PERAN MEDIA MASSA DALAM PERUBAHAN SOSIAL

PERAN MEDIA MASSA DALAM PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DI INDONESIA
Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik

Dosen Pengampu:
WIKE, S.Sos., MAP
Oleh:
Ria Isdiana
Ina Kurniasari
Astari Lutviana Devi
Hamidah Condrowati J
Nur Lailatul Fitri
Aulia Septiana

Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
Malang
2015

A. Pendahuluan
Ada hubungan antara peran media massa dan perubahan sosial di Indonesia. Fenomena

yang saat ini berkembang ke arah modernisasi melahirkan hubungan yang signifikan antara
media massa dan perubahan sosial. Hubungan tersebut dapat diungkapkan melalui sebuah
argumen bahwasanya keberadaan media massa dapat menyebabkan atau mempengaruhi
terjadinya perubahan sosial. Media massa dipahami sebagai alat yang digunakan untuk
menyampaikan informasi. Kelebihan media massa dapat membantu untuk mempermudah
penyebarluasan informasi secara menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat dan cepat
dibandingkan jika disampaikan secara face to face yang kurang efektif dan efisien. Selain
kelebihan media massa yang dapat menyebarkan informasi secara cepat dan tepat media
massa juga mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat modern.
Sadar atupun tidak sadar media massa telah menjadi bagian penting dalam kehidupan
masyarakat. Adapun peranan penting media massa dalam kehidupan masyarakat. Pertama,
media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran. Kedua, media massa dapat
memusatkan perhatian. Pemusatan perhatian tersebut dapat dilakukan ketika suatu budaya
masyarakat tergerus oleh arus globalisasi dan modernisasi, sehingga dalam hal ini media
dapat menayangkan tayangan yang dapat memperkuat adanya keberadaan budaya tersebut.
Ketiga, mampu meningkatkan aspirasi masyarakat. Melalui adanya informasi yang
ditayangkan secara tidak langsung akan menimbulkan aspirasi atau keinginan dari
masyarakat (Paul dkk, 2013). Berdasarkan kelebihan dan peranan penting media massa
tersebut, apabila informasi yang ada disampaikankan terus menerus dilakukan dengan
melalui media massa maka secara cepat ataupun lambat akan dapat mempengaruhi pola

berfikir masyarakat yang nantinya akan berlanjut kepada perubahan sosial dalam berperilaku.
Lebih lanjut dapat dipahami bahwa perubahan sosial adalah salah satu konsep
pembangunan yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai sosial, sikap dan pola
perilaku kelompok (Selosumarjan dalam Rini, 2011). Perubahan sosial terjadi karena adanya
kesediaan anggota masyarakat untuk meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem sosial
yang lama dan mulai beralih menggunakan unsur-unsur budaya atau sistem sosial yang baru.
Adapun faktor pendorong perubahan sosial salah satunya adalah partisispasi media massa
(Daniel Lerner dalam Rini, 2011). Variasi media massa yang kian beraneka ragam seperti
koran, tabloid, radio, televisi, internet, media sosial (facebook, twitter, instagram) dan lain
sebagainya tentu membawa pengaruh besar terhadap fenomena perubahan sosial di
masyarakat. Ditambah pula tidak adanya batasan atau kontrol dari negara terhadap pers,
sehingga menyebabkan masyarakat secara besar-besaran dan langsung dapat mengakses

seluruh informasi yang disampaikan oleh media massa baik itu yang bersifat positif maupun
negatif. Melalui kebebasan tersebut maka media massa secara bertahap membawa
masyarakat ke dalam pola-pola sistem baru.
Pengaruh media massa terhadap perubahan sosial dalam berfikir dan berperilaku
dikuatkan dengan adanya tiga paradigma yang menyatakan bahwa media massa adalah
pelopor perubahan. Paradigma-paradigma tersebut antara lain yaitu pertama, media massa
sebagai institusi pencerah masyarakat yang memiliki peran mendidik masyarakat, berfikir

terbuka dan menciptakan masyarakat yang maju. Kedua, media massa sebagai media
informasi yang setiap hari menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ketiga, media massa
sebagai media hiburan media massa sebagai pelopor perubahan media institusi yang setiap
saat menjadi corong kebudayaan. Perubahan sosial akibat kontribusi keberadaan media massa
dapat mencakup beberapa konteks kehidupan. Adapun perubahan sosial yang beberapa
dekade terakhir ini begitu menjadi sorotan publik adalah perubahan sosial dalam konteks
budaya. Apabila dikorelasikan dengan paradigma media massa sebagai pelopor perubahan,
maka hubungan antara keberadaan media massa dan perubahan sosial dalam konteks budaya
lebih mudah dicermati melalui kacamata paradigma yang ketiga yakni media massa sebagai
media hiburan.
Khusus merujuk pada studi kasus di Indonesia, perubahan budaya masyarakat Indonesia
sangat jelas terlihat dari waktu kewaktu. Perubahan budaya tersebut salah satunya dapat di
identifikasi dari perubahan budaya perilaku masyarakat Jawa. Orang jawa adalah orang yang
terlahir dengan stigma budaya perilaku yang kuat, misal tata bicaranya yang halus serta
lembut, sopan santun yang tinggi, dan budi pekerti yang adi luhur. Semua orang yang terlahir
sebagai orang jawa secara otomatis akan mewarisi stigma budaya tersebut. Namun memasuki
era abad ke 21 muncul istilah “wong jowo ning ora kejawen” (orang jawa namun tidak
mencerminkan perilaku orang jawa). Istilah tersebut sebenarnya menjadi bentuk ungkapan
sindiran terhadap masyarakat Jawa yang tidak lagi mengindahkan perilaku keluhuran budaya
Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena tersebut termasuk dalam lingkup perubahan

sosial karena melihat cakupan perubahan yang terjadi, perubahan tersebut mengarah pada
perubahan sistem perilaku dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh sebagaian besar
masyarakat Jawa. Pembahasan selanjutnya, penulis akan memaparkan analisis antara
hubungan perubahan sosial yang terjadi dalam budaya masyarakat Jawa dengan kehadiran
media massa sebagai corong kebudayaan yang dianggap turut membawa kontribusi bagi
berlangsungnya perubahan tersebut.

B. PEMBAHASAN
Media massa merupakan alat atau sarana komunikasi dan informasi yang dapat
melakukan penyebaran informasi secara masal dan dapat diakses oleh masyarakat secara
masal juga.

Perkembangan informasi yang diterima oleh masyarakat pada dasarnya

sebanding dengan kemajuan teknologi. Perkembangan informasi inilah yang menjadikan
masyarakat tidak memiliki batasan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Melalui interaksi
dan komunikasi masyarakat memperoleh informasi, edukasi dan hiburan yang nantinya dapat
diolah untuk dimanfaatkan dengan baik bagi diri sendiri. Maka media massa dapat diartikan
sebagai agen perubahan sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pada
dasarnya peran media massa sesuai dengan paradigma terdiri dari tiga hal yaitu pertama

sebagai pencerahan masyarakat, artinya media massa memiliki peran untuk mendidik dan
merubah pola pikir masyarakat agar dapat lebih maju. Kedua, sebagai media informasi
artinya media massa memiliki peran sebagai penyebar informasi yang ditujukan kepada
masyarakat luas agar masyarakat dapat mengetahui kondisi dan permasalahan pada suatu
daerah tertentu. Ketiga, sebagai media hiburan, media massa memberikan hiburan kepada
masyarakat dapat dilakukan dengan cara memberikan tayangan-tayangan yang menyangkut
budaya lokal dan budaya internasional. Pada konteks media hiburan tersebut, media massa
sebagai pelopor perubahan media institusi yang menjadi corong kebudayaan.
Media massa dan budaya merupakan dua hal yang saling berkaitan dan memiliki
pengaruh satu sama lain. Pada hakikatnya masyarakat adalah pencipta kebudayaan tetapi juga
bisa sebaliknya bahwa masyarakat dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga
ditentukan oleh kebudayaan. Media massa berperan sebagai tumbuh dan berkembangnya
sebuah budaya karena media massa sebuah budaya nasional dapat tetap bertahan dan karena
media massa juga budaya nasional dapat telindas oleh eksistensi budaya lain. Media massa
memiliki kemampuan untuk mempopulerkan sebuah budaya sehingga diapresiasi, dicintai
dan digunakan sebagai pegangan dan pedoman dalam bertindak dan perilaku serta sebaliknya
budya yang tidak dipopulerkan oleh media massa perlahan-lahan dapat menghilang dan
punah.Peran media massa dalam perubahan budaya sebagai peran transkulturasi, pribumisasi
dan hibridasi. Transkulturasi mengacu pada suatu proses ketika suatu budaya berinteraksi
dengan budaya lain untuk membentuk suatu budaya baru, seperti media massa yang

menayangkan tayangan negatif (pornografi). Sedangkan pribumisasi berarti bentuk budaya
impor yang menerima unsur-unsur lokal yang menonjol serta hibridasi menghasilkan hibrida
budaya (penyatuann bentuk-bentuk budaya) seperti budaya populer. Penyesuaian sikap

masyarakat terhadap budaya populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam
seluruh dimensi kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari
masyarakat tradisional ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Media massa menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat yang cenderung
mengalami perubahan. Urgensi keberadaan media massa ini dapat dilihat dari segi
pengawasan. Adanya media massa maka masyarakat dapat dengan mudah melihat
perkembangan sosial yang terjadi di Indonesia maupun seluruh dunia. Selain itu, melalui
pengawasan tersebut masyarakat juga dapat melihat upaya Negara dalam mempertahankan
budaya lokal yang ada di Indonesia karena bagaimana pun juga mempertahankan budaya
lokal tidak mudah apalagi melihat generasi muda yang mudah terpengaruhi oleh budaya asing
melalui media massa. Tetapi jika peran media massa sebagai hiburan ditiadakan maka juga
akan berpengaruh pada budaya di Indonesia karena budaya lokal tersebut akan menjadi kaku
dan sulit menerima perubahan sosial. Urgensi media massa juga dapat dilihat dari segi
pencerah pengetahuan masyarakat, artinya dengan keberadaan media massa tersebut
masyarakat dapat memperoleh informasi terkini dan aktual dengan kata lain memperluas
cakrawala pengetahuan dunia. Informasi yang diperoleh tersebut dapat dijadikan sebagai

sumber pengetahuan yang sebelumnya belum diketahui kini dapat diketahui melalui media.
Media massa juga sebagai sarana sosialisasi dengan diharapkannya dapat digunakan untuk
menyebarkan ide, kebijakan dan aturan-aturan baru yang ada di masyarakat sehingga pola
pikir masyarakat akan mengalami perkembangan. Secara umum, media massa sangat
berpengaruh pada perubahan sosial karena media massa adalah pelopor perubahan sosial dan
perubahan sosial tersebut adalah salah satu sumber informasi yang diperoleh media massa.
Pendekatan Teori
Ada beberapa teori yang menjelaskan adanya hubungan antara media dan budaya.
Hubungan yang terdapat dalam media dan budaya digambarkan sebagai hubungan yang
saling mempengaruhi. Diantara teori-teori yang menjelaskan hubungan antara media dan
budaya adalah teori semiotics dan teori technological determination. Ronald Barthes sebagai
penggagas teori semiotics mengatakan bahwa gambar-gambar dalam media memiliki arti
tertentu selain dirinya sendiri. Teori semiotics juga menyebutkan bahwa manusia dikatakan
sebagai spesies yang dapat di dorong keinginannya untuk membentuk makna dari gambargambar tersebut. Garis besar dari pemahaman teori tersebut adalah sebuah konsep peryataan
terkait konten media yang berpotensi melahirkan pemaknaan sesuai dengan perbedaan
interpretasi dari masing-masing individu.

Sementara itu, teori technological determinism oleh Marshall McLuhan melihat
perubahan budaya manusia terjadi seiring dengan perubahan teknologi dalam bidang
komunikasi. Alat-alat komunikasi yang diciptakan oleh manusia dikatakan akan kembali

membentuk cara manusia berfikir, merasa, serta berperilaku. Oleh sebab itu teori ini mencoba
untuk menjustifikasi bahwa media sebagai perwujudan dari teknologi turut menentukan
bagaimana manusia berfikir dan bertingkah laku. Media pada akhirnya mempengaruhi
dinamika peradaban dan kebudayaan masyarakat.
Paul, dkk (2013) menawarkan sebuah beberapa pendekatan kontemporer yang dapat
menjelaskan hubungan antara media massa dan perubahan sosial. Salah satu pendekatan
tersebut kemudian mencoba menghubungkan keberadaan media massa dengan perubahan
sosial dalam konteks budaya. Pendekatan tersebut selanjutnya dikenal dengan pendekatan
norma budaya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pesan atau informasi yang
disampaikan oleh media massa dengan cara tertentu dapat menyebabkan interpretasi yang
berbeda oleh masyarakat sesuai dengan budaya. Ini berarti bahwa media mempengaruhi sikap
individu. Ada beberapa cara oleh media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya,
diantaranya adalah :
1. Media massa menyampaikan untuk memperkuat pola budaya yang berlaku dan
meyakinkan orang bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus ditaati.
2. Media massa untuk menciptakan budaya baru yang dapat melengkapi atau memperbaiki
budaya lama yang tidak bertentangan.
3. Media massa dapat mengubah norma-norma budaya yang sudah ada dan berlaku untuk
waktu yang lama dan perubahan sikap dari masyarakat itu sendiri.
Melvi DeFleur menambahakan bahwa norma budaya pada hakikatnya adalah bahwa

