GLOBALISASI DAN media perspektif PEMUDA
GLOBALISASI DAN PEMUDA
Di tengah derasnya arus globalisasi ada satu hal yang patut dipertanyakan. Sudah sejauh
manakah peran muda-mudi dalam usaha pelestarian budayanya ? Pertanyaan ini terkesan remeh,
namun bukan berarti mudah untuk dijawab atapun bukan berarti tidak bermakna apapun.
Pertanyaan remeh seperti inilah yang seharusnya kita cari jawabannya lebih-lebih pada era
globalisasi saat ini. Pemuda sebagai tonggak berdirinya suatu negara memegang peranan penting
dalam menciptakan budaya kolektif bangsa. Yang menarik ,sejauh soal ini, kaum muda Indonesia
bukannya tanpa histori (Susanto:2008). Kita tentu saja mengenal para tokoh-tokoh kemerdekaan,
para pemuda mempunyai peranan yang sangat penting dalam terciptanya kemerdekaan saat itu.
Tanpa pergerakan kepemudaan seperti Sumpah Pemuda tentu saja tidak dapat dibayangkan
adanya kemerdekaan seperti saat ini. Oleh karenanya, untuk menciptakan sebuah transformasi
progresif tidak cukup hanya dibekali dengan pemahaman kontekstual melainkan juga
memperhatikan nilai-nilai sejarah. Untuk tujuan ini, secara berturut-turut dibahas; sentralitas
konsepsi manusia situasi dalam gagasan kesinambungan budaya; pengaruh atomisasi globalisasi
bagi kemungkinan-kemungkinan krisi manusia situasi, serta peran yang krusial diupayakan
pemuda sebagai peziarah budaya (Susanto:2008).
Kesinambungan budaya atau cultural sustainability sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
konsep pelestarian budaya yang sering kita kenal. Namun penggunaan kata kesinambungan
budaya ini dianggap lebih luas maknanya dari sekedar pelestarian budaya. Pusat dari
kesinambungan budaya ini sendiri adalah konsepsi manusia situasi atau situated-man. Dalam
konsep manusia situasi, individu bukan partikel sosial yang melayang bebas, melainkan tertambat
dalam jalinan rumit situasi (Susanto:2008). Dengan rumitnya situasi yang ada tersebut akan
menciptakan pengalaman-pengalaman yang berbeda dari tiap-tiap individu, oleh karena itu akan
terbentuk suatu ciri khas individu sebagai manusia situasi.
Kesinambungan budaya merupakan hasil dari modernitas. Hal ini merupakan hasil upaya Barat
dalam menghubungkan kultur masa lampau dengan keadaan saat ini. Upaya ini bukan merupakan
upaya yang copycatmelainkan lebih kepada sebuah upaya renaissance yang sifatnya hidup,
dinamis, dan multi-interpretatif. Kondisi ini (renaissance) dapat ditemui pada masa pasca revolusi
Prancis yang telah meletakkan standar-standar bagi masyarakat modern saat ini.
Kesinambungan budaya ini juga berkaitan dengan apa yang dinamakan “nasionalisme”.
Nasionalisme telah ada sejak masa lampau seperti Nasionalisme Jerman di era Third Reich dan
Republik Kelima Prancis. Nasionalisme ini juga harus dipahami sebagai sebuah gagasan progresif
yang mempunyai arti penting dalam kesinambungan budaya dan konsep manusia situasi.
Mengapa demikian ? Karena manusia hidup dalam suatu budaya dimana budaya tersebut
mempunyai kontribusi bagi kemajuan umat manusia. Nasionalisme disini berdiri sebagai
“kerangka” bagi terciptanya kesinambungan budaya ini.
Di era kontemporer saat ini semakin tampak keterkaitan manusia situasi dengan kesinambungan
budaya. Lebih maju lagi, keterkaitan kesinambungan budaya dan fitrah manusia situasi secara
lebih canggih direvitalisasi dalam suatu konsep turunan yang kuat, yakni right to cultureatau ‘hak
atas budaya’. (Susanto:2008). Sampai saat ini, right to culture telah menempatkan kembali
semangat renaissance yang hidup, dinamis, dan interpretatif.
Namun di era globalisasi saat ini terjadi suatu ironi berupa semakin terciptanya ‘krisis manusia
situasi’. Manusia akan menjadi semakin teratomisasi, otonomi aksi semakin memasuki ranah
privasi, serta manusia akan cenderung untuk membentuk masyarakat kosmopolitanisme global
dimana akan terbentuk komunitas umat manusia yang mendunia. Kosmopolitanisme ini
mempunyai pengaruh yang besar bagi terciptanya atomisasi dimana manusia tidak lagi terikat
dengan komunitas dan tradisi lingkungan sekitarnya. Namun, telah menjadi bagian dari suatu
komunitas global.
Dalam era globalisasi kemudian muncul istilah network society yang dicetuskan oleh Manuel
Castells. Perekonomian akan menjadi semakin mobiledengan perkembangan teknologi. Akibatnya
akan terbentuk suatu perubahan sosial baru yang bersifat networking, fleksibel, dan koordinatif.
Setelah itu batas-batas kaku keanggotaan akan memudar, pola-pola keterhubungan sosial
semakin terindividualisasi, serta tereduksinya keterikatan kolot pada kerja, ruang, dan waktu
(Susanto:2008). Namun, ketika keanggotaan mulai memudar mengakibatkan manusia terjebak
dalam krisis identitas. Individu yang sudah terlanjur menarik dirinya dari akar sosial
lingkungannya dan tidak kunjung mendapat identitas baru di dalam kancah global akan menjadi
terperangkap dalam dua kemungkinan situasi yaitu situasi defensif pembelaan tradisi
(fundamentalisme) dan situasi global anomie (vagabondisme).
Fundamentalisme berbeda dengan tradisionalisme. Tradisionalisme hanyalah sebatas purifikasi
tradisi
sementara
fundamentalisme
merupakan
konstektualitas
puritanisme
tradisi.
Vagabondisme juga berbeda dengan tourisme. Tourisme dapat dimengerti sebagai individu yang
berkelana atas keinginan sendiri, sementara dalam vagabondisme individu berkelana karena
tidak mempunyai pilihan. Vagabondisme tidak memiliki identitas, tidak memiliki asal. Maka dapat
dikatakan seorang vagabond adalah seorang “global anomie”.
Kemudian bagaimana peran pemuda dalam mengatasi problem kesinambungan budaya ? Pemuda
disini dipahami terlebih dahulu bukan merupakan hal yang terkait dengan usia. Melainkan
kategori sosiologis yang melekat pada suatu generasi antara dengan “perziarahan kultural
menuju kedewasaan” sebagai ciri utama. (Susanto:2008). Muda merupakan sebuah proses
pencarian jati-diri. Dalam banyak tradisi, upaya pencarian jatidiri pemuda dilekatkan dalam suatu
penerimaan umum terhadap arti penting penziarahan kultural (Susanto:2008). Menariknya, jika
ditarik kembali sejak masa seratus tahun yang lalu, pemuda menyediakan momentum sekaligus
energi bagi terciptanya perubahan. Seperti yang terjadi di Indonesia. Sumpah Pemuda 1928, Aksi
Tritura 1966, hingga reformasi 1998, semuanya membawa peran pemuda yang begitu besar di
dalamnya. Seolah-olah dibalik semua transformasi yang terjadi di Indonesia kaum muda pastilah
memegang peranan yang begitu penting. Maka dari itu untuk mengatasi problem kesinambungan
budaya , kaum muda seharusnya tidak lagi berpikir secara kontekstual tetapi juga memperhatikan
nilai-nilai sejarah masa lampau.
Sumber :
Mjk’s Papyrus, 2008. “Globalisasi Pemuda dan Kesinambungan Budaya” [online].
dalam http://jsusanto.blogspot.com/2009/02/globalisasi-pemuda-dan-kesinambungan_2122.html [d
iakses 4 Juni 2012].
Pemuda merupakan generasi penerus Bangsa yang di harapkan mampu menjawab
persoalan-persoalan dan juga tantangan-tantangan Bangsa yang kian hari semakin rumit.
Namun seiring berjalannya waktu peran pemuda khususnya mahasiswa di Indonesia kian
meredup, hal ini terbukti dengan semakin apatisnya para mahasiswa melihat kondisi yang
terjadi di sekitar mereka. Fenomena semacam ini memang sudah lumrah terjadi di era
globalisasi yang terus berkembang seperti saat ini, karena pengaruh yang di berikan oleh
globalisasi, dengan atau tidak sadar akan membuat pola pikir mahasiswa bergeser, dari
yang seharusnya sosialis menjadi individualis, seharusnya ideologis menjadi pragmatis.
Sebagai mahasiswa seharusnya hal semacam itu tidak boleh terjadi pada kita, karena apa?
Karena apabila hal itu terjadi kita tidak lagi pantas menyandang gelar “maha” di depan kata
siswa, sekali lagi coba kita resapi apa makna kata maha, dan kenapa kata itu disandangkan
kepada kita, orang-orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi? Di luar negeri tidak ada
gelar maha di depan kata siswa, hanya di Idonesia hal itu diberikan. Pemberian kata maha
di depan kata siswa menunjukkan adanya harapan dari rakyat Indonesia terhadap kita para
mahasiswa, karena hanya kepada sang mahalah rakyat Indonesia menaruh harapan dan
menggantungkan masa depan mereka, maha-maha itu adalah pertama sang Maha
Segalanya atau Tuhan dan yang kedua yaitu kita sang “maha”siswa, jadi ketika status kita
telah berubah menjadi mahasiswa maka beban tanggungjawab yang kita embanpun
bertambah, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri, Tuhan, orang tua, kita juga
bertanggungjawab terhadap Nusa dan Bangsa Indonesia. Karena itu sudah semestinya para
mahasiswa untuk tetap menjadi kaum – kaum yang idealis yang bebas dari kepentingan
pihak-pihak tertentu dan juga mampu mempertahankan ideologi dari gempuran arus
globalisasi.
Berbicara mengenai globalisasi penting untuk kita ketahui apakah
sebenarnya globalisasi itu? Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang
maknanya ialahuniversal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi
adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri
dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi
belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working
definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau
proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negaradi dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru
atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas
geografis, ekonomidan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat
globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negaranegara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain
adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara
yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan
negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain
seperti budaya dan agama.
Melihat perkembangan dari globalisasi saat ini mungkin pengertian
globalisasi yang paling tepat untuk digunakan adalah pengertian yang
kedua ( globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling
mutakhir ). Di masa lalu, untuk menjamin tersedianya bahan baku dan
pasar bagi barang-barang yang di produksinya, maka kapitalisme berubah
bentuk menjadi “imperialisme” dan “kolonialisme”. Dengan cara
menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri
itu sebagai jajahan atau koloninya, maka kaum kapitalis bisa secara paksa
membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah dan sebaliknya,
bisa menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi. Cara ini
terbukti telah mengakibatkan terjadinya penghisapan dan penindasan yang
tiada tara kejamnya. Dalam konteks Indonesia hal inilah yang menjadi
sebab musabab mengapa pemuda di republik ini bangkit melawan
kolonialisme dan berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Caracara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme sudah
barang tentu tidak bisa lagi di lakukan sekarang. Selain sudah ketinggalan
jaman, cara semacam itu juga dianggap tidak beradab dan bertentangan
dengan hak asasi manusia yang di akui sebagai hak universal. Oleh
karena itu, diperlukan cara baru yang lebih canggih, lebih elegan, dan
seolah-olah lebih manusiawi. Dan cara itu dirumuskan oleh kaum
neoliberal sebagai globalisasi dan pasar bebas.
Akan tetapi, sama halnya dengan bentuknya yang lama – imperialisme dan
kolonialisme – , kapitalisme bentuk baru sekarang ini – globalisasi dan
pasar bebas – sudah hampir dipastikan akan juga menghasilkan
penghisapan dan penindasan. Dan, seperti dikatakan di atas, bentuk
penghisapan dan penindasan itu lebih canggih, sehingga seringkali
membuat orang yang tertindas sendiri merasa senang dan bahagia.
Selanjutnya kemampuan propaganda yang begitu hebat dan canggih dari
kaum neoliberal ternyata telah menjadikan globalisasi dan pasar bebas
sebagai sesuatu yang sangat populer dan dianggap sebagai sesuatu yang
sangat indah bagi kebanyakan orang, terutama para tokoh politik dan
pimpinan negara termasuk di Indonesia. Dengan ikut menyebut-nyebutkan
gagasan itu, ditimbulkan kesan dan perasaan yang menempatkan mereka
dalam posisi sebagai orang yang tanggap akan perkembangan
jaman,sebagai orang yang mengerti persoalan dan berpikiran maju.
Begitu hebatnya propaganda kaum neoliberal itu, maka bahaya yang
sangat besar dan sudah ada di depan mata menjadi tidak tampak sama
sekali. Seperti misalnya, bahaya persaingan bebas yang hanya akan
memenangkan pihak yang kuat saja, dan pada tahap berikutnya akan
menjadikan jenjang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin semakin
lebar, sama sekali luput dari perhatian mahasiswa. Sekaliput kita sering kali
mengkhawatirkan bahaya kesenjangan tersebut, namun dalam konteks
globalisasi dan pasar bebas, bahaya tersebut seolah-olah hilang sirna
dengan sendirinya. Bahaya proses free-fight competition and survival of
the fittest ( persaingan bebas yang hanya akan memenangkan pihak yang
kuat ) dan berbagai akibat turutannya, seperti proses akumulasi dan
sentralisasi kapital serta proses proletarisasi kekuatan ekonomi lemah dan
menengah yang merupakan bahaya dasar dari kapitalisme luput dari
perhatian mahasiswa.
Sebagai kaum intelektual, seharusnya mahasiswa tidak mudah termakan
oleh propaganda-propaganda kaum kapitalis yang berkedok globalisasi,
memang globalisasi memberikan manfaat yang banyak terhadap
kehidupan kita sekarang terutama dalam bidang informasi, namun sekali
lagi apabila kita tidak pandai-pandai untuk memilah-milah, maka yang akan
terjadi adalah justru kita terjebak dalam arus dan menjadi orang yang
apatis serta hedonis seperti yang sekarang tengah terjadi di kalangan
mahasiswa sekarang ini. Demi melanggengkan apa yang kita sebut
globalisasi banyak hal di lakukan oleh para kaum kapitalis untuk
membumkam pemikiran kritis para pemuda terutama para mahasiswa,
yaitu dengan melakukan penjajahan terhadap pemikiran melalui berbagai
cara yang terbukti ampuh seperti melalui film-film, produk-produk dan
berbagai hal lainnya yang mampu membuat pemuda kehilangan jati
dirinya.
Sebagai pemuda yang masih mempunyai idealisme, seharusnya kita
mampu menjadi garda terdepan dalam membendung pengaruh negatif dari
globalisasi terhadap Bangsa Indonesia, karena hanya orang yang
mempunyai idealismelah yang mampu mempertahankan jati diri kita yang
sebenarnya, jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang besar, bangsa yang
gemar akan gotong royong, bangsa yang suka akan kerja keras, bukan
bangsa yang mudah terpecah belah dan konsumtif seperti saat ini.
Dalam kehidupan dalam organisasi-organisasi di dalam kampus pun, ruh
pergerakan mahasiswa telah hilang, hanya eksistensilah yang menonjol
dari apa yang dilakukan para mahasiswa dalam organisasi kampus yang
sekarang ada seperti BEM, Senat Mahasiswa, maupun organisasiorganisasi yang lainnya. Esensi organisasi intrakampus lambat laun mulai
hilang, kultur-kultur pergerakan yang progresif revolutionare mulai tergerus
oleh jaman, hilang dan di gantikan dengan stagnansi pergerakan
mahasiswa. Kampus sebagai gambaran negara dalam bentuk kecil telah
berganti sebagai tempat berkumpul dan belajar, jarang sekali ada
mahasiswa kritis yang mau mengkritisi berbagai hal yang terjadi.
Sudah saatnya pemuda baangun, sudah saatnya mahasiswa kembali ke
rel nya yang sebenar-benarnya relnya mahasiswa, salah satu bapak
proklamator kita yaitu bung karno sering berpidato kepada para mahasiswa
yang salah satunya adalah HILANGKAN STERILITEIT
DALAM GERAKAN MAHASISWA yang banyak memberikan pesan kepada
kita para mahasiswa bagaimana kita seharusnya berbuat dan bertindak,
ingat juga kata-kata beliau “Beri aku seribu orang, dan dengan
mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Tapi berilahaku sepuluh
pemudabersemangat, maka aku akan mengguncang dunia. Lihat betapa
besar asa yang di usung oleh para pemuda, bahkan dengan semangat
mereka yang bersepuluh mampu mengalahkan seribu orang. Wahai para
pemuda, wahai para mahasiswa begitu besar asa yang kalian usung dan
jalan yang ada memang tak mudah namun dengan semangat, idealisme
dan pemikiran kritis pastilah hal itu dapat kita lalui besama.
Di tengah derasnya arus globalisasi ada satu hal yang patut dipertanyakan. Sudah sejauh
manakah peran muda-mudi dalam usaha pelestarian budayanya ? Pertanyaan ini terkesan remeh,
namun bukan berarti mudah untuk dijawab atapun bukan berarti tidak bermakna apapun.
Pertanyaan remeh seperti inilah yang seharusnya kita cari jawabannya lebih-lebih pada era
globalisasi saat ini. Pemuda sebagai tonggak berdirinya suatu negara memegang peranan penting
dalam menciptakan budaya kolektif bangsa. Yang menarik ,sejauh soal ini, kaum muda Indonesia
bukannya tanpa histori (Susanto:2008). Kita tentu saja mengenal para tokoh-tokoh kemerdekaan,
para pemuda mempunyai peranan yang sangat penting dalam terciptanya kemerdekaan saat itu.
Tanpa pergerakan kepemudaan seperti Sumpah Pemuda tentu saja tidak dapat dibayangkan
adanya kemerdekaan seperti saat ini. Oleh karenanya, untuk menciptakan sebuah transformasi
progresif tidak cukup hanya dibekali dengan pemahaman kontekstual melainkan juga
memperhatikan nilai-nilai sejarah. Untuk tujuan ini, secara berturut-turut dibahas; sentralitas
konsepsi manusia situasi dalam gagasan kesinambungan budaya; pengaruh atomisasi globalisasi
bagi kemungkinan-kemungkinan krisi manusia situasi, serta peran yang krusial diupayakan
pemuda sebagai peziarah budaya (Susanto:2008).
Kesinambungan budaya atau cultural sustainability sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
konsep pelestarian budaya yang sering kita kenal. Namun penggunaan kata kesinambungan
budaya ini dianggap lebih luas maknanya dari sekedar pelestarian budaya. Pusat dari
kesinambungan budaya ini sendiri adalah konsepsi manusia situasi atau situated-man. Dalam
konsep manusia situasi, individu bukan partikel sosial yang melayang bebas, melainkan tertambat
dalam jalinan rumit situasi (Susanto:2008). Dengan rumitnya situasi yang ada tersebut akan
menciptakan pengalaman-pengalaman yang berbeda dari tiap-tiap individu, oleh karena itu akan
terbentuk suatu ciri khas individu sebagai manusia situasi.
Kesinambungan budaya merupakan hasil dari modernitas. Hal ini merupakan hasil upaya Barat
dalam menghubungkan kultur masa lampau dengan keadaan saat ini. Upaya ini bukan merupakan
upaya yang copycatmelainkan lebih kepada sebuah upaya renaissance yang sifatnya hidup,
dinamis, dan multi-interpretatif. Kondisi ini (renaissance) dapat ditemui pada masa pasca revolusi
Prancis yang telah meletakkan standar-standar bagi masyarakat modern saat ini.
Kesinambungan budaya ini juga berkaitan dengan apa yang dinamakan “nasionalisme”.
Nasionalisme telah ada sejak masa lampau seperti Nasionalisme Jerman di era Third Reich dan
Republik Kelima Prancis. Nasionalisme ini juga harus dipahami sebagai sebuah gagasan progresif
yang mempunyai arti penting dalam kesinambungan budaya dan konsep manusia situasi.
Mengapa demikian ? Karena manusia hidup dalam suatu budaya dimana budaya tersebut
mempunyai kontribusi bagi kemajuan umat manusia. Nasionalisme disini berdiri sebagai
“kerangka” bagi terciptanya kesinambungan budaya ini.
Di era kontemporer saat ini semakin tampak keterkaitan manusia situasi dengan kesinambungan
budaya. Lebih maju lagi, keterkaitan kesinambungan budaya dan fitrah manusia situasi secara
lebih canggih direvitalisasi dalam suatu konsep turunan yang kuat, yakni right to cultureatau ‘hak
atas budaya’. (Susanto:2008). Sampai saat ini, right to culture telah menempatkan kembali
semangat renaissance yang hidup, dinamis, dan interpretatif.
Namun di era globalisasi saat ini terjadi suatu ironi berupa semakin terciptanya ‘krisis manusia
situasi’. Manusia akan menjadi semakin teratomisasi, otonomi aksi semakin memasuki ranah
privasi, serta manusia akan cenderung untuk membentuk masyarakat kosmopolitanisme global
dimana akan terbentuk komunitas umat manusia yang mendunia. Kosmopolitanisme ini
mempunyai pengaruh yang besar bagi terciptanya atomisasi dimana manusia tidak lagi terikat
dengan komunitas dan tradisi lingkungan sekitarnya. Namun, telah menjadi bagian dari suatu
komunitas global.
Dalam era globalisasi kemudian muncul istilah network society yang dicetuskan oleh Manuel
Castells. Perekonomian akan menjadi semakin mobiledengan perkembangan teknologi. Akibatnya
akan terbentuk suatu perubahan sosial baru yang bersifat networking, fleksibel, dan koordinatif.
Setelah itu batas-batas kaku keanggotaan akan memudar, pola-pola keterhubungan sosial
semakin terindividualisasi, serta tereduksinya keterikatan kolot pada kerja, ruang, dan waktu
(Susanto:2008). Namun, ketika keanggotaan mulai memudar mengakibatkan manusia terjebak
dalam krisis identitas. Individu yang sudah terlanjur menarik dirinya dari akar sosial
lingkungannya dan tidak kunjung mendapat identitas baru di dalam kancah global akan menjadi
terperangkap dalam dua kemungkinan situasi yaitu situasi defensif pembelaan tradisi
(fundamentalisme) dan situasi global anomie (vagabondisme).
Fundamentalisme berbeda dengan tradisionalisme. Tradisionalisme hanyalah sebatas purifikasi
tradisi
sementara
fundamentalisme
merupakan
konstektualitas
puritanisme
tradisi.
Vagabondisme juga berbeda dengan tourisme. Tourisme dapat dimengerti sebagai individu yang
berkelana atas keinginan sendiri, sementara dalam vagabondisme individu berkelana karena
tidak mempunyai pilihan. Vagabondisme tidak memiliki identitas, tidak memiliki asal. Maka dapat
dikatakan seorang vagabond adalah seorang “global anomie”.
Kemudian bagaimana peran pemuda dalam mengatasi problem kesinambungan budaya ? Pemuda
disini dipahami terlebih dahulu bukan merupakan hal yang terkait dengan usia. Melainkan
kategori sosiologis yang melekat pada suatu generasi antara dengan “perziarahan kultural
menuju kedewasaan” sebagai ciri utama. (Susanto:2008). Muda merupakan sebuah proses
pencarian jati-diri. Dalam banyak tradisi, upaya pencarian jatidiri pemuda dilekatkan dalam suatu
penerimaan umum terhadap arti penting penziarahan kultural (Susanto:2008). Menariknya, jika
ditarik kembali sejak masa seratus tahun yang lalu, pemuda menyediakan momentum sekaligus
energi bagi terciptanya perubahan. Seperti yang terjadi di Indonesia. Sumpah Pemuda 1928, Aksi
Tritura 1966, hingga reformasi 1998, semuanya membawa peran pemuda yang begitu besar di
dalamnya. Seolah-olah dibalik semua transformasi yang terjadi di Indonesia kaum muda pastilah
memegang peranan yang begitu penting. Maka dari itu untuk mengatasi problem kesinambungan
budaya , kaum muda seharusnya tidak lagi berpikir secara kontekstual tetapi juga memperhatikan
nilai-nilai sejarah masa lampau.
Sumber :
Mjk’s Papyrus, 2008. “Globalisasi Pemuda dan Kesinambungan Budaya” [online].
dalam http://jsusanto.blogspot.com/2009/02/globalisasi-pemuda-dan-kesinambungan_2122.html [d
iakses 4 Juni 2012].
Pemuda merupakan generasi penerus Bangsa yang di harapkan mampu menjawab
persoalan-persoalan dan juga tantangan-tantangan Bangsa yang kian hari semakin rumit.
Namun seiring berjalannya waktu peran pemuda khususnya mahasiswa di Indonesia kian
meredup, hal ini terbukti dengan semakin apatisnya para mahasiswa melihat kondisi yang
terjadi di sekitar mereka. Fenomena semacam ini memang sudah lumrah terjadi di era
globalisasi yang terus berkembang seperti saat ini, karena pengaruh yang di berikan oleh
globalisasi, dengan atau tidak sadar akan membuat pola pikir mahasiswa bergeser, dari
yang seharusnya sosialis menjadi individualis, seharusnya ideologis menjadi pragmatis.
Sebagai mahasiswa seharusnya hal semacam itu tidak boleh terjadi pada kita, karena apa?
Karena apabila hal itu terjadi kita tidak lagi pantas menyandang gelar “maha” di depan kata
siswa, sekali lagi coba kita resapi apa makna kata maha, dan kenapa kata itu disandangkan
kepada kita, orang-orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi? Di luar negeri tidak ada
gelar maha di depan kata siswa, hanya di Idonesia hal itu diberikan. Pemberian kata maha
di depan kata siswa menunjukkan adanya harapan dari rakyat Indonesia terhadap kita para
mahasiswa, karena hanya kepada sang mahalah rakyat Indonesia menaruh harapan dan
menggantungkan masa depan mereka, maha-maha itu adalah pertama sang Maha
Segalanya atau Tuhan dan yang kedua yaitu kita sang “maha”siswa, jadi ketika status kita
telah berubah menjadi mahasiswa maka beban tanggungjawab yang kita embanpun
bertambah, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri, Tuhan, orang tua, kita juga
bertanggungjawab terhadap Nusa dan Bangsa Indonesia. Karena itu sudah semestinya para
mahasiswa untuk tetap menjadi kaum – kaum yang idealis yang bebas dari kepentingan
pihak-pihak tertentu dan juga mampu mempertahankan ideologi dari gempuran arus
globalisasi.
Berbicara mengenai globalisasi penting untuk kita ketahui apakah
sebenarnya globalisasi itu? Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang
maknanya ialahuniversal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi
adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri
dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi
belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working
definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau
proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negaradi dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru
atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas
geografis, ekonomidan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat
globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negaranegara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain
adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara
yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan
negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain
seperti budaya dan agama.
Melihat perkembangan dari globalisasi saat ini mungkin pengertian
globalisasi yang paling tepat untuk digunakan adalah pengertian yang
kedua ( globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling
mutakhir ). Di masa lalu, untuk menjamin tersedianya bahan baku dan
pasar bagi barang-barang yang di produksinya, maka kapitalisme berubah
bentuk menjadi “imperialisme” dan “kolonialisme”. Dengan cara
menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri
itu sebagai jajahan atau koloninya, maka kaum kapitalis bisa secara paksa
membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah dan sebaliknya,
bisa menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi. Cara ini
terbukti telah mengakibatkan terjadinya penghisapan dan penindasan yang
tiada tara kejamnya. Dalam konteks Indonesia hal inilah yang menjadi
sebab musabab mengapa pemuda di republik ini bangkit melawan
kolonialisme dan berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Caracara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme sudah
barang tentu tidak bisa lagi di lakukan sekarang. Selain sudah ketinggalan
jaman, cara semacam itu juga dianggap tidak beradab dan bertentangan
dengan hak asasi manusia yang di akui sebagai hak universal. Oleh
karena itu, diperlukan cara baru yang lebih canggih, lebih elegan, dan
seolah-olah lebih manusiawi. Dan cara itu dirumuskan oleh kaum
neoliberal sebagai globalisasi dan pasar bebas.
Akan tetapi, sama halnya dengan bentuknya yang lama – imperialisme dan
kolonialisme – , kapitalisme bentuk baru sekarang ini – globalisasi dan
pasar bebas – sudah hampir dipastikan akan juga menghasilkan
penghisapan dan penindasan. Dan, seperti dikatakan di atas, bentuk
penghisapan dan penindasan itu lebih canggih, sehingga seringkali
membuat orang yang tertindas sendiri merasa senang dan bahagia.
Selanjutnya kemampuan propaganda yang begitu hebat dan canggih dari
kaum neoliberal ternyata telah menjadikan globalisasi dan pasar bebas
sebagai sesuatu yang sangat populer dan dianggap sebagai sesuatu yang
sangat indah bagi kebanyakan orang, terutama para tokoh politik dan
pimpinan negara termasuk di Indonesia. Dengan ikut menyebut-nyebutkan
gagasan itu, ditimbulkan kesan dan perasaan yang menempatkan mereka
dalam posisi sebagai orang yang tanggap akan perkembangan
jaman,sebagai orang yang mengerti persoalan dan berpikiran maju.
Begitu hebatnya propaganda kaum neoliberal itu, maka bahaya yang
sangat besar dan sudah ada di depan mata menjadi tidak tampak sama
sekali. Seperti misalnya, bahaya persaingan bebas yang hanya akan
memenangkan pihak yang kuat saja, dan pada tahap berikutnya akan
menjadikan jenjang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin semakin
lebar, sama sekali luput dari perhatian mahasiswa. Sekaliput kita sering kali
mengkhawatirkan bahaya kesenjangan tersebut, namun dalam konteks
globalisasi dan pasar bebas, bahaya tersebut seolah-olah hilang sirna
dengan sendirinya. Bahaya proses free-fight competition and survival of
the fittest ( persaingan bebas yang hanya akan memenangkan pihak yang
kuat ) dan berbagai akibat turutannya, seperti proses akumulasi dan
sentralisasi kapital serta proses proletarisasi kekuatan ekonomi lemah dan
menengah yang merupakan bahaya dasar dari kapitalisme luput dari
perhatian mahasiswa.
Sebagai kaum intelektual, seharusnya mahasiswa tidak mudah termakan
oleh propaganda-propaganda kaum kapitalis yang berkedok globalisasi,
memang globalisasi memberikan manfaat yang banyak terhadap
kehidupan kita sekarang terutama dalam bidang informasi, namun sekali
lagi apabila kita tidak pandai-pandai untuk memilah-milah, maka yang akan
terjadi adalah justru kita terjebak dalam arus dan menjadi orang yang
apatis serta hedonis seperti yang sekarang tengah terjadi di kalangan
mahasiswa sekarang ini. Demi melanggengkan apa yang kita sebut
globalisasi banyak hal di lakukan oleh para kaum kapitalis untuk
membumkam pemikiran kritis para pemuda terutama para mahasiswa,
yaitu dengan melakukan penjajahan terhadap pemikiran melalui berbagai
cara yang terbukti ampuh seperti melalui film-film, produk-produk dan
berbagai hal lainnya yang mampu membuat pemuda kehilangan jati
dirinya.
Sebagai pemuda yang masih mempunyai idealisme, seharusnya kita
mampu menjadi garda terdepan dalam membendung pengaruh negatif dari
globalisasi terhadap Bangsa Indonesia, karena hanya orang yang
mempunyai idealismelah yang mampu mempertahankan jati diri kita yang
sebenarnya, jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang besar, bangsa yang
gemar akan gotong royong, bangsa yang suka akan kerja keras, bukan
bangsa yang mudah terpecah belah dan konsumtif seperti saat ini.
Dalam kehidupan dalam organisasi-organisasi di dalam kampus pun, ruh
pergerakan mahasiswa telah hilang, hanya eksistensilah yang menonjol
dari apa yang dilakukan para mahasiswa dalam organisasi kampus yang
sekarang ada seperti BEM, Senat Mahasiswa, maupun organisasiorganisasi yang lainnya. Esensi organisasi intrakampus lambat laun mulai
hilang, kultur-kultur pergerakan yang progresif revolutionare mulai tergerus
oleh jaman, hilang dan di gantikan dengan stagnansi pergerakan
mahasiswa. Kampus sebagai gambaran negara dalam bentuk kecil telah
berganti sebagai tempat berkumpul dan belajar, jarang sekali ada
mahasiswa kritis yang mau mengkritisi berbagai hal yang terjadi.
Sudah saatnya pemuda baangun, sudah saatnya mahasiswa kembali ke
rel nya yang sebenar-benarnya relnya mahasiswa, salah satu bapak
proklamator kita yaitu bung karno sering berpidato kepada para mahasiswa
yang salah satunya adalah HILANGKAN STERILITEIT
DALAM GERAKAN MAHASISWA yang banyak memberikan pesan kepada
kita para mahasiswa bagaimana kita seharusnya berbuat dan bertindak,
ingat juga kata-kata beliau “Beri aku seribu orang, dan dengan
mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Tapi berilahaku sepuluh
pemudabersemangat, maka aku akan mengguncang dunia. Lihat betapa
besar asa yang di usung oleh para pemuda, bahkan dengan semangat
mereka yang bersepuluh mampu mengalahkan seribu orang. Wahai para
pemuda, wahai para mahasiswa begitu besar asa yang kalian usung dan
jalan yang ada memang tak mudah namun dengan semangat, idealisme
dan pemikiran kritis pastilah hal itu dapat kita lalui besama.