EKSOTISME ALAM DAN SENI MASYARAKAT DAYAK
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
EKSOTISME ALAM DAN SENI MASYARAKAT DAYAK*
Nugroho Nur Susanto**
Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;
Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716
Artikel masuk pada 22 Juni 2010
Artikel selesai disunting pada 9 September 2010
Abstrak. Eksotisme mengandung pengertian memiliki daya tarik yang khas, menggugah untuk didalami, dimengerti
lebih jauh, karena unsur kekhasannya itu. Ini adalah karakteristik yang tertangkap seorang pengamat dalam
memandang alam Kalimantan. Sumber dayaalam ini pulalah yang menginspirasi terciptanya seni unik masyarakat
Dayak yang akhirnya menjadi ‘dokumentasi’ eksistensinya di Kalimantan. Tulisan ini membahas tentang hubungan
harmonis antara alam, manusia, dan seni, serta langkah-langkah pelestarian karakter tersebut sebelum
mengkomersialisasikannya. Pembahasan ini membuahkan gagasan tentang pembangunan yang berwawasan
eko-budaya yang menjadi ikon spesifik Kalimantan.
Kata Kunci: eksotisme, alam, Kalimantan, Dayak, seni Dayak, lingkungan budaya, fitur sejarah, konservasi terpadu
Abstract. THE EXOTICISM OF NATURE AND DAYAK ARTS. Exoticism implies a distinctive charm, evocative
to be explored, to be understand further, because of its peculiar elements. By viewing the nature of Kalimantan,
such characteristics are what are caught by the eyes of the perceiver. These natural resources are also being the
inspiration to create the unique art of the Dayak community, which eventually became the ‘documentation’ of their
existence in Kalimantan. This paper discusses the harmonious relationship between nature, human, arts, and the
measures taken to conserve such unique characteristics before commercializing it. This discussion led to the idea
of constructing an eco-cultural-based development, which will be the specific representation of Kalimantan.
Keywords: exoticism, nature, Kalimantan, Dayak, Dayak arts, cultural environment, historical features, integrated
conservation
A. Pendahuluan
Kata eksotisme memiliki makna daya
tarik khas karena belum banyak dikenal oleh
umum. Eksotisme bersifat luar biasa,
istimewa, aneh, dan ganjil. (Balai Pustaka
1995, 253). Eksotisme juga memiliki
*
**
236
pengertian menggugah untuk mendalami,
untuk dimengerti lebih jauh, karena unsur
kekhasannya itu. Hal ini tidak saja dirasakan
oleh peneliti alam dan pemerhati budaya saja,
tetapi mampu menggugah keingintahuan
masyarakat umum. Lebih daripada itu
Makalah ini telah dipresentasikan pada DIA XXIII (Diskusi Ilmiah Arkeologi) Komisi Daerah Kalimantan pada bulan Maret
2008 dan telah direvisi oleh penulis
Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Banjarmasin, email: [email protected]
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
memiliki daya gugah bagi orang dari luar
komunitas pemilik, atau peneliti asing lebih
sangat terasa. Oleh karena itu, karakteristik
objek eksotis seakan-akan memiliki sifat luar
biasa, sesuatu yang asing atau tidak lazim.
Kedatangan para scientist, atau penjelajah
ilmuwan
asing
di
Kalimantan
prakemerdekaan tidak lepas dari era
pencerahan yang ditandai pula dengan
kemajuan teknologi navigasi pelayaran untuk
menjangkau dunia luar yang belum terpikir
sebelumnya.
Pada era pencerahan masa itu,
semangat positivisme berkembang pesat.
Pelayaran-pelayaran yang ramai dengan
kapal-kapal berukuran besar, bukan sekedar
berdagang mencari barang perniagaan, tetapi
untuk mengangkat derajat manusia yang
rasional yang dibekali akal budi. Ilmu
pengetahuan harus bersifat positifistik artinya
harus berguna, diabdikan untuk kepentingan
tertentu, memiliki makna yang eksplisit, dapat
dinikmati dan rasional. “Knowledge to power”
semboyan mereka, mengetahui untuk
selanjutnya menguasainya, yang diketahui dan
selanjutnya dikuasai bukan saja alam, dunia
flora, dan fauna tetapi termasuk dalam
mengetahui hukum atau teori-teori tentang
alam, serta “menguasai” manusia-manusia
yang ada di dalamnya.
Kesaksian tentang daya tarik
Kalimantan tidak dapat dipisahkan dengan
keadaan alam dan komunitas Dayak. Hal
demikian telah direkam oleh beberapa
naturalis, seperti Alfred R. Wallace dan Carl
A. Bock. Wallace terinspirasi oleh George
Winsor Earl yang mengemukakan teori
tentang dunia binatang (fauna) di Asia dan
Australia, sedangkan Carl A. Bock tertarik
dengan isu manusia berekor dan budaya
kanibalisme. Hal yang disebut terakhir secara
tak langsung, terkait dengan teori Darwin
tentang Evolusi Manusia.
Para naturalis digerakkan oleh
keinginannya membuktikan teori-teori alam,
hukum, dan hipotesis dunia tumbuhtumbuhan (flora) dan dunia binatang (fauna).
Pengetahuan yang diperoleh dengan
penelitian flora dan fauna ini selanjutnya
merupakan pelengkap pengetahuan tentang
geografi dalam mempelajari sejarah alam
(natural history). Tidak dipungkiri, misi-misi
yang tampak agung ini lebih sering
mendompleng pada kegiatan pendudukan
terhadap bangsa lain, atau lebih dikenal
dengan kolonialisme dan imperialisme.
Imperialisme kuno yang “bermuka dua”
demikian ini dapat dirunut jejaknya ke negaranegara kuat masa lampau seperti Inggris,
Perancis, Portugis, dan Belanda.
Lebih jauh lagi, seni sebagai
materialisasi anasir gagasan manusia,
memiliki perhatian tersendiri. Dengan
pengetahuan ini para ilmuwan asing tersebut
seakan mendapat “hal yang baru” di luar
peradabannya. Pada era antiquarian,
arkeologi belum dipandang sebagai ilmu,
tetapi sekedar hobi. Benda-benda purba tak
ubahnya benda seni yang melahirkan
keingintahuan tentang apa, siapa pemiliknya,
kapan digunakan, dan bagaimana cara
membuatnya. Pada saat perjalanan para
naturalis menemukan masyarakat yang “asli”,
seakan mereka mendapat data etnografi baru.
Aspek seni rupanya dipandang sebagai hal
khusus yang sangat menarik, terkait dengan
daya kreasi, imajinasi, dan ketrampilan
manusianya ataupun hal-hal lain dari
pendukungnya.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
237
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Seni, anasir terpenting budaya, dapat
dilihat sebagai hal yang menantang untuk
diketahui lebih jauh. Seni juga dipandang
sebagai rekreasional yang tak ternilai. Seni
dipandang sebagai tolok ukur peradaban.
