Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran (Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)
Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran
(Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)
Skripsi
Guna memenuhi salah satu syarat
Untuk memperoleh Gelar Sarjana
Oleh:
040901045
ROSMALEMNA TARIGAN
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Rosmalemna Tarigan
Nim : 040901045
Departemen : Sosiologi
Judul : Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat Kec.Naman Teran.
(Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)
Dosen Pembimbing, Ketuan Departemen,
(Drs.Junjungan SBP Simanjutak,M.Si) (Dra.Rosmiani,MA) NIP: 196006141986011002 NIP: 196002261990032002
Dekan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(Prof.DR.Badaruddin,M.Si) NIP: 196805251992031002
(3)
Abstraksi
Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat beberapa makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.
Adapun masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut:mengapa terjadi konflik perebutan tanah warisan, Apakah faktor-faktor penyebab tanah warisan pada masyarakat Karo? Bagaimana proses penyelesaian konflik perebutan tanah warisan tersebut dilakukan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang mengalami kasus perebutan tanah warisan ini sebanyak 10 informan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah karena ketidak sesuain pembagian tanah warisan, tanah warisan yang dipinjamkan diambil alih oleh pihak peminjam,tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga tanah warisan yang telah dibagikan, diminta kembali oleh saudara laki-laki nya., adanya perbedaan pendangan mengenai batas-batas tanah warisan. Penyebab terjadinya konflik perebutan tanah warisan ini, pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya bukti otentik/ sertifikat kepemilikan tanah. Selain itu, konflik ini dipicu karena orang tua tidak bersedia membagikan harta warisan semasa hidup nya, Proses
penyelesaian konflik perebutan tanah warisan yang dilakukan pada masyarakat Karo tidak terlepas dari campur tangan kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. Fungsi anak beru dalam penyelesian konflik perebutan tanah warisan ini adalah berusaha untuk mencari jalan damai bagi pihak yang berkonflik ini, Fungsi sembuyak pada penyelesaian konflik perebutan tanah warisan ini adalah memberi dukungan dan masukan kepada pihak yang berkonflik.
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah didalam Nama Tuhan Yesus Kristus atas Kasih-Nya yang begitu besar didalam kehidupanku. IA yang telah memberikan kekuatan dan memampukan penulis dalam menjalani hari-hari sejak awal perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi yang akhirnya juga telah dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “ KONFLIK SOSIAL DI KUTA RAYAT,KECAMATAN NAMAN TERAN ( Studi Deskriftif, Tentang Perebutan Tanah Warisan )”.
Guna memenuhi syarat untukmemperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politi, Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan skripsi ini peneliti banyak menghadapi hambatan. Tapi berkat pertolongan Tuhan semua hambatan tersebut dapat dilalui oleh penulis sehingga penulisan skripsripsi dapat selesai. Hal ii juga tidak terlepas juga berkati motivasi dan doa dari keluarga dan teman-teman. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut serta membantu dalam penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. 1.Bapak Prof.DR.Badaruddin,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra.Rosmiani, MA selaku sekertaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan juga selaku ketua penguji dalam ujian komprehensif penulis.
(5)
3. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak,M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pemikiran, saran , evaluasi, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat di selesaikan dengan baik. 4. Bapak Drs. Muba Simanihuruk selaku penguji tamu yang telah sudi kiranya
menyediakan waktu pada ujian komprehensif penulis dan telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Sosiologi.
6. Bapak P. Sembiring dan keluarga yang ada di Kuta Rayat, yang telah banyak membantu selama penulis berada di lapangan ( Kuta Rayat ) dan juga kepada seluruh informan penulis yang bersedia di wawancarai dalam membantu penulis untuk mendapatkan data-data.
7. Terkhusus dan Teristimewa kepada kedua orang tuaku, kepada Ayahanda M.Tarigan terimakasih untuk perjuangan dan kerja keras yang selama ini sudah diberikan,aku mungkin tidak akan dapat membalas semua yang telah diberikan kepadaku tapi skripsi ini adalah sebagai salah satu tanda baktiku padamu. Dan kepada Ibunda D.br Barus yang telah melahirkan, merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang, maafkan aku untuk kesalahan yang telah kulakukan, aku persembahkan skripsi ini sebagai bukti janjiku padamu, walaupun terlambat. 8. Untuk adik-adikku tersayang Herman Tarigan, Ramli Tarigan, Santa Monika
Tarigan, terimakasih untuk dorongan semangat dan motivasi, kalian juga telah banyak membantu terutama dala menjaga keponakan kalian yang masih kecil.
(6)
9. Teristimewa untuk Suamiku, yang selalu sabar membantuku , dorongan semangat dan motivasi yang sangat besar, yang juga selalu setia mengantarku ke kampus, skripsi ini adalah hasil dari usaha kita selama ini, ini adalah bukti kepada keluarga bahwa kita mampu menyelesaikan perkuliahanku dan meraih gelar sarjana walaupun kita telah membentuk sebuah keluarga kecil. Juga untuk Anakku sikecil Nathasya, yang selalu membuatku tersenyum.
10.Seluruh keluarga besar penulis khususnya keluarga besar Marga Tarigan Gersang terimakasih untuk bantuan serta dorongan semangat juga kepada keluarga besar yang ada di desa Sibunga-bunga ( kedua mertuaku, Bapauda M.Saragih serta Mak uda, Bapauda R.Saragih serta Mak uda)
11.Teman-tema yang saya rindukan di Departemen Sosiologi stambuk 2004 yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, terimakasih untuk kebersamaan kita, perjuangan kita dan atas bantuan, saran serta motivasi serta doanya.
12. Buat sahabatku Ferika, Mestika, Rabanta, Renova, Herna, Floren, Juni terimakasih untuk kebersamaan kita, dorongan semangat serta motivasi dari kalian.
13.Buat adik-adik stambuk 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan teman-teman yang lainnya tidak bisa saya sebutkan satu persatu treimakasih buat bantuan dan dukungannya.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini maih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
(7)
Medan, Agustus 2010 Penulis
(8)
DAFTAR ISI
Halaman Judul………i
Halaman Persetujuan………ii
Kata Pengantar……….iii
Abstaksi………...IVi Daftar Isi………...Vi Daftar Tabel……….…VIIIi Daftar Matriks………IXi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………...1
1.2.Perumusan Masalah………..5
1.3.Tujuan Penelitian………..6
1.4.Manfaat Penelitian………6
1.5.Defenisi Konsep………7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Konflik…………...………10
2.1.1. Pengertian………..……10
2.1.2. Jenis-Jenis Konflik………...……….15
2.1.3. Faktor Penyebab Konflik………...…16
2.2. Tahapan Konflik………..19
2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial………21
2.4. Pola Konflik………..23
(9)
3.1. Jenis Penelitian ... 25
3.2. Lokasi Penelitian………..25
3.3. Teknik Pengumpulan Data ………..26
3.4. Unit Analisis dan Informan..………...……….27
3.5. Interpretasi Data………..27
3.6. Jadwal Penelitian……….28
3.7. Keterbatasan Penelitian………...29
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………..30
4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat………30
4.1.2. Letak Dan Keadaan Wilayah……….32
4.1.3. Komposisi Penduduk……….33
4.1.4. Sarana dan Prasarana……….37
4.2. Penyajian dan Interpretasi Data………38
4.2.1. Profil Informan………..38
4.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan...44
4.4. Proses Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan...53
4.5. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan ...57
4.6. Interpretasi Data Penelitian...60
4.6.1. Sejarah Konflik Perebutan Tanah Warisan pada Masyarakat Karo...60
4.6.2. Eskalasi Konflik...61
4.6.3. Resolusi Konflik...63
4.6.4. De-Eskalasi Konflik...64
(10)
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan...68 5.2. Saran...70 DAFTAR PUSTAKA
(11)
Abstraksi
Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat beberapa makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.
Adapun masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut:mengapa terjadi konflik perebutan tanah warisan, Apakah faktor-faktor penyebab tanah warisan pada masyarakat Karo? Bagaimana proses penyelesaian konflik perebutan tanah warisan tersebut dilakukan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang mengalami kasus perebutan tanah warisan ini sebanyak 10 informan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah karena ketidak sesuain pembagian tanah warisan, tanah warisan yang dipinjamkan diambil alih oleh pihak peminjam,tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga tanah warisan yang telah dibagikan, diminta kembali oleh saudara laki-laki nya., adanya perbedaan pendangan mengenai batas-batas tanah warisan. Penyebab terjadinya konflik perebutan tanah warisan ini, pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya bukti otentik/ sertifikat kepemilikan tanah. Selain itu, konflik ini dipicu karena orang tua tidak bersedia membagikan harta warisan semasa hidup nya, Proses
penyelesaian konflik perebutan tanah warisan yang dilakukan pada masyarakat Karo tidak terlepas dari campur tangan kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. Fungsi anak beru dalam penyelesian konflik perebutan tanah warisan ini adalah berusaha untuk mencari jalan damai bagi pihak yang berkonflik ini, Fungsi sembuyak pada penyelesaian konflik perebutan tanah warisan ini adalah memberi dukungan dan masukan kepada pihak yang berkonflik.
(12)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Konflik tanah yang muncul sering sekali terjadi karena adanya masalah dengan orang perorang antar generasi. Konflik tersebut sering muncul antar tetangga, teman-teman dan keluarga karena ketergantungan masyarakat pada transaksi tanah secara informal dan tidak tertulis.
Demikian halnya pada masyarakat Karo, juga masih banyak terdapat konflik atau sengketa tanah. Dalam tulisan ini akan difokuskan pada masyarakat Karo yang berada di desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Dari survey pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, kebanyakan konflik tanah yang terjadi antar mereka yang masih memiliki hubungan darah/ keturunan.
Seperti yang di alami oleh A.Sitepu yang pernah mengalami konflik dengan saudara kandungnya. A.Sitepu adalah seorang petani di desa Kuta Rayat dan saat ini sudah berusia 70 tahun. Konflik yang di alaminya sudah terjadi 8 tahun yang lalu dan terjadi karena ketidak puasan salah satu pihak terhap pembagian tanah warisan. P.Sitepu adalah salah satu informan yang merupakan salah satu pihak penggugat dari kasus konflik perebutaan tanah warisaan dan pernah menjabat sebagai anggota legislative di pemerintahaan kabupaten karo. Ketika menjabat sebagai wakil rakyat,informan mengaku meninggalkan kampung halamanya dan memberi kepercayaan kepada bere-bere nya (anak dari saudara perempuannya) untuk mengelola tanah miliknya akan tetapi ketika informan pulang kekampung halamannya informan meminta tanah tersebut ternyata
(13)
bere-bere nya tidak mau mengembalikan tanah itu dan sudah menganggapnya menjadi miliknya.
Konflik tanah yang terjadi pada masyarakat menyebabkan rusaknya interaksi sosial diantara pihak-pihak yang bersengketa. Tanah merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia, sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan tanah tersebut acapkali berbenturan , mengingat bahwa terdapatnya jumlah luas tanah yang terbatas, pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk.
Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diarikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Sejarah membuktikan bahwa terjadinya konflik, pertumpahan darah sejak masa lalu lebih disebabkan perebutan atas penguasaan sebidang tanah.
Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan, hal ini dapat dipahami mengingat menguasai tanah bukan sekedar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa tanah, melainkan sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung religio magis yang kuat dikalangan masyarakat. Masyarakat memandang bahwa tanah tidak sekedar bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas tanah.
Ada 3 (tiga) komponen kepentingan dan bagaimana masyarakat memperlakukan tanah. Komponen itu meliputi:
(14)
1) Dimensi Ekomaterialistik, yaitu tanah sebagai bagian dari ekosistem bersifat “non-private”, sehingga tanah dihargai secara matrealistik ( dengan uang).
2) Dimensi Historiosuksesif, yaitu tanah sebagai symbol kejayaan leluhur dimasa silam, sehingga jangan ada orang lain yang mengganggu meskipun dengan cara membeli dengan harga yang layak.
3) Dimensi Psikomonumentif, yaitu tanah sebagai harga diri, warisan, monument keluarga, sehingga jangan ada orang lain yang mengganggu (Supiryoko,1994).
Dalam masyarakat Karo, ukuran kekayaan seseorang itu adalah tanah yang lebar. Semua kekayaan itu kelak akan diwariskan kepada anak laki-laki di keluarga itu sendiri.. anak perempuan tidak memiliki hak untuk meminta bagian dari warisan tersebut, dan seandainya pun anak perempuan mendapatkan warisan itu dinamakan pemberian (perkuah ate) kalimbubu (saudara laki-laki). Hal ini disebabkan karena masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal.
Garis keturunan patrilineal adalah yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja dank arena itu mengakibatkan bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jauh di luar batas itu (Konjaraningrat, 1967:124, dalam Helenta hal 6). Garis keturunan laki-laki akan musnah atau hilang jika tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan. Fungsi utama anak laki-laki dalam masyarakat Karo adalah sebagai penerus keturunan (marga) dan sebagai penerima harta warisan (orang yang paling behak menerima warisan). Penggunaan lahan yang diberikan oleh
(15)
saudara laki-lakinya hanya dapat digunakan semasa hidup saudara perempuannya dan tidak bisa dijadikan sebagai hak miliknya.
Dari hal tersebut lah biasanya akan muncul konflik. Memang konflik yang timbul bukan dalam waktu yang singkat, justru sebaliknya akan timbul dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu ketika pihak peminjam tanah itu sudah meninggal dan pemberi tanah pinjaman juga sudah meninggal atau lebih jelasnya konflik itu bermula dari keturunan mereka masing-masing. Keturunan saudara laki-laki nya akan meminta kembali tanah yang dulu nya pernah diberikan orang tua nya kepada kepada keturunan saudara perempuan ayah mereka, sedangkan keturunan dari pihak saudara perempuan merasa bahwa tanah itu sudah menjadi hak milik mereka, karena sudah sangat lama mereka lah yang mengelolanya seperti milik sendiri. Dari sinilah akan timbul konflik internal dalam keluarga besar masing-masing.
Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.
Berdasarkan catatan fakta di lapangan di temukan beberapa kasus mengenai perebutan tanah warisan. Dari hasil wawancara dengan tokoh adat, diketahui bahwa konflik yang terjadi pada masyarakat desa Kuta Rayat ini disebabkan karena tidak adanya bukti otentik pemberian warisan terhadap keturunan perempuan, sehimgga kurang dihargai oleh keturunan laki-laki. Kebudayaan masyarakat Karo yang merasa keberatan jika membagikan tanah warisan ketika masa hidupnya, juga menjadi penyebab terjadinya
(16)
konflik. Pada umumnya, pembagian warisan dalam masyarakat Karo dilakukan ketika orang tua dalam keluarga sudah meninggal dunia. Konflik perebutan tanah warisan ini biasanya terjadi pada beberapa generasi berikutnya, dengan alasan merasa tidak puas terhadap aturan-aturan yang sudah berlaku selama ini. Adapun pihak-pihak yang berkonflik dalam perebutan tanah warisan tersebut adalah antara sesama saudara kandung, antar saudara sepupu yang ayahnya bersaudara kandung, konflik dengan saudara kandung ayahnya, konflik antar saudara laki-laki dan saudara perempuan, konflik antara keturunan saudara laki-laki nya dengan keturunan saudara perempuannya, dan juga antara paman dan keponakannya.
Penulis merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan konflik di kalangan masyarakat Karo, disebabkan karena penulis melihat bahwa pembahasan kasus konflik yang ada selama ini kurang mendetail, sehingga dalam tulisan ini juga penulis ingin mengkaji bagaimana sebenarnya proses terjadinya konflik dalam masyarakat Karo dan bagaimana penyelesaian konflik tersebut di lakukan. Dalam penyelesaian konflik tanah pada masyarakat Karo, mungkin agak berbeda dengan kasus konflik pada masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam masyarakat Karo, ikut berperan nya “dalikan sitelu” ( tungku yang berkaki tiga), yaitu senina, kalimbubu, dan anak beru dalam penyelesaiaan konflik tanah tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus di mulai. Kemana harus pergi,
(17)
dan dengan apa ( Arikanto, 2002:22). Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya konflik perebutan tanah warisan?
