PERTUMBUHAN PRODUKSI BIOMASSA DAN KANDUN

Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Untuk Konservasi Ekosistem Padang Lamun
Oleh : Rajuddin Syamsuddin
(Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin
Email : rajuddin_syamsuddin@yahoo.com; HP:
081355565099)

ABSTRAK
Peneltian dilakukan di dua lokasi yakni Teluk Tanakeke,
Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar dan Teluk Laikang, di
Desa Laikang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Hasil
penelitian
merupakan
sebagai
sumbangsih
berupa
konsep
pengembangan budidaya rumput laut ramah lingkungan dan
berkelanjutan yakni dengan tidak mengorbankan ekosistem padang
lamun yang potensinya sangat besar.

Metode b udidaya yang

dicobakan adalah metode rawai pada permukaan perairan
(floating method), lepas dasar (off bottom method), metode
dasar (bottom method) dan dengan cara bersusun secara
vertikal (vertical hanging method). Jarak antara bentangan tali
adalah 30 cm, dan jarak antara rumpun adalah 25 cm. Berat
awal setiap rumpun 100 gram. Budidaya rumput laut K.alvarezii
dapat dilakukan di dalam ekositem padang lamun dengan memberikan laju
pertumbuhan dan kandungan karaginan tinggi tanpa harus merusak ekosistem lamun.
Kondisi fisikawi, kimiawi dan biologis ekosistem padang lamun yang optimal mendukung
pertumbuhan dan kndungan karaginan K. alvarezii yang tinggi. Metode budidaya tali
gantung menghasilkan rumput laut dengan laju pertumbuhan dan kandungan karaginan
tinggi.

Kata kunci : padang lamun, Kappaphycus alvarezii, metode budidaya,
pertumbuhan, kandungan
karaginan

1


PENDAHULUAN
Page

Kawasan lamun banyak ditemukan di wilayah pesisir Indonesia dengan
karakteristik perairan :





Jernih
Kecepatan arus rendah
Substrat dasar berlumpur atau berpasir
Kaya unsur hara

Kawasan lamun adalah lokasi yang ideal untuk budidaya rumput laut
tanpa harus membabat vegetasi penyusun ekosistem tersebut karena mampu
menghasilkan rumput laut dengan laju pertumbuhan dan produksi tinggi, dengan
kualitas yang baik.

Penelitian budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii (Eucheuma
cottonii)

di dalam kawasan lamun

Enhalus acoroides

telah dilakukan dan

hasilnya perlu disosialisaikan untuk mencegah meluasnya kerusakan ekosistem
tersebut akibat pembabatan tumbuhan lamun dalam rangka kegiatan budidaya
rumput laut. Makalah ini mengemukakan fakta akademik di balik keberhasilan
budidaya K. alvarezii di dalam ekosistem padang lamun.
Penelitian ini merupakan sumbangsih pengembangan teknologi dan
ekstensifikasi budidaya rumput laut ramah lingkungan dan berkelanjutan, tanpa
merusak

ekosistem

padang


lamun

yang

potensil

dimanfaatkan

untuk

meningkatkan perekonomian di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Peneltian telah dilakukan di dua lokasi yakni Teluk Tanakeke, Kecamatan
Mappakasunggu, Kabupaten Takalar dan Teluk Laikang, di Desa Laikang,

Page


2

Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar.

Bibit

Bibit rumput laut yang digunakan adalah bibit K.alvarezii berkualitas yang
tersedia pada areal budidaya masyarakat di lokasi penelitian.

Metode Budidaya

Budidaya yang diterapkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan
adalah metode rawai (tali bentang) masing-masing pada permukaan perairan
(floating method

= metode permukaan), lepas dasar (off bottom method),

metode dasar (bottom method) dan dengan cara bersusun pada tali vertikal
(hanging method).


Jarak antara bentangan tali adalah 30 cm, dan jarak antara

rumpun adalah 25 cm. Bobot awal setiap rumpun 100 gram.

Pengamatan Pertumbuhan
Laju pertumbuhan harian dihitung dengan melakukan penimbangan
setiap minggu, dan dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan
oleh Munoz dkk. (2004):
SGR =[ ln Wt – ln Wo)/t] x 100%
dimana :
SGR = Laju pertumbuhan harian rumput laut (%/hari)
Wt
= Bobot basah rumput laut pada akhir penelitian (g)
Wo
= Bobot basah rumput laut pada awal penelitian (g)
t
= Lama waktu pemeliharaan (hari)

Kandungan Karaginan
Kandungan karaginan dianalisis dengan ekstraksi rumput laut kering

dengan larutan KOH 0.5% pada suhu 90-95 oC. Tepung karaginan diperoleh
setelah melalui proses dehidrasi dan pengeringan.

Kandungan karaginan

Page

3

dinyatakan dalam persen berat kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya K. alvarezii di dalam Padang Lamun
Sedimen dengan partikel – partikel tanah yang halus, kandungan N dan
P pada sedeimen padang lamun lebih tinggi jika dibandingkan dengan
lingkungan dengan sedimen berpasir (Brady, 1974; Larkum dkk, 1989).

Ammonium merupakan bentuk nitrogen yang dominan pada ekosistem
lamun (Prescott, 1968; McCarthy dkk, 1997) yang dihasilkan dari dekomposisi
bahan organik dengan kandungan protein tinggi (dari hewan akuatik) yang

menumpuk dalam konsentrasi tinggi di dalam sedimen ekosistem lamun.
Amonium dari sedimen terus menerus terangkat ke seluruh lapisan air melalui
proses turbulensi dan proses difusi. Tumbuhan lamun menyerap amonium dan
unsur-unsur hara lainnya secara langsung dari kolom air melalui daun dan dari
sedimen melalui akarnya (Tomasick dkk., 1997). Melalui dekomposisi batang
dan daun, tumbuhan lamun melepaskan unsur hara dari sedimen ke lapisan air
diatasnya.

Unsur – unsur hara yang ada dikolom air tersebut diabsorpsi oleh

tallus rumput laut.

Dengan demikian, secara alamiah antara lamun dan rumput

laut dapat tumbuh dan berkembang secara berdampingan.
Dengan kandungan oksigen dari hasil difusi dari atmosfir ke dalam air
dan dari fotosintesis, maka proses oksidasi pada dasar perairn disekitar akar
lamun juga terjadi (Burrel dan Schuble, 1997) yang menyebabkan konsentrasi
ammonium melebihi optimal pada zona aerob dan lapisan air diatas sedimen
dicegah melalui oksidasi enzimatis (nitrifikasi) ammonium manjadi nitrat.

Konsentrasi ammonia yang tinggi terutama pada kondisi pH tinggi (Wetzel, 1975)

4

dapat mengahambat pertumbuhan dan produktivitas alga (O’Kelley, 1974 dikutip
Page

oleh Syamsuddin, 1989) melalui penghambatan proses sