(52)
43
a. Dasar hukum sewa menyewa dalam Al-Qur'an
Dalam surat Al-Baqarah ayat 233 diterangkan : Artinya: "Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". (QS. AlBaqarah : 233).49 Dalam surat Al-Qashas ayat 26-27 diterangkan : Artinya: "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (kepada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (kepada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syu'aib) "sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dari salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan aku delapan tahun dan jika kamu kukuhkan delapan tahun maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu dan kamu InsyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. Al-Qashas : 26-27)
b. Dasar hukum sewa menyewa dalam Hadits
Sabda Rasulullah SAW dari Hanzalah bin Qois : Artinya : “Diriwayatkan dari Ishaq bahwa Isa bin Yunus mengabarkan kepada kita, diriwayatkan dari Auza‟I dari Rabi‟ah bin Abi Abdurrahman, meriwayatkan kepada saya Hanzalah bin Qais AlAnshari, ia berkata : saya
(53)
44
bertanya kepada Rafi‟ bin Hadij tentang menyewakan bumi dengan emas dan perak, maka ia berkata tidak salah, adalah orang-orang pada zaman Rasulullah SAW., menyewakan tanah yang dekat dengan sumber dan yang berhadaphadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat, yang ini selamat dan yang itu rusak, sedangkan orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya. “(HR. Muslim).50
c. Landasan Ijma' sewa menyewa
Mengenai diperbolehkannya sewa menyewa, semua ulama bersepakat bahwa sewa menyewa diperbolehkan. Tidak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini, sekalipun ada beberapa diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak signifikan. Dengan tiga dasar hukum yaitu Al-Qur'an, Hadits, dan Ijma' maka hukum diperbolehkannya sewa menyewa sangat kuat karena ketiga dasar tersebut merupakan sumber penggalian hukum Islam yang utama. Dari beberapa dasar di atas, kiranya dapat dipahami bahwa sewa menyewa itu diperbolehkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lainnya selalu terikat dan saling
(54)
45
membutuhkan, dan sewa menyewa adalah salah satu aplikasi keterbatasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.51
3. Rukun dan Syarat Sahnya Ija<rah
a. Rukun sewa menyewa
Sebagai sebuah transaksi umum, sewa menyewa baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Menurut ulama Hanafiyah, rukun sewa menyewa hanya satu yaitu ija>b (ungkapan menyewakan) dan qabu>l (persetujuan terhadap sewa menyewa).52 Jumhur ulama berpendapat, rukun sewa menyewa ada empat :
1) Dua pihak yang melakukan akad
Di dalam istilah hukum Islam orang yang menyewakan disebut dengan "Mu'ajjir", Sedangkan orang yang menyewa disebut dengan "Musta'jir". Kedua belah pihak yang melakukan akad merupakan orang yang cakap bertindak dalam hukum yaitu mempunyai kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal) serta dewasa (balig).53
51 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Beirut: Daar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 1996, 464. 52 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, 660 53 Suhrawardi K.Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, Cet I, 145
(55)
46
2) Adanya akad (Ija>b dan Qabu>l)
Akad menurut bahasa berasal dari bahasa Arab “Al-„Aqdu”yang berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Sedangkan menurut istilah, akad adalah pertalian ijab(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul(pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari‟at yang berpengaruh pada obyek perikatan.54 Sewa menyewa itu terjadi dan sah apabila ada akad, baik dalam bentuk perkataan maupun dalam bentuk pernyataan lainnya yang menunjukkan adanya persetujuan antara kedua belah pihak dalam melakukan sewa menyewa, akad tersebut berisi ija>b dan qabu>l.
Ija>b dan qabu>l adalah suatu ungkapan antara dua pihak dalam sewa menyewa suatu barang atau benda. Ija>b adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad dengan menggambarkan kemauannya dalam mengadakan akad. Qabu>l adalah kata yang keluar dari pihak yang lain sesudah adanya ija>b untuk menerangkan persetujuannya.55
3) Sewa / Imbalan
Uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut dengan "ujrah". Pihak penyewa dan pihak yang menyewakan mengadakan kesepakatan mengenai harga sewa dimana
54 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003,
101
(56)
47
antara keduanya terjadi penawaran. Pada dasarnya ujrahdiberikan pada saat terjadinya akad sebagaimana dalam transaksi jual beli. Tetapi pada waktu akad para pihak dapat mengadakan kesepakatan seperti pembayaran boleh diadakan dengan mendahulukan imbalan atau mengakhirkan imbalan.
4) Obyek sewa
Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa tidak boleh menyewakan barang-barang yang tidak bermanfaat atau barang-barang yang dilarang sebab termasuk barang yang batal.56 Barang-barang yang dilarang tersebut adalah barang-barang yang dilarang oleh syara‟,
b. Syarat sewa menyewa
1) Bagi penyewa dan yang menyewakan
Syarat bagi para pihak yang melakukan akad adalah telah baligh dan berakal (menurut mazhab Syafi'I dan Hanbali). Dengan demikian apabila pihak yang berakad belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila menyewakan hartanya atau diri mereka sebagai buruh maka akadnya tidak sah. Berbeda dengan pendapat dari mazhab Hanafi dan Maliki yang menyatakan bahwa orang yang melakukan akad tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyizpun boleh
56 Imam Taqiyuddin, op. cit., 400
(57)
48
melakukan akad sewa menyewa dengan ketentuan telah mendapat persetujuan walinya.57
2) Adanya kerelaan kedua belah pihak
Masing-masing pihak menyatakan kerelaannya untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, kalau di dalam perjanjian sewa menyewa terdapat unsur pemaksaan maka sewa menyewa itu tidak sah.58
3) Upah / imbalan
Upah / imbalan dalam akad sewa menyewa harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari. Dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa imbalan itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai yang jelas diketahui, baik dengan menyaksikan atau dengan menginformasikan ciri-cirinya. karena ia merupakan pembayaran harga manfaat.
4) Obyek sewa
Dalam kitab Al-Umm disebutkan bahwa syarat obyek sewa meliputi: 1) Obyek sewa menyewa dapat diserahkan sebagaimanapenyerahan harga (ada serah terima). 2) Obyek sewa menyewa dapat dimanfaatkan sampai kepada masa yang disepakati. 3)
57 M. Ali Hasan, op. cit, 231 58 Chairuman Pasaribu, op. cit, 53
(58)
49
Manfaat benda dapat dipahami dan dikenal. 4) penyerahan manfaat obyek sewa harus sempurna yakni adanya jaminan keselamatan obyek sewa sampai kepada masa yang disepakati.59
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dikemudian hari yang dikarenakan ketidakjelasan dari obyek sewa. Yang dimaksud barang tersebut dapat diserahkan adalah bahwa barang tersebut secara wujud dapat dipindahkan. Maka tidak sah penyewaan binatang yang lari (terlepas), karena tidak dapat diserahkan. Begitu juga tanah pertanian yang tandus dan binatang untuk pengangkutan yang lumpuh, karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad ini.
4. Macam-Macam Ija<rah
Dilihat dari segi obyeknya sewa menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu sewa menyewa yang bersifat manfaat dan sewa menyewa yang bersifat pekerjaan, antara lain sebagai berikut:
a. Sewa menyewa yang bersifat manfaat, contohnya adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang diperbolehkan syara' untuk dipergunakan, maka
59 Abi Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'I, Al-Umm,Beirut : Daar Al-Kutub AlIlmiah, Juz IV,
(59)
50
Jumhur ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa menyewa.60
b. Sewa menyewa yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Sewa menyewa seperti ini hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, misalnya buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dll. Sewa menyewa seperti ini ada yang bersifat pribadi, misalnya menggaji, tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit. Kedua bentuk sewa menyewa terhadap pekerjaan ini hukumnya diperbolehkan.61
5. Pembatalan dan Berakhirnya Sewa Menyewa
Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan akad sewa menyewa menjadi batal antara lain sebagai berikut :
a. Terjadi aib pada obyek sewaan
Maksudnya bahwa jika pada barang yang menjadi obyek perjanjian sewa menyewa terdapat kerusakan ketika sedang berada di tangan pihak penyewa, yang mana kerusakan itu adalah diakibatkan kelalaian pihak penyewa sendiri, misalnya karena penggunaan barang tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan barang tersebut. Dalam hal seperti ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan.62
b. Rusaknya obyek yang disewakan
60 Abdul Azis Dahlan, op. cit., 662 61 Ibid.,
(1)
75
اَي
اَه يَأ
َنيِذلا
اوَُمآ
ل
اوُلُآْأَت
ْمُكَلاَوْمَأ
ْمُكَْ يَ ب
ِلِطاَبْلاِب
لِإ
ْنَأ
َنوُكَت
ًةَراَِِ
ْنَع
ضاَرَ ت
ْمُكِْم
لَو
اوُلُ تْقَ ت
ْمُكَسُفْ نَأ
نِإ
َهللا
َناَآ
ْمُكِب
اًميِحَر
)
٩٢
(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (QS An-Nisa: 29)13 Dalam ayat diatas dijelaskan bahwasannya Allah melarang kita untuk memakan harta sesama muslim dengan cara jalan yang bathil dan dalam suatu transaksi harus berdasarkan atas suka sama suka dan tidak merugikan salah satu pihak yang bertransaksi seperti yang terjadi di Desa Ragang ketika masa panen tersebut pemilik modal tidak mau tau untung ruginya petani jika dikaitkan dalam akad mud}a<rabah maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh juga terjadi
1 akad 2 transaksi yaitu berupa transaksi sewa dan bagi hasil. Dari kejadian tersebutlah yang dapat merugikan salah satu belah pihak yang dalam hukum Islam tidak diperbolehkan.
(2)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Setalah peneliti memaparkan seluruh hasil penelitian baik ditinjau secara teoritis maupun secara praktis. Hasil penelitian tersebut, dapat peneliti simpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan adalah kerjasama pemilik tanah “caton” dan petani dimana petani harus memberikan uang Rp 5.000.000,00 Rp 7.000.000,00 sampai Rp 10.000.0000,00 (petani wajib memberikan uang di muka dengan jangka waktu 2 tahun). Selain itu ketika sudah masa panen petani harus memberikan keuntungan yaitu berupa hasil panen 10 % baik petani untung maupun rugi.
2. Analisis hukum Islam terhadap Praktik akad pengelolaan tanah “caton” (tanah pemerintah) di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan adalah dalam paraktiknya perjanjian tersebut dinamakan kerjasama tetapi dalam agama Islam dinamakan kerjasama jika pengelolaan tersebut ketika untung dibagi menjadi 2, dimana perbuatan tersebut dilarang karena dalam 1
(3)
77
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, peneliti menganggap perlu untuk mencantumkan beberapa saran dalam penulisan penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagi Pemilik modal khususnya kepala dusun yang memiliki tanah “caton” dalam mengambil keputusan hukum hendaknya mempertimbangkan asas kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan Al- Qur’an dan Hadis serta dalam bertransaksi sesuai dengan hukum Islam karena yang terjadi dalam praktik tersebut harus menggunakan sistem kerjasam yang diskriminatif.
2. Bagi Pengelola khususnya bagi petani ketika terjadi akad sewa dan bagi hasil hendaklah perjanjian tersebut di tulis supaya jika terjadi permasalahan pihak pengelola supaya menuntut sesuai dengan bukti-bukti yang ada yang sesuai dan diperbolehkan dalam ajaran agama Islam.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan. Dan penulis berharap semoga apa yang sudah dipersembahkan akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Al Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, Juz 3. Beirut: Daarul Kutub Al ‘Ilmiah.
Abdurrahman Al-Jaziri. al-Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Qalam,t.t.
Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiyyuddin. Kifayat al-Akhyar. Bandung,: Alma’arif.t.t.
Achadiat Crisdiono M. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman. Jakarta; EGC, 2007.
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam. Yogyakarta, UII Press, 2000.
Depag RI. al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta: Al-Huda, 2002.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 lihat dalam
“Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional”, (DSN-MUI, BI, 2003).
Gemala Dewi, et al. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.ke-2, 2006.
---. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, Cet.ke-3, 2006.
---, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.ke-2, 2006.
Hamzah Ya’qub. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup
Dalam Berekonomi. Bandung: CV Diponegoro, Cet. Ke-1, 1984.
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Ibn Manzur. Lisan Al-Arab. Juz. 10.Al-Maktabah Al-Syamela.
(5)
Jalal Al-Din Al-Suyuti. Al-As}ba>h} wa Al-Naz}a>ir. Beirut: Da>r Kutub Al-Ilmiyah, 2005.
Majma’ al-Malk Fahd. Al-Qur’an dan Terjahmanya dengan Bahasa Indonesi. al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ Malk Fahd, 1418 H.
Moh. Anwar. Fiqh Islam (Muamalah, Munakahat, Faro'id dan Jinayah), (Cet. Ke-2, 1988.
Mufidatul Rosyidah. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan” Skripsi pada Jurusan Muamalah Fakultas IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, cet.ke-5, 1978.
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-1, 2001.
Nasrun Haroe., Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Rachmad Syafi’i.FiqihMuamalah. Bandung: CV pustaka Setia, 2001. Sayyid Sabiq. Fiqhus Sunnah, Jilid 3. Riyad: Daarul Muayyad, 1997.
---. Fiqih al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Sugiyino. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 2006.
Taqiyuddin Abi Bakr. Kifaya Al-Akhyar. Indonesia: Juz. I,Dar Ihya' Kutub Al-Arabiyah.
Umar Shihab. Kontektualitas Al Qur’an Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum
(6)
BIODATA PENULIS
Nama : Riani Kholifah
NIM : C02209131
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir : Banyuwangi, 24 Mei 1991
Alamat : Dsn. Krajan. Ds. Kaliagung Kec. Rogojampi Kab. Banyuwangi.
Fakultas/Jurusan : Syariah/ Muamalah
Karya Tulis : “Analisis Hukum Islam Terhadap Akad
Pengelolaan Tanah “Caton” (Tanah Pemerintah)
Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten