BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Autis - Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autis

  Autis pertama kali ditemukan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater bernama Leo

  20-24

  Kanner. Menurut istilah ilmiah kedokteran dan psikologi, autis termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Pada anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif terdapat beberapa fungsi psikologis dasar

  22

  anak yang terganggu, tidak hanya satu fungsi spesifik saja yang terkena. Selain autis, gangguan lainnya yang termasuk kedalam gangguan perkembangan pervasif ini adalah

  

Asperger’s disorder, Rett’s disorder, childhood disintegrative disorder dan gangguan

  perkembangan pervasif yang tidak ditentukan (pervasive developmental disorder not

  23,24

otherwise specified ). Autis merupakan gangguan terparah dibandingkan gangguan

  perkembangan pervasif lainnya dikarenakan, terdapat banyak area yang tidak berkembang

  23 seperti, sosial interaksi, komunikasi, perilaku, minat dan bahasa.

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Autis

  Autisme atau gangguan autistik merupakan gangguan yang dimulai dan dialami

  22,24

  pada masa kanak-kanak dan bersifat kronis. Kata autis berasal dari bahasa Yunani,

  

autos yang berarti “self”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang psikiater dari

  Swiss, Eugen Bleuler pada tahun 1906 yang melihat adanya gaya berpikir aneh pada

  20,24,25

  sekelompok anak. Pada tahun 1943, seorang psikiater di Johns Hopkins bernama Leo Kanner menerapkan diagnosis autis infantil awal kepada sekelompok anak yang terlihat mengalami gangguan dimana mereka tidak dapat berhubungan dengan orang lain dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Leo Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain dan sikap yang berulang (repetitive behaviors) dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam

  21-26

  lingkungannya. Autis yang termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai

  21,22,24 terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.

  Prevalensi autis mengalami peningkatan drastis di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hasil beberapa penelitian menunjukkan, tingkat prevalensi autis diperkirakan 2- 5 dari 10.000 anak mengalami gangguan autis. Di Korea Selatan terdapat 2,6% atau 1 dari 38 orang mengalami Autism Spectrum Disorders (ASD). Prevalensi ini mengalami

  10

  peningkatan 57% sejak 2002. Di Indonesia anak yang menderita autis diperkirakan

  5

  berjumlah sebanyak 112.000 anak. Di provinsi Sumatera Utara, tercatat 1.000 orang yang menderita autis pada tahun 2012; sedangkan di Kota Medan tercatat 386 orang yang

  11

  menderita autis dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Gangguan autistik dimulai pada masa kanak-kanak dan dapat didiagnosis sekitar umur 3 tahun. Gangguan ini 3-5 kali

  22,24-29 lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.

2.1.2 Etiologi Autis

  Hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya autis. Leo Kanner mengemukakan gangguan autistik disebabkan oleh faktor psikologi sehingga terjadi gangguan perkembangan pervasif pada anak. Beberapa penelitian terbaru mengemukakan

  21,23,26,30,31

  faktor lainnya, yaitu:

  1. Faktor psikososial dan keluarga Pada observasi awal, Leo Kanner menyatakan keluarga yang memiliki anak autis cenderung bersikap ramah dan suka mengekspresikan perhatiannya yang murni terhadap anaknya. Setelah 50 tahun terakhir, sikap orang tua yang tidak peduli mendorong terjadinya gangguan autistik pada anaknya. Namun teori ini hanyalah pendapat dari beberapa ahli yang belum dapat diuji kebenarannya.

  2. Faktor genetik Dari beberapa penelitian menunjukkan, 2-4% saudara kandung yang mengalami terjadinya autis pada saudara yang mengalami gangguan ini yaitu 75 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki saudara autis. Para peneliti menunjukkan DNA dari saudara kandung autis terdapat lebih dari 150 pasang yang membuktikan bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis. Kurang dari 1 persen penderita autis mengalami fragile X Syndrome, yaitu gangguan genetik pada kromosom

26 X. Selain itu, anomali pada kromosom 15 juga berhubungan dengan terjadinya autis

  namun hubungan fragile X syndrome dengan autis jauh lebih kuat dibandingkan dengan

  25 kromosom 15.

  3. Faktor imunologis Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan imunologi yang inkompatibilitas dapat menyebabkan terjadinya gangguan autistik. Limfosit pada beberapa anak autis bereaksi dengan antibodi maternal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan pada jaringan neural atau ekstra embrionik selama kehamilan.

  4. Faktor perinatal Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada anak autis. Namun tidak ada komplikasi secara langsung yang menyatakan sebagai penyebabnya.

  5.Faktor biologis Anak autis menunjukkan lebih banyak tanda komplikasi perinatal dibandingkan kelompok anak normal dan gangguan lainnya. Sekitar 75% anak yang mengalami gangguan autistik juga mengalami retardasi mental dan hampir setengahnya mempunyai tingkat retardasi mental yang parah.

  6. Faktor neuroanatomi Bagian otak abnormal yang diperkirakan berhubungan dengan gangguan autistik adalah lobus temporalis. Perkiraan tersebut didasarkan pada laporan beberapa anak autis mengalami kerusakan lobus temporalis. Ketika lobus temporalis rusak, maka terjadi gangguan interaksi sosial, kegelisahan, dan perilaku motorik berulang-ulang. Suatu penelitian dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan, pada beberapa anak autime ditemukan ukuran otaknya lebih besar dibandingkan anak normal.

  Namun pada anak autis dengan retardasi mental yang parah lebih banyak ditemukan memiliki ukuran kepala yang kecil. Otak mengandung sel saraf lebih dari 100 miliar neuron yang memiliki ratusan atau ribuan sambungan yang membawa pesan ke sel-sel saraf lainnya di otak dan tubuh. Neurotransmitter menjaga neuron bekerja sebagaimana mestinya, seperti melihat, merasakan, bergerak, berkomunikasi, emosi, dan hal penting lainnya. Pada anak autis, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang dan tidak terkoordinasi secara normal. Namun para ilmuwan belum mengetahui penyebab pasti dan bagaimana hal ini terjadi.

  7. Faktor Biokimia Beberapa penelitian menunjukkan sepertiga pasien autis mengalami peningkatan konsentrasi serotonin plasma. Penelitian ini tidak hanya menggunakan sampel autis saja, akan tetapi juga menggunakan sampel anak yang mengalami retardasi mental tanpa adanya gangguan autistik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk menguji kebenarannya.

2.1.3 Gejala Klinis Autis

  Gejala anak yang mengalami autis sudah dapat timbul sejak lahir sehingga anak mengalami perkembangan perilaku yang tidak normal. Namun hal ini dapat terdeteksi

  24,27,29 sekitar umur 30 bulan pertama anak atau 3 tahun.

  Anak yang mengalami gangguan autistik menunjukkan kurangnya respon terhadap orang lain, ketidakmampuan berkomunikasi, menunjukkan respon yang aneh terhadap berbagai aspek lingkungan di sekitarnya, namun yang paling menonjol adalah sikap anak yang suka menyendiri dan cenderung tidak suka berinteraksi. Perilaku anak autis yang menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal ditandai dengan kurangnya respon dan kurangnya minat kepada orang-orang atau teman di sekitarnya. Anak dapat pula tidak bisa berbicara, atau bila berbicara anak menggunakan bahasa yang tidak lazim seperti ekolalia, yaitu mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton. Ciri utama dari autis adalah melakukan gerakan stereotip berulang-ulang yang

  21,22,24-32 tidak memiliki tujuan.

  Menurut Diagnostic and Statistic Manual 1994, (DSM-IV) gejala autis dibagi

  21,23,26

  I. Ada 6 gejala atau lebih dari gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru dengan minimal, adanya 2 gejala dari gangguan interaksi sosial dan masing-masing 1 gejala dari gangguan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru.

  Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang.

  Sering terpukau pada bagian suatu benda.

  d.

  Sering melakukan gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang.

  c.

  Cenderung terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.

  b.

  Mempertahankan satu minat atau kegiatan dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.

  a.

  3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan berulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.

  Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.

  d.

  c.

  1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial a.

  Bila anak bisa berbicara, hal ini tidak digunakan untuk berkomunikasi.

  b.

  Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal.

  2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi a.

  Kurangnya hubungan sosial dan emosional.

  d.

  Kurangnya spontanitas dalam membagi kegembiraan, kesenangan, minat, atau prestasi dengan orang lain.

  c.

  Ketidakmampuan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya.

  b.

  Gangguan nonverbal, misalnya kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh.

  II. Terjadi keterlambatan/fungsi abnormal paling sedikit satu dari hal-hal berikut ini sebelum umur 3 tahun, diantaranya interaksi sosial, kemampuan berbicara/ berbahasa, bermain imajinatif ataupun simbolik.

  Umumnya anak dengan gangguan autistik mempunyai keadaan rongga mulut yang tidak jauh berbeda dari anak normal, namun anak autis dapat memiliki penyakit gigi dan mulut yang lebih parah karena ketidakmampuan dalam menjaga kebersihan rongga

  14,33,34

  mulutnya. Ketidakmampuan ini meliputi, tidak efektifnya menggosok gigi dan memakai benang gigi yang dikarenakan kurangnya minat anak dalam membersihkan rongga mulutnya sehingga dibutuhkan panduan, penjagaan, dan observasi dari keluarga

  13,16,17 maupun pengasuh ketika anak membersihkan giginya.

  Biasanya anak autis lebih memilih makanan yang lunak dan manis. Ketika makan, anak cenderung tidak menelan makanannya langsung, namun meletakkan makanannya di pipi dan mengemutnya dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan anak memiliki

  13,15-17,19

  koordinasi otot yang buruk. Beberapa penelitian menunjukkan, akibat diet yang buruk maloklusi dan malposisi banyak terjadi pada anak autis, seperti overjet dan overbite

  14,18,35

  yang tidak normal, crossbite, openbite dan lainnya. Peranan orang tua yang terbatas dapat memperburuk masalah kebersihan rongga mulutnya. Mengonsumsi obat-obatan seperti antikonvulsan untuk pengobatan epilepsi menyebabkan hiperplasia gingiva dan

  36,37 meningkatkan terjadinya perdarahan gingiva pada anak.

  Selain itu, kebiasaan buruk yang dilakukan anak autis menyebabkan dampak yang cukup besar pada keadaaan rongga mulutnya seperti, bruxism, menjulurkan lidah (tongue

  

thrusting), menggigit objek seperti pulpen dan puntung rokok, dan kebiasaan melukai diri

2,13,14,17-19

  sendiri seperti menggigit bibir, lidah, dan pipi. Suasana hati abnormal yang dimiliki anak dengan gangguan autistik mempersulit penanganannya pada saat dilakukan perawatan ke dokter gigi. Anak cenderung menolak dan bersikap agresif terhadap perawatan yang akan dilakukan, hal ini dapat disebabkan lingkungan berbeda, dokter dan perawat gigi yang belum dikenalnya, bunyi suara bur, melihat alat kedokteran gigi seperti tang gigi, dan lainnya. Penolakan yang ditimbulkannya dapat mengakibatkan luka pada rongga mulut dan fraktur terutama pada gigi anterior karena membenturkan kepalanya saat

  3,17,32 mengamuk.

  Adanya pola makan dan perilaku membersihkan gigi anak yang buruk, kondisi psikologis anak yang menyebabkan anak cenderung tidak mempedulikan kebersihan gigi serta sulitnya manajemen anak di perawatan dokter gigi, konsumsi obat-obatan, dan kebiasaan buruk yang sering dilakukan dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal pada anak autis.

  Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi pada periodonsium yang disebabkan oleh bakteri yang terakumulasi dalam plak sehingga terjadi peradangan pada

  38,39 gingiva. Penyakit ini umumnya dibedakan atas gingivitis dan periodontitis.

  Perbedaannya terletak pada jaringan yang terlibat dalam proses inflamasi. Gingivitis hanya meliputi jaringan gingiva dan bersifat reversibel sedangkan periodontitis, kerusakan yang terjadi tidak hanya pada jaringan gingiva tapi juga pada ligamen periodontal, sementum dan

  40-42 tulang alveolarnya. Periodontitis bersifat ireversibel.

  Gingivitis merupakan inflamasi pada jaringan gingiva. Karakteristik gingivitis biasanya terlihat pada warna, kontur, dan konsistensinya yaitu gingiva terlihat berwarna merah, membengkak, dan mudah berdarah. Pada gingivitis tidak ada migrasi apikal dari sel

  40,41 epitel penyatu maupun kehilangan tulang alveolar.

  Periodontitis merupakan inflamasi gingiva yang lebih parah dengan melibatkan struktur periodontal pendukung. Pada periodontitis terjadi migrasi apikal dari sel epitel penyatu, kehilangan perlekatan jaringan ikat dan kehilangan tulang alveolar. Sel epitel penyatu yang bergerak ke apikal menyebabkan terbentukanya poket periodontal selanjutnya

  40,41 plak subgingiva berkembang di daerah tersebut.

2.3 Indeks Pemeriksaan Klinis Penyakit Periodontal

  Pemeriksaan klinis dapat berupa pemeriksaan ekstra oral, intra oral, dan penunjang menggunakan radiografi. Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene meliputi oral hygiene index simplified (OHIS) oleh Greene dan Vermillion yang terdiri atas Indeks kalkulus dan Indeks debris. Indeks ini hanya memeriksa 6 gigi sehingga lebih memudahkan peneliti ketika dilakukan pemeriksaan. Selain itu indeks periodontal yang dapat digunakan adalah indeks plak oleh Ramfjord, indeks plak oleh Quigley dan Hein, indeks plak oleh Loe dan Silness, indeks kalkulus oleh Ramfjord, indeks permukaan kalkulus oleh Ennever, Sturzenberger, dan Radike, indeks gingiva oleh Loe dan Silness, indeks kebutuhan perawatan periodontal, dan lain-lain. Indeks kebutuhan perawatan sehingga sangat bermanfaat kepada dokter gigi ketika akan di lakukan perawatan

  42 periodontal.

2.3.1 Oral Hygiene Index Simplified (OHIS)

  Oral higiene merupakan suatu kondisi dan sikap mengenai cara dalam memelihara kebersihan rongga mulut sebagai upaya mempertahankan jaringan dan struktur rongga mulut. Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene yaitu dengan menggunakan oral hygiene index simplified (OHIS) oleh Greene dan Vermillion. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan rongga mulut dengan menjumlahkan skor

  42-47 Indeks Debris (DI) dan skor Indeks Kalkulus (CI).

  Alat yang digunakan adalah sonde berbentuk sabit dan kaca mulut tanpa menggunakan pewarna plak. Gigi yang periksa adalah gigi 16, 11, 26, 46, 31, dan 36 dengan cara setiap permukaan gigi dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah, dan sepertiga insisal. Untuk mengukur indeks debris, sonde ditempatkan pada bagian sepertiga insisal gigi lalu sonde digerakkan ke arah gingiva. Pada gigi molar yang diperiksa, penilaian dilakukan pada sisi bukal molar atas dan sisi lingual molar bawah. Pada gigi anterior, permukaan sisi labial dari insisivus sentralis atas sebelah kanan dan insisivus sentralis bawah sebelah kiri yang diberi skor. Apabila gigi anterior yang di periksa tidak

  44-46 ada maka dapat digantikan oleh gigi pada sisi yang berlawanan dari garis midline.

  Pada pemeriksaan menggunakan oral hygiene index simplified (OHIS) terdapat kriteria skor untuk indeks debris dan indeks kalkulus. Perhitungan indeks debris dan indeks kalkulus adalah jumlah skor gigi permukaan bukal dan lingual pada maksila dan mandibula dibagi dengan jumlah permukaan yang diperiksa. Tingkat kebersihan debris dan kalkulus dapat dikategorikan baik apabila skor berada di antara 0,0 – 0,6, kategori sedang berada diantara 0,7 – 1,8, sedangkan kategori buruk berada di antara 1,9 – 3,0. Skor untuk oral higiene didapat dengan menjumlahkan skor rerata debris dan kalkulus. Kategori untuk skor OHIS adalah baik apabila skor berada di antara 0,0 – 1,2, kategori sedang apabila skor

  42-44 berada diantara 1,3 – 3,0, dan kategori buruk apabila skor berada diantara 3,1 – 6,0. Tabel 1. Kriteria skor indeks debris dan kalkulus

  42 Skor Indeks Debris Indeks Kalkulus Tidak dijumpai debris atau stein. Tidak dijumpai kalkulus.

  1 Debris menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya stein ekstrinsik.

  Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi.

  2 Debris menutupi lebih dari sepertiga permukaan gigi tapi tidak melebihi dua per tiga dari permukaan gigi.

  Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari sepertiga tapi kurang dari dua per tiga permukaan gigi atau adanya butiran kalkulus subgingiva di sekeliling servikal gigi atau keduanya.

  3 Debris menutupi lebih dari dua per tiga dari permukaan gigi.

  Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari dua per tiga permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva mengelilingi serviks gigi.

2.3.2 Community Index of Periodontal Treatment Needs (CPITN)

  Indeks kebutuhan perawatan periodontal yang dikenal dengan CPITN dikembangkan oleh Ainamo dkk yang merupakan anggota komite WHO pada tahun 1983. CPITN merupakan indikator penyakit periodontal yang digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kondisi periodontal dan kebutuhan perawatannya pada individu di suatu populasi. Alat yang digunakan untuk pemeriksaannya adalah prob WHO dengan ujung prob yang bulat berdiameter 0,5 mm dan terdapat area berwarna hitam sebagai skala berada pada daerah 3,5-5,5 mm.

  40,44,49,50

  Gigi yang diperiksa dari keenam sektan berjumlah 6 gigi indeks yang meliputi seluruh gigi molar satu, insisivus sentralis atas regio satu, dan insisivus sentralis bawah regio tiga. Cara pengukurannya yaitu keenam gigi diukur menggunakan prob WHO untuk menentukan adanya perdarahan, karang gigi, dan poket periodontal. Tekanan yang diberikan tidak boleh lebih dari 25 gram. Untuk mengetahui besarnya tekanan dilakukan dengan cara menekankan ujung prob pada daerah kulit dibawah kuku tanpa menyebabkan rasa sakit. Kemudian ujung prob dimasukkan ke daerah distal saku gingiva lalu mengikuti konfigurasi anatomi dari permukaan akar gigi dari distal ke mesial pada permukaan labial maupun lingual. Catat skor sesuai hasil yang diperoleh. Hanya bagian terparah yang dicatat pada setiap sektan. Skor tertinggi dari semua sektan digunakan untuk menentukan skor

  40,44,49-51 kebutuhan perawatan.

  Tabel 2. Kriteria skor indeks periodontal komunitas untuk kebutuhan perawatan

  48,49

  periodontal Skor Status Periodontal Kebutuhan Perawatan Periodontal Sehat. Tidak perlu perawatan.

  1 Secara langsung atau dengan Instruksi perbaikan oral higiene. bantuan kaca mulut terlihat perdarahan gingiva setelah probing.

  2 Sewaktu probing terasa adanya kalkulus, tetapi seluruh bagian prob berwarna hitam masih Instruksi perbaikan oral higiene & terlihat. skeling profesional.

  3 Poket dengan kedalaman 4-5 mm dimana tepi gingiva berada pada bagian prob berwarna hitam.

  4 Poket dengan kedalaman Instruksi perbaikan oral higiene, ≥ 6 mm dimana bagian prob berwarna skeling profesional & perawatan hitam tidak terlihat lagi. kompleks.

2.4 Kerangka Teori

  Anak Autis Indeks

  Kebutuhan Perawatan

  Periodontal (CPITN)

  Karies Oral Higiene

  Indeks Oral

  Hygiene Simplified

  (OHIS) Kebutuhan

  Perawatan Periodontal

  Penyakit Periodontal Trauma Maloklusi Malposisi Kondisi Psikologis Diet Perilaku

  Membersihkan Gigi Kebiasaan Buruk

  Keadaan Rongga Mulut

2.5 Kerangka Konsep

  • Kebersihan Rongga Mulut -

  Indeks Oral

  • Frekuensi menyikat gigi

  Anak Autis Anak Normal yang di-matching-kan

  Hygiene Simplified

  • Waktu menyikat gigi

  Penyakit Periodontal

  (OHIS)

  • Kunjungan ke dokter gigi
  • Jenis Kelamin - Usia
  • Kunjungan ke dokter gigi untuk skeling
  • Kebutuhan Perawatan Periodontal -
  • Frekuensi makan diluar jam makan utama

  Indeks Kebutuhan

  Perawatan Periodontal

  (CPITN) Faktor risiko penyakit periodontal

Dokumen yang terkait

Pengalaman Dan Kebutuhan Perawatan Karies Pada Anak Autis Umur 6-18 Tahun Di Slb Dan Yayasan Terapi Kota Medan

8 107 70

Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

7 101 82

Status Oral Higiene Dan Periodontal Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rs Bunda Thamrin Dan Rsu Adam Malik Medan

0 100 43

Status Oral Higiene Dan Periodontal Pada Pasien Diabetes Melitus Dan Non- Diabetes Di RSUD Dr. Pirngadi

0 47 49

Gambaran Oral Higiene Dan Karies Gigi Pada Siswa Sekolah Tunarungu Dan Tidak Tunarungu Kelompok Usia 11-12 Tahun Dan 14-16 Tahun

1 39 73

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Paud, Tk Dan Posyandu Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Marelan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif - Pengalaman Dan Kebutuhan Perawatan Karies Pada Anak Autis Umur 6-18 Tahun Di Slb Dan Yayasan Terapi Kota Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gigi Sulung Anterior - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Tk/Paud Dan Posyandu Kecamatan Medan Petisah Dan Medan Tuntungan

0 1 34

BAB 1 PENDAHULUAN - Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

0 0 6

Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

0 0 26