media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu,
menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik
yang diberi bobot itu dibentuk dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu perilaku individual
biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu hal tertentu. Media komunikasi
secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku.
Asumsi teori ini adalah media massa melalui informasi yang disampaikannya dengan
cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan normanorma dan nilai-nilai budayanya. Media massa mempengaruhi budaya-budaya masyarakatnya
dengan cara: Pesan-pesan yang disampaikan media massa memperkuat budaya yang ada.
Bentuk hubungan selanjutnya, media massa dapat menciptakan pola baru tetapi tidak
bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama. Bentuk hubungan ketiga, media massa

mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama. Selain itu
terdapat acara-acara tertentu yang bukan tak mungkin lambat laun akan menumbuhkan
budaya baru.

Konsep Budaya dan Dimensi Sosial Masyarakat Jawa
Koentjoroningrat (1990) merumuskan pengertian budaya sebagai keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya dapat dipahami sebagai seperangkat
nilai, gagasan, tata cara dan hasil karya yang dihasilkan sepanjang berlangsungnya peradaban

manusia. Eksistensi kebudayaan akan terus terjaga apabila terjadi proses pewarisan budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kebudayaan sebagai sistem gagasan dijadikan sebagai sistem pedoman bagi manusia
dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Nilai budaya dalam sistem
kemasyarakatan dituangkan dalam bentuk adat istiadat, yang di dalamnya berisi suatu
gagasan kompleks yang dijadikan pedoman sikap dan perilaku manusia baik dalam
kehidupan spiritual maupun material. Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi
tiga macam yaitu :
1. Wujud ideal dari kebudayaan, yakni sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dan lokasinya
berada dalam alam pikiran warga masyarakat, tempat kebudayaan itu hidup. Wujud ideal
kebudayaan, disebut juga adat atau adat istiadat. Wujud ideal kebudayaan yang terdapat
alam pikiran masyarakat dapat dipahami sebagai cara berfikir cara berperilaku dari
masing-masing individu. Cara berperilaku tersebut kemudian berpotensi melahirkan
kebiasaan atau adat.
2. Wujud sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta
bergaul satu dengan lainnya dari hari ke hari menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat
tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial
ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diobservasi, difoto dan
didokumentasi. Wujud ini mengindikasikan pola-pola pergaulan antar individu.

3. Wujud kebudayaan fisik merujuk pada hasil karya manusia berupa benda-benda yang
dapat diraba, dilihat dan difoto media massa juga menerapkan segmentasi hiburan yang
khusus untuk masyarakat.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dapat dipotret dari kebudayaan masyarakat Jawa.
Namun berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, paper ini hanya

membahas dan menganalisis perubahan wujud kebudayaan masyarakat Jawa dari sisi wujud
ideal dan wujud sistem sosial. Wujud ideal menyangkut kepribadian dan cara berperilaku
orang Jawa, sedangkan wujud sistem sosial merujuk pada pola pergaulan atau pola interaksi
orang-orang jawa.
Wujud Ideal Budaya Masyarakat Jawa
Prinsip bahwa semua anggota masyarakat di dalam berbicara dan membawakan diri
harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan pangkat dan
kedudukannya adalah prinsip yang telah dipegang kuat oleh masyarakat Jawa. Prinsip ini
disertai dengan sikap yang menunjukkan penampilan sosial yang harmonis dan menghindari
semua konflik dalam situasi apa pun. Ajaran moral konvensional Jawa juga disebutkan
bahwa manusia Jawa hendaknya mempunyai watak memadukan beberapa prinsip, yakni
andhap asor (merendahkan diri), tepa selira (tahu diri), empan papan (bisa menyesuaikan
diri), senang menghormati orang lain, dan berbudi pekerti luhur
Kriteria lain mencerminkan kepribadian orang jawa adalah sikap mengalah. Sikap
mengalah orang Jawa bisa ditunjukkan dalam bahasa. Orang Jawa cenderung mengarahkan
sikap pada penggunaan tata bahasa yang halus. Bahasa halus tidak dapat digunakan untuk
bertengkar. Bahasa kasar yang cenderung lebih sering digunakan untuk bertengkar. Hal ini
dapat dibuktikan, misalnya orang yang marah secara otomatis akan diam setelah direspon
dengan menggunakan bahasa halus (krama). Tidak akan terjadi pertengkaran dengan media
bahasa-bahasa halus. Namun demikian bahasa halus justru akan lebih terpelihara dan
bertahan karena norma merestuinya. Gejala ini menunjukkan bahwa sebenarnya semakin
halus bahasa digunakan seseorang semakin halus pula kepribadian seseorang tersebut,
semakin terhormat pula orang yang bersangkutan.
Pepatah ajining dhiri dumunung ing lathi (harga diri seseorang tergantung pada cara
bicaranya) mengingatkan kepada masyarakat tentang kesadaran cara menghargai diri sendiri.
Seseorang yang berbudi bahasa baik, tentu harga dirinya lebih baik. Sebaliknya, orang yang
bahasanya kurang baik, tentu harga dirinya juga rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat dari kalangan mana pun akan semakin baik menggunakan bahasa yang semakin
halus. Jika perlu dapat dipakai bahasa yang paling halus kepada siapa pun, tanpa
memperhatikan dari status apa pun dia berasal. Perilaku ini tanpa disadari hanyalah untuk
menghargai dan menghormati diri sendiri. Ajaran tersebut merupakan warisan yang dipegang
teguh oleh masyarakat Jawa.
Apabila dilihat dari segi adat istiadat, masyarakat Jawa juga memiliki identitas khas
perilaku yang bersifat mistis dan sarat dengan kepercayaan magis. Perilaku tersebut dapat di

amati melalui kebiasaan orang-orang Jawa di Yogyakarta. Berikut tabel yang menyajikan
beberapa peristiwa yang kemudian dihubungkan dengan adat kepercayaan orang Jawa di
Yogyakarta.
Tabel 1. Pola Pikir dan Adat Kepercayaan Jawa
No
Pola Pikir dan Adat Kepercayaan Jawa
1. Pada tahun 1960an, masyarakat Jogja diserang oleh wabah penyakit pes. Orang Jogja
kemudian menggunakan cara-cara yang tidak rasional untuk mengatasinya. Obat yang
dipakai untuk mengatasi pes adalah meminum minyak tanah satu sendok makan tiga
kali sehari kemudian melakukan kirab pusaka sakti Tunggul Wulung untuk mencegah
penyebaran wabah pes.
2. Pemberton menulis dalam On The Subject Of Java menceritakan berkembangnya
tradisi mistis orang Jawa yang menganggap bahwa gerhana matahari total terjadi
karena matahari dimakan oleh Buta (raksasa), sehingga melihat kejadian tersebut
secara langsung akan menyebabkan mata menjadi buta. Kepercayaan tersebut seketika
menyebarluas di masyarakat, padahal secara ilmiah banyak ilmuan asing yang
mengamati peristiwa gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang dan
tidak menyebabkan kebutaan
3. Awal 2003, masyarakat Jogja diserang kecemasan terkait penyakit misterius yang
menyerang kaki dan menyebabkan nyeri persendian dan berangsung-angsunr mebuat
penderita lumpuh. Penyakit tersebut dalam dunia kedokteran diketahui sebagai
penyakit chikungunya. Keresahan yang ada dimasyarakat kemudian mumunculkan
cara pengobatan yang tidak logis yaitu dengan mengonsumsi terong. Masyarakat
mendengar cara pengobatan tersebut dari Hamengku Buwono X sehingga masyarakat
dengan mudah mengikuti anjuran tersebut. Padahal, menurut ilmu kedokteran, tidak
ada referensi ilmiah yang meyebutkan terong dapat menyembuhkan chikungunya.
4. Fenomena Merapi (2010) juga menyebarkan isu pemikiran mistis kerajawian karena
perintah Hamnku Buwono X kepada Mbah Marijan untuk turun gunung diabaikan.
Naiknya Mbah Marijan ke gunung merapi dianggap mampu meredakan aktivitas
gunung merapi. Namun pada akhirnya gunung Merapi tetap meletus dan bahkan Mbah
Marijan menjadi salah satu korban ganasnya awan panas Merapi.
Sumber: Jaya, 2012 (Jurnal Humaniora Dinamika Pola Pikir orang Jawa di tengah Arus
Modernisasi, Vol : 24 hal:133-140).
Berdasarkan tabel tersbut, dapat diketahui bahwa masyarakat Jawa cenderung
memiliki pola berfikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur magis. Pola pikir tersebut
kemudian mempengaruhi cara bersikap orang jawa terhadap suatu fenomena tertentu yang
kemudian dipandang kurang wajar bahkan mengarah pada sikap irasional. Walaupun kurang
rasional dan tidak logis, akan tetapi pola pikir tersebut telah membentuk suatu adat dan ciri
khas dari kepribadian masyarakat Jawa, utamanya masyarakat Jawa tradisional.

Wujud Sistem Sosial Masyarakat Jawa
Di dalam sistem norma masyarakat Jawa terdapat nilai-nilai budaya yang sudah terkait
peranannya masing-masing anggota masyarakat. Hal itu tampak pada sikap antara yang tua
dan yang muda, atau sebaliknya. Misalnya pada saat hari raya, yang muda yang akan datang
bertandang kepada yang lebih tua, menyampaikan sesuatu sebagai tanda kasih/hormat,
kemudian sungkem, dan memohon restu. Orang tua memberi restu dan wejangan sebagai
bekal pelajaran hidup kepada yang lebih muda. Ketika menghadap orang yang lebih tua,
orang muda tidak boleh sembarangan menggunakan bahasa, melainkan harus menggunakan
bahasa halus atau dalam istilah Jawa disebut dengan bahasa krama.
Adisumarto (dalam Rachim, 2007) menyatakan bahwa “unggah-ungguh bahasa Jawa
adalah adat sopan santun, etika, tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa”.Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur
atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan bertutur (bahasa Jawa
ragam krama dan ngoko) saja, namun di dalamnya juga terdapat konsep sopan santun
bertingkah laku atau bersikap. Banyak sekali istilah yang kira-kira mengandungi makna yang
sama dengan apa yang terdapat di dalam kata unggah-ungguh. Istilah-istilah itu adalah sopan
santun, kesopanan, kesantunan, subasita, tata krama, tata susila, tata cara, adat-istiadat, dan
lain-lain. Menurut Poerwadarminta (1939) dalam Rachim (2007) unggah-ungguh adalah tata
bahasa yang didasari oleh tata krama (tata pranataning basa mitoeroet loenggoehing
tatakrama) atau sudah pada tempatnya, sangat pantas (mungguh, mapan, wis prenah banget,
pantes banget).
Bentuk unggah-ungguh adalah kata majemuk, atau bentuk ulang dari kata unggah yang
artinya naik; berorientasi pada adanya tata krama, basa-basi, sopan-santun yang bersifat
umum. Konsep unggah-ungguh atau kesantunan berbahasa diidentikkan dengan penerapan
tingkat tutur bahasa Jawa, krama dan ngoko. Tingkat krama mencerminkan tingkatan halus,
tingkat ngoko mencerminkan kenetralan, dan di sekitar krama dan ngoko masing masing
menunjukkan sifat yang berbeda dari yang sangat halus hingga yang kasar. Pembagian
tingkatan bahasa Jawa mengacu pada Sudaryanto (1989) dalam Rachim (2007) , yakni krama
(h)alus, krama, ngoko (h)alus, ngoko. Semakin halus ragam yang digunakan semakin halus
dan hormat pula pertuturan bahasa Jawa yang ada.
Budaya Jawa juga mengenalkan prinsip menghormati orang lain berkaitan dengan
hubungan antara penutur (orang pertama), mitratutur (orang kedua), dan yang dituturkan
(orang ketiga). Hubungan menghormati selalu ditunjukkan oleh orang pertama selaku
penutur, sedangkan mitratutur yang menanggapi tuturan penutur dalam hal menghormati juga

berposisi sebagai orang pertama. Intinya ukuran hubungan itu ditunjukkan oleh penutur
sebagai orang yang bertutur. Sekurang-kurangnya terdapat tiga hubungan yang dimaksud,
yakni hubungan naik, hubungan turun, dan hubungan setara. Hubungan naik menunjukkan
posisi penutur lebih rendah, hubungan turun menunjukkan posisi penutur lebih tinggi, dan
hubungan setara menunjukkan kesebayaan, tidak ada yang dianggap atau menganggap
dirinya lebih tinggi. Dalam bahasa Jawa hubungan naik adalah hubungan menghormati
ditunjukkan dengan pemilihan ragam halus. Artinya setiap orang yang berusaha menghormati
orang lain selalu berusaha menggunakan ragam halus. Hubungan turun cenderung kurang
hormat ditunjukkan dengan pemilihan ragam ngoko. Sedangkan hubungan setara cenderung
akrab ditunjukkan dengan pemilihan ragamngoko/lugu atau lebih rendah dari ngoko.
Selain mengatur tentang cara penghormatan, cara bertingkah laku dan cara
berinteraksi lewat bahasa, kebudayaan Jawa juga mengajarkan pandangan hidup asih
ingsapadha-padha (menyayangi sesamanya). Pandangan hidup tersebut mengajarkan kepada
orang-orang Jawa untuk hidup rukun, saling mengasihin sesama dan menjauhi adanya
permusuhan. Falsafah pandangan hidup orang jawa terutama mengenai berbudi pekerti yang
luhur dikenalkan secara turun menurun baik secara langsung diinternalisasikan dalam
lingkungan keluarga maupun disosialisasikan melalui sebuah media.Terkait dengan model
interaksi antarindividu pada masyarakat Jawa, Geertz (1983) dalam Idrus (2012) menemukan
adanya ada dua kaidah nilai, yaitu kaidah ke-rukun-an (avoidance ofconflict), dan kaidah
hormat. Prinsip pertama adalah kerukunan yang bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Mulder (1986) dalam Idrus (2012)memaknai
rukun sebagai “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan
pertentangan”, bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Terkait dengan kerukunan
ini, selalu ada tuntutan agar terjadi kondisi selaras, tanpa perselisihan. Dalam hal ini, untuk
mencegah konflik orang harus bersedia untuk kompromi, harus seringkali rela untuk tidak
memperoleh haknya dengan sepenuhnya.
Secara tidak langsung, anak-anak Jawa telah diajarkan bagaimana mereka bersikap
rukun sejak kecil. Dalam keluarga, mereka harus biasa berbagi, jika ada makanan ataupun
kenikmatan, mereka akan saling berbagi ”sithik iding” (sedikit sama rata). Sikap ini akan
menumbuhkan rasa toleransi, empati, dan simpati pada sesama, serta tidak bersikap serakah
atas kenikmatan yang diperoleh. Jika sikap initerus dipupuk, maka tidak ada individuyang
akan melakukan korupsi karena mereka memahami bahwa mereka harus salingberbagi
dengan sesama, tidak menikmatisendiri dengan cara yang tidak benar. Kaidah kedua adalah
prinsip hormat. Prinsip ini mengajarkan agar setiap orang dalam cara bicara dan membawa

diri selalu harus dapat menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat
dan kedudukannya.
Media sosialisasi budaya tersebut dapat ditemui dari kisah-kisah dongeng, pewayangan,
ludruk, legenda, atau media lain yang sebenarnya memuat ajaran falsafah orang-orang Jawa.
Konsep sederhana yang kemudian diajukan adalah sebenarnya seseorang yang sudah terbiasa
mengenal budaya Jawa baik dalam wujud ideal maupun sistem sosial kaidah sikap atau
kepribadian dan tata pergaulan, tentu tidak akan kesulitan menerapkan unggah-ungguhbasa.
Hal tersebut tentu terjadi dengan ketentuan apabila ajaran perilaku tersebut dikenalkan dan
diinternalisasikan kepada diri seseorang sedini mungkin. Di dalam batin setiap orang sudah
tertanam pola tata krama pergaulan yang pasti (konkret) sehingga sikap yang bagaimana pun
yang diperlukan adalah ekspresi pola pikiran yang telah ada sejak kecil tertanam di dalam
lingkungan keluarganya.
Terpaan Budaya Populer yang dihadirkan Media Massa
Budaya, walaupun terlihat rumit karena menyangkut nilai yang diyakini sekelompok
orang tertentu, tetapi kebudayaan tetap bergerak secara dinamis kearah pergeseran dan
perubahan. Pandangan ini disebabkan oleh makin terbukanya masyarakat di era interaktif ini.
Hampir tidak ada satupun bangsa di dunia yang tidak pernah berinteraksi dengan budaya
asing lainnya. Tidak hanya berbagai informasi yang dapat disebarkan dengan cepat melalui
hadirnya berbagai teknologi telekomunikasi yang mutakhir, budaya pun dapat dengan mudah
disebarkan ke seluruh dunia. Hal ini berkaitan dengan globalisasi budaya dimana pernyataan
ini dapat dikatakan sebagai suatu gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu dari suatu
negara ke seluruh dunia sehingga menjadi budaya dunia atau world culture.
Adanya difusi (penyebaran) budaya menyebabkan budaya yang satu bersinggungan
dengan budaya yang lain. Persinggungan tersebut kemudian lambat laun akan mengarah pada
fenomena pergeseran budaya. Pergeseran budaya bisa terjadi karena masayarakat cenderung
menggemari budaya yang baru dan menganggap budaya lama sudah tidak sesuai dengan
situasi pada saat itu. Pergeseran budaya inilah yang kemudian menjadi penyebab lunturnya
suatu budaya tertentu dan digantikan dengan budaya baru yang cenderung diterima secara
baik oleh publik.
Budaya yang dipandang lebih menarik dan digemari oleh sebagian besar entitas
masyarakat inilah yang kemudian disebut budaya popular. Penggunaan istilah budaya popular
dalam kajian Stan Le Roy Wilson, dilukiskan dengan apa yang mengelilingi kehidupan kita
setiap hari. Budaya popular adalah budaya yang dengannya kita berpedoman dalam
berbusana. Mode, dan seluruh kegiatan yang kita lakukan banyak dipengaruhi oleh budaya

