BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Implementasi Sistem Pelayanan Anak Autis Dalam Mencapai Kemandirian di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

2.1.1 Pengertian Implementai

  Pengertian implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan atau penerapan. Dalam hal ini, implementasi diartikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan suatu program ataupun kebijakan yang telah dirancang atau didesain dan dijalankan secara keseluruhan.

  Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata. Van Master dan Van Horn (dalam Wahab 2002), merumuskan proses implementsi atau pelaksanaan sebagai berikut: “Tindakan- tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok- kelompok pemerintah/swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tunuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Sedangkan implementasi dalam pengertian luas adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan. Dan dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan.

  Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, kemudian program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap untuk proses pelaksanaanya dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tesebut telah dimuat berbagai aspek antara lain: 1. Adanya tujuan yang inigin dicapai.

  2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan itu.

  3. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

  4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

  5. Adanya strategi dalam pelaksanaan.

2.2 Pelayanan

2.2.1 Pengertian Pelayanan

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelayanan adalah sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Selain itu, pengertian pelayanan menurut Kotler dalam Laksana (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yanga dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.

  Sementara itu, menurut Lovelock, Petterson & Walker dalam Tjiptono (2005) mengemukakan perspektif pelayanan sebagai sebuah sistem, dimana setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama: (1) operasai jasa; dan (2) penyampaian jasa.

  Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan merupakan suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu diberikan kepada orang lain.

2.2.2 Sistem Pelayanan Sosial

  Sistem pelayanan sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada klien dalam mencapai tujuan tertentu. Pelayanan sosial adalah salah satu bentuk kebijakan sosial yang ditujukan untuk mempromosikan kesejahteraan. Namun demikian, pemberian pelayanan sosial bukan merupakan satu-satunya strategi untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang atau masayarakat, Ia hanyalah salah satu strategi kebijakan sosial dalam mencapai tujuannya.

  Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya. Perlu dibedakan dua macam pengertian pelayanan sosial, yaitu: 1.

  Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

  2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992:41).

  Luasnya konsepsi mengenai pelayanan-pelayanan sosial sebagaimana dikemukakan Romanyshyn 1971, bahwa pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat.

2.2.3 Fungsi Sistem Pelayanan Sosial

  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

  1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat.

  2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.

  3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian.

  4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat, untuk tujuan pembangunan.

  5. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisir dapat berfungsi.

  Sementara Ricart M. Titmus dalam Muhidin (1992: 43) mengemukakan fungsi pelayanan sosial di tinjau dari perspektif masyarakat sebagai berikut :

  1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok dan masyarakat untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

  2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang di perlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (suatu program tenaga kerja).

  3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk melindungi masyarakat.

  Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat pelayanan sosial (misalnya kompensasi kecelakaan industri dan lainya). Sedangkan Alfred J. Khan dalam Muhidin (1992: 43) menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah:

  1. Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan.

  2. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi.

  3. Pelayanan akses. Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program- program pemeliharaan, pendidikan (non formal), dan pengembangan. Tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak.

  Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan pada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.

  Adanya berbagai kesenjangan dalam pelayanan sosial akses, maka pelayanan sosial mempunyai fungsi sebagai ”akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkanya.

2.3 Autis

2.3.1 Pengertian Autis

  autis berasal dari kata autos yaitu diri dan isme yang berarti paham/aliran. Autis dari kata auto (sendiri), secara etimologi : anak autis adalah anak yang memiliki gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.

  Mujahidin (2012), menjelaskan autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi proses akuasi keterampilan individu manusia dalam area interaksi sosial, komunikasi dan imajinasi.

  Seperti kita ketahui banyak istilah yang muncul mengenai gangguan perkembangan, diantaranya adalah:

  1. Autism (autisme) yaitu nama gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak.

  2. Autist (autis) yaitu, anak yang mengalami ganguan autisme.

  3. Autistic child (anak autistik) merupakan keadaan anak yang mengalami gangguan autis (Kanner & Asperger, 1943).

  Pengertian autis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-

  IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

  1. Autistic Disorder (Autism) : muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain

  2. Asperger’s Syndrome : hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.

  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) : merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).

  4. Rett’s Syndrome : lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya, kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakan-gerakan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1-4 tahun.

  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) : menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya. Dari uraian yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak autis yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi, seperti persepsi (perceiving), intending,, imajinasi (imagining), dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum usia tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau objek yang mana mereka memerlukan layanan Leo Kanner (Handojo, 2003) autis merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri.

  Chaplin (2000) mengatakan anak autis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.

  2. menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri.

3. Keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.

2.3.2 Gejala Autis

  Anak dengan autis dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku- perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autis adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan

1. Gangguan Komunikasi a.

  Terlambat bicara b.

  Meracau, bicara tidak jelas atau tidak dimengerti c. Tidak mengerti maksud pembicaraannya sendiri d.

  Meniru atau membeo dengan suara monoton e. Berbicara tetapi tidak untuk komunikasi f. Tidak memahami pembicaraan orang lain dan tidak mampu berkomunikasi 2.

   Gangguan Interaksi Sosial a.

  Tidak ada kontak mata b.

  Tidak mempunyai rasa empati c. Tidak tertarik dengan orang lain 3.

   Gangguan Emosi a.

  Anak biasa secara mendadak tertawa/menangis/marah tanpa sebab yang jelas b.

  Sulit mengendalikan emosi c. Seringkali ada ketakutan yang tidak wajar 4.

   Gangguan Perilaku a.

  Bersikap tidak acuh, tidak mau diatur dan asyik dengan dunianya sendiri b.

  Hyperactive sehingga selalu mondar-mandir, berlari-lari, lompat-lompat tak terarah, bertepuk tangan, berjinjit, mengepak-ngepakkan tangan, berteriak, namun ada juga yang hypoactive sehingga seringkali duduk bengong dan melamun atau terpukau benda tertentu Perilaku yang kaku, berulang, monoton dan merasa terganggu terhadap perubahan

5. Gangguan Persepsi Sensoris a.

  Gangguan persepsi taktil sehingga sebagian anak tidak merasakan rasa sakit berlebihan, sebagian merasa terganggu menggunakan pakaian berbahan kasar b.

  Gangguan persepsi pengecapan c. Gangguan persepsi auditor

2.3.3 Penyebab Autis

  a. Terjadinya kelainan struktur sel otak yang disebabkan virus rubella, toxoplasma, herpes, jamur, pendarahan, keracunan makanan.

  b.

  Faktor genetik (ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan pada sistem limbic).

  c.

  Faktor sensory interpretation errors. Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autis. Namun demikian ada beberapa faktor yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab timbulnya autism, sebagai berikut : 1.

  Menurut Teori Psikososial Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autis dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.

  2. Teori Biologis a.

  Faktor genetik, yaitu keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko b.

  Pranatal, natal dan post natal, yaitu pendarahan pada kehamilan awal, obat- obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.

  c.

  Neuro anatomi, yaitu gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandungan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, pendarahan, atau infeksi.

  d.

  Struktur dan biokimiawi, yaitu kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.

  3. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat tambang batu bara, dll.

  4. Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut data yang ada 60 % anak autis mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.

2.3.4 Hambatan-hambatan Anak Autis

  Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu : anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interakasi social, artinya bahwa anak auitistik memiliki hambatan dalam kualitas interaksi dengan individu di sekitar lingkungannya, seperti sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata anak akan cemas apabila ditinggalkan olh orang tuanya.

  Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaraan orang lain yang dilakukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan kata kamu untuk diri sendiri.

  Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan tubuh, tetapi menarik tangan orang tuanya untuk mengambil objek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi seperti : menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan, dan lain sebagainya. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya apabila mereka menyukai suatu perbuatan maka akan terus – menerus mengulangi perbuatan itu. Anak autis juga menyenangi keteraturan yang berlebihan.

2.3.5 Macam-Macam Terapi Penunjang Bagi Anak Atis

  Anak autis dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak

  1. Metode Lovas atau ABA

  Metode Lovas atau ABA merupakan bentuk dari applied behaviourial analisys (ABA). Di mana dasar metode ini adalah dengan menggunakan pendekatan perilaku (behavioural) yang pada setiap tahap intervensi dini anak pada autis ditekankan pada kepatuhan, keterampilan dalam meniru dan membangun kontak mata.

  

2. Metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication

Handicapped Children)

  TEACCH dilakukan dan ditujukan untuk anak-anak autis secara terstruktur dan bersifat rutin dalam kehidupan sehari-hari anak. Inti dari program ini adalah agar anak-anak dapat bekerja dengan tujuan yang jelas dalam komunitasnya. Dengan cara membuat lingkungan teratur dan terstruktur, jadwal kerja yang jelas, membuat sistem kerja yang dibantu melalui instruksi-instruksi berbentuk gambar atau simbol.

  3. Terapi Okupasi Terapi okupasi berfokus unuk membentuk kemampuan hidup sehari-hari.

  Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak. Metode pendekatan terapi okupasi ini menggunakan beberapa kerangka acuan yang terstandarisasi oleh WFOT (World Federation of Occupational Therapy), meliputi: a.

  Kerangka Acuan Psikososial: 1.

  Behavior/perilaku Object relation 3. Cognitive behavior b. Kerangka Acuan Sensorimotorik-Multisensoris: 1. NDT (Neuro Development treatment) 2. Sensori integrasi (Sensory Treatment) 3. Movement therapy

  Terapi tersebut sangat dibutuhkan seorang anak autis untuk dapat berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya seperti di sekolah, di rumah maupun dengan masyarakat.

  5. Terapi PECS (Picture Exchange Communicaton System)

  PECS dirancang untuk mengajarkan anak autis dapat mengembalikan fungsi komunikasinya dengan fokus awal pada spontanitas. PECS hanya menggunakan simbol gambar sebagai modalitas.

  6. Terapi Wicara

  Terapi wicara dapat dilakukan, seperti bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda-beda, mengimitasi bunyi vocal, kata dan kalimat, belajar mengenal kata benda dan sifat, merespon bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar membedakannya, mengembangkan kemampuan organ artikulasi, belajar berbagai ekspresi yang mewakili perasaan (sedih, senang, cemas, sakit, dan marah). Berlatih mengangguk untuk mengatakan “ya”, menggeleng untuk “tidak”, dan lain-lain.

  7. Terapi Diet atau Makanan

  Melalui makanan, orangtua dapat melakukan terapi bagi anak-anak dengan gejala pemicu autisme. Terapi diet dapat dilakukan dengan terapi biomedical yaitu berupa pengaturan makanan karena anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan.

  8. Terapi Medikamentosa

  Pemberian obat-obatan atau vitamin sesuai dengan pengawasan dokter yang berwenang.

2.3.6 Penanganan/Penatalaksanaan Terpadu

  Pada anak dengan gejala autistik, penanganan harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan sedini mungkin. Sehingga selain penanganan dari luar seperti terapi perilaku, sensori atau okupasi juga dilakukan penanganan dari dalam dengan pemeriksaan metabolisme yang mungkin menjadi faktor pencetus gejala autistik melalui serangkaian pemeriksaan dan terapi biomedis.

2.4 Pendidikan dan Pemberdayaan Anak Autis

2.4.1 Bentuk Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Autis Pendidikan untuk anak autis usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan.

  Berbagai model antara lain:

  1. Sekolah Khusus Autis Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka.

  Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.

  Sistem pelayanan yang diberikan kepada anak berupa individual program dimana anak diterapi dengan teknik online, yaitu satu anak yang berkebutuhan khusus diterapi oleh satu orang terapis. Proses terapi bisa berupa terapi dengan metode Lovas atau ABA, metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children), terapi okupasi, terapi PECS (Picture Exchange Communication System), terapi wicara, terapi diet makanan ataupun terapi medikamentosa.

2.4.2 Pemberdayaan Anak Autis

  Jika dilihat lebih jauh pemberdayaan hampir sama dengan pendidikan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang lemah atau tidak beruntung. Jadi pemberdayaan dapat diartikan suatu proses atau serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah atau anak dengan autisme dalam masyarakat sehingga mereka dapat:

  1. Memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dan tidak hanya itu saja melainkan juga bebas dari kesakitan.

  2. Menyangkut sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan

3. Dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi mereka (Mujahiddin, 2012: 144).

  pemberdayaan perlu diberikan kepada anak autis. Seperti contoh dalam kasus penderita autisme ditemukan suatu fakta tentang keinginan atau kesukaan anak dengan autisme dalam bidang menggambar atau bermain music, berarti ada konten kreatif mereka yang perlu dikembangkan dan diberdayakan. Kreatifitas-kreatifitas inilah yang kemudian harus diberdayakan sehingga anak mampu mandiri dan memenuhi kehidupannya kelak.

2.5 Kemandirian Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, mandiri adalah ”berdiri sendiri”.

  Kemandirian berasal dari kata dasar diri, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari perkembangan diri itu sendiri. Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengkoordinasikan seluruh aspek kepribadian (Bahara, 2008). Kemandirian juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan secara penuh.

  Menurut Masrun (1986: 8) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

  2.5.1 Kemandirian Anak Autis

  Untuk mengembangkan tingkat kemandirian dalam diri seorang anak autis maupun guru di sekolah khusus untuk anak yang berkebutuhan khusus seperti autis.

  Ketergantungan anak autis kepada guru selama proses belajar mengajar ataupun seorang terapis dengan anak autis sebagai kliennya sangatlah dominan maka sekolah berkewajiban mengembangkan kemandirian dan kemampuan khususnya dalam merawat diri, keterampilan diri yang dimiliki oleh anak melalui pemberian layanan pendidikan maupun kesehatan.

  2.5.2 Faktor Pendukung Dan Penghambat Pengembangan Kemandirian Anak Autis

  Adapun faktor pendukung dan penghambat anak autis dalam proses pencapaian dan pengembangan kemandirian adalah sebagai berikut:

a. Faktor Pendukung 1.

  Motivasi yang datang dari anak tersebut.

  2. Kesamaan hak dengan anak normal dalam memperoleh pendidikan dan informal.

  3. Terapis atau guru pembimbing yang profesional dan berpengalaman.

  4. Sarana dan prasarana yang mendukung.

  5. Orangtua atau keluarga yang mendukung serta memberikan perhatian pendidikan dan kesehatan kepada anaknya.

b. Faktor Penghambat 1.

  Mood anak autis yang kadang susah ditebak.

  2. Keterbatasan tenaga pengajar dalam menghadapi anak.

  3. Sarana dan prasana yang kurang memadai.

  Lingkungan yang kurang mendukung anak untuk mandiri.

  5. Keluarga yang tidak memperdulikan proses tumbuh kembang anak karena dianggap tidak seperti anak normal.

2.6 Kerangka Pemikiran Pada dasarnya setiap anak memiliki hak yang sama dengan semua anak lainnya.

  Anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini juga termasuk kepada anak autis yang merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia 3 tahun

  Berdasarkan hal tersebut, maka Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) dibentuk untuk mewadahi pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak-anak autis di Kota Medan. Disamping itu, pendiri YAKARI memiliki anak yang berkebutuhan khusus seperti autis. Hal ini juga yang mendorong pendiri yayasan untuk mengembangkan sekolah khusus anak autis.

  Tujuan berdirinya YAKARI berupaya secara maksimal mensosialisasikan serta memberikan berbagai informasi kepada masyarakat. Sehingga cepat menangani anak yang terkena autis. Ada beberapa tujuan di lembaga ini untuk meningkatkan program kerja pelayanan sosial agar anak autis mampu mencapai kemandirian, antara lain:

  1. Memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi anak dengan berkebutuhan khusus (special needs).

  Membantu anak dengan kebutuhan khusus agar dapat mandiri.

  3. Membantu orangtua yang memiliki anak autis dengan kebutuhan khusus untuk memahami kebutuhan anak tersebut.

  Selain itu, Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak autis baik berupa cara berkomunikasi ataupun mampu untuk membantu dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

  Adanya sistem pelayanan yang menunjang untuk mencapai kemandirian anak- anak yang berkebutuhan khusus seperti anak autis, diharapkan dapat membantu perkembangan anak autis. Sistem pelayanan yang diterapkan dalam program kerja untuk meningkatkan kemandirian, kesejahteraan serta pemberdayaan anak autis, yaitu sebagai berikut: 1.

  Sistem pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan oleh para terapis yang terlatih.

2. Sistem treatment meliputi:

  a. Metode Lovas atau ABA

  b. Metode TEACCH (treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children

  c. Terapi okupasi

  e. Terapi PECS (Picture Exchange Communication System)

  f. Terapi wicara

  g. Terapi diet atau makanan h. Terapi medikamentosa

  

Bagan Alur Pikir

  Anak Autis Yayasan Ananda Karsa

  Mandiri (YAKARI) Pemberdayaan anak

  Sistem Pelayanan: autis dalam mencapai

1. Sistem pendidikan atau pembelajaran

   

  kemandirian: 2. Sistem treatment meliputi: 1.

  Mampu a. Metode Lovas atau ABA berkomunikasi b.

  Metode TEACCH (treatment and 2.

  Mampu untuk Education of Autistic and membantu dirinya Communication Handicapped dalam kehidupan Children c.

  Terapi okupasi d.

  Terapi PECS (Picture Exchange Communication System) e. Terapi wicara f. Terapi diet atau makanan

2.7 Defenisi Konsep dan Operasional

2.7.1 Defenisi Konsep

  Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Setidaknya ada dua sifat konsep dalam ilmu-ilmu sosial. Konsep itu sangat luas cakupannya. Akibatnya, kajian akan konsep itu dapat dilakukan secara multi dimensi atau dapat dikaji dari berbagai aspek (Siagian, 2011:136).

  Jika dikaitkan dengan realitas sosial, maka konsep-konsep yang ada dalam ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:

  1. Konsep-konsep yang secara eksplisit menunjukkan hubungannya dengan realitas sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

  2. Konsep yang menunjukkan hubungannya secara implisit dengan realitas sosial. Dengan demikian sifat hubungan itu kabur dan abstrak. Bahkan tidak mudah mengetahui hubungan konsep-konsep tersebut dengan fenomena sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

  Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti.

  Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan a.

  Implementasi adalah sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata suatu program ataupun kebijakan.

  b.

  Sistem pelayanan adalah suatu satu kesatuan yang dibutuhkan dalam terselenggaranya suatu pelayanan untuk mencapai tujuan.

  c.

  Anak autis adalah anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi : persepsi (perceiving), intending,, imajinasi (imagining), dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum usia tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau objek yang mana mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.

  d.

  Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.

  e.

  Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) adalah yayasan yang memberikan pelayanan kepada anak autis maupun anak-anak yang berkebutuhan khusus lainnya yang didirikan berupa klinik dan sekolah untuk anak autis.

2.7.2 Defenisi Operasional

  Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Defenisi operasional bertujuan untuk memudahkan penelitian di lapangan. Sehingga peneliti dapat mengetahui baik atau Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141).

  Adapun yang menjadi defenisi operasional dengan melihat berbagai indikator yang akan diteliti dari keberhasilan program dan tujuan dari Yayasan Ananda Karsa Mandiri, sebagai berikut: 1.

  Sistem pendidikan dan pembelajaran, yaitu Pendidikan untuk anak autis usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan. Berbagai model antara lain: a.

  Sekolah Khusus Autis Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.

  b.

  Individual Program

  Sistem pelayanan yang diberikan kepada anak berupa individual program dimana anak diterapi dengan teknik online, yaitu satu anak yang berkebutuhan khusus Lovas atau ABA, metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children), terapi okupasi, terapi PECS (Picture Exchange Communication System), terapi wicara, terapi diet makanan ataupun terapi medikamentosa.

2. Sistem treatment meliputi: a.

  Metode Lovas atau ABA, yaitu dasar metode ini adalah dengan menggunakan pendekatan perilaku.

  b. Metode TEACCH (treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children, yaitu anak-anak autis melakukan kegiatannya secara terstruktur dan jelas dalam komunitasnya.

  c.

  Terapi okupasi, yaitu berfokus untuk membentuk kemampuan hidup sehari- hari.

  d.

  Terapi PECS (Picture Exchange Communication System), yaitu dirancang untuk mengajarkan anak autis dapat mengembalikan fungsi komunikasinya dengan fokus awal pada spontanitas.

  e.

  Terapi wicara, yaitu dapat dilakukan seperti bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda, merespon bunyi, dan lain-lain.

  f.

  Terapi diet atau makanan dapat dilakukan dengan terapi biomedical, yaitu berupa pengaturan makanan karena anak dengan autis umumnya alergi terhadap makanan. g.

  Terapi medikamentosa, yaitu pemberian obat-obatan atau vitamin di bawah pengawasan dokter ahli.