2. Bagaimana penyelesaian konflik tanah tersebut dilakukan?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk memgetahui dan menganalisis bagaimana proses terjadinya konflik tanah pada masyarakat Karo.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik tanah tersebut dilakukan.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melatih kemempuan akademis sekaligus penerapan ilmu pengetahuan sosiologis yang telah di peroleh penulis.
2. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai ketertarikan dengan masalah penelitian ini.
1.4.2. Manfaat Praktis
(18)
2. Data-data peneliian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perumus kebijakan dan instansi terkait.
3. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi warga yang terlibat dalam konflik.
1.5. Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat di perlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi, suatu abstaksi mengenai gejala atau realita suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala. Di samping mempermudah dan memfokuskan penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti kasus tersebut serta menghindari timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian.
Konsep-konsep penting dalam penelitian ini adalah:
• Konflik tanah adalah perbedaan kepentingan antara berbagai pihak, baik individu maupun kelompok yang memiliki tujuan atau maksud yang tidak sejalan terhadap satuan bidang tanah/ wilayah daratan tertentu yang menimbulkan perselisihan dan benturan-benturan.
• Tanah warisan adalah warisan nenek moyang yang diperuntukkan bagi warga desa tertentu, tanah komunal yang tidak di perjual belikan, warga hanya punya hak kelola saja bukan hak untuk memiliki.
(19)
• Suku Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) keseluruh pelosok tanah air. Suku Karo yang di maksud dalam peelitian ini adalah penduduk desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.
• Resolusi konflik adalah upaya-upaya yang menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan-hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan mengskhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher, 2001:7-8). Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai resolusi konflik adalah upaya yang dilakukan oleh warga untuk menyelesaikan konflik dan mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
• Daliken Sitelu adalah tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu
(20)
Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). • Garis Keturunan Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang
mengatur alur keturunan berasal dari piha seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari
dua kata, yaitu pater
(bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".
• Senina adalah mereka yang bersodara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
• Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.
• Anak beru adalah pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain.
• Perkuah Ate adalah sifat yang menyayangi orang tanpa memandang status orang tersebut.
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konflik 2.1.1. Pengertian
Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.
Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber
(22)
daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.
Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001:4).
Dalam setiap kelompok social selalu ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Dalam teori hubungan masyarakat, Fisher menyebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan social yang tidak terpenuhi atau dihargai.
(23)
Hoult (1969) sebagaiman di kutip Wiradi (2000) menyebut konflik sebagai situasi proes interaksi antara dua (atau lebih ) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertical, yaitu antar pemerintah , masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.
Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).
Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan . kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik (Dahrendrof, 1959: 180).
(24)
Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan-perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002:156). Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004:29). Konflik muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat Karo, mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah di antara dua pihak yang masih merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka berkompetisi memperebutkan tanah warisan dan masing-masing mereka mempertahankan tanah tersebut.
Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.
Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk,; pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
(25)
Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001:6).
Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.
Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi (Soekanto, 2002:98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.
Konflik yang terjadi dalam internal dalam masyarakat Karo, menjadi konflik yang harus melibatkan pihak lain, yaitu pihak “anak beru”, dimana pihak inilah
(26)
yang akan bertugas mencampuri segala hal yang mungkin akan terjadi dalam urusan penyelesaian konflik itu. Pihak anak beru adalah pihak yang paling berperan penting dalam segala urusan dalam kehidupan adat masyarakat Karo. Pertentangan yang terjadi dapat menyebabkan perpecahan dalam internal keluarga sendiri. Hal ini dapat terjadi apabila penyelesaian konflik yang dilakukan tidak memuaskan kedua belah pihak, sehingga peran anak beru sangat domonan dalam hal ini.
2.1.2. Jenis-Jenis Konflik
Soerjono Soekanto membagi konflik social menjadi lima bentuk khusus, yaitu sebagai berikut:
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konfli atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yaqng terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara.
(27)
2.1.3. Faktor Penyebab Konfik
Menurut Saiman Pakpahan, penyebab konflik dapat diklasifikasikan menjadi dua hal. Pertama, ada penyebab identitas yang dapat dilihat berdasarkan perbedaan ideologi, ras, etnik (kultur). Kedua, perbedaan yang dapat dilihat berdasarkan distribusi sumber daya ekonomi, politik, social, dan hokum beserta derivasinya. Secara penjelasan baik bersifat teori dan informasi hasil kajian menunjukkan bahwa faktor penyebab konflik adalah karena perbedaan identitas dan distribusi sumber daya. Kemudian, dalam hubungan dengan potensi, sumber konflik tersebut merupakan temuan utama menunjukkan bahwa antara isu perbedaan identitas dan sumber daya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Umumnya, tidak disadari bahwa konflik yang disebabkan perbedaan sumber daya, khususnya ekonomi, politik atau hukum dibelokkan menjadi konflik yang bertendensi ideologi dan etnik.
Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab konflik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologi, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengetakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realiktik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.
Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek social, ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadp sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat
(28)
(Mengelola konflik, hal 4). Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi ( Soekanto, 2002: 98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.
Adapun yang menjadi faktor penyebab konflik, antara lain yaitu:
1. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik social, sebab dalam menjalani hubungan social seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu
memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Sebagai
(29)
contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang mnejadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayu nya di ekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pencinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik social di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyengkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik antar kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan diantara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri serta memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
(30)
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak akan memunculkan konflik social sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat dan mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada.
2.2. Tahapan Konflik
Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda (Fisher,2001:19-20). Tahap-tahap ini adalah:
(31)
1. Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/ atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
2. Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
4. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.
5. Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan
(32)
tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.
2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial
Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan konflik sosial horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik latent, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya.
Seperti di Indonesia, konflik social vertikal ini dapat dicermati dari beberapa upaya daerah yang melepaskan diri dari belenggu pemerintahan pusat. Konflik ini semakin tidak akan terkendali karena pendekatan penyelesaian masalah diwarnai dengan pendekatan militer. Peranan aparat militer masih mendominasi daripada diplomasi politik dan kultural.
Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya intensitas konflik vertikal, khususnya di Indonesia antara lain:
1. Luapan kekecewaan dan ketidakpuasan terhdap perilaku pemerintah dan aparatur pemerintah yang secara sistematis mengeksploitasi sumber daya alam daerah-daerah demi kepentingan orang-orang yang berkuasa.
2. Pemerintah pusat dengan berdalih pembangunan seringkali semena-mena merampas dan menduduki hak-hak penduduk lokal di suatu daerah.
(33)
3. Menurunya kepercayaan masyarakat daerah pada pemerintah karena pemerintah tidak lagi memihak dan melayani kepentingan-kepentingan tuntutan masyarakat tetapi secara terencana memperdaya masyarakat.
4. Terbukannya ruas sosial (social space). Hal ini merangsang terjadinya konflik vertikal dan tanpa disadari mendorong masyarakat untuk bereuphoria sebagai bentuk balas dendam atau sekedar melepas rasa ketidakpuasan pada pejabat pemerintah.
5. Tidak tertutup kemungkinan konflik vertikal ini terjadi karena ditunggangi oleh sekelompok elit yang rakus dan haus kekuasaan.
Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku, golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal adalah:
1. Saling mengklaim dan menguasai sumber daya alam yang mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.
2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan-ketimpangan ekonomi anatra kaum pendatang dan penduduk lokal. Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal
(34)
lelah yang kemudian dapat mengausai pasar dan peluang ekonomi sering dilihat sebagai penjajahan ekonomi.
3. Dorongan emosional kesukuan karena ikatan-ikatan norma tradisional. Konflik ini dapat juga muncul disebabkan karena kefanatikan ajaran ideologi tertentu .
4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan orang-orang yang haus kekuasaan.hal ini didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah, juga diikuti oleh rendahnya kesadaran sosial.
2.4. Pola Konflik
Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk; pertama, konflik latent sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Ketiga, konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi ( Fisher, 2001:6).