popular (Fiske:1989 dalam Setiawan, 2013). Budaya popular juga disebut budaya massa.
Ciri-ciri budaya populer diantaranya adalah sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti
atau disukai banyak orang, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh
banyak penjiplak. Budaya popular mengandung adaptabilitas yakni sebuah budaya populer
mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren. Kemudian budaya
popular juga mengacu pada durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan
durabilitas menghadapi waktu (ketahanan dalam berpacu dengan waktu, artinya budaya
popular tidak akan menjadi trend selamanya).
Budaya populer di abad ke-21 ini bahkan dapat dikatakan menghempas bebas
menembus batas ruang dan waktu. Lahirnya budaya populer dibidani oleh sebuah alat yang
memiliki pengaruh besar dalam menyebarluaskan arus informasi secara global. Alat tersebut
dikenalisebagai media massa.Media massa dikategorikan sebagai alat dan instrumen
komunikasi yang memungkinkan kita merekam serta mengirim informasi dan pengalamanpengalaman dengan cepat kepada khalayak luas yang terpencar-pencar dan heterogen (Tulasi,
2012). Budaya, sebagai salah satu produk manusia yang menjadi identitas sosialnya dalam
sebuah masyarakat, tidak luput dari pengaruh media massa. Kehadiran media massa dan
pengaruhnya terhadap eksistensi budaya lokal sudah tidak terbendung. Dengan kata lain,
budaya lokal mengalami pemudaran, disudutkan dan tersudut. Dukungan teknologi yang
semakin canggih membuat media massa semakin leluasa dalam menyebarkanluaskan budaya
populer. Media massa bahkan telah menciptakan “jalan bebas hambatan” bagi penetrasi
budaya populer.
Media elektronik modern, khususnya radio, televisi, photografi dan film dapat
membentuk pola pikir masyarakat modern. Serupa dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa
fenomena percepatan transformasi ide disebut difusi, di mana unsur kebudayaan yang timbul
di salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan sering kali tanpa
kontak antar individu. Ini disebabkan karena adanya alat penyiaran yang efektif seperti suratkabar, majalah, buku, radio, film, dan televisi.
Studi mengenai terpaan budaya populer pernah dilakukan pada 114 Mahasiswa
Surakarta pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa terpaan budaya populer terjadi melalui
televisi. Adapun Indikator yang digunakan adalah frekuensi menoton televisi. Berikut tabel
hasil studi mengenai terpaan buday populer melalui televisi :
Tabel 2. Terpaan Budaya Populer melalui televisi
Indikator
Frekuensi menonton televisi

Hasil Penelitian
42,1% responden menonton selama 5-6 jam

perhari
Jenis Acara yang Ditonton
37% acara musik,35 % acara sinetron.
Nama Acara yang sering ditonton dan 48% menonton kategori I (yang berisi tayangan
nama stasiun Televisi
Cookies di SCTV (grup sinetron), Inbox di
SCTV (grup musik), Termehek-Mehek di Trans
TV (grup reality show)
Sumber: Rachmawati, 2009. Studi Korelasi Terpaan Media Televisi, Status Ekonomi Dan
Tingkat Religiusitas Dengan Persepsi Terhadap Budaya Pop.
Berdasarkan tabel tersebut jelas terlihat bahwa masyarakat cenderung generasi muda
cenderung merespon positif budaya populer yang disajikan oleh televisi. Bahkan tayangan
budaya pop telah mendominasi sebagain besar acara program televisi di Indonesia. hal
tersebut menunjukkan bahwa media televisi sangat berperan dalam menyebarkan budaya
populer di tengah-tengah masyarakat.
Berbicara konteks di Indonesia, media massa Indonesia juga tidak terlepas dari pesona
budaya populer yang kebanyakaan diimpor dari asing. Media massa di Indonesia seakan latah
untuk membuat konten acara atau pemberitaan yang cenderung mengadopsi trend di negara
barat. Contohnya dapat terlihat dalam beberapa program televisi, apabila di Amerika terdapat
acara American Idol, di Indonesia terdapat acara Indonesian Idol. Contoh lain, program
televisi Indonesia secara massive mengimpor drama berseri dari luar negeri seperti drama
Korea. Belum lagi konten-konten acara hiburan reality show yang lebih banyak mengekspose
budaya “hura-hura”. Secara garis besar, memang pemberitaan, tayangan serta konten yang
dimuat di media massa di Indonesia memang di dominasi oleh budaya-budaya populer.
Apabila dilihat dari aspek ekonomi memang acara-acara televisi yang menyajikan
tayangan

budaya

populer

lebih

digemari

oleh

masyarakat

dan

mendatangkan

profitabilitassayang lebih besar bagi perusahaan. Selain berasal dari media televisi, beberapa
portal berita online atau internet saat ini juga memperbanyak pemberitaan akses terkait
informasi budaya populer. Terbukanya akses masyarakat untuk menjamah budaya populer
tersebut dapat menyeret masyarakat untuk mengintimidasi budaya tersebut ke dalam
kehidupan sehari-hari dan mulai melunturkan budaya lokal yang menjadi kepribadian asli
dari masyarakat.
Lunturnya Budaya dalam Dimensi Sosial Masyarakat Jawa
Satu kepastian yang sifatnya tak terbantahkan dan tak terbendung adalah perubahan.
Perubahan terjadi disegala aspek kehidupan, termasuk perubahan kebudayaan. Pada
hakikatnya perubahan budaya adalah suatu hal yang wajar terjadi.Kebudayaan dari waktu ke
waktu

mengalami

pergeseran

nilai,

seperti

yang diperkenalkan

Koentjaraningrat,

bahwakebudayaan dapat berubah atau bergeser, juga disebakan oleh proses internalisasi,
sosialisasi dan enkulturasi sebagai wujud evolusi kebudayaan. Namun akan menjadi sebuah
ironi tersendiri apabila konteks perubahan yang terjadi bersifat menghilangkan budayabudaya yang seharusnya dilestarikan dan dijaga.
Fenomena perubahan budaya yang memprihatinkan dapat dilihat dari tergilasnya
nilai, norma dan seperangkat falsafah hidup orang Jawa, terutama yang terindikasikan pada
sikap para generasi muda. Hilangnya wujud ideal budaya Jawa serta wujud sistem sosial
budaya Jawa banyak dipengaruhi oleh penetrasi budaya populer yang secara massive dibawa
oleh media massa. Wujud ideal budaya jawa yang tercemin dalam tingkah laku dan cara
berfikir orang Jawa seperti andhap asor (merendahkan diri), tepa selira (tahu diri), empan
papan (bisa menyesuaikan diri), senang menghormati orang lain, rasa malu dan berbudi
pekerti luhur kian jarang ditemui dalam kepribadian pemuda-pemudi Jawa. Terpaan tayangan
sinetron yang memuat esensi trend gaya hidup modern yang serba glamour kemudian
mendistorsi falsafah hidup orang Jawa tersebut. Kepribadian andhap asor, tepa selira, empan
papan, senang menghormati orang lain, hidup guyup rukun dan budi pekerti luhur terganti
dengan gaya hidup hedonisme, suka foya-foya, konsumerisme serta individualis.
Konteks perubahan sistem sosial budaya masyarakat Jawa dapat diamati dari
lunturnya budaya sopan santun, berkurangnya sikap menghargai orang lain, merebaknya
kekerasan dan anakhisme yang kian menjauh dari budaya guyup rukun. Dalam proses
interaksi dengan sesama, berubah menjadi perilaku kasar dan anarkis. Sepanjang sejarah
selepas orde baru, selalu kita saksikan betapa pemilihan pemimpin daerah banyak yang
diwarnai oleh aksi kekerasan, sulit untuk melakukannya dengan cara yang lebih santun.
Budaya mengasihi sesama juga mulai hilang dari kepribadian orang-orang Jawa.
Para pelajar juga turut mengambil peran dengan melakukan tindak kekerasan di sekolah
(bullying). Survei yang dilakukan oleh LSM Plan Indonesia dan Yayasan Sejiwa pada 2008
di tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, dan termasuk Yogyakarta menemukan sekitar
67% dari 1.500 pelajar pernah mengalami bullying di sekolah. Pelakunya mulai dari teman,
kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah.
Fenomena bullying tersebut telah melunturkan ajaran untuk mengasihi sesama (asih
ingsapadha-padha). Perilaku mengejek, menghina, mengintimidasi yang marak dilakukan
oleh pelajar tersebut salah satunya diakibatkan oleh tayangan-tayangan televisi yang kurang
mendidik. Sinetron masa kini adalah wujud nyata sallah satu kemasan budaya. Gaya hidup
yang ditayangkan dalam kemasan sinetron televisi banyak mempertontonkan adegan “si
culun” yang diejek-ejek oleh senior atau teman-temannya yang dianggap lebih modis dan