Bagaimana mereka menuangkan hasrat
menggambarkan interaksinya dengan alam
di bawah sadar, kemampuan secara verbal
dan non-verbal, baik personal maupun
secara komunal. Bagaimanakah seni
Kalimantan yang dianggap paling kuno? Dari
kesaksian para penutur asing inilah mungkin
dapat digambarkan dunia seni penduduk asli
Kalimantan pada masa lampau. Dengan
ungkapan lain, orang asinglah saksinya, baik
kapasitasnya sebagai naturalis, etnolog,
maupun penguasa kolonial. Kegiatan para
ilmuwan antara lain adalah melakukan
pendataan dan pemetaan potensi penduduk
asli Kalimantan di daerah-daerah pedalaman.
Mereka dengan teliti menuliskan
perjalanannya dan membuat catatan-catatan,
deskripsi-deskripsi apa yang mereka anggap
menarik. Selain itu mereka pun tak segansegan melukiskan di atas kanvas.
Dengan meminjam “dokumen”
mereka, kita seakan-akan mengenang
nostalgia mereka, bagaimana seorang akan
menemukan “dunia baru” yang dikagumi.
Lebih lanjut akan tergugah untuk melestarikan
dan memanfaatkan potensi ini untuk menarik
wisatawan asing.
B. Kesatuan Seni, Manusia, dan Alam
Para
ilmuwan
asing
menggambarkan bahwa dunia seni muncul
terutama sekali berkaitan dengan manusia
penciptanya. Seni sebenarnya telah melekat
dan menyatu pada dirinya sendiri. Obyek untuk
238
mencurahkan rasa seni adalah raganya,
secara eksplisit, yaitu anggota tubuhnya.
Setelah itu, obyek seni divisualisasikan lebih
jauh dengan apa yang ada di luar raganya.
Pada tingkat inilah seni disebut sebagai hasil
karya budaya yang bersifat komunal dalam arti
luas. Dengan demikian, seni terkait dengan
pandangan dasar manusia, yang tidak dapat
dipisahkan dengan sistem religi yang dianut,
dan interaksi intensifnya dengan lingkungan
alam sekitar.
Seni merupakan bagian penting dari
suatu kebudayaan, yang sejatinya terkait erat
dengan unsur kebudayaan yang lain. Seni pun
kadang-kadang tertuang atau dapat terlihat
pada anasir bahasa, pengetahuan, peralatan
hidup sehari-hari atau teknologi, tata
kemasyarakatan, mata pencaharian, dan religi
suatu masyarakat. Seni juga hadir dalam
wujud pengetahuan yang terangkum dalam
simbol-simbol. Oleh karena itu, kehadiran seni
dalam wujud simbol-simbol berfungsi sebagai
penanda tiga hal, pertama, untuk mengurangi
timbulnya beraneka persepsi terhadap
sesuatu secara sendiri-sendiri; kedua,
menandai sesuatu atau hal yang telah
diketahui, yaitu sebagai medium komunikasi;
dan ketiga untuk membangkitkan minat
seseorang dalam upaya menambah
pengetahuan. Anasir budaya terpenting
bersumber dari ide-ide dasar atau
pengetahuan masyarakat pendukung, yang
selanjutnya dijabarkan dalam wujud pola
perilaku dan artefak sebagai material
buadayanya (Spradley vide Susanto, 1999).
Di sisi yang lebih umum, seni adalah
ungkapan yang timbul dalam membuat
sesuatu menjadi lebih berkualitas atau
keahlian membuat karya yang memiliki mutu
lebih baik, yaitu dalam hal kehalusan, ataupun
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
dalam hal keindahan yang dapat dinikmati
oleh panca indera. Seni juga dimaksudkan
sebagai kesanggupan akal untuk
menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi
(Anonim 1995, 914-915). Secara khusus,
pada hakikatnya eksotisme bumi Kalimantan
dan kekayaan seni penduduk Kalimantan tak
terpisahkan. Dengan kata lain, terdapat
interaksi saling berhubungan antara
lingkungan alam dan daya kreasi manusianya.
Sudah sejak lama diakui, lingkungan alam
memiliki kapasitas sebagai potensi ekonomi,
tetapi tidak dipungkiri memiliki andil besar
dalam penciptaan keindahan. Seni diciptakan
oleh sentuhan tangan-tangan manusia, yang
berinteraksi dalam mengelola alam. Dengan
demikian unsur pewarisan daya kreasi seni
yang dipadu dengan mempertahankan situasi
dan kondisi alam dari pendahulunya perlu
dirunut mata rantainya, sehingga membentuk
daya tarik yang beridentitas, yang terjalin satu
sama lainnya.
C. Daya Tarik Budaya yang Menyatu
dengan Alam
Pertanyaan tentang adanya ras-ras
yang dianggap masih barbar di belahan bumi
yang lain, membuat penjelajahanpenjelajahan ke seluruh dunia makin sering
dilakukan. Penjelajahan Wallace ke
Nusantara khususnya Kalimantan, tidak lepas
dari rasa keingintahuan yang besar tentang
teori satu ras yang dikemukakan oleh
Humbold dan Pichard. Observasi Wallace
menjawab bahwa terdapat perbedaan ras
antara penghuni wilayah Asia dan Irian
(Papua). Apabila kita perhatikan, hewan dan
tumbuh-tumbuhan secara terus menerus
menyebar secara alamiah sekaligus
mengalami evolusi seperti diuraikan oleh
Charles Lyell dan Darwin. Di sisi lain,
penjelajahan Wallace menunjukkan bahwa
sebenarnya kemajuan peradaban Barat atas
Timur, hanyalah karena kemajuan di bidang
teknologi. Namun, pernyataan ini masih
diperdebatkan. Masa Pencerahan berarti
berani menggunakan akal yang dimaknai
dengan keberhasilan menaklukkan alam.
Perasaan dan ilusi magis manusia tergantikan
dengan pandangan rasional yang
meninggalkan pertimbangan non-rasional.
Hal demikian seakan dirasakan Wallace
dalam memandang masyarakat Dayak, etnis
asli yang menghuni Kalimantan. Kelompok
etnis ini masih dikuasai oleh alam dan
menyatu dengan alam. Di sisi lain, masyarakat
Dayak adalah manusia yang jujur dan
bersahaja. Bahkan, menurut penuturannya
terkesan berlebihan dengan menempatkan
orang Dayak sebagai sekelompok manusia
yang memiliki mentalitas dan moralitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa
Melayu dan Cina. Hal ini menunjukkan daya
esotika yang seakan-akan bekerja
mempengaruhi obyektivitas yang ada
mendorong rasa emosional seseorang
(Wallace 2000, 54 ).
Wallace memandang kenyataan
yang dilihat masyarakat Dayak dalam
pergaulan berhubungan dengan suku-suku
yang berbeda. Justru oleh karena sikap
kebersahajaannya itu mereka kerap menjadi
korban kecurangan etnis lain. Pada saat yang
bersamaan, wawasan ini juga menunjukkan
budaya tertutup, sehingga kadang-kadang
dianggap kurang beradab.