2.5. Dampak Konflik Sosial
Konflik sosial memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik social adalah sebagai berikut:
(35)
2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.
4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok. 5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah sebagai berikut:
1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok. 2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa. 3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.
(36)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan Studi kasus. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan dan sebagainya (Moleong, 2006:4-6). Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena:
2. Penelitian ini melihat individu secara holistik (utuh),
3. Pendekatan ini menggunakan latar alamiah, dengan maksud menggambarkan fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai metode seperti wawancara, observasi dan lain-lain.
4. Pendekatan ini bersifat emik, peneliti dapat membangun pandanangannya sendiri tentang apa yang diteliti secara rinci.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sebuah desa yang berada di Tanah Karo, yang letaknya agak jauh dari kota Medan yaitu di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran. Lokasi ini ditetapkan oleh penulis sebagai daerah untuk lokasi penelitian dengan pertimbangan karena di desa ini sering kali terjadi konflik tanah dalam intern keluarga besar, dimana yang menjadi masalah adalah hak milik atas tanah yang telah diwariskan.
(37)
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian inin dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:
a. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan proses Tanya jawab secara langsung ditujujkan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman atau panduan wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, foto, majalah, jurnal, artikel dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.
3.4. Unit Analisis Dan Informan
Adapun yang menjadi unit analisis dalam subyek penelitian ini adalah seluruh warga Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman,Kabupaten Karo. Sedangkan
(38)
informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan penyelesaian konflik. Informan dipilih atas pertimbangan dan criteria tertentu yang telah ditetapkan oleh penulis.
Dalam penelitian ini, informan diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu: 1. Informan kunci yaitu sumber informasi yang actual dalam menjelaskan
tentang masalah penelitian. Informan kunci yang akan diwawancarai yaitu tokoh masyarakat dan tokoh adat serta ahli-ahli pertanahan.
2. Informan biasa yaitu warga biasa. Informasi yang ingin diperoleh dari ninforman ini adalah informasi tentang konflik yang pernah terjadi di desa ini. Adapun criteria informan ini adalah penduduk asli desa Kuta Rayat dan telah dewasa.
3.5. Interpretasi Data
Bogdan dan Biklen (dalam Moleong,2006:248) menjelaskan analisis data adalah upaya yang dilakukan denagn jalan bekerja dengan data, mengorganisaikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskan, membuat ikhtisarnnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari, dan memeutuskan apa yang akan diceritakan kepada orang lain.
Analisis data diulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar,foto, dan sebagainya. Setelah di baca, di pelajari, dan di telaah, langkah berikutnya adalah mereduksi data yang dilakukan melelui abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu di jaga sehingga tetap berada di dalam focus penelitian. Langkah
(39)
berikutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian di kategorikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan di interpretasikan secara kualitatif sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian.
3.6. Jadwal Penelitian
NO Jenis Kegiatan B u l a n K e -
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra proposal X
2 Acc Judul X
3 Penyusunan Proposal Penelitian X X
4 Seminar Proposal X
5 Revisi proposal penelitian X X
6 Penyerahan hasil seminar
proposal
X
7 Operasional penelitian X X
8 Bimbingan X X
9 Penulisan laporan akhir X X
10 Sidang meja hijau X
3.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan
(40)
dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan karena padatnya aktivitas informan. Masyarakat di desa kuta rayat ini pada umumnya bermata pencaharian bertani, sehingga peneliti harus menunggu informan siap untuk diwawancarai dan peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.
Walau terdapat berbagai keterbatasan , peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan berbagai informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.
(41)
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat Jauh SebelumTahun 1900
Menurut cerita orang tua/ nenek moyang pembentukan dan pembangunan kampungan Toraja Berneh dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu:
• Golongan kalimbubu ( karo mergana/bermarga karo-karo) • Golongan kalimbubu puang taneh
• Golongan anak beru • Golongan guru (dukun)
Adapun fungsi dari golongan-golongan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1. Golongan kalimbubu/ karo mergana , berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan, termasuk peralatan bidang keamanan dan lain-lain.
2. Golongan kalimbubu puang taneh, berfungsi sebagai hakim tertinggi dan penasehat.
3. Golongan anak beru, berfungsi sebagai pelaksana pembentukan/ pembangunan kampung toraja berneh, pelaksana pembangunan rumah darurat, pelaksana keamanan, pelaksasa perhubungan , dan pelaksana adapt dan seni budaya.
(42)
4. Golongan guru (dukun), berfungsi sebagai penentu kapan waktu dimulai pelaksanaan pembentukan kampung toraja berneh, yang sekarang dikenal dengan Kuta Rayat. Selain itu guru juga berfungsi menyelidiki tanda-tanda penyakit yang bakal terjadi yang merupakan menjadi penghalang dalam pembentukan kampung nantinya, sehingga guru juga harus menyediakan obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit yang dianggap bakal muncul.
Dari hasil keputusan musyarah keempat golongan tersebut, maka anak beru mulai melaksanakan hasil keputusan itu. Keputusan pertama dimana kalimbubu karo mergana menunjuk tempat pembentukan kampung toraja berneh yang diadakan di lingkungan Tambak Emas lebih kurang 1 km sebelah timur dari desa ini. Kondisi desa ini awalnya bagaikan hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas dan berbisa, sehingga golongan anak beru dibekali obatan oleh kalimbubu karo mergana seperti obat-obatan dan semapang kuno. Setelah selesai penebangan maka dibuatlah perumahan darurat dan mereka pun menanam padi disana.
Setelah kampong Toraja Berneh di Tambak Emas didiami puluhan tahun, maka terjadi persengketaan antara kampong Toraja Berneh dengan kampung lain yang menimbulkan peperangan. Akibat kejadian itu maka terjadilah perpindahan ke pedeleng kira-kira 0,5 km ke sebelah Tenggara dari desa ini, namun setelah didiami puluhan tahun maka terjadi pula perpindahan ke lau njulu yaitu 0,5 km kesebelah Utara disebabkan karena terjadinya peperangan .
Perkampungan Toraja Berneh di Lau Njulu ini berada di sebelah kanan pembangunan jalan kabupaten Karo dengan kabupaten Langkat yang dibangun oleh
(43)
pemerintah orde baru, dan puluhan tahun kemudian pindah lagi kira-kira 0,5 km ke selatan dari lau njulu tersebut. Perpindahan tersebut membawa dampak yang baik, karena sarana lalu lintas dari Toraja Berneh kabupaten Karo ke Telagah kabupaten Langkat semakin baik dan semakin sering dilalui.demikian sejarah terjadinya kampung Toraja Berneh, yang sekarang lebih dikenal dengan desa Kuta Rayat.
4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah
4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis
Kondisi iklimdi desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran sangat sejuk dan berhawa dingin. Hal ini disebabkan karena letaknya berada di ketinggian 700-1420 meter diatas permukaan laut.
4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah
Batas-bats wilayah desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Kabupaten Karo adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kebayaken 2. Sebelah Barat berbatasan dengan desa kuta gugung 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Negara
4. Sebelah Tenggara berbatasan dengan desa Singgarang-Garang.
Luas wilayah administrative dari desa kuta Rayat adalah sekitar 14,1 km2 atau sekitar 16,18% dari luas keseluruhan dari Kecamatan Naman Teran. Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di kabupaten Karo dengan Ibukota Kabanjahe dan 97 km dari medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara.
(44)
Kecamatan Naman Teran dibentuk atas dasar Perda No. 04 tahun 2005, dimana Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 (tiga ) kecamatan yaitu, Kecamatan Simpang Empat ( sebagai kecamatan induk), Kecamatan Naman Teran ( hasil pemekaran), dan Kecamatan Merdeka ( hasil pemekaran). Kecamatan Naman Teran dengan luas _+87,82 km2 berada pada ketinggian rata-rata 1300-1600m diatas permukaan laut dengan temperature 16-17 C.