populer disekolah. Walaupun tayangan tersebut hanyalah

bersifat fiktif belaka, namun

kesalahpahaman seorang individu dalam memaknai sebuah tayangan, maka perilaku bullying
tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Kontribusi media dalam memberikan hiburan
berupa sinetron yang seharusnya mendidik masyarakat justru membawa efek negatif bagi
penotonnya.
Selanjutnya, hilangnya budaya santun, juga diikuti dengan hilangnya budaya malu.
Maraknya fenomena pornografi dan pornoaksi menjadi bukti betapa masyarakat telah
kehilangan rasa malu. Situs pornografi dapat dengan mudah diakses oleh siapapun,
dimanapun dan kapanpun. Selain itu, masyarakat Jawa yang dikenal menjaga tinggi unggahungguh utamnya terkait norma asusila saat ini sudah tidak tercermin dalam tingkah laku
generasi mudanya. Perilaku tersebut tentu menjauhi kaidah falsafah orang Jawa yang
mengajarkan untuk menghargai diri sendiri.
Beberapa media online juga meberitakan nasib bahasa jawa yang kian terpinggirkan.
Secara kualitas memang bahasa Jawa masih terjaga, namun secara kuantitas pengguna bahasa
jawa semakin sedikit (kompas online, edisi 31 Januari 2012). Sekali lagi salah satu
penyebabnya adalah media dan budaya populer. Banyak genrasi muda dan keluarga Jawa
yang tidak bisa bahkan tidak memahami bahasa Jawa. Bahasa Jawa sebagai bahasa
percakapan sehari-hari dan sebagai bahasa ibu dalam kehidupan rumah tangga telah banyak
ditinggalkan (kompas online, edisi 31 Januari 2012).
Telah dipahami pada penjelasan sebelumnya bahwa bahasa Jawa adalah bahasa budi
yang menyiratkan ajaran moral mengenai unggah-ungguh yakni budi pekerti luhur dan
merupakan cerminan dari tata krama serta cara berinteraksi dengan orang lain. Melalui
penggunaan bahasa jawa, seseorang dapat membedakan cara bertutur kepada orang yang
lebih muda, orang yang sebaya dan orang yang lebih tua. Bahasa jawa bukan hanya sekedar
bahasa, namun di dalamnya terkandung tradisi ketentuan dalam berperilaku secara halus,
sopan dan luhur. Apabila orang-orang Jawa sendiri, terutama generasi muda telah banyak
yang mengabaikan penggunaan bahasa Jawa, maka tak dapat dihindarkan bahwa banyak
diantara pemuda tersebut yang juga mengacuhkan pelajaran mengenai tata krama dan budi
pekerti.
Apabila diamati lebih lanjut, media massa di Indonesia saat ini kurang memberikan
tempat bagi eksistensi budaya lokal. Acara seperti ludruk, wayang, kisah-kisah legenda Jawa
dianggap tidak cukup menarik untuk ditayangkan sebagai acara program televisi. Padahal
melalui media-media tersebutlah ajaran falsafah kehidupan masyarakat jawa dan bahasa lokal
dapat dilestarikan. Kisah-kisah pewayangan, ludruk, cerita-cerita rakyat Jawa banyak

menyimpan pesan moral, pelajaran hidup dan wejangan yang bersifat positif dalam
membentuk kepribadian seseorang. Namun kini seakan tidak ada media yang bersedia
memfasilitasi eksistensi dari kebudayaan Jawa tersebut.
Kebudayaan Jawa hanya hidup di kalangan orang-orang tua memegang kuat tradisi
tersebut. Namun kenyataan bahwa generasi tua akan hilang dan rantai budaya tersebut akan
putus hilang ditelkan waktu seakan tidak mendapat perhatian sama sekali. Pepatah Wong
Jawa ning ora njawani akan terasa semakin nyata terjadi dalam beberapa waktu kedepan
apabila situasi seperti ini cenderung dipelihara. Kepribadian dan ajaran moral orang jawa
apabila tidak diinternalisasikan sejak kepada generasi muda, maka akan dipastikan luntur
tergerus jaman. Terlebih kondisi saat ini mengisyaratkan generasi muda yang dihadapkan
pada terpaan budaya populer yang tidak semua esensi dari budaya tersebut sesuai dengan
kepribadian orang-orang Jawa.
Media massa memegang kunci penting dalam menyetir perubahan budaya yang
terjadi, dalam konteks analisa paper ini lebih ditekankan pada perubahan sosial budaya
masyarakat Jawa. Teori norma budaya telah menyebutkan bahwa informasi yang diberikan
oleh media massa dapat mempengaruhi sikap individu. Informasi mengenai trend gaya hidup
cermin budaya populer yang dikemas dalam program acara televisi, siaran-siaran di radio,
bacaan di media cetak seperti majalah, koran, tabloid dan media internet sedikit banyak telah
mempengaruhi masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut.
Berdasarkan tiga asumsi yang diajukan oleh pendekatan teori norma budaya, asumsi
ketiga adalah asumsi yang paling menjelaskan fenomena perubahan wujud ideal dan sistem
sosial budaya masyarakat Jawa. Asumsi tersebut menjelaskan bahwa media massa dapat
mengubah norma-norma budaya yang sudah ada dan berlaku untuk waktu yang lama dan
perubahan sikap dari masyarakat itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari perubahan pola
pikir orang jawa yang kian menjauhi ajaran budaya lokal Jawa yang sesungguhnya.
Walaupun sudah terbentuk dalam waktu yang relatif lama, namun kehadiran media massa
yang banyak mengekspos budaya populer dapat melunturkan ajaran budaya lokal jawa.
Perubahan tersebut yang kemudian dimaknai sebagai dampak negatif dari kehadiran budaya
populer yang disebarluaskan oleh media massa.
Adanya konten media yang ditafsirkan secara pragmatis oleh khayalak juga menjadi
gambaran nyata lunturnya budaya Jawa.Terkait argumen teori norma budaya yang
menyebutkan bahwa pesan atau informasi yang disampaikan oleh media massa dengan cara
tertentu dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda oleh masyarakat sesuai dengan
budayanya. Adopsi gaya hidup konsumtif, hedonisme bahkan kasus bullying adalah bentuk

nyata dari masyarakat yang begitu saja “menelan” sajian dari tayangan-tayangan media
massa. Walaupun di era global seperti saat ini persinggungan dan evolusi budaya tidak dapat
dihindari, namun tidak berarti pergeseran budaya lokal yang luhur oleh budaya populer dapat
ditoleransi begitu saja.
Peran Media massa juga menyentuh perubahan dalam segi wujud ideal budaya
masyarakat Jawa lainnya, yakni berupa adat kepercayaan masyarakat. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa masyarakat jawa adalah masyarakat yang memiliki kedekatan dengan
cara pandang magis yang bersifat sakral. Cara pandang tersebut menyebakan masyarakat
jawa terkadang bersikap kurang rasional dalam menyikapi suatu hal. Masyarakat Jawa yang
tradisioanl, misalnya orang-orang Yogyakarta menganggap peristiwa-peristiwa yang adala
dialam ada kaitannya dengan hal-hal magis dan ghaib. Cara pandang seperti demikian telah
berlangsung secara turun temurun dan menjadi tradisi pemikiran orang jawa. Kehadiran
media massa di era modern kemudian membawa pengaruh terhadap pola pemikiran tersebut.
Dalam hal ini media membawa pencerahan dan pengetahuan baru bagi masyarakat.
Proses pemudaran cara berfikir lama ke logika yang lebih rasional terus berlangsung
seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat. Pencerahan tersebut memang tidak
bisa dilepaskan dari peran media massa yang turut menyadarkan masyarakat Jawa untuk
membuang tradisi yang mengarahkan pada tindakan yang kurang rasional. Seiring
berjalannya waktu, kontsruksi pemikiran kolot yang irasional tersebut memang sedikit demi
sedikit berkurang. Pada konteks inilah kemudian perubahan yang dibawa oleh media massa
dimakanai sebagai perubahan positif yang mencerahkan masyarakat.
Terpaan budaya populer yang berujung perubahan budaya tentu tidak hanya menimpa
masyarakat Jawa saja, namun kian mengancam eksistensi budaya lokal Indonesia lainnya.
Andil media massa sebagai media hiburan saat ini lebih banyak berkiblat pada budaya
populer, telah menggoyahkan jati diri Bangsa Indonesia. Di era modern yang serba dinamis
seperti sekarang, media massa adalah agen dari perubahan.Sehingga jelas media massa
adalah salah satu pihak yang berada dibalik layar perubahan termasuk dalam konteks
perubahan budaya.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara media massa dan perubahan sosial. Hubungan antara peran media massa dan
perubahan dalam konteks budaya dapat dilihat dari kacamata pendekatan teori norma budaya.
Media massa melalui konten, rubrik atau tayangan yang dimuat dapat mempengaruhi sikap
seseorang, yang pada akhirnya dapat mengubah norma-norma budaya yang sudah ada dan
berlaku untuk waktu yang lama. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perubahan pada dimensi
sosial budaya masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi difokuskan pada perubahan wujud
ideal budaya yang menyangkut adat, sikap dan perilaku orang Jawa serta wujud sistem sosial
budaya jawa yang menyangkut tata pergaulan masyarakat Jawa. Perubahan tersebut terjadi
seiring dengan penguasaan budaya populer yang mendominasi konten penyiaran media
massa.
Terpaan budaya populer yang dibawa oleh media massa berimplikasi pada terkikisnya
perilaku andhap asor,tepa selira, empan papan, sopan santun, budi pekerti luhur dan
penggunaan bahasa Jawa. Perilaku senang menghormati orang lain serta pola pergaulan
guyup rukun juga mulai luntur. Budaya populer lebih banyak mengekspose pergaulan ala
barat yang cenderung konsumtif, individualis, dan hedon. Budaya populer tersebut lah yang
banyak menempati ruang media massa. Di satu sisimedia massa modern sangata minim
mengeksplor nilai-nilai budaya lokal. Hal tersebut kemudian menggiring perubahan budaya
perilaku yang kemudian melahirkan istilah Wong Jowo ning Ora Njawani. Terlepas dari
fenomena lunturnya nilai-nilai budaya Jawa, peran media massa juga ternyata menyentuh
tradisi kepercayaan Jawa. Media massa juga berpengaruh dalam mencerahkan masyarakat
untuk menghapus adat istiadat masyarakat Jawa yang dinilai kurang rasional.

DAFTAR PUSTAKA
Idrus, Muhammad. 2012. Pendidikan karakter pada Keluarga Jawa, Junal Pendidikan
Karakter Vol: 2, hal: 118-120.
Jaya, Panjar Hatma. 2012 Dinamika Pola Pikir Orang Jawa di tengah Arus Modernisasi,
Jurnal Humaniora, Vol : 24 hal:133-140).
Koentjoroningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Kompas (online). Bahasa jawa mulai Ditinggalkan, edisi 31 Januari 2012.
(www.kompas.com)
Paul, Virginia. Singh, Priyanka & John, Sunit B. 2013. Role of Mass Media In Social
Awreness.
Rachim, Ryan Listiawan & Nashori, Fuad. 2007. Hubungan Antara Nilai Budaya Jawa
dengan Perilaku Nakal Pada Remaja. (Naskah Publikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Isalam Indonesia Yogyakarta)
Rachmawati, Diah 2009. Studi Korelasi Terpaan Media Televisi, Status Ekonomi Dan
Tingkat Religiusitas Dengan Persepsi Terhadap Budaya Pop. (Skripsi). Jurusan Ilmu
Komunikasi fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
Rini. 2011. Peran media Massa dalam Mendorong Perubahan Sosial Masyarakat, Jurnal
Ilmiah Orasi Bisnis-ISSN: 2085-1375 Edisi Ke-VI, hal: 46-58.
Setiawan, Rudy. 2013. Kekuatan New media dalam Membentuk Budaya Populer di
Indonesia, e- Journal Ilmu Komunikasi, Vol: 1(2), hal: 355-374 ISSN 0000-000.
Tulasi, Dominikus. 2012. Terpaan Media massa dan Turbulensi Budaya Lokal, Jurnal
Humaniora Vol.3 (1), hal: 135-144.