TI PLS ROMBEL 2 KELOMPOK 5

MAKALAH PEMBELAJARAN
MODERN PLS

DISUSUN OLEH:
NAMA KELOMPOK:
1.

ELSA DWI NINGRUM
(1201414032)

2.

DUWI FATWA NISA
(1201414034)

3.

ROSSY ATESYA .K.
(1201414036)

4.


SEPTI MUHAWANAH (1201414038)

SEMESTER:1(SATU)
Ti pls – rombel 2 – kelompok 5

UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….

1

KATA PENGANTAR…………………………………………………

2

DAFTAR ISI ………..…………………………………………………


3

ABSTRAK…………………………………………………………….

4

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...

5

1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………..

5

1.2 PERUMUSAN MASALAH………………………………………..

6

1.3 TUJUAN…………………………………………………………....


6

BAB II LANDASAN TEORI/PEMBAHASAN ………………………

7

2.1 PENGERTIAN…………………………………………………….

7

2.2 HAKEKAT PEMBELAJARAN………………………………….

12

2.3 KONSEP PEMBELAJARAN DALAM PLS…………………….

14

2.4 PRINSIP PEMBELAJARAN MODERN………………………...


16

2.5 PENGGUNAAN,PENDEKATAN DAN STRATEG…………….

17

PEMBELAJARAN DALAM PLS
2.6 SISTEM PEMBELAJARAN MODERN PLS ……………………

32

BAB III PENUTUP……………………………………………………..

34

3.1 KESIMPULAN……………………………………………………..

34

3.2 SARAN……………………………………………………………..


34

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..

35

3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk dapat menulis, menyusun menyelesaikanmakalah ini.
Makalah ini merupakan salah satu dari tugas mata kuliah Teknologi Informasi dan
Komunikasi yaitu makalah mengenai pembelajaran modern PLS. Makalah ini disusun
sebagai pertanggung jawaban kami terhadap tugas yang diberikan oleh dosen pengajar. Tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang terkait yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu kami berharap kepada pembaca agar berkenan memberi kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadi suatu
ilmu baru maupun referensi bagi pembacanya.


Semarang, 12 Oktober 2014

Penyusun:
1. ELSA
2. DUWI FATWA
3. ROSSY ATESYA

4. SEPTI MUHAWANAH

2
ABSTRAK
Dalam makalah ini akan membahas mengenai pembelajaran modern dalam PLS.
Apakah pembelahjaran modern itu? Dan bagaimana penggunaan, pendekatan dan strategi
dalam pembelajaran PLS itu? Serta seperti apa system pembelajaran modern PLS.
Ulasan singkat dari materi dalam makalah ini menyampaikan bahwa
Pembelajaran modern adalah pembelajaran yang mengikuti perkembangan
Zaman,dimana era sekarang ini adalah era teknologi informasi. Secara umum

pembelajaran diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu

peserta didik belajar. Secara lebih lugas pembelajaran bahkan diartikan sebagai upaya
membuat peserta didik belajar, tetapi dalam PLS pengertian lugas semacam ini kurang bisa
diterima karena bertentangan dengan konsep andragogi yang berprinsip partisipatif.
Dalam pembelajaran modern sekarang ini sudah banyak melalui tampilan LCD
karena seringnya latihan untuk berbicara dengan presentasi yang dibuat dengan sebagus
mungkin slide nya. Pembelajaran modern PLS yaitu dengan observasi serta berwawancara
dengan menggunakan alat perekam. Selain itu pembentukan kelompok2 tersendiri untuk
melatih dalam pengajaran mahasiswa PLS juga merupakan pembelajaran modern yang
dengan arti lain mereka dapat bermain peran. Pembelajaran modern juga mencakup
penggunaan teknologi pada umumnya. Dengan maraknya internet maka lebih mempermudah
apa yang kita ingin cari sekarang ini. Dalam pendidikan luar sekolah pembuatan laporan pun
merupakan kewajiban yang sering dihadapkan pada mereka, sehingga dengan adanya
reverensi2 dari internet lebih memudahkan dalam mahasiswa membuat makalah maupun
tugas lainnya. Pengolahan data2 dan management dalam teknologi harus dikuasai oleh
mahasiswa PLS. tanpa didukung dengan teknologi maka pembelajaran akan kurang menarik
dan monoton. Pembelajaran dengan pemutaran film yang terkait dengan materi yang
disampaikan juga merupakan hal yang modern untuk pengajaran

4
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Teknologi Pembelajaran tumbuh dan berkembang dari praktek pendidikan-dan
gerakan komunikasi audio visual. Teknologi pembelajaran semula dilihat sebagaiteknologi peralatan, yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan atau kegiatan pembelajaran dengan
memanfaatkan alat bantu audio-visual (Rountree, 1979). Teknologi pembelajaran
merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan, yaitu media
pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem untuk pendidikan (Seels,
1979).Dalam perkembangan selanjutnya teknologi pembelajaran menggunakan tiga
prinsip dasar yang perlu dijadikan acuan dalam pengembangan dan pemanfaatannya,
yaitu: 1). pendekatan sistem (system approach), 2). berorientasi pada peserta didik
(learner centered), dan 3). pemanfaatan sumber belajar semaksimal dan sebervariasi
mungkin (utilizing learning resources) (Sadiman, 1984). Prinsip pendekatan sistem
berarti bahwa setiap usaha pemecahan masalah pendidikan yang dilandasi konsep
teknologi pembelajaran hendaknya menerapkan prinsip pendekatan sistem. Artinya
memandang segala sesuatu sebagai sesuatu yang meneluruh (komprehensif) dengan
segala komponen yang saling terintegrasi. Prisip berorientasi pada peserta didik,
berarti bahwa usaha-usaha pendidikan, pembelajaran dan pelatihan hendaknya
memusatkan perhatiannya pada peserta didik. Sedangkan prinsip ketiga yaitu
pemanfaatan sumber belajar semakksimal dan sebervariasi mungkin, berarti peserta
didik belajar karena berinteraksi dengan berbagai sumber belajar secara maksimal dan

bervariasi.
Edgar Dale dan James Finn merupakan tokoh yang berjasa dalam
pengembangan teknologi pembelajaran modern. Edgar Dale mengemukakan tentang
Kerucut pengalaman (Cone of experience) seperti disajikan dalam gambar berikut ini

Kita lihat rentangan tingkat pengalaman belajar dari yang bersifat langsung
hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol verbal, yang merupakan suatu
rentangan (kontinum) dari yang bersifat kongkrit ke abstrak, dan tentunya
memberikan implikasi tertentu terhadap pemilihan metode dan bahan pembelajaran,
khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi pembelajaran
5
Pemikiran Edgar Dale tentang Kerucut pengalaman (Cone of experience) ini
merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau dasar tentang keterkaitan antara
teori belajar dengan komunikasi audio visual (Dale, 1946). Kerucut pengalaman Dale
telah menyatukan teori pendidikan John Dewey (salah satu tokoh aliran
progresivisme) dengan gagasan– gagasan dalam bidang psikologi yang tengah
populer pada masa itu.
Sedangkan, James Finn berjasa dalam mengusulkan bidang komunikasi audiovisual menjadi teknologi pembelajaran yang kemudian berkembang hingga saat ini
menjadi suatu profesi tersendiri, dengan didukung oleh penelitian, teori dan teknik
tersendiri. Gagasan Finn mengenai terintegrasinya sistem dan proses mampu

mencakup dan memperluas gagasan Edgar Dale tentang keterkaitan antara bahan
belajar dengan proses pembelajaran. Dengan kata lain pemanfaatan media dalam
kegiatan pembelajaran.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang dibahas pada materi ini meliputi:
1. Apa itu pembelajaran modern
2. Bagaimana hakikat pembelajaran
3. Bagaimana konsep pembelajaran PLS
4. Prinsip pembelajaran modern PLS
5. Seperti apa penggunaan, pendekatan dan strategi pembelajarannya
6. Bagaimana system pembelajaran modern dalam PLS
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu;
1. Untuk mengetahui seputar pembelajaran modern
2. Hakikat mengenai pembelajaran

3. Seperti apa konsep pembelajaran PLS
4. Untuk mengetahui prinsip dari pembelajaran modern PLS
5. Untuk menambah ilmu baru mengenai penggunaan, pendekatan dan strategi
pembelajaran

6. Seperti apa pembelajaran modern dalam PLS itu
6
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Pembelajaran modern adalah pembelajaran yang mengikuti perkembangan Zaman,dimana era
sekarang ini adalah era teknologi informasi.Pembelajaran modern harus mampu menyerap
informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya menjadi
satu pengetahuan baru yang powerful. Kecakapan dalam melakukan sintesa ini tampaknya
menjadi kian penting terutama ketika banjir informasi kian deras mengalir melalui beragam
media : televisi, media cetak, dan dunia online. Hal ini juga membawa dampak negative
dimana menurut Alvin Toffler informasi yang deras mengalir itu acap dipenuhi dengan
informasi sampah (junk information). Untuk itu dibutuhkan kecapakan memilah dan
mensintesakan beragam informasi itu, karena jika tidak dilakukan maka kita bisa tergelincir
dan tenggelam dalam lautan informasi. Pembelajaran modern juga harus mampu merangsang
seseorang untuk berpikiran mencipta. Pola piker yang senantiasa merekahkan ide-ide baru,
membentangkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru,
dan sekaligus memunculkan unexpected answers. Pola pikir inilah yang akan membawa kita
masuk dalam wilayah-wilayah baru yang menjanjikan harapan dan peluang dan membuat kita
mampu berpikir secara lateral (out of the box) dan bukan sekedar berpikir linear mengikuti
jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita stagnan. Dan pola pikir inilah yang
akan menemani kita untuk bergerak maju, progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang
positif dan bermakna (meaningful life)
Pada pembelajaran modern Teknologi Informasi harus mampu menjadi budaya pada
setiap institusi penyelenggara pendidikan.dimana menurut McKenna dan Beech berpendapat
bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal
efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka
terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku

mengakomodasikanketahanan“(McKenna,etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Drennan selama 10 tahun telah ditemukan 12
faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis yaitu :

7

1.Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
2.Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
3.Teknologi, operasional dan layanan jasa
4.Industri dan kompetisinya/ persaingan.
5.Pelanggan/stakehoulder akademis
6.Harapan perusahaan/organisasi
7.Sistem informasi dan kontrol
8.Peraturan dan lingkungan perusahaan
9.Prosedur dan kebijakan
10.Sistem imbalan dan pengukuran
11.Organisasi dan sumber daya
12.Tujuan, nilai dan motto.
Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria,
indikator)budaya organisasi yaitu :
a.Jaminan diri (Self assurance)
b.Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
c.Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
d.Kecerdasan emosi (Intelegence)
e.Inisatif (Initiative)
f.Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
g.Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
h.Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
i.Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
j.Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).

Untuk membentuk budaya teknologi informasi dari sebuah institusi diperlukan Tata
kelola Teknologi Informasi bertujuan untuk memaksimalkan potensi sumber daya yang ada,
dan menghindari tumpang tindih alokasi waktu, biaya dan sumber daya manusia, serta
mengurangirisiko dalam pengembangan Teknologi Informasi.

8
IT Governance Institute (ITGI) mendefinisikan tata kelola TI sebagai tanggung jawab
dari dewan direksi dan manajemen eksekutif. Tata kelola TI adalah bagian tak terpisahkan
dari tata kelola korporasi (corporate governance) yang terdiri dari kepemimpinan
(leadership), struktur-struktur organisasi, dan proses-proses yang menjamin bahwa TI
organisasi mendukung dan memperluas strategi dan tujuan organisasi (Grembergen,et.al.,
2004).
Menurut ITGI, tata kelola TI pada dasarnya berfokus pada dua hal yaitu bagaimana TI
memberikan nilai tambah bagi bisnis dan penanganan risiko pada implementasi TI. Tujuan
tata kelola TI menurut ITGI adalah mengarahkan investasi TI untuk menjamin performa TI
memenuhi tujuan-tujuan berikut (Betz, 2007):
•Kesesuaian TI dengan organisasi dan realisasi keuntungan yang dijanjikan
•Penggunan TI memungkinkan organisasi memaksimalkan manfaat dan memperbesar
peluang
•Pertanggungjawaban dalam penggunanan sumber daya TI
•Manajemen yang sesuai dengan risiko-risiko yang berkaitan dengan TI.
Standar mutu penyelenggaraan prmbelajaran berbasis teknologi informasi (e-Learning)
meliputi :
•Input yang terdiri atas : Komponen Perencanaan (Rencana Pembelajaran selama satu
semester yang berpusat pada mahasiswa), Komponen Perancangan dan pembuatan Materi,
•Proses yang terdiri atas Penyampaian Materi,Interaksi Mahasiswa dan
Mahasiswa,Mahasiswa dan sumber belajar,Mahasiswa dengan Dosen.
•Output yang terdiri dari : Evaluasi terhadap Capaian pembelajaran yang merupakan luaran
pembelajaran,yang dikaitkan dengan Evaluasi pengajaran dosen (Materi,Metode,dan
Interaksi),evaluasi keterlibatan dan keaktifan mahasiswa.Evaluasi terhadap penyelenggaraan
meliput dukungan peraturan dan fasilitas dan kesesuaian materi dan kemudahan memahami
materi,serta kemudahan akses Pada Input Perencanaan Standar mutu yang harus dilakukan

adalah :
1.Penentuan mata kuliah dan Dosen untuk jadwal e-learning disahkan oleh Dekan dan
Kaprodi tersedianya jadwal kuliah e-learning yang telah disahkan oleh Kaprodi dan Dekan.
2.Dosen dan mahasiswa telah mendapatkan sosialisasi penggunaan e-learning,Jadwal dan
pelaksanaan sosialisasi e-learning,dan surat pernyataan kesanggupan melaksanakan tugas elearning.
9
3.Tersedianya Buku Pedoman penggunaan e-learning Dosen dan mahasiswa mudah
mendapatkan akses pedoman penggunaan e-learning
4.Dosen dan mahasiswa memiliki akses terhadap e-learning Dosen dan mahasiswa terjadwal
e-learning mendapatkan kemudahan akses dan fasilitas untuk perkuliahan e-learning
Tahap Perancangan dan pembuatan materi standar mutu yang harus dicapai adalah :
1.Rencana Pembelajaran Persemester telah siap (lengkap dengan Kontrak,Silabus dan
Evaluasi hasil Belajar),Tersedianya Rencana Pembelajaran Persemester telah siap (lengkap
dengan Kontrak,Silabus dan Evaluasi hasil Belajar) dan sudah diupload ke e-learning
2.Materi sesuai dengan kurikulum dan media elektronk yang disediakan di elearning,Tersedianya materi yang sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi dan media
elektronk yang disediakan di e-learning
3.Materi tersedia dan dapat diakses mahasiswa melalui internet Tersedianya Materi dalam
Blog Dosen dan E-lina yang dapat diakses melalui internet
4.Menjalankan Penyelenggaraan e-learningsesuai dengan kode etik dan perundang-undangan
yg berlaku,Kesesuaian Penyelenggaraan e-learningdengan kode etik dan perundangundangan yg berlaku
Tahap Proses Penyampaian standar mutu yang harus dicapai adalah :
1.Minimum materi yang disediakan dalam dua presentasi elektronik yang disediakan elearning Tersedianya materi dalam dua presentasi elektronik yang disediakan e-learning
2.Materi harus up todate menarik dan memudahkan, ada petunjuk yang harus dilakukan oleh
mahasiswa,Materi yang ditampilkan menarik,mudah dipahami dan merangsang mahasiswa
untuk belajar
3.Harus tersedia fasilitas interaksi secara online tersedia fasilitas interaksi secara online

4.Harus tersedia fasilitas tatap muka sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan tersedia
fasilitas tatap muka sesuai dengan jadwal yang ditetapkan
Tahap Interaksi antara mahasiswa,dosen dan sumber belajar,standar mutu yang harus dicapai
adalah:
1.Harus terjadi Interaksi mahasiswa dengan Sumber Belajar Record interaksi mahasiswa
dengan Sumber Belajar
10
2.Interaksi dilakukan secara synchronous maupun asynchronous Interaksi dilakukan secara
synchronous (melalui Chating atau Forum) maupun asynchronous melaui
Blog,message,Assigment
Tahap Output pembelajaran
standar mutu yang harus dipenuhi melalui Evaluasi secara elektronik adalah:
1.Evaluasi terhadap frekwensi dosen dalam menggunakan e-lina dan berinteraksi dengan
mahasiswa Ada Evaluasi terhadap frekwensi dosen dalam menggunakan e-lina dan
berinteraksi dengan mahasiswa
2.Evaluasi terhadap mahasiswa dalam penggunaan e-lina Ada evaluasi kehadiran dan
pemanfaatan e-lina,evaluasi terhadap Tugas,Kuiz,UTS serta keaktifan mahasiswa dalam
proses pembelajaran
standar mutu yang harus dipenuhi melalui Evaluasi Tatap Muka adalah
1.Evaluasi terhadap portofolio pemahaman dan kemampuan mahasiswa pada mata kuliah
Ada presentasi dan hasil capaian portofolio kemampuan mahasiswa pada mata kuliah
2. Evaluasi Akhir Semester Ada ujian akhir semester secara tatap muka.
Di era globalisasi dan komputerisasi metode pembelajaran tidak lagi bergantung pada
seorang guru ataupun buku saja . tetapi lebih kepada pengembangan potensi siswa/mahasiswa
dengan model pembelajaran modern seperti quantum teaching, quantum learning, e-learning
dan metode pembelajaran yang lainnya yang lebih mengoptimalkan proses dan hasil dari
suatupembelajaran. Berbagai penemuan teknologi baru seperti LCD projector, computer, I
internet dan sebagainya bisa dimanfaatkan dalam rangka untuk meningkatkan kreatifitas dan
keterampilan, kecakapan siswa/mahasiswa Metode-metode pembelajaran klasik harus
ditinggalkan karena sudah tidak efisien lagi dengan teori-teori pembelajaran yang modern

seperti saat ini.
Pembelajaran yang berbais teknologi lebih efisien dari pada metode klasik. Untuk itu guru
sebagai pembimbing dalam suatu proses pembelajaran di sarankan untuk menggunakan
metode – metode pembelajaran modern guna meniningkatkan SDM sekarang ini .

11
B. HAKIKAT PEMBELAJARAN
Secara umum pembelajaran diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan
pendidik untuk membantu peserta didik belajar. Secara lebih lugas pembelajaran bahkan
diartikan sebagai upaya membuat peserta didik belajar, tetapi dalam PLS pengertian lugas
semacam ini kurang bisa diterima karena bertentangan dengan konsep andragogi yang
berprinsip partisipatif. Dalam konsep pedagogi pun penggunaan pengertian secara lugas
tersebut bisa menjebag pendidik ke pemahaman yang menempatkan peserta didik sebagai
obyek (bukan subyek), membuat peserta didik pasif, sehingga kurang mampu
mengoptimalkan perkembangan potensi peserta didik. Dari sini jelas bahwa tugas pendidik
sebenarnya hanya membantu atau menggiring peserta didik untuk betul-betul melakukan
kegiatan belajar atas dasar kemauan dan kesadaran diri. Diyakini bahwa proses belajar
merupakan proses internal diri peserta didik sehingga hanya bisa terjadi bila peserta didik
mau melakukannya.
Pengertian membantu atau menggiring tersebut memang tentu tidak terbebas dari
kegiatan penyampaian informasi atau pengetahuan. Pendidik tetap menyampaikan
pengetahuan (faktual, konseptual, prosedural, dan prinsip) beserta rangkaian kegiatan
selengkapnya seperti membantu penyediaan bahan yang dibutuhkan, mendorong peserta
didik untuk lebih bersemangat dalam memproses informasi tadi, dan mengevaluasi apakah
proses belajar telah terjadi pada diri peserta didik, akan tetapi terjadi tidaknya proses belajar
pada diri peserta didik adalah ditentukan oleh peserta didik itu sendiri. Hal ini harus betulbetul dipahami dan disadari oleh setiap pendidik agar pendidik luar sekolah tidak terjebak
kedalam

sebuah

upaya

yang

sekedar

menyampaikan

informasi

bahkan

tanpa

menindaklanjutinya dengan pengecekan apakah informasi yang telah disampaikan telah
betul-betul diproses oleh dan menjadi milik peserta didik atau belum.

12
Tanggung jawab pendidik dalam hal penyampaian informasi sekurangkurangnya
sampai pada betul-betul terjadinya proses belajar pada diri peserta didik, meskipun yang
menjadi penentu akhir terjadinya proses belajar tersebut adalah peserta didik itu sendiri. Ini
semua menggambarkan pemahaman yang utuh tentang pembelajaran sebagai konsep yang
sama sekali berbeda dari konsep yang lama yaitu pengajaran.
Selama pelaksanaan pembelajaran banyak keputusan yang harus diambil pendidik,
seperti keputusan-keputusan tentang apa saja yang harus dikatakan dan dilakukan pada
bagian pendahuluan, begitu juga pada bagian inti, serta bagian akhir pelaksanaan
pembelajaran, apa saja yang harus dilakukan agar perhatian semua peserta didik tetap
terfokus kepada penjelasan yang ia sampaikan, agar mereka paham, dan berpartisipasi dalam
semua kegiatan belajar yang telah ia rencanakan, sikap apa yang harus diambilnya jika media
pembelajaran tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya, atau siswa tidak merespon
sebagaimana yang ia harapkan, atau jika terdapat hal-hal yang tidak diduga dan dapat
mengganggu jalannya pembelajaran, dan seterusnya.
Kemudian di bagian akhir pendidik juga masih harus mengambil keputusankeputusan tentang apakah pertanyaan yang direncanakan harus ditanyakan semua, kepada
peserta didik mana pertanyaan tersebut diajukan, bagaimana cara mengajukannya, bagaimana
cara menyikapi jawaban peserta didik, tugas apa yang akan diberikan kepada peserta didik
untuk dikerjakan di kelas dan di rumah, dan sebagainya. Jadi memang ternyata banyak sekali
keputusan-keputusan yang hams diambil dan diimplementasikan oleh setiap pendidik dalam
pelaksanaan tugasnya mengajar. Hal ini merupakan suatu kemampuan yang cukup diketahui
untuk bisa langsung dipraktikkan. Kemampuan ini hanya bisa dikuasai dengan latihan
terlebih dahulu dan bahkan pengalaman dalam kurun waktu yang tidak sedikit untuk
pelaksanaan pembelajaran yang profesional.

Perspektif di atas menunjukkan peristiwa psikologis yang sesungguhnya terjadi pada
diri setiap pendidik ketika sedang melaksanakan tugas mengajar. Pembelajaran yang
terangkai dengan keputusankeputusan profesional menuntut pendidik mengintegrasikan
keputusannya secara kontekstual dan artistik (seni mengajar) dengan konten yang diajarkan.
Rangkaian artistik semacam ini menjadikan tindakan mengajar sebagai tindakan yang lebih
profesional. Dengan menyadari dan mengimplementasikan pola psikologis yang seperti itu,
pendidik akan menjadi seseorang yang profesional.

13
Hal ini selain karena berkenaan dengan pengembangan potensi manusia,
pembelajaran juga dituntut untuk mengikuti pola profesi dewasa ini yang menuntut
akuntabilitas (pertanggung-jawaban). Sebagaimana dinyatakan Hunter (1994): "Now,
adequate professional teacher preparation parallels that of other professions like medicine."
Jadi setiap kegiatan pembelajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya tidak lagi
bisa dilaksanakan secara asalasalan seperti yang banyak terjadi di masa-masa yang lalu.
Pembelajaran yang tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya akan merupakan sumber
pemborosan dan bahkan tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Perlu ditekankan disini bahwa dalam konteks PLS, hakikat pembelajaran mempunyai
makna yang tersendiri. Fungsi pembelajaran dalam PLS pada dasarnya adalah menfasilitasi
pertumbuhan dan perkembingan diri peserta didik sehingga lebih mampu berperan dalam
kehidupannya secara profesional, sosial, dan politis. Proses pembelajaran orang dewasa
memang merupakan proses yang sangat kompleks terkait dengan kompleksitas kejiwaan
orang dewasa dan variasi setting yang bisa terjadi dalam transaksi pembelajaran orang
dewasa itu sendiri.
Dengan demikian dimensi belajar yang mendapat sentuhan dalam pembelajaran PLS
bukan hanya psikologis, melainkan juga dimensi-dimensi lain seperti sosial, kultural,
ekonomi, hukum, dan bahkan politis sesuai dengan konteks persoalan dan kebutuhan belajar
peserta didik yang bersangkutan.
C. KONSEP PEMBELAJARAN DALAM PLS
Pendidikan, Pembelajaran, Pelatihan, dan Belajar
Pendidikan, pembelajaran, dan belajar pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang saling
melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Telah diketengahkan sebelumnya

bahwa pendidikan pada dasarnya dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengembangkan potensi manusia.
Di dalam pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan terdapat proses belajar, sedangkan
di luar ketiganya proses belajarpun terjadi.
Hal ini semua memberikan makna bahwa dalam kehidupan manusia, belajar
merupakan kegiatan yang paling esensial dan sekaligus paling alamiah.

14
Jika di dalam pendidikan, pembelajaran, ataupun pendidikan terjadi perekayasaan
atau campur tangan pihak lain untuk terjadinya proses belajar, maka di luar ketiganya belajar
terjadi atas inisiatif peserta didik sendiri.
Dengan demikian ada ataupun tidak ada pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan,
belajar bisa tetap berjalan. Sebaliknya pelaksanaan pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan
merupakan suatu kegiatan yang tidak ada artinya jika tidak terjadi proses belajar di dalamnya.
Selain itu, pelatihan dan pembelajaran yang benar adalah pelatihan dan pembelajaran
yang mendidik. Pelatihan dan pembelajaran yang mendidik adalah pelatihan dan
pembelajaran yang mengembangkan potensi peserta didik. Oleh karena itu tidak benar jika
mengajar hanya diartikan sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, atau bahkan
kegiatan yang sekedar membuat seorang murid (dari tidak tahu) menjadi tahu, sebuah
pemahaman yang ditemukan penulis pada kebanyakan para guru di Lndonesia. Mengajar
seharusnya bukan sekedar kegiatan menyampaikan pengetahuan, melainkan sekurangkurangnya berbagai upaya untuk mengembangkan wawasan.
Dengan demikian, tugas pendidik tidak hanya berhenti sampai menginformasikan
pengetahuan, melainkan sampai betul-betul berkembangnya wawasan peserta didik. Dengan
kata lain, pendidik bertanggung jawab atas berkembangnya kemampuan kognitif peserta
didik secara optimal yang berarti selain berpengetahuan luas juga kreatif, kritis, dan
berkemampuan nalar yang kuat. Selanjutnya tugas pelatih juga tidak hanya berhenti sampai
memberikan atau menyampaikan keterampilan, melainkan sampai pada benar-benar berkembangnya keterampilan peserta pelatihan. Pelatih bertanggung jawab atas berkembangnya
kemampuan psikomotorik peserta pelatihan secara optimal yang berarti pelatihan berakhir
jika peserta pelatihan telah benar-benar menguasai keterampilan yang ditargetkan. Bahkan
jika pendidikan diakui sebagai upaya pengembangan kepribadian, maka pembelajaran dan

pelatihan pun juga mempunyai tanggung jawab untuk menjadikan pengembangan wawasan
ataupun keterampilan tersebut sebagai bagian dari kepribadian peserta didik, atau bahkan
juga mengisikan nilai-nilai pendidikan (nilai-nilai luhur seperti kedisiplinan, kejujuran,
tanggung jawab, dan sopan santun) dalam proses pembelajaran dan pelatihan tersebut.

15
D. PRINSIP PEMBELAJARAN MODERN
Kegiatan pendidikan luar sekolah diadakan adalah untuk melayani atau memenuhi
kebutuhan belajar masyarakat. Karena itu dapat dikatakan bahwa pendidik luar sekolah pada
dasarnya adalah pelayan. Dalam konteks yang seperti ini, maka yang menjadi raja adalah
peserta didik. Semua kegiatan yang dilakukan oleh pendidik selaku pelayan harus bisa
memuaskan pihak yang dilayani.
Kebutuhan belajar pada dasarnya adalah suatu kebutuhan seorang atau sekelompok
peserta didik untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, atau sikap tertentu agar mampu
atau lebih mampu dalam melaksanakan tugas atau peran tertentu. Kebutuhan belajar ditandai
dengan adanya kesenjangan antara kemampuan yang diharapkan dan kemampuan yang
dimiliki seseorang atau komunitas untuk melaksanakan suatu tugas atau peran sosial tertentu
secara optimal. Dengan kata lain, kebutuhan belajar merupakan suatu keharusan belajar bagi
seseorang, sekelompok orang, atau sebuah komunitas yang disebabkan oleh adanya gap,
jarak, atau perbedaan antara kemainpuan nyata dan kemampuan yang dituntut untuk dapat
melaksanakan suatu tugas. Oleh karena itu setiap kebutuhan belajar pada dasarnya bersifat
mendesak, karena jika tidak dipenuhi, maka akan menimbulkan ketidaktertaksanaan suatu
tugas. Sebagai akibatnya adalah terjadinya kerugian dan akibat-akibat negatif yang lain
karena ketidak-terlaksanaan tugas dimaksud sebagaimana mestinya.
Proses penentuan ada-tidaknya kebutuhan belajar pada diri seseorang, kelompok, atau
komunitas dan kemampuan-kemampuan tertentu yang perlu dipelajari sebagaimana
ditunjukkan oleh kebutuhan belajar tersebut adalah proses analisis kebutuhan belajar. Dengan
kata lain, analisis kebutuhan belajar adalah poses pengidentifikasian atau pemetaan tentang
actual performance dan required performance (Kroehnert, 2000).

Kebutuhan belajar dapat diidentifikasi melalui sejumlah indikator. Dalam konteks
pekerjaan, informasi tentang gap tersebut di atas dapat dilacak dari beberapa hal, seperti
kedudukan, performansi ataupun capaian pelaksanaan tugas, persoa lan - persoalan terkait
dengan pelaksanaan tugas, rincian/deskripsi tugas, tingkat kehadiran, dan sebagainya.
Berkaitan dengan kedudukan, misalnya kedudukan yang diperoleh tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan ataupun pengalamannya sehingga yang bersangkutan merasa tertekan.

16
Berkenaan dengan pelaksanaan tugas, misalnya tugas yang dilaksanakan tidak sesuai
dengan harapan pimpinan karena adanya perbedaan persepsi antara kedua belah pihak.
Persoalan-persoalan di tempat kerja bisa menyangkut persoalan-persoalan hubungan sosial,
pribadi, budaya, ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Terkait dengan deskripsi tugas bisa
berupa masalah deskripsi tugas yang menimbulkan overlap (tumpang tindih), tidak
terkomunikasikan dengan balk, terlalu sering berubah, dan sebagainya. Soal tingkat
kehadiran bisa berupa terlalu ketatnya aturan, terlalu kerasnya sanksi, penilaian dan perlakuan yang tidak sama terhadap seseorang dan orang yang lain.
Dalam pembelajaran modern dalam pendidikan luar sekolah menggunakan slide-slide
untuk presentasi yang di buat sedemikian rupa menarik. Selain itu pembelajaran pendidikan
luar sekolah secara modern sekarang ini telah banyak kegiatan yang dilakukan diluar ruangkarena kita ketahui bahwa pendidikan non formal berkaitan langsung dengan masyarakat.
Ma-ka dengan kunjungan-kunjungan ke lembaga2 sosial maupun lembaga yang terkait akansemakin memahamkan mahasiswa sejara langsung Karena mereka melihat langsung di lapangan.
E. PENGGUNAAN, PENDEKATAN DAN STRATEGI DALAM PLS
1. Penggunaan Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran di sini diartikan sebagai serangkaian pertimbangan,
keputusan, dan tindakan terkait dengan pendekatan, strategi, dan teknik tertentu yang perlu
dipilih dan digunakan untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan pembelajaran.
Seorang pendidik luar sekolah perlu memperkirakan bahwa untuk mencapai sebuah
tujuan pembelajaran tertentu secara optimal dibutuhkan pendekatan, strategi, dan teknik

pembelajaran apa saja. Selanjutnya setelah mengimplementasikan keputusan tersebut pendidik melakukan evaluasi terhadap keefektivan, efisiensi, dan daya tank metode tersebut.
Setiap pendidik luar sekolah dituntut memiliki beberapa kemampuan strategis. Di
antaranya adalah wawasan yang luas, penalaran yang kuat, inisiatif yang kaya, kreativitas
yang memadai, dan fleksibilitas yang tinggi dalam mengidentifikasi, memilih, dan
menggunakan metode pembelajaran serta mengembangkannya lebih lanjut. Kemampuankemampuan ini bahkan perlu secara terus-menerus diperbaharui dan dikembangkan agar
tidak mengalami ketertinggalan dengan kemajuan IPTEKS yang terus berlangsung. Hal ini
juga memang sesuai dengan prinsip lifelong learning, prinsip yang menjadi pegangan
bertindak setiap pendidik luar sekolah.
17
2. Desain Pembelajaran PLS
Tahap asesmen terdiri atas empat kegiatan, yaitu (1) pengembangan kesadaran
tentang kebutuhan belajar, (2) penentuan konten pembelajaran, (3) telaah terhadap
karakteristik peserta didik, dan (4) kajian terhadap konteks pembelajaran. Selanjutnya tahap
pengembangan bahan ajar terdiri atas tiga kegiatan, yaitu (1) pengembangan tujuan
pembelajaran, (2) pengembangan kegiatan pembelajaran, dan (3) pengembangan evaluasi.
Tahap yang terakhir, yaitu refleksi, terdiri atas kegiatan refleksi terhadap keseluruhan proses
pengembangan dan implementasi dari rencana pembelajaran yang telah disusun.
Dalam desain pembelajaran untuk PLS, pada tahap asesmen, identifikasi kebutuhan
belajar merupakan hal yang sangat vital. Kebutuhan belajar pada dasarnya adalah
kemampuan yang harus dipelajari seseorang atau komunitas untuk dapat melaksanakan suatu
tugas atau peran sosial tertentu.
Oleh karena itu identifikasi semua kebutuhan belajar atau kemampuan-kemampuan
yang dibutuhkan peserta didik atau warga belajar sebelum merancang program
pendidikannya merupakan sesuatu yang mutlak.
Kerangka desain tersebut di atas sangat berguna baik untuk pendidik yang belum
ataupun sudah berpengalaman. Kerangka desain ini merupakan pedoman praktis bagi
pendidik untuk melakukan refleksi secara sistematis terhadap pembelajaran yang dilaksanakannya guna memastikan ketepatan dan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan
pembelajaran dan kemungkinan upaya yang dapat dilakukan untuk perbaikan atau
peningkatannya lebih lanjut.

18

3. Pendekatan pembelajaran untuk program PLS
1.

Pendekatan Liberal
Di dunia Barat, pendekatan Liberal merupakan pendekatan yang tertua. Pendekatan

ini bermaksud membawa seseorang ke arah kemelekan hidup secara luas, baik secara
intelektual, moral, spiritual, maupun estetika. Hal ini dipandang sebagai kebutuhan semua
orang sehubungan dengan terjadinya perubahan yang semakin cepat dari ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni dewasa ini. Dengan cara demikian diharapkan dapat tercipta sebuah
masyarakat yang gemar belajar atau "learning society", sebuah istilah yang diintroduksi oleh
Robert Hutchins (1968). Konten atau isi pendidikan yang paling utama menurut pendekatan
ini adalah filsafat, agama, dan kemanusiaan. Ketiganya harus menjadi konten dasar lembaga
pendidikan di semua jalur dan tingkatan pendidikan, sedangkan konten-konten yang lain
dapat ditempatkan dan diselenggarakan sebagai kajian khusus atau spesialisasi. Pendekatan
ini berorientasi pada pemahaman atau penghayatan konsep atau teori dan bukan pada fakta
ataupun prosedur (keterampilan.
2.

Pendekatan Progresif
Pendekatan progresif merupakan sebuah pendekatan yang lebih menekankan kejuruan

dan pelatihan, belajar melalui pengalaman, penemuan ilmiah, dan tanggung jawab sosial. Jadi
tidak seperti pendekatan Liberal, pendekatan ini mengarah ke hal-hal yang lebih praktis dan
mendesak di masyarakat.
Pendekatan ini banyak digunakan untuk mendesain pendidikan bagi individu yang
potensial dan berbakat serta menekankan proses yang berpusat pada peserta didik.
Pendekatan ini juga menekankan demokratisasi pendidikan bersama pelopor-nya, yaitu John
Dewey. Pendekatan ini menekankan pentingnya pengembangan berfikir yang lebih rasional
tentang pekerjaan, kesehatan, pengasuhan anak, dan isyu-isyu masyarakat lainnya. Konsep
umum pendekatan ini memiliki lingkup yang luas yaitu sosialisasi dan inkulturasi, sehingga
pendidikan tak terbatas hanya di sekolah melainkan juga di semua kegiatan-kegiatan baik
yang insidental maupun yang disengaja digunakan masyarakat untuk menyebarkan
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Pihak-pihak pengemban tugas pendidikan
mencakup keluarga, tempat kerja, sekolah, tempat ibadah, dan kesemua pihak di masyarakat.

19

Pendidikan dipandang sebagai proses yang terjadi sepanjang hayat. Menurut Dewey,
sekolah hanya membekali pertumbuhan mental tetapi selebihnya tergantung pada penyerapan
dan interpretasi seseorang terhadap pengalaman di sepanjang hidupnya. Pendidikan yang
sesungguhnya justru diperoleh setelah seseorang meninggalkan sekolah.
Metode pembelajaran yang sangat menonjol dalam pendekatan ini adalah metode
ilmiah yang dikemas menjadi metode-metode problem-solving, project dan activity. Karena
itu pembelajaran orang dewasa mesti berpusat pada problem atau situasi yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik, pada problem yang mendesak, dan pada situasi yang sedang
mereka hadapi.
3.

Pendekatan Behavioristik
Behaviorisme memfokuskan diri pada aktivitas yang tampak dan dapat diukur dari

makhluk hidup. Belajar diartikan sebagai sebuah perubahan perilaku. Tujuan pembelajaran
dirumuskan kedalam format tujuan behavioral dan dijadikan tolak ukur untuk mengevaluasi
perubahan perilaku yang ditunjukkan peserta didik setelah mengikuti atau menyelesaikan
sebuah unit pembelajaran. Tujuan behavioral berisi tiga komponen, yaitu (a) kondisi yang
membuat peserta didik berperilaku, (b) perilaku yang ditunjukkan oleh peserta didik itu
sendiri, dan (c) kriteria keberhasilan perilaku.
Pola pendidikan suatu masyarakat mencerminkan sistem nilai yang dianutnya.
Pandangan filosofi behaviorime berkeyakinan bahwa survival (kemampuan mempertahankan
hidup) adalah nilai yang paling mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Menurutnya,
mempertahankan hidup (survival) merupakan nilai funda-mental bagi setiap orang. Yang
terbaik bagi makhluk hidup adalah kemampuan mempertahankan hidup. Yang terbaik bagi
seseorang adalah upaya meningkatkan martabat. Yang terbaik bagi kebudayaan adalah mengatasi permasalahan hidup.
Pada tingkat individual, pendidikan harus menekankan perolehan keterampilan
tertentu agar individu mampu mempertahankan hidupnya. Karena itu "Learning how to
learn" harus diarahkan ke penguasaan keterampilan kerja. Peran pendidik adalah mendesain
lingkungan untuk mendorong lahirnya perilaku yang dikehendaki, sedangkan peran yang
diharapkan dari pihak siswa adalah peran aktif dan bukan pasif.
Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku, sehingga seseorang dapat dikatakan
belum belajar apabila belum ada perubahan tingkah laku dari kegiatan belajarnya.

20

Tingkah laku di sini bukan sikap ataupun semua gerakan fisik yang dilakukan
manusia, melainkan tingkah laku yang merupakan manifestasi kemampuan seseorang dalam
melaksanakan suatu tugas atau peran sosial tertentu.
4.

Pendekatan Humanistik
Secara historis tujuan pendidikan adalah transmisi warisan budaya. Dasar asumsinya

adalah antara masyarakat satu generasi dan generasi berikutnya akan kurang lebih sama.
Karena itu orang dewasa perlu mengetahui keterampilan dasar, sikap dan nilai tertentu untuk
bisa berfungsi di masyarakat. Tujuan pendidikan humanitsik adalah pemberdayaan manusia,
yaitu orang yang terbuka terhadap perubahan dan belajar secara berkelanjutan, orang yang
berjuang untuk aktualisasi diri, dan orang yang mampu hidup bersama secara betul-betul
fungsional.
Fokus pendidikan orang dewasa adalah pada diri peserta didik secara individual dan
bukan pada batang tubuh pengetahuan atau informasi. Pendidikan humanistis tetap memiliki
dua aspek, yaitu aspek penyampaian materi yang lebih manusiawi dan aspek pengembangan
pribadi untuk mampu memahami diri dan orang lain serta mampu berhubungan secara sosial
secara positif. Komponen pendidikannya meliputi (1) peserta didik sebagai inti proses, (2)
pendidik sebagai fasilitator, dan (3) belajar melalui penemuan.
5.

Pendekatan Radikal dan Kritis
Pendekatan ini mengacu pada tradisi filosofi pendidikan radikal yang dipelopori oleh

Paulo Freire. Pada intinya pemikiran radikal dan kritis adalah sebuah upaya perlawanan
terhadap pihak status quo. Yang menjadi arah tradisi filosofi pendidikan ini sebenarnya
adalah meningkatkan kedalaman perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Secara historis
pemikiran pendidikan radikal berakar dari tiga sumber, yaitu (a) tradisi anarkhis yang
berkembang pada abad kedelapan belas dan yang terus berlanjut hingga sekarang sebagai
upaya perlawanan terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. (b) Tradisi
sosialis-marxis yang menentang pendidikan persekolahan sebagai bentuk pemeli-haraan
dunia industri modern. (c) Tradisi Aliran Kiri Freud yang memberikan tekanan utama
gerakannya pada perubahan watak kepribadian, struktur keluarga, dan praktik pengasuhan
anak.

21

6.

Pendekatan Analitik
Pemikiran analisis merupakan pemikiran yang menekankan analisis konsep,

argumentasi, slogan dan pernyataan-pernyataan. Dalam aplikasinya di dunia pendidikan,
pemikiran ini menganalisis konsep-konsep pendidikan, pengajaran, ataupun belajar dan mempreskripsikan bagaimana seharusnya pendidikan dan sekolah menyikapi tujuan, isi, metode,
dan evaluasi.
Para pemikir analitik mencapai tujuan klarifikasi bahasanya melalui penggunaan
berbagai teknik, Mat, dan metode. Mat yang pertama-tama digunakan adalah logika. Dalam
rangka ini para analis membedakan 3 macam pertanyaan, yaitu pertanyaan tentang fakta,
pertanyaan tentang nilai, dan pertanyaan tentang konsep.
Terkait dengan konsep pendidikan orang dewasa, Peterson memulai karyanya dengan
sebuah analisis tentang konsep "dewasa". Menurutnya, kedewasaan merupakan sebuah
konsep normatif yang berbasis usia kronologis dan status seseorang di masyarakat. Orang
dewasa mempunyai hak tertentu di dalam kehidupan masyarakat yang tak dapat dipandang
oleh anak-anak. Mereka juga mempunyai tanggung jawab tertentu yang dibebankan oleh
masyarakat. Meskipun secara emosi dan moral bisa jadi belum matang, mereka biasanya
dianggap sudah matang. Karena itu satu-satunya landasan yang paling tepat dalam hal ini
adalah`bahwa mereka lebih tua dari pada anak-anak. Melalui kurun usia itu mereka telah
berkesempatan mengembangkan kematangan emosi dan moral. Selanjutnya Lawson
melakukan pembedaan antara pendidikan untuk orang dewasa dan pendidikan kedewasaan.
istilah yang pertama mencakup semua jenis kegiatan belajar yang melibatkan orang dewasa,
sedangkan istilah yang kedua merupakan istilah normatif yang bisa diaplikasikan bila-mana
kriteria proses pendidikannya betul-betul tersedia.
7.

Pendekatan Pasca Modern
.Paham ini memperjuangkan konteks sosial yang menghargai segi-segi perasaan,

kesadaran, intuisi, spiritualitas, dan pluralitas budaya. Karena itu paham pasca modern pada
dasarnya merupakan gerakan kultural dalam era industri. Paham ini tidak melihat paham
modern sebagai kekuatan untuk kemerdekaan tetapi justru sumber penekanan, penguasaan,
dan penyerangan. Pasca modern menolak semua pandangan yang mengarah ke globalisasi
seperti marxisme, kapitalisme, demokrasi liberal, kemanusiaan sekuler, dan islam
fundamentalis.

22

Paham pasca modern dalam PLS mempunyai kecenderungan ke arah beberapa hal. Di
antaranya adalah perhatian terhadap keberadaan berbagai konteks sosial yang menuntut
respon berbeda, seperti suku budaya, tingkat ekonomi, jender, dan bahasa. Selain itu juga
keyakinan terhadap kekuatan kesadaran, perasaan, dan spiritualitas dalam tindakan manusia.
Paham ini menekankan pentingnya nilai-nilai intrinsik dari setiap pengalaman. Sebagai
konsekuensinya, privatisasi dalam pendidikan sangat dibutuhkan. Tujuan, kurikulum, dan
proses pendidikan harus memperhitungkan keterlibatan peserta didik. Setiap pendidik harus
berupaya mempedulikan semua pihak yang terpinggirkan, terabaikan, tak berdaya, dan
terbelenggu di manapun mereka berada.
8. Pendekatan Transformatif
Pembelajaran transformatif merupakan teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal
dengan puncaknya yang disebut critical reflection (renungan kritis).
Secara konseptual, dalam Webster Dictionary (Daszko, Ma-cur & Sheinberg, 2004)
disebutkan: "To transform means to change in form, appearance or structure;
metamorphoses; to change condition, nature or character; to change into another substance.
"Dinyatakan selanjutnya bahwa: "That is, while all transformation is change, not all change
is transformation. Transformation is a change in kind; not a change in degree." Dari sini
dapat ditarik pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau
struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi.
Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah
transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial (dangkal), sedangkan transformasi lebih
bersifat substansial (mendasar). Lebih lanjut Cranton (2003) juga mengetengahkan bahwa:
At its core, transformative learning theory is elegantly simple. Through some event,
which could be as traumatic as losing a job or as ordinary as an unexpected question, an
individual becomes aware of holding a limiting or distorted view. If the individual critically
examines this view, opens herself to alternatives, and consequently changes the way she sees
things, she has transformed some parts of how she makes meaning out of the world.

23

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah suatu upaya
atau proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau pendidikan yang
transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang menghasilkan perubahan mendasar
pada peserta didik. Jadi pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar
bukanlah pembelajaran transformatif. Dari sudut pandang ini, pendidikan dapat diartikan
sebagai transformasi potensi manusia, baik secara keseluruhan ataupun terbatas. Dengan
demikian pembelajaran dapat dipandang sebagai transformasi pengetahuan atau kognitif,
sedangkan pelatihan dapat dipandang sebagai transformasi keterampilan atau psikomotorik.
Dengan demikian, yang bisa diubah pada diri peserta didik dalam pembelajaran
transformatif pada dasarnya bisa berkenaan dengan aspek apapun. Hal ini berarti bahwa
pembelajaran transformatif bisa digunakan untuk mengubah persepsi, pandangan, asumsiasumsi, sikap, perasaan, kesadaran, bahkan keyakinan peserta didik. Yang dimaksud dengan
keyakinan disini tidak terbatas pada keyakinan yang terkait dengan agama, melainkan juga
keyakinan dalam hal-hal yang lain mulai dari yang sepele hingga yang sangat bermakna.
Transformasi itu pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa perubahan diri
sendiri, sehingga yang paling menentukan adalah diri orang yang bersangkutan sendiri, bukan
orang lain. Karena itu perubahan diri memerlukan prasyarat tertentu, seperti sebuah kondisi
yang menyedihkan dan kecocokan rangsang yang tertuju ke diri seseorang dengan kondisi
yang sedang dialami seseorang yang bersangkutan.
Dazko, Macur & Sheinberg (2004) menyatakan bahwa transformasi bermula dari
pemahaman individu terhadap sesuatu kemudian berlanjut ke masalah sosial. Dengan
pemahaman semacam itu individu yang ditransformasi akan memberi makna baru terhadap
kehidupan, peristiwa, dan interaksinya dengan orang lain. Begitu seseorang memahami suatu
pengetahuan secara mendalam, dia segera mengaplikasikan prinsip-prinsip pengetahuan
tersebut pada setiap interaksinya dengan orang lain. Earley (2004) bahkan memaknai
transformasi individu sebagai transformation of consciousness yang diaplikasikan kedalam
suatu tindakan sosial. Dalam pemahaman yang seperti ini, transformasi bisa mencakup
bidang-bidang lain yang lebih luas, termasuk tercakupnya unsur-unsur psikoterapi, spiritual,
dan sosial.

24

Dari penjelasan tentang pembelajaran transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa
pembelajaran transformatif telah menjadi sebuah pendekatan. Di dalamnya terlihat dengan
jelas potensi konseptual yang luar biasa. Dengan demikian, apabila potensi tersebut dapat
diaplikasikan kedalam kegiatan pelatihan, maka muncul harapan bahwa kegiatan pelatihan
tersebut memiliki peluang untuk tampil sebagai kegiatan yang sangat berguna.
Dewasa ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di
antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow, transformasi
pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan transformasi sosial atau transformasi
emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998). Menurut transformasi rasionat, proses belajar
transformatif adalah proses pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri
berdasarkan interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan-tindakan yang akan datang.
Teori ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan-anggapan
seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Kegiatan belajar
dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif. Belajar instrumental
difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada
pemahaman substansi yang terkandung di dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang
nilai, cita-cita, perasaan, keputusan moral, dan konsepkonsep kebebasan, keadilan, kasih
sayang, buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi.
Tujuan utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola
kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow
menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya dengan
budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi, maka
Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk
mencapai keharmonisan karena diri (self) merupakan bagian sentral dan integral dari totalitas
kepribadian.

25

4. Strategi pembelajaran untuk program PLS
Jarvis menyatakan bahwa strategi didaktis dan sokratis lebih berpusat pada pihak
pendidik, sedangkan strategi fasilitatif dan eksperiensial sama – sama dapat di manfaatkan
untuk pembelajaran orang dewasa. Jika pendidik berperan dalam strategi didaktis, dia
menguraikan pengetahuan untuk di pelajari peserta didik, jika pendidik berperan dalam
strategi sokratik dia membawa peserta didik kekesimpulan terhadap temuan – temuan mereka
melalui berbagai pertanyaan yang sengaja di arahkan. Selanjutnya jika peran yang di mainkan
pada strategi fasilitatif, maka dia menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga terjadi
proses belajar tanpa pengaawasan yang ketat, dan jika peran yang di mainkan pada strategi
eksperiensial maka pendidik menyediakan pengalaman – pengalaman yang melibatkan semua
peserta didik. Berikutnya mezirow menampilkan strategi transformatif sebagai strategi