Masyarakat Dayak digambarkan
sebagai masyarakat sederhana yang masih
memegang adat dan tradisi yang kuat
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
239
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
tersendiri. Budaya bendawi yang menjadi
karakteristik orang Dayak antara lain masih
memakai perhiasan anting, terbuat dari kawat
kuningan, dengan kalung yang terbuat dari
manik-manik, umumnya berwarna hitam dan
putih. Di tangan dan kakinya tidak ketinggalan
memakai gelang logam (yang selalu berbunyi
apabila beraktivitas), sedangkan unsur
pakaian yang dikenakan orang Dayak yang
ditemui Walace selalu berupa cawat tanpa
pakaian lain, ini menggambarkan betapa
kehidupan mereka terasa menyatu dengan
alam. Sangat umum, kemanapun pergi
membawa senjata yang diselipkan di
pinggang. Baik laki-laki maupun perempuan,
umumnya membawa peralatan untuk
menyirih kemanapun ia pergi (Wallace 2000,
42-43).
Anasir magis lebih mewarnai
perwujudan ungkapan seni masyarakat Dayak.
Gambaran figur seorang kepala suku
haruslah seseorang yang memiliki kekuatan
magis, sebagai pemimpin upacara yang
mampu berdialog dengan dunia arwah,
sebagai panglima perang yang tangguh dan
memiliki pengetahuan yang luas tentang
musim, pertanian, dan perburuan. Senjata
seorang kepala suku adalah mandau, yang
digambarkan raya dengan aksesoris dan
mencirikan nuansa magis.
Gambaran bahwa obyek seni
bermula dari dirinya sendiri, tergambar dari
kesaksian Wallace saat ia disuguhi
pertunjukan beberapa anak muda dalam olah
vokal dan menggerakkan anggota tubuh yang
menimbulkan suara dan gerakan-gerakan.
Seni suara masyarakat Dayak dilukiskan
sebagai berikut, “beberapa pemuda bersila
dan membuat bunyi melengking dengan
dibarengi menepukkan jari-jari di pergelangan
240
kaki. Pemuda yang lain menepuk-nepukkan
tangan ke pinggul, sedang sisanya
memasukkan tangan ke bawah ketiak,
sehingga menghasilkan nada terompet.
Mereka mengikuti tempo tertentu dengan
irama musik yang serasi, bunyi yang dihasilkan
cukup serasi”(Wallace 1890, 43).
D. Daya Tarik Hutan Alam Kalimantan
Wallace sangat kagum dengan
berbagai jenis kekayaan alam fauna dan flora
Kalimantan. Wallace dan ilmuwan lainnya
dengan
tekun
mendeskripsi,
mengelompokkan, dan kemudian membuat
analisis. Beberapa hal yang menjadi perhatian
mereka antara lain jenis kumbang atau sejenis
serangga yang menurut cacatannya
mencapai 320 jenis. Terdapat pula jenis kupukupu yang beraneka warna. Wallace tertarik
pula dengan katak terbang, orang utan (Pongo
pygmaeus), dan bekantan (Nasalis larvatus).
Para naturalis sudah lama juga tertarik dengan
buah durian (Durio zibethinus), yang oleh
pendatang bangsa asing dianggap sebagai
rajanya buah. Linchot telah menuliskan di
tahun 1599 bahwa durian sangat lezat atau
lebih lezat dari semua buah di dunia. Keunikan
tanaman berkantong, kantong semar
(Nepenthes boschiana), ataupun jenis
anggrek (Vanda lowii), telah menjadi
kekaguman Wallace yang ternyata terdiri dari
ratusan spesies (lihat gambar 1 dan 2)
(Wallace 2000, 47-53).
Secara umum, daya tarik peradaban
manusia tidak bisa lepas dari persoalan
kebudayaan. Peradaban sendiri dapat dilihat
dari hal yang kecil, hingga sesuatu yang
menyeluruh, melingkupi hubungan sekitarnya,
dan hal yang mendasar, misalnya pandangan
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
bagaimana berinteraksi dengan alamnya.
Kebudayaan mikro, dapat terlihat dalam
kehidupan sehari-hari atau yang menempel
pada dirinya, misalnya, bagaimana seseorang
mencari makan, cara berpakaian, cara
membawa barang, cara mempertahankan
diri, dan sebagainya. Itu semua akan
memperlihatkan ciri-ciri khusus yang
membedakan satu komunitas dengan
komunitas lain.
Demikian pula dalam kehidupan
dunia seni itu sendiri, yang merambah dari
hal-hal kecil seperti alat-alat rumah tangga,
hiasan rumah, atau peralatan dalam
mempertahankan diri, seperti senjata atau
perisai. Demikan pula, sarana mencari untuk
menangkap binatang buruan atau ikan, atau
hal-hal yang lebih luas. Misalnya, dalam
pengaturan lansekap tata bangun, penataan
kebun, hingga penataan habitat lingkungan
kehidupan secara makro, misalnya lansekap
desa atau perkampungan. Jadi, seni
menyangkut bidang keahlian dalam
menggunakan teknologi alat yang
disesuaikan dengan sumber bahan yang telah
disediakan oleh alam. Komunitas Dayak
sangat menguasai baik perolehan atau
memanfaatkan rotan, bermacam-macam
kayu dan bambu serta sisa tulang binatang.
Tingkat kepedulian dalam hal seni sering
bertalian dengan status seseorang di dalam
masyarakat. Apakah Ia seorang kepala suku
ataupun rakyat kebanyakan (lihat gambar 3).
Carl A. Bock beranggapan
masyarakat Dayak memiliki sifat tertutup
terhadap pengaruh budaya lain, berbeda
dengan komunitas Melayu yang terbuka
terhadap pengaruh budaya Bugis. Dalam
perjalanannya, Bock mengunjungi kerajaan
Kutai dan Paser. Dari kunjungan ini diperoleh
kesan perbedaan antara budaya Dayak dan
Melayu. Budaya Dayak mementingkan seni
badaniah (body art) yang menempel pada
tubuhnya, sedang seni Melayu lebih
berkembang, menitikberatkan pada aspek
fungsional di luar dirinya misalnya, hiasan
rumah, keraton, dan sebagainya.
Eksotisme khas budaya Kalimantan
sebenarnya dapat dilihat dan telah direkam
dari kunjungan orang-orang asing yang
singgah atau sengaja mempelajarinya pada
masa lampau sampai sekarang. Namun, hal
ini justru sering luput dari perhatian mereka
yang justru sehari-hari bergulat dan bertemu
dengan komunitas mereka sendiri. Para
ilmuwan asing itu, yaitu para naturalis, etnolog,
atau penguasa kolonial yang tertarik dengan
masalah ini dengan teliti menuliskan
perjalanan dan membuat hal-hal yang
menarik baginya itu dan tak segan-segan
melukiskannya pula di atas kanvas.
E. Perspektif Pariwisata dari Masa Lalu
Dalam dunia pariwisata ada
bermacam-macam jenis wisata. Oleh
Koentjaraningrat, wisata dikategorikan dalam
(1) ketegori pendidikan ilmiah/penelitian yang
mengfokuskan pada spesies langka dan
habitatnya; (2) wisata seni dan budaya; (3)
wisata alam (nature); (4) wisata olah raga; (5)
wisata belanja; (6) wisata kehidupan malam;
dan (7) wisata judi (gambling). Bagi wisatawan
dari Eropa, Amerika, dan Jepang kedatangan
mereka terutama tertarik kepada aspek-aspek
yang bertujuan pada pendidikan ilmiah dan
perhatian pada beberapa spesies langka baik
tanaman maupun binatang, bagaimana
habitatnya, serta tertarik dalam dunia seni
serta budayanya (Koentrajaningrat 1996, 101).
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
241
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Gambar 3. Relik patung totem khas Kalimantan
(Bock 1988)
Gambar 1. Bekantan (Nasalis larvatus) (sumber:
http:bekantanisland.wordpress.com/2008/05/
12/bekantan-proboscis-monkey-nasalislarvatus-lantin)
Gambar 2. kantong semar (Nepentheles
boschiana) (sumber:
http:alamendah.wordoress.com/2010/12/09/
aneka-jenis-species-kantong-semar-aslikalimantan)
242
Gambar 4. Sosok kepala kelompok etnis Dayak
(Long Wahou) (Bock 1988)
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Bagi Kalimantan, potensi alam dan
lingkungan yang relatif asli masih tersimpan,
khususnya di taman-taman nasional. Di
antaranya, Taman Nasional Gunung Palung
Kabupaten Kayung Utara/Sukadana, Taman
Nasional Danau Sentarum Kapuas Hulu di
Kalimantan Barat; Taman Nasional Kayan
Mentarang Sebangau dan Taman Nasional
Kutai di Kalimantan Timur; Taman Nasional
Bukit Meratus di Kalimantan Selatan; serta
Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman
Nasional Tanjung Puting di Kalimantan
Tengah.
Thomas de Albuquerque Lapa dan
Silvio Mendes Zancheti telah menulis
pentingnya pelestarian alam sekaligus
pelestarian budaya bagi masyarakat urban
dalam arti luas (Lapa dan Zancheti 2003, 19). Dalam mengelola lingkungan alam di atas
perlu adanya integrasi ke dalam penghargaan
terhadap komunitas-komunitas yang
mendiami daerah tersebut. Pengintegrasian
antara pelestarian alam dan budaya di sini,
tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis,
artinya menjaga sekaligus memajukan dan
membangun taraf hidup mereka.
Sebagaimana semangat yang telah
ditunjukkan dalam konferensi internasional
Rio de Jenerio tahun 1992 yang menekankan
perlindungan alam lingkungan, sejalan pula
dengan perlindungan sosial (urban
environment structure), khususnya yang
berada di tengah pelosok-pelosok. Konsep
Integrated Conservation, tidak saja
menekankan perlindungan alam lingkungan,
tetapi juga memadukan unsur-unsur antara
lingkungan budaya (environmental culture)
dan pernik-pernik sejarah masa lalu (historical
features). Lebih lanjut, Zancheti menekankan
di masa datang sumbangan dari ilmuwan
multidisiplin sangat diharapkan, yaitu
sumbangan pemikirannya untuk menerapkan
prinsip Integrated Conservation tersebut.
Dinamika perubahan menuntut kesungguhan
dalam menjaga alam lingkungan dan budaya,
karena akan terus ada persaingan antara
kelompok masyarakat atau agen-agen
perubahan. Langkah-langkah nyata dan
strategi pengelolaan yang terencana sangat
diperlukan untuk mewujudkan persetujuan
tersebut di atas.
Menurut Laurent Loh (2002), sisasisa masa lalu perlu dihadirkan kembali dalam
alam berpikir, ke dalam ide-ide di masa
sekarang. Peninggalan fisik material masa
lalu sejuah mungkin dipertahankan
keasliannya sebagai referensi parameter
budaya yang lebih alami dan universal. Dalam
rangka untuk membangkitkan “ a sense of
continuity” dari perubahan yang dianggap
lebih berhasil. Model yang ditawarkan
mengacu pada post rationalisation yang
menghasilkan model adaptasi penggunaan
kembali peninggalan masa lalu (objek-objek)
yang menghasilkan berbagai hal yang memiliki
penekanan
pada
struktur-struktur
kesejarahan, bukan berpedoman pada formula ekonomi praktis yang mengejar
kesuksesan finansial semata.
Konsep Laurent Loh di atas
dimaksudkan untuk membuat lingkungan
usaha yang lebih baik, yang dapat dilakukan
untuk meredam kecenderungan ide-ide
negatif dalam pemikiran berbisnis dan
pemanfaatan peninggalan masa lalu, yaitu
tidak terlalu mengejar keuntungan keuangan.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
243
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
F. Penutup
Eksotisme mengandung pengertian
memiliki daya tarik yang khas, belum banyak
dikenal oleh umum, biasanya baru terlihat oleh
orang asing atau dari luar komunitasnya.
Apabila hal ini tidak diberitahukan kepada
pemiliknya, maka cenderung terlupakan,
karena mereka seakan tak peduli karena telah
terbiasa. Padahal potensi demikian ini dapat
dianggap sebagai kekayaan yang tak ternilai.
Sebagaimana benda-benda seni masa lalu
yang dikategorikan sebagai benda cagar
budaya (BCB) sangat berpotensi
mendatangkan orang untuk berkunjung ke
daerah ini di kemudian hari. Perlindungan
unsur asli, indigenous, ini perlu segera
dilakukan dan perlu segera dikembangkan
oleh komunitas tersebut sebelum dijarah oleh
bangsa lain, dan celakanya akan diakui milik
bangsa tersebut. Peran Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata di kabupaten-kabupaten
beserta instansi terkait menjadi ujung tombak
dalam peran menjaga kekayaan ini.
Kekuatan nilai kekhasan Indonesia
(baca Kalimantan) dalam hal cakupan seni
secara luas, alam lingkungan dan unsur di
dalamnya menawarkan dalam pembangunan
yang berwawasan eko-budaya. Hal ini
selayaknya menjadi ikon semangat
pembangunan yang spesifik bagi Kalimantan,
untuk menarik wisatawan asing.
Referensi
Anonim. 1991. Kamus umum Bahasa
Indonesia (KUBBI) edisi ke-2.
Jakarta:
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Bock, Carl. 1988. The head-hunters of Borneo.
Singapore: Graham Brash.
Fagan, Brian. 1992. In the beginning an
introduction to archaeology
Boston: Little, Brown and
Company
Koentjaraningrat. 1996. Antropological
aspects of cultural tourism.
Proceding of the International
Converence on Tourism and
Haritage Management (ICCT).
Yogyakarta, 101-104.
244
Loh, Laurance. 2002. New use- old fit. The
International Conferenceon.
The Conservation of Urban
Heritage : Macoau Vision.
Macao: Cultural Institud of the
Macao SAR, 140-146.
Lapa, Thomas de Albuquerque dan Silvo
Mendez Zancheti. 2003.
Integratedteritorial and urban
conservation managemen of
the integrated cultural Heritage.
Recife, Brazil: UFPE.
Wallace, Alfred R. 2000. Menjelajah nusantara
ekspedisi: Alfred Russel Wallace
abad-19. Bandung: Roda
Karya.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
EKSOTISME ALAM DAN SENI MASYARAKAT DAYAK*
Nugroho Nur Susanto**
Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;
Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716
Artikel masuk pada 22 Juni 2010
Artikel selesai disunting pada 9 September 2010
Abstrak. Eksotisme mengandung pengertian memiliki daya tarik yang khas, menggugah untuk didalami, dimengerti
lebih jauh, karena unsur kekhasannya itu. Ini adalah karakteristik yang tertangkap seorang pengamat dalam
memandang alam Kalimantan. Sumber dayaalam ini pulalah yang menginspirasi terciptanya seni unik masyarakat
Dayak yang akhirnya menjadi ‘dokumentasi’ eksistensinya di Kalimantan. Tulisan ini membahas tentang hubungan
harmonis antara alam, manusia, dan seni, serta langkah-langkah pelestarian karakter tersebut sebelum
mengkomersialisasikannya. Pembahasan ini membuahkan gagasan tentang pembangunan yang berwawasan
eko-budaya yang menjadi ikon spesifik Kalimantan.
Kata Kunci: eksotisme, alam, Kalimantan, Dayak, seni Dayak, lingkungan budaya, fitur sejarah, konservasi terpadu
Abstract. THE EXOTICISM OF NATURE AND DAYAK ARTS. Exoticism implies a distinctive charm, evocative
to be explored, to be understand further, because of its peculiar elements. By viewing the nature of Kalimantan,
such characteristics are what are caught by the eyes of the perceiver. These natural resources are also being the
inspiration to create the unique art of the Dayak community, which eventually became the ‘documentation’ of their
existence in Kalimantan. This paper discusses the harmonious relationship between nature, human, arts, and the
measures taken to conserve such unique characteristics before commercializing it. This discussion led to the idea
of constructing an eco-cultural-based development, which will be the specific representation of Kalimantan.
Keywords: exoticism, nature, Kalimantan, Dayak, Dayak arts, cultural environment, historical features, integrated
conservation
A. Pendahuluan
Kata eksotisme memiliki makna daya
tarik khas karena belum banyak dikenal oleh
umum. Eksotisme bersifat luar biasa,
istimewa, aneh, dan ganjil. (Balai Pustaka
1995, 253). Eksotisme juga memiliki
*
**
236
pengertian menggugah untuk mendalami,
untuk dimengerti lebih jauh, karena unsur
kekhasannya itu. Hal ini tidak saja dirasakan
oleh peneliti alam dan pemerhati budaya saja,
tetapi mampu menggugah keingintahuan
masyarakat umum. Lebih daripada itu
Makalah ini telah dipresentasikan pada DIA XXIII (Diskusi Ilmiah Arkeologi) Komisi Daerah Kalimantan pada bulan Maret
2008 dan telah direvisi oleh penulis
Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Banjarmasin, email: [email protected]
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
memiliki daya gugah bagi orang dari luar
komunitas pemilik, atau peneliti asing lebih
sangat terasa. Oleh karena itu, karakteristik
objek eksotis seakan-akan memiliki sifat luar
biasa, sesuatu yang asing atau tidak lazim.
Kedatangan para scientist, atau penjelajah
ilmuwan
asing
di
Kalimantan
prakemerdekaan tidak lepas dari era
pencerahan yang ditandai pula dengan
kemajuan teknologi navigasi pelayaran untuk
menjangkau dunia luar yang belum terpikir
sebelumnya.
Pada era pencerahan masa itu,
semangat positivisme berkembang pesat.
Pelayaran-pelayaran yang ramai dengan
kapal-kapal berukuran besar, bukan sekedar
berdagang mencari barang perniagaan, tetapi
untuk mengangkat derajat manusia yang
rasional yang dibekali akal budi. Ilmu
pengetahuan harus bersifat positifistik artinya
harus berguna, diabdikan untuk kepentingan
tertentu, memiliki makna yang eksplisit, dapat
dinikmati dan rasional. “Knowledge to power”
semboyan mereka, mengetahui untuk
selanjutnya menguasainya, yang diketahui dan
selanjutnya dikuasai bukan saja alam, dunia
flora, dan fauna tetapi termasuk dalam
mengetahui hukum atau teori-teori tentang
alam, serta “menguasai” manusia-manusia
yang ada di dalamnya.
Kesaksian tentang daya tarik
Kalimantan tidak dapat dipisahkan dengan
keadaan alam dan komunitas Dayak. Hal
demikian telah direkam oleh beberapa
naturalis, seperti Alfred R. Wallace dan Carl
A. Bock. Wallace terinspirasi oleh George
Winsor Earl yang mengemukakan teori
tentang dunia binatang (fauna) di Asia dan
Australia, sedangkan Carl A. Bock tertarik
dengan isu manusia berekor dan budaya
kanibalisme. Hal yang disebut terakhir secara
tak langsung, terkait dengan teori Darwin
tentang Evolusi Manusia.
Para naturalis digerakkan oleh
keinginannya membuktikan teori-teori alam,
hukum, dan hipotesis dunia tumbuhtumbuhan (flora) dan dunia binatang (fauna).
Pengetahuan yang diperoleh dengan
penelitian flora dan fauna ini selanjutnya
merupakan pelengkap pengetahuan tentang
geografi dalam mempelajari sejarah alam
(natural history). Tidak dipungkiri, misi-misi
yang tampak agung ini lebih sering
mendompleng pada kegiatan pendudukan
terhadap bangsa lain, atau lebih dikenal
dengan kolonialisme dan imperialisme.
Imperialisme kuno yang “bermuka dua”
demikian ini dapat dirunut jejaknya ke negaranegara kuat masa lampau seperti Inggris,
Perancis, Portugis, dan Belanda.
Lebih jauh lagi, seni sebagai
materialisasi anasir gagasan manusia,
memiliki perhatian tersendiri. Dengan
pengetahuan ini para ilmuwan asing tersebut
seakan mendapat “hal yang baru” di luar
peradabannya. Pada era antiquarian,
arkeologi belum dipandang sebagai ilmu,
tetapi sekedar hobi. Benda-benda purba tak
ubahnya benda seni yang melahirkan
keingintahuan tentang apa, siapa pemiliknya,
kapan digunakan, dan bagaimana cara
membuatnya. Pada saat perjalanan para
naturalis menemukan masyarakat yang “asli”,
seakan mereka mendapat data etnografi baru.
Aspek seni rupanya dipandang sebagai hal
khusus yang sangat menarik, terkait dengan
daya kreasi, imajinasi, dan ketrampilan
manusianya ataupun hal-hal lain dari
pendukungnya.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
237
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Seni, anasir terpenting budaya, dapat
dilihat sebagai hal yang menantang untuk
diketahui lebih jauh. Seni juga dipandang
sebagai rekreasional yang tak ternilai. Seni
dipandang sebagai tolok ukur peradaban.
Bagaimana mereka menuangkan hasrat
menggambarkan interaksinya dengan alam
di bawah sadar, kemampuan secara verbal
dan non-verbal, baik personal maupun
secara komunal. Bagaimanakah seni
Kalimantan yang dianggap paling kuno? Dari
kesaksian para penutur asing inilah mungkin
dapat digambarkan dunia seni penduduk asli
Kalimantan pada masa lampau. Dengan
ungkapan lain, orang asinglah saksinya, baik
kapasitasnya sebagai naturalis, etnolog,
maupun penguasa kolonial. Kegiatan para
ilmuwan antara lain adalah melakukan
pendataan dan pemetaan potensi penduduk
asli Kalimantan di daerah-daerah pedalaman.
Mereka dengan teliti menuliskan
perjalanannya dan membuat catatan-catatan,
deskripsi-deskripsi apa yang mereka anggap
menarik. Selain itu mereka pun tak segansegan melukiskan di atas kanvas.
Dengan meminjam “dokumen”
mereka, kita seakan-akan mengenang
nostalgia mereka, bagaimana seorang akan
menemukan “dunia baru” yang dikagumi.
Lebih lanjut akan tergugah untuk melestarikan
dan memanfaatkan potensi ini untuk menarik
wisatawan asing.
B. Kesatuan Seni, Manusia, dan Alam
Para
ilmuwan
asing
menggambarkan bahwa dunia seni muncul
terutama sekali berkaitan dengan manusia
penciptanya. Seni sebenarnya telah melekat
dan menyatu pada dirinya sendiri. Obyek untuk
238
mencurahkan rasa seni adalah raganya,
secara eksplisit, yaitu anggota tubuhnya.
Setelah itu, obyek seni divisualisasikan lebih
jauh dengan apa yang ada di luar raganya.
Pada tingkat inilah seni disebut sebagai hasil
karya budaya yang bersifat komunal dalam arti
luas. Dengan demikian, seni terkait dengan
pandangan dasar manusia, yang tidak dapat
dipisahkan dengan sistem religi yang dianut,
dan interaksi intensifnya dengan lingkungan
alam sekitar.
Seni merupakan bagian penting dari
suatu kebudayaan, yang sejatinya terkait erat
dengan unsur kebudayaan yang lain. Seni pun
kadang-kadang tertuang atau dapat terlihat
pada anasir bahasa, pengetahuan, peralatan
hidup sehari-hari atau teknologi, tata
kemasyarakatan, mata pencaharian, dan religi
suatu masyarakat. Seni juga hadir dalam
wujud pengetahuan yang terangkum dalam
simbol-simbol. Oleh karena itu, kehadiran seni
dalam wujud simbol-simbol berfungsi sebagai
penanda tiga hal, pertama, untuk mengurangi
timbulnya beraneka persepsi terhadap
sesuatu secara sendiri-sendiri; kedua,
menandai sesuatu atau hal yang telah
diketahui, yaitu sebagai medium komunikasi;
dan ketiga untuk membangkitkan minat
seseorang dalam upaya menambah
pengetahuan. Anasir budaya terpenting
bersumber dari ide-ide dasar atau
pengetahuan masyarakat pendukung, yang
selanjutnya dijabarkan dalam wujud pola
perilaku dan artefak sebagai material
buadayanya (Spradley vide Susanto, 1999).
Di sisi yang lebih umum, seni adalah
ungkapan yang timbul dalam membuat
sesuatu menjadi lebih berkualitas atau
keahlian membuat karya yang memiliki mutu
lebih baik, yaitu dalam hal kehalusan, ataupun
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
dalam hal keindahan yang dapat dinikmati
oleh panca indera. Seni juga dimaksudkan
sebagai kesanggupan akal untuk
menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi
(Anonim 1995, 914-915). Secara khusus,
pada hakikatnya eksotisme bumi Kalimantan
dan kekayaan seni penduduk Kalimantan tak
terpisahkan. Dengan kata lain, terdapat
interaksi saling berhubungan antara
lingkungan alam dan daya kreasi manusianya.
Sudah sejak lama diakui, lingkungan alam
memiliki kapasitas sebagai potensi ekonomi,
tetapi tidak dipungkiri memiliki andil besar
dalam penciptaan keindahan. Seni diciptakan
oleh sentuhan tangan-tangan manusia, yang
berinteraksi dalam mengelola alam. Dengan
demikian unsur pewarisan daya kreasi seni
yang dipadu dengan mempertahankan situasi
dan kondisi alam dari pendahulunya perlu
dirunut mata rantainya, sehingga membentuk
daya tarik yang beridentitas, yang terjalin satu
sama lainnya.
C. Daya Tarik Budaya yang Menyatu
dengan Alam
Pertanyaan tentang adanya ras-ras
yang dianggap masih barbar di belahan bumi
yang lain, membuat penjelajahanpenjelajahan ke seluruh dunia makin sering
dilakukan. Penjelajahan Wallace ke
Nusantara khususnya Kalimantan, tidak lepas
dari rasa keingintahuan yang besar tentang
teori satu ras yang dikemukakan oleh
Humbold dan Pichard. Observasi Wallace
menjawab bahwa terdapat perbedaan ras
antara penghuni wilayah Asia dan Irian
(Papua). Apabila kita perhatikan, hewan dan
tumbuh-tumbuhan secara terus menerus
menyebar secara alamiah sekaligus
mengalami evolusi seperti diuraikan oleh
Charles Lyell dan Darwin. Di sisi lain,
penjelajahan Wallace menunjukkan bahwa
sebenarnya kemajuan peradaban Barat atas
Timur, hanyalah karena kemajuan di bidang
teknologi. Namun, pernyataan ini masih
diperdebatkan. Masa Pencerahan berarti
berani menggunakan akal yang dimaknai
dengan keberhasilan menaklukkan alam.
Perasaan dan ilusi magis manusia tergantikan
dengan pandangan rasional yang
meninggalkan pertimbangan non-rasional.
Hal demikian seakan dirasakan Wallace
dalam memandang masyarakat Dayak, etnis
asli yang menghuni Kalimantan. Kelompok
etnis ini masih dikuasai oleh alam dan
menyatu dengan alam. Di sisi lain, masyarakat
Dayak adalah manusia yang jujur dan
bersahaja. Bahkan, menurut penuturannya
terkesan berlebihan dengan menempatkan
orang Dayak sebagai sekelompok manusia
yang memiliki mentalitas dan moralitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa
Melayu dan Cina. Hal ini menunjukkan daya
esotika yang seakan-akan bekerja
mempengaruhi obyektivitas yang ada
mendorong rasa emosional seseorang
(Wallace 2000, 54 ).
Wallace memandang kenyataan
yang dilihat masyarakat Dayak dalam
pergaulan berhubungan dengan suku-suku
yang berbeda. Justru oleh karena sikap
kebersahajaannya itu mereka kerap menjadi
korban kecurangan etnis lain. Pada saat yang
bersamaan, wawasan ini juga menunjukkan
budaya tertutup, sehingga kadang-kadang
dianggap kurang beradab.
Masyarakat Dayak digambarkan
sebagai masyarakat sederhana yang masih
memegang adat dan tradisi yang kuat
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
239
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
tersendiri. Budaya bendawi yang menjadi
karakteristik orang Dayak antara lain masih
memakai perhiasan anting, terbuat dari kawat
kuningan, dengan kalung yang terbuat dari
manik-manik, umumnya berwarna hitam dan
putih. Di tangan dan kakinya tidak ketinggalan
memakai gelang logam (yang selalu berbunyi
apabila beraktivitas), sedangkan unsur
pakaian yang dikenakan orang Dayak yang
ditemui Walace selalu berupa cawat tanpa
pakaian lain, ini menggambarkan betapa
kehidupan mereka terasa menyatu dengan
alam. Sangat umum, kemanapun pergi
membawa senjata yang diselipkan di
pinggang. Baik laki-laki maupun perempuan,
umumnya membawa peralatan untuk
menyirih kemanapun ia pergi (Wallace 2000,
42-43).
Anasir magis lebih mewarnai
perwujudan ungkapan seni masyarakat Dayak.
Gambaran figur seorang kepala suku
haruslah seseorang yang memiliki kekuatan
magis, sebagai pemimpin upacara yang
mampu berdialog dengan dunia arwah,
sebagai panglima perang yang tangguh dan
memiliki pengetahuan yang luas tentang
musim, pertanian, dan perburuan. Senjata
seorang kepala suku adalah mandau, yang
digambarkan raya dengan aksesoris dan
mencirikan nuansa magis.
Gambaran bahwa obyek seni
bermula dari dirinya sendiri, tergambar dari
kesaksian Wallace saat ia disuguhi
pertunjukan beberapa anak muda dalam olah
vokal dan menggerakkan anggota tubuh yang
menimbulkan suara dan gerakan-gerakan.
Seni suara masyarakat Dayak dilukiskan
sebagai berikut, “beberapa pemuda bersila
dan membuat bunyi melengking dengan
dibarengi menepukkan jari-jari di pergelangan
240
kaki. Pemuda yang lain menepuk-nepukkan
tangan ke pinggul, sedang sisanya
memasukkan tangan ke bawah ketiak,
sehingga menghasilkan nada terompet.
Mereka mengikuti tempo tertentu dengan
irama musik yang serasi, bunyi yang dihasilkan
cukup serasi”(Wallace 1890, 43).
D. Daya Tarik Hutan Alam Kalimantan
Wallace sangat kagum dengan
berbagai jenis kekayaan alam fauna dan flora
Kalimantan. Wallace dan ilmuwan lainnya
dengan
tekun
mendeskripsi,
mengelompokkan, dan kemudian membuat
analisis. Beberapa hal yang menjadi perhatian
mereka antara lain jenis kumbang atau sejenis
serangga yang menurut cacatannya
mencapai 320 jenis. Terdapat pula jenis kupukupu yang beraneka warna. Wallace tertarik
pula dengan katak terbang, orang utan (Pongo
pygmaeus), dan bekantan (Nasalis larvatus).
Para naturalis sudah lama juga tertarik dengan
buah durian (Durio zibethinus), yang oleh
pendatang bangsa asing dianggap sebagai
rajanya buah. Linchot telah menuliskan di
tahun 1599 bahwa durian sangat lezat atau
lebih lezat dari semua buah di dunia. Keunikan
tanaman berkantong, kantong semar
(Nepenthes boschiana), ataupun jenis
anggrek (Vanda lowii), telah menjadi
kekaguman Wallace yang ternyata terdiri dari
ratusan spesies (lihat gambar 1 dan 2)
(Wallace 2000, 47-53).
Secara umum, daya tarik peradaban
manusia tidak bisa lepas dari persoalan
kebudayaan. Peradaban sendiri dapat dilihat
dari hal yang kecil, hingga sesuatu yang
menyeluruh, melingkupi hubungan sekitarnya,
dan hal yang mendasar, misalnya pandangan
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
bagaimana berinteraksi dengan alamnya.
Kebudayaan mikro, dapat terlihat dalam
kehidupan sehari-hari atau yang menempel
pada dirinya, misalnya, bagaimana seseorang
mencari makan, cara berpakaian, cara
membawa barang, cara mempertahankan
diri, dan sebagainya. Itu semua akan
memperlihatkan ciri-ciri khusus yang
membedakan satu komunitas dengan
komunitas lain.
Demikian pula dalam kehidupan
dunia seni itu sendiri, yang merambah dari
hal-hal kecil seperti alat-alat rumah tangga,
hiasan rumah, atau peralatan dalam
mempertahankan diri, seperti senjata atau
perisai. Demikan pula, sarana mencari untuk
menangkap binatang buruan atau ikan, atau
hal-hal yang lebih luas. Misalnya, dalam
pengaturan lansekap tata bangun, penataan
kebun, hingga penataan habitat lingkungan
kehidupan secara makro, misalnya lansekap
desa atau perkampungan. Jadi, seni
menyangkut bidang keahlian dalam
menggunakan teknologi alat yang
disesuaikan dengan sumber bahan yang telah
disediakan oleh alam. Komunitas Dayak
sangat menguasai baik perolehan atau
memanfaatkan rotan, bermacam-macam
kayu dan bambu serta sisa tulang binatang.
Tingkat kepedulian dalam hal seni sering
bertalian dengan status seseorang di dalam
masyarakat. Apakah Ia seorang kepala suku
ataupun rakyat kebanyakan (lihat gambar 3).
Carl A. Bock beranggapan
masyarakat Dayak memiliki sifat tertutup
terhadap pengaruh budaya lain, berbeda
dengan komunitas Melayu yang terbuka
terhadap pengaruh budaya Bugis. Dalam
perjalanannya, Bock mengunjungi kerajaan
Kutai dan Paser. Dari kunjungan ini diperoleh
kesan perbedaan antara budaya Dayak dan
Melayu. Budaya Dayak mementingkan seni
badaniah (body art) yang menempel pada
tubuhnya, sedang seni Melayu lebih
berkembang, menitikberatkan pada aspek
fungsional di luar dirinya misalnya, hiasan
rumah, keraton, dan sebagainya.
Eksotisme khas budaya Kalimantan
sebenarnya dapat dilihat dan telah direkam
dari kunjungan orang-orang asing yang
singgah atau sengaja mempelajarinya pada
masa lampau sampai sekarang. Namun, hal
ini justru sering luput dari perhatian mereka
yang justru sehari-hari bergulat dan bertemu
dengan komunitas mereka sendiri. Para
ilmuwan asing itu, yaitu para naturalis, etnolog,
atau penguasa kolonial yang tertarik dengan
masalah ini dengan teliti menuliskan
perjalanan dan membuat hal-hal yang
menarik baginya itu dan tak segan-segan
melukiskannya pula di atas kanvas.
E. Perspektif Pariwisata dari Masa Lalu
Dalam dunia pariwisata ada
bermacam-macam jenis wisata. Oleh
Koentjaraningrat, wisata dikategorikan dalam
(1) ketegori pendidikan ilmiah/penelitian yang
mengfokuskan pada spesies langka dan
habitatnya; (2) wisata seni dan budaya; (3)
wisata alam (nature); (4) wisata olah raga; (5)
wisata belanja; (6) wisata kehidupan malam;
dan (7) wisata judi (gambling). Bagi wisatawan
dari Eropa, Amerika, dan Jepang kedatangan
mereka terutama tertarik kepada aspek-aspek
yang bertujuan pada pendidikan ilmiah dan
perhatian pada beberapa spesies langka baik
tanaman maupun binatang, bagaimana
habitatnya, serta tertarik dalam dunia seni
serta budayanya (Koentrajaningrat 1996, 101).
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
241
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Gambar 3. Relik patung totem khas Kalimantan
(Bock 1988)
Gambar 1. Bekantan (Nasalis larvatus) (sumber:
http:bekantanisland.wordpress.com/2008/05/
12/bekantan-proboscis-monkey-nasalislarvatus-lantin)
Gambar 2. kantong semar (Nepentheles
boschiana) (sumber:
http:alamendah.wordoress.com/2010/12/09/
aneka-jenis-species-kantong-semar-aslikalimantan)
242
Gambar 4. Sosok kepala kelompok etnis Dayak
(Long Wahou) (Bock 1988)
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
Bagi Kalimantan, potensi alam dan
lingkungan yang relatif asli masih tersimpan,
khususnya di taman-taman nasional. Di
antaranya, Taman Nasional Gunung Palung
Kabupaten Kayung Utara/Sukadana, Taman
Nasional Danau Sentarum Kapuas Hulu di
Kalimantan Barat; Taman Nasional Kayan
Mentarang Sebangau dan Taman Nasional
Kutai di Kalimantan Timur; Taman Nasional
Bukit Meratus di Kalimantan Selatan; serta
Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman
Nasional Tanjung Puting di Kalimantan
Tengah.
Thomas de Albuquerque Lapa dan
Silvio Mendes Zancheti telah menulis
pentingnya pelestarian alam sekaligus
pelestarian budaya bagi masyarakat urban
dalam arti luas (Lapa dan Zancheti 2003, 19). Dalam mengelola lingkungan alam di atas
perlu adanya integrasi ke dalam penghargaan
terhadap komunitas-komunitas yang
mendiami daerah tersebut. Pengintegrasian
antara pelestarian alam dan budaya di sini,
tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis,
artinya menjaga sekaligus memajukan dan
membangun taraf hidup mereka.
Sebagaimana semangat yang telah
ditunjukkan dalam konferensi internasional
Rio de Jenerio tahun 1992 yang menekankan
perlindungan alam lingkungan, sejalan pula
dengan perlindungan sosial (urban
environment structure), khususnya yang
berada di tengah pelosok-pelosok. Konsep
Integrated Conservation, tidak saja
menekankan perlindungan alam lingkungan,
tetapi juga memadukan unsur-unsur antara
lingkungan budaya (environmental culture)
dan pernik-pernik sejarah masa lalu (historical
features). Lebih lanjut, Zancheti menekankan
di masa datang sumbangan dari ilmuwan
multidisiplin sangat diharapkan, yaitu
sumbangan pemikirannya untuk menerapkan
prinsip Integrated Conservation tersebut.
Dinamika perubahan menuntut kesungguhan
dalam menjaga alam lingkungan dan budaya,
karena akan terus ada persaingan antara
kelompok masyarakat atau agen-agen
perubahan. Langkah-langkah nyata dan
strategi pengelolaan yang terencana sangat
diperlukan untuk mewujudkan persetujuan
tersebut di atas.
Menurut Laurent Loh (2002), sisasisa masa lalu perlu dihadirkan kembali dalam
alam berpikir, ke dalam ide-ide di masa
sekarang. Peninggalan fisik material masa
lalu sejuah mungkin dipertahankan
keasliannya sebagai referensi parameter
budaya yang lebih alami dan universal. Dalam
rangka untuk membangkitkan “ a sense of
continuity” dari perubahan yang dianggap
lebih berhasil. Model yang ditawarkan
mengacu pada post rationalisation yang
menghasilkan model adaptasi penggunaan
kembali peninggalan masa lalu (objek-objek)
yang menghasilkan berbagai hal yang memiliki
penekanan
pada
struktur-struktur
kesejarahan, bukan berpedoman pada formula ekonomi praktis yang mengejar
kesuksesan finansial semata.
Konsep Laurent Loh di atas
dimaksudkan untuk membuat lingkungan
usaha yang lebih baik, yang dapat dilakukan
untuk meredam kecenderungan ide-ide
negatif dalam pemikiran berbisnis dan
pemanfaatan peninggalan masa lalu, yaitu
tidak terlalu mengejar keuntungan keuangan.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin
243
Eksotisme Alam dan Seni Masyarakat Dayak 236-244
F. Penutup
Eksotisme mengandung pengertian
memiliki daya tarik yang khas, belum banyak
dikenal oleh umum, biasanya baru terlihat oleh
orang asing atau dari luar komunitasnya.
Apabila hal ini tidak diberitahukan kepada
pemiliknya, maka cenderung terlupakan,
karena mereka seakan tak peduli karena telah
terbiasa. Padahal potensi demikian ini dapat
dianggap sebagai kekayaan yang tak ternilai.
Sebagaimana benda-benda seni masa lalu
yang dikategorikan sebagai benda cagar
budaya (BCB) sangat berpotensi
mendatangkan orang untuk berkunjung ke
daerah ini di kemudian hari. Perlindungan
unsur asli, indigenous, ini perlu segera
dilakukan dan perlu segera dikembangkan
oleh komunitas tersebut sebelum dijarah oleh
bangsa lain, dan celakanya akan diakui milik
bangsa tersebut. Peran Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata di kabupaten-kabupaten
beserta instansi terkait menjadi ujung tombak
dalam peran menjaga kekayaan ini.
Kekuatan nilai kekhasan Indonesia
(baca Kalimantan) dalam hal cakupan seni
secara luas, alam lingkungan dan unsur di
dalamnya menawarkan dalam pembangunan
yang berwawasan eko-budaya. Hal ini
selayaknya menjadi ikon semangat
pembangunan yang spesifik bagi Kalimantan,
untuk menarik wisatawan asing.
Referensi
Anonim. 1991. Kamus umum Bahasa
Indonesia (KUBBI) edisi ke-2.
Jakarta:
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Bock, Carl. 1988. The head-hunters of Borneo.
Singapore: Graham Brash.
Fagan, Brian. 1992. In the beginning an
introduction to archaeology
Boston: Little, Brown and
Company
Koentjaraningrat. 1996. Antropological
aspects of cultural tourism.
Proceding of the International
Converence on Tourism and
Haritage Management (ICCT).
Yogyakarta, 101-104.
244
Loh, Laurance. 2002. New use- old fit. The
International Conferenceon.
The Conservation of Urban
Heritage : Macoau Vision.
Macao: Cultural Institud of the
Macao SAR, 140-146.
Lapa, Thomas de Albuquerque dan Silvo
Mendez Zancheti. 2003.
Integratedteritorial and urban
conservation managemen of
the integrated cultural Heritage.
Recife, Brazil: UFPE.
Wallace, Alfred R. 2000. Menjelajah nusantara
ekspedisi: Alfred Russel Wallace
abad-19. Bandung: Roda
Karya.
Naditira Widya Vol. 4 No. 2/2010- Balai Arkeologi Banjarmasin