4.1.3. Komposisi Penduduk
4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Tabel 4.1
Persentase penduduk menurut suku
NO Suku Jumlah Persentase
1 Karo 1500 85
2 Jawa 178 10
3 Batak Toba 87 5
Jumlah 1765 100
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2010
Dari martiks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta Rayat tidak hanya di hunu oleh suku Karo saja, namun bersifat heterogen. Suku Karo merupakan penduduk mayoritas di desa Kuta Rayat ini terdiri dari 1500 jiwa atau 85% dari jumlah
(45)
suku Batak Toba merupakan suku pendatang ke desa Kuta Rayat tersebut, namun sebagian ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga bukan lagi dianggap sebagai pendatang.
4.1.3.2. Komposisi Penduduk berdasarkan Agama
Dilihat dari segi agama, di desa Kuta Rayat para penduduk memeluk jenis agama yang berbeda, namun dalam kehidupan sehari-hari perilaku umat beragama tercipta secara rukun dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Adapun jenis agama yang dianut oleh penduduk desa Kuta Rayat ini dapat dilihat dalam matriks berikut:
Table 4.2
Persentase Penduduk Menurut Agama
NO Agama Jumlah Persentase (%)
1 Kristen Protestan 794 45
2 Islam 706 40
3 Khatolik 265 15
Jumlah 1765 100
(46)
Berdasarkan matriks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta Rayat menganut agama yang tidak jauh berbeda antara Kristen Protestan yaitu 45% dan penganut Agama Islam Sebanyak 40%, sedangkan 15% lagi dianut oleh agana Katholik.
4.1.3.3. Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian adalah jenis pekerjaan yang sedang atau pernah dilakukan seseorang yang mencirikan pekerjaan yang dilaksanakan dalam tujuan untuk memenuhi kelangsungan hidup. Ditinjau dari segi mata pencaharian, penduduk desa Kuta Rayat pada umunya bekerja sebagai PNS, ABRI/POLRI, dan juga sebagai pegawai swasta.
Table 4.3
Mata Pencaharian Penduduk
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat,2010
NO Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
1 Bertani 1500 85
2 PNS, ABRI/POLRI 177 10
3 Pegawai Swasta 88 5
(47)
Dari matriks diatas terlihat bahwa jenis mata pencaharian yang mayoritas sebanyak 85% yaitu sebagai petani, karena walaupun penduduk membuka warung tetapi tidak terlepas dari aktivitasnya sebagai petani.
4.1.3.4. Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Table 4.4
Tingkat Pendidikan Penduduk
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2010
Berdasarkan matriks diatas dapat diasumsikan bahwa pendidikan di desa kuta Rayat ini masih rendah. Hal ini dilihat dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 1765 jiwa, namun hanya 5% yang melanjut ke perguruan tingggi.
NO Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 Tidak tamat SD 177 10
2 SD 353 20
3 SMP 530 30
4 SMA 618 35
5 Perguruan Tinggi 88 5
(48)
4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan yang terdapat di desa Kuta Rayat hanya berjumlah 1 buah yaitu puskesmas. Pada umumnya jika masyarakat mengalami penyakit ringan, seperti demam, flu, batuk maka kan berobat ke puskesmas, namun jika penyakit yang dialami penduduk bersifat seris maka biasanya penduduk memilih pelayanan kesehatan ke kota Berastagi atau ke ibukota Tanah Karo yaitu Kabanjahe.
4.1.4.2. Sarana Ibadah
Penduduk desa Kuta Rayat melaksanakan aktivitas keagamaannya di rumah ibadah yang ada di desa Kuta Rayat ini . adapun sarana ibadah yang dijadikan sebagai tepat untuk menjalankan ritual keagamaan adalah satu buah Mesjid untuk peribadatan penduduk yang beragama Islam, satu buah Gereja untuk peribadatan agama Kristen Protestan, dan agama Katholik biasanya menjalankan ibadah mereka ke Gereja di desa tetangga yaitu desa singgarang-garang, karena di desa Kuta Rayat ini belum ada rumah ibadah bagi agama Katholik.
4.1.4.3. Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan yang ada di Desa Kuta Rayat sangat terbatas, yaitu satu sekolah untuk taman kanak-kanak dan satu buah sekolah dasar. Hal ini tidak berarti tidak terdapat sarana pendidikan untuk SMP dan SMA. Anak yang ingin melanjutkan pendidikannya ke SMP biasanya sekolah di sdesa Singgarang-garang, SMP Naman bahkan ada yang ke Berasatgi atau Kabanjahe, sedangkan siswa yang ingin melanjutkan
(49)
pendidikan ke SMA biasanya sekolah di Berastagi dan Kabanjahe dan ada sebagian kecil ke SMA Negeri 1 Simpang Empat di desa Sibintun.
4.2. PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA
Untuk mendapatkan data mengenai Perebutan Tanah Warisan pada Masyarakat Karo, maka peneliti melakukan wawancara terhadap pihak yang mengalami perebutan tanah warisan di desa Kuta Rayat, kecamatan Naman Teran ini. Adapun informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
4.2.1. Profil Informan yang mengalami Konflik Perebutan Tanah Warisan 4.2.1.1. A. Sitepu
A. Sitepu adalah seorang petani di desa Kuta rayat dan saat ini sudah berusia 70 tahun. Informan pernah mengalami konflik perebutan tanah dengan saudara kandungnya. Konflik perebutan tanah yang dialaminya terjadi 8 tahun yang lalu. Informan mengaku bahwa konflik ini terjadi disebabkan karena ketidakpuasan salah satu pihak terhadap pembagian tanah warisan. Saudara A.Sitepu merupakan pihak yang merasa keberatan atas pembagian tanah tersebut, sehingga mempermaslahkannya setelah beberapa tahun kemudian. A. sitepu menganggap bahwa pembagian tanah warisan itu sudah adil, dan tidak setuju jika saudara nya tersebut meminta kembali sebagian dari tanah yang sudah menjadi hak miliknya.
(50)
4.2.1.2. R. Ginting
R. Ginting penganut agama Protestan dan sudah berusia 60 tahun. Informan lahir di desa Kuta Rayat ini dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berprofesi sebagai petani di desa Kuta Rayat. Informan memiliki 4 orang putra dan 2 orang putri. Keenam anak informan ini juga berdomisili disekitar desa Kuta Rayat ini. Informan mengaku bahwa nenek moyangnya juga berprofesi sebagai petani dan termasuk anak beru kuta. Informan mengalami konflik perebutan tanah warisan disebabkan karena ketidaksesuaian pembagian tanah warisan. R. Ginting berharap agar pembagian tanah warisan itu harus dilihat berdasarkan luas lahan, letak lahan dan juga tingkat kesuburan tanah. Informan mengaku kecewa jika tanah yang letaknya strategis ( dekat dengan jalan raya) disamakan pembagiannya dengan tanah yang letaknya terisolir.
4.2.1.3. P. Sitepu
P. Sitepu merupakan pihak penggugat dari kasus konflik perebutan tanah warisan ini. Saat ini informan sudah berusia 60 tahun dan pernah menjabat sebagai anggota legislatif di pemerintahan kabupaten Karo. Ketika menjabat sebagai wakil rakyat, informan mengaku meninggalkan kampung halamannya dan memberi kepercayaan kepada bere-bere nya (anak dari saudara perempuannya) untuk mengelola tanah miliknya. Akan tetapi ketika informan kembali pulang ke kampung halaman setelah puluhan tahun kemudian dan meminta tanah yang tadinya di pinjamkan kepada bere-bere nya mengalami permasalahan. Bere-bere nya tidak bersedia mengembalikannya dan sudah dianggapnya sebagai miliknya, sehingga terjadilah konflik..
(51)
4.2.1.4. S. Sitepu
S. Sitepu penganut agama Islam dan sudah berusia 50 Tahun, memiliki 5 Putri dan tidak memiliki Putra. Konflik perebutan tanah yang dialami informan disebabkan karena pihak saudaranya merebut tanah warisan yang diberikan kepadanya. Alasan saudarannya mengambil tanah warisan yang seharusnnya hak miliknya ini disebabkan karena informan tidak memilki keturunan laki-laki. Dimana diketahui bahwa masyarakat karo lebih menghargai keberadaan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, karena laki-lai dianggap sebagai penerus garis keturunan dan dianggap sebagai pihak yang berhak mendapatkan harta warisan. Informan mengaku tidak setuju dengan perlakuan saudaranya ini.
4.2.1.5. R. Br Ginting
R. Br Ginting adalah salah satu pihak penggugat yang berhasil. Informan mengalami konflik perebutan tanah warisan dengan saudara laki-lakinya. Ketika pembagian harta warisan sudah tercapai kesepakatan antar berbagai pihak, namun setelah berjalan 6 tahun saudara laki-laki informan ingin menguasai tanah R Br Ginting. Saudara laki-laki informan menganggap dirinya lebih berkuasa untuk memiliki semua asset sepeninggalan orang tua mereka, disebabkan karena posisinya sebagai laki-laki dan menggganggap bahwa saudara perempuannya tidak berhak atas tanah tersebut. Perempuan berusia 45 tahun ini merasa puas dengan keputusan pengadilan yang berpihak kepadanya.
(52)
4.2.1.6. A. Ginting
Hari jumat, tepatnya pukul 19.30 wib penulis berkunjung ke rumah salah satu informan yaitu A. Ginting. Malam itu, informan baru saja selesai makan malam dan mempersilahkan penulis untuk masuk. Penulis mengutarakn tujuan dan meminta kepada informan agar memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis. Informan bersedia untuk diwawancarai dan memberikan informasi sesuai dengan apa yang diketahuinya.
.Informan mengaku bahwa dirinya adalah pihak yang digugat oleh saudaranya. Informan mengatakan bahwa tanah yang berkasus itu adalah miliknya, dan merasa wajar jika tidak bersedia memberikan kepada siapapun termasuk saudaranya sendiri. Konflik perebutan tanah warisan ini sudah berlangsung selama 2 tahun terakhir. Pria berusia 45 tahun ini menegaskan akan tetap mempertahankan apa yang dianggapnya menjadi hak nya.
4.2.1.7. Pj. Sitepu
Pj. Sitepu adalah pihak penggugat dalam kasus perebutan tanah warisan. Penulis melakukan wawancara terhadap informan ketika informan sedang berada di ladang dan saat itu informan baru saja selesai makan siang. Informan pun mempersilahkan penulis untuk melakukan wawancara setelah penulis menjelaskan tujuannya untuk melakukan wawancara. Informan mengalami kasus perebutan tanah warisan ini 2 tahun yang lalu.
Konflik ini terjadi disebabkan karena saudara sepupunya tidak memberikan tanah warisan sepeninggalan kakek mereka secara merata. Informan juga
(53)
dalam membagikan tanah tersebut tidak hanya melihat luas tanah yang dibagikan, namun harus juga memperhatikan letak tanah warisan yang dibagikan tersebut, ungkap informan kepada penulis.
4.2.1.8. J. Sembiring
Pria berusia 60 tahun ini memiliki 1 putra dan 3 putri, mengalami kasus perebutan tanah warisan 5 tahun yang lalu. Informan merupakan pihak tergugat oleh anak saudara kandungnya. Informan mengatakan kepada penulis bahwa anak saudara nya tersebut meminta sebagaian tanah yang menjadi haknya dan mengakui bahwa tanah tersebut adalah bagian ayahnya,sehingga akhirnya berujung dengan konflik. J. Sembiring berprofesi sebagai petani, namun saat ini informan mengurangi aktivitasnya untuk bertani, mengingat usiannya sudah cukup tua.
4.2.1.9. P. Sembiring
Hari senin, tepatnya pukul 19.30 wib penulis berkunjung ke rumah P. Sembiring. Letak rumah informan yang berdekatan dengan tempat tinggal penulis ketika melkukan penelitian ini mempermudah proses wawancara. Hal ini disebabkan karena sebelumnya informan juga sudah pernah bebincang dengan penulis pada awal kedatangan penulis ke desa ini. Proses wawancara pun berjalan secara lancar, dan informan juga bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis.
Informan mengaku mengalami kasus perebutan tanah warisan disebabkan keegoisan saudara kandungnya. Sebenarnya sudah ada kesepakatn pada awalnya ketika pembagian tanah warisan ini, namun setelah beberapa tahun saudara informan
(54)
menggugatnya karena menganggap bahwa tidak adilnya pembagian tanah warisan tersebut diantara mereka.
4.2.1.10. Ar. Sitepu
Ar. Sitepu adalah salah satu pihak tergugat dalam kasus konflik tanah ini. Informan digugat oleh saudara perempuannya, karena diduga mengambil tanah warisan yang seharusnya milik saudara perempuannya tersebut. Ar. Sitepu menegaskan bahwa diri nya lah yang lebih berhak atas tanah tersebut, mengingat masyarakat karo menganut system kekerabatan patrilineal. Dalam hal ini , informan mengatakan perempuan sebenarnya tidak berhak mendapatkan tanah warisan karena mereka juga akan mendapatkannya dari suami mereka. Pria berusia 45 tahun ini menambahkan bahwa biasanya harta warisan yang diterima oleh saudara perempuannya adalah berupa perkuah ate ( pemberian karena belas kasihan) dari saudara laki-laki nya.
4.3. Faktor- Faktor Penyebab terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan Pada Masyarakat Karo
Menurut Dedy Armayadi (2008:60), ada tiga akar permasalahan yang melandasi konflik lahan, pertama adalah adanya penggunaan lahan milik orang lain oleh seseorang yang tidak jelas proses penafsiran pemerolehannya oleh masing-masing orang. Si pengguna kadang-kadang berpendapat bahwa lahan tersebut telah diminta dan menjadi miliknya, tetapi sipemilik asal berpendapat bahwa lahan tersebut hanya dipinjamkan; kedua, adanya proses jual beli lahan warisan oleh salah seorang ahli waris yang tidak diketahui oleh ahli waris lainnya dan, ketiga, adanya proses pemberian lahan berstatus
(55)
bebas (belum ada pemiliknya) oleh pemimpin kampung kepada anggota keluarganya yang berasal dari luar kampung (terutama kampung yang bersebelahan), kawasan itu kemudian diklaim sebagai bagian dari wilayah kampung tersebut, karena lahannya telah dikelola oleh mereka.
Konflik ketidakjelasan batas wilayah disebabkan oleh beberapa faktor seperti, pertama, kebiasaan penduduk melakukan pembukaan lahan untuk ladang berpindah yang disertai oleh pemindahan pusat pemukiman masyarakat; kedua, kebijakan pemerintah melakukan penggabungan beberapa kampung menjadi desa yang dibagi menjadi dusun-dusun yang tidak sesuai dengan batas awal ketika pemukiman tersebut menjadi kampung; ketiga, pembuatan batas administrasi antar desa/ dusun yang dibuat di atas meja tanpa survey lapangan, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan; keempat, pergantian pemimpin kampung yang tidak disertai oleh pemahaman tentang batas wilayah. Pemimpin baru tidak mengetahui batas wilayahnya karena tidak diberitahu oleh pemimpin sebelumnya; dan, kelima, diketahuinya nilai ekonomi lahan di wilayah perbatasan wilayah , sehingga kawasan itu menjadi bernilai ekonomi tinggi dan akhirnya menjadi rebutan satu sama lain (Dedy Armayadi, 1008:62). Penyebab konflik sosial secara umum adalah disebabkan adanya perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan , dan akibat perubahan sosial.
Faktor utama konflik perebutan tanah warisan di desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran ini adalah sebagai berikut:
Salah satu penyebab munculnya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat Karo menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal). Marga bapak adalah
(56)
marga seluruh keturunan. Perempuan yang telah kawin mengikuti marga suami, namun marganya tidak ditinggalkan. Bagi masyarakat Karo anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. Laki-laki adalah penerus keturunan, pelanjut marga bapak penerus pohon kehidupan ( Tobing,!963 dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba) sedangkan anak perempuan adalah pelanjut keturunan marga lain. Artinya, perempuan adalah penerus kelanjutan marga suaminya. Keistimewaan itu tergambar dalam pemberian warisan yang hanya untuk laki-laki. Anak perempuan tidak mempunyai hak waris dari orang tuanya. Akan tetapi, budaya yang telah lama dianut oleh masyarakat tersebut mengalami pergeseran.
Pada perkembangannya orang tua juga sudah mempertimbangkan keberadaan anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dengan diikut sertakannya perempuan sebagai penerima harta warisan, walaupun jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan harta warisan yang di terima laki-laki. Akibat pergeseran budaya tersebut cenderung memicu konflik, disebabkan pihak laki-laki merasa dirugikan jika perempuan diikut sertakan. Pada saat tertentu saudara laki-laki nya tersebut akan meminta kembali tanah warisan yang selama ini telah dikuasi oleh saudara perempuannya.
Berikut ini sesuai dengan penuturan informan di bawah ini:
“Saya tidak setuju jika tanah yang sudah menjadi milik saya diminta kembali oleh siapapun, termasuk saudara laki-laki saya sendiri. Pada awalnya kan sudah ada kesepakatan, jadi dia tidak berhak memintanya kembali. Saya tetap akan mempertahankan apa yang menjadi hak saya”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan R. Br Ginting.
Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa konflik muncul disebabkan adanya perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
(57)
karo. Faktor lain penyebab terjadinya perebutan tanah warisan yang menimbulkan konflik disebabkan karena masyarakat cenderung menghilangkan kepemilikan/hak akan tanah. Hal ini disebabkan karena tidak transparannya pembagian harta warisan kepada anak.
Konflik perebutan tanah warisan yang terjadi pada masyarakat desa Kuta Rayat ini disebabkan karena tidak adanya bukti otentik pemberian warisan terhadap keturunan perempuan, sehingga kurang dihargai oleh keturunan laki-laki. Kebudayaan masyarakat Karo yang merasa keberatan jika membagikan tanah warisan ketika masa hidupnya, juga menjadi penyebab terjadinya konflik.
Pada umumnya, pembagian warisan dalam masyarakat Karo dilakukan ketika orang tua dalam keluarga sudah meninggal dunia. Konflik perebutan tanah warisan ini biasanya terjadi pada beberapa generasi berikutnya, dengan alasan merasa tidak puas terhadap aturan-aturan yang sudah berlaku selama ini. Berikut merupakan ungkapan dari salah satu informan:
“ perselisihan yang kami hadapi ini disebabkan karena saat pembagian tanah warisan itu tidak dibuat surat/ hak kepemilikan. Saya percaya dan saya tidak pernah berfikir kalau tanah warisan yang sudah diberikan kepada saya diminta kembali oleh saudara saya. Kebanyakan masyarakat disini pun tidak pernah mengurus hak kepemilikian tanah jika tanah itu diperoleh dari harta warisan, karena sebenarnya sudah saling mengetahui hak masing-masing”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan A. Ginting.
Dari penuturan informan diatas tersebut diketahui bahwa pada dasarnya pembagian tanah warisan yang berlaku dalam masyarakat Karo dilatarbelakangi oleh modal kepercayaan dan adanya perasaan sungkan jika tanah warisan tersebut dibuat sertifikat kepemilikannya. Ketidak adaan bukti otentik kepemilikan tanah warisan
(58)
tersebut cenderung memicu terjadinya konflik perebutan tanah warisan tersebut. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan salah satu informan:
“kalau pembagian tanah warisan memang biasanya tidak ada di buat nota kepemilikannya, karena ada perasaan sungkan dan biasanya kerabat yang lain pun akan berfikir negative…..adanya dugaan terlalu ingin menguasai, kalau kita ingin mengurus surat tanah tersebut harus dibubuhi tanda tangan anak beru, dan juga orang-orang yang dianggap perlu memberi persetujuan.
Sumber: Hasil Wawancara dengan J. Sembiring.
Penetapan kepemilikan tanah warisan yang disertai dengan sertifikat tanah pada masyarakat Karo memiliki perbedaan dengan masyarakat lain. Untuk menetapkan kepemilikan tanah warisan yang diterima oleh seseorang harus diikutsertakan dengan persetujuan pihak anak beru, kalimbubu, maupun sembuyak. Hal ini lah yang mengakibatkan banyaknya masyarakat Karo yang tidak mengurus surat/sertifikat kepemilikan atas tanah warisan yang mereka terima, sehingga berujung dengan konflik perebutan tanah warisan seperti yang terjadi pada mayarakat desa Kuta Rayat ini.
Salah satu informan mengalami konflik perebutan tanah warisan di desa Kuta rayat ini disebabkan karena suatu ketika informan meninggalkan kampung halaman, dan memberi kepercayaan terhadap saudara nya untuk mengelola tanah warisan yang sudah menjadi miliknya tersebut. Namun, setelah puluhan tahun informan pulang kembali ke kampung halaman dan meminta tanah miliknya tersebut, akan tetapi sudaranya yang selama ini sudah menguasi tanah tersebut tidak bersedia memberikannya kembali, sehingga menimbulkan konflik perebutan tanah warisan.
“ suatu ketika saya meninggalkan kampung ini, karena pada saat itu saya menjabat sebagai salah satu anggota dewan dan saat itu saya berdomisi di Medan. Tanah warisan yang saya peroleh dari orang tua di kelola oleh saudara saya. Sebenarnya dia hanya memilki hak
(59)
pinjam dan kami bersepakat jika saya meminta kembali, maka dia wajib mengembalikannya karena saya juga tidak pernah meminta biaya sewa terhadapnya. Saya sangat kecewa ….ketika saya minta kembali tetapi dia tidak bersedia mengembalikannya dan mengakui bahwa itu adalah bagiannya”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan P. Sitepu.
Adanya perbedaan tingkat kesuburan tanah yang dibagikan ketika pembagian harta warisan juga dapat menimbulkan konflik . Pada awalnya , memang tidak ada pihak yang merasa keberatan, namun setelah melihat adnya perbedaan hasil produksi pertanian dari tanah warisan yang dibagikan tersebut menimbulkan konflik.
Pihak yang menerima bagian yang tanah nya kurang subur yang berpengaruh terhadap rendahnya hasil pertanian akan mempermasalahkan pembagian yang sebelumnya dilakukan, pada saat itu juga lah pihak yang merasa di rugikan ini akan meminta agar tanah tersebut dibagikan ulang. Dalam situasi ini pihak yang memperoleh tanah yang subur sebelumnya tidak bersedia untuk membaginya kembali dan akan menimbulkan konflik. Hal ini sesuai dengan ungkapan informan berikut ini:
“ saya tidak mungkin setuju jika tanah yang sudah dibagikan sebelumnya…. dan sudah tercapai kesepakatan….. dan kemudian diminta agar dibagikan ulang, kalau masalah tingkat kesuburanya berbeda…. itu kan disebabkan karena faktor perawatan tanaman dan berhubungan juga dengan rejeki. Mungkin tanah itu memang cocok buat saya, karena belum tentu juga jika tanah itu dia yang mengelola hasilnya memuaskan”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan R. Ginting
Letak suatu lahan juga berpengaruh terhadap terjadinya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo. Pada waktu pembagian harta warisan ada perbedaan luas lahan yang dibagikan, disebabkan karena jaraknya ke jalan raya. Biasanya tanah yang dekat dengan jalan raya atau dapat dilewati oleh transportasi akan dianggap lebih berharga dibandingkan tanah yang letaknya terisolir, apalagi bila tidak dapat dilalui
(60)
oleh sarana transportasi. Pihak penerima tanah warisan yang letaknya terisolir akan mendapatkan luas lahan yang lebih besar dibandingkan penerima tanah warisan yang lebih dekat ke jalan raya. Hal ini juga berkaitan dengan nilai jual tanah tersebut sehingga dianggap wajar, akan tetapi pembagian luas lahan yang berbeda tersebut suatu ketika dapat menimbulkan konflik. Berikut merupakan hasil wawancara dengan informan:
“ pada awalnya juga saya sudah merasa keberatan atas pembagian tanah warisan tersebut, karena luas tanah warisan yang kami terima luasnya hampir sama, namun letaknya sangat berbeda. Tanah yang diberikan kepada saya berada di pelosok desa yang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan gereta lembu, sedangkan tanah yang diterima oleh saudara saya itu berada di pinggir desa dan mudah di jangkau oleh sarana transportasi. Saat pembagian itu saya sudah tidak terima, dan meminta akan di bagikan ulang tetapi dia berjanji untuk mengantinya dengan uang…. Namun sampai sekarang dia tidak pernah mengingatkannya lagi dan seolah-olah memusuhi saya. Ketika saya minta kembali, dia marah dan mengatakan kalau pembagian itu sudah adil, dan membantah sudah berjanji memberikan ganti rugi”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan Pj.Sitepu.
Adapun yang menyebabkan munculnya konflik ini adalah ketika tanah yang tadinya terisolir mengalami perkembangan, sudah tersedianya sarana transportasi dan nilai jualnya juga meningkat maka dapat menimbulkan keinginan pihak penerima tanah warisan yang luasnya lebih sedikit agar dilakukan pembagian ulang. Kondisi ini memiliki dampak yang besar atas munculnya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo, khususnya masyarakat desa Kuta Rayat kecamatan Naman Teran ini.
Konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo juga cenderung terjadi karena faktor domisili pihak yang berkonflik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diketahui bahwa salah satu informan yang mengalami konflik perebutan tanah warisan ini disebabkan karena tanah warisan yang menjadi miliknya dikuasi oleh
(61)
saudara laki-laki nya. Pada saat itu ibu informan berdomisili di kampung suaminya, pada keturunan berikutnya mereka meminta kembali tanah yang pernah dipinjamkan oleh ibu mereka, namun keturunan dari suadara laki-laki ibunya tersebut tidak bersedia mengembalikannya sehingga memicu terjadinya konflik perebutan tanah warisan.
“ tanah warisan milik ibu saya, yang diperoleh dari kakek selama ini dipinjamkan kepada saudara laki-lakinya, dan saat ini dikuasai oleh anaknya. Alasan ibu saya meminjamkannya karena pada waktu itu kami tidak tinggal didesa kuta rayat ini, tetapi karena saya sudah menikah dan mengingat bahwa di sini juga ada tanah warisan yang menjadi hak ibu saya sehingga ingin menetap disini. Persoalan ini muncul karena mereka yang sudah meminjam tidak bersedia lagi mengembalikannya dan mengaku bahwa tanah itu miliknya”.
(62)
Matriks 4.2.
Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan yang dialami Informan
NO INFORMAN Penyebab konflik perebutan tanah
warisan.
1 A. SITEPU Perbedaan pembagian luas lahan.
2 R. GINTING Ketidaksesuaian pembagian tanah
warisan.
3 P. SITEPU Tanah warisan yang dipinjamkan, diambil alih oleh pihak keluarga yang meminjam sebelumnya.
4 S. SITEPU Informan tidak memiliki keturunan
laki-laki, sehingga diminta kembali oleh saudara laki-laki nya.
5 R BR GINTING Informan dianggap tidak berhak
mendapatkan tanah warisan, karena posisinya sebagai perempuan.
6 A. GINTING Karena tidak adanya bukti
otentik/sertifikat kepemilikan tanah warisan.
7 PJ. SITEPU Adanya perbedaan luas tanah warisan
yang dibagikan.
8 J. SEMBIRING Informan dianggap menghilangkan
kepemilikan tanah warisan untuk keturunan saudara kandungnya.
9 P. SEMBIRING Karena tidak adanya bukti otentik/
sertifikat kepemilikan tanah warisan.
10 A. SITEPU Informan diduga mengambil hak saudara
perempuannya, padahal informan mengaku bahwa pada awalanya tanah tersebut dipinjamkan.
(63)
4.4. Proses Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan pada Masyarakat Karo Masalah pertanahan ini masih disadari sebagai faktor yang sangat rentan. Hal itu disebabkan tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Karena itu banyak yang berkepentingan dengan tanah. Tanah bisa dijadikan tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat berbagai lokasi kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya manusia. Adanya keinginan untuk memiliki atau mendapatkan tanah, maka bisa menyebabkan munculnya konflik.
Konflik yang terjadi dapat bersifat horizontal, antara sesama warga masyarakat atau bersifat vertikal antara masyarakat dengan penguasa dengan pengusaha. Berbagai konflik yang terjadi itu memang tidak bisa dilepaskan dari adanya kondisi kemiskinan masyarakat. Adanya pendapatan yang tidak adil serta ketimpangan dalam pembagian lahan adalah juga merupakan penyebab dari munculnya fenomena kemiskinan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Konflik horizontal yang umum terjadi adalah perebutan tanah diantara anggota keluarga menyangkut tanah warisan. Tanah warisan yang merupakan tanah milik orang tua, bila di wariskan kepada anak-anak, maka tentu saja jumlahnya akan mengecil. Diantara anggota keluarga itu tentu saja akan terjadi perselisihan karena merasa pembagian tanah kurang merata atau kurang adil.
Konflik seperti ini juga terjadi pada masyarakat Karo, dimana pada saat pembagian tanah warisan semua keturunan mendapatkan bagian yang sama, namun jumlah keturunan dari penerima tanah warisan ini tentunya berbeda sehingga pada keturunan ketiga mempermaslahkan karena merasa tidak adil. Konflik ini terjadi karena
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
Agustono, Budi,dkk, 1997. Sengketa Tanah di Sumatera Utara, Medan; Akatiga Pusat Analisa Sosial.
Fauzi, Noer, 2003. Beraksi untuk pembaruan Agraria, Yogyakarta: Insist Press. ---, 1999. Petani & Penguasa, Yogyakarta: Insist Press.
Fisher,dkk, 2001. Mengelola Konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta: The British Council, Indonesia.
Idris, Radumulyo,1993. Beberapa Masalah pelaksanaan Hukum kewarisan Perdata
Barat (Burgerlijk Wetboek), Jakarta; Sinar Grafika.
Jhonson, Paul, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Alih bahasa, Robert. M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia
Jurnal Penelitian Sosiologi, Harmoni social, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara vol 1, no 2, Januari 2007, ISSN 1970-4115, Medan.
K.Yin. Robert, 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Limbong, Yulianus, SSN, 1995. Orat Tutur Karo, Ulih Saber, medan.
Malliae, Leo.2004. Tanah Sebagai Sumber Konflik Sosial. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, II (V): 111- 120.
(2)
Moleong, Lexy J,Dr,2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nugroho, Fera, 2004. Konflik dan Aras Lokal, Jakarta: Pustaka Percik.
Pratikno, dkk, 2000. Mengelola dan Sumber Daya Daerah, Jakarta: Erlangga.
Poloma, Margaret, M, 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Ritzer, George, 2002. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press. Ritzer, George, 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media.
Simanjuntak, Antonius, Bungaran, 2009. Konflik Status Dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia..
Soekanta, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.
Sukanti, Arie,1985. Program Redistribusi Tanah di Indonesia (suatu sarana kea rah
pemecahan masalah penguasaan tanah dan pemilikan tanah), Jakarta:
Rajawali Press.
Suni, Hermawan, 1998. Hukum Agraria, Medan: USU Press. Susetiawan, DR, 2000. Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Helenta, 2009. Nengget: Strategi Adaptasi Sistem Sosial Masyarakat Karo
dalam Mendukung Monogami, Medan: Skripsi, Unpublished Sarjana Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Plitik, Universitas Sumatera Utara.
Tjondronegoro, Sediono.M.P, 1990. Sosiologi Agraria, Bandung: Akatiga.
Wenehen, Agustinus, 2005. Petskha Vai (konflik tanah pada orang Walsa di Papua), Yogyakarta: Kunci Ilmu.
(3)
Gambar 1. areal perladangan milik P.Sitepu yang dipinjamkan kepada bere-bere nya.
(4)
Gambar 3. arel perladangan yang menjadi konflik antara A.Ginting dengan saudaranya karena tidak adanya bukti otentik kepenilikan tanah.
(5)
(6)
Gambar 6. areal perladangan PJ. Sitepu yang berkonflik dengan saudara kandungnya karena adanya perbedaan luas tanah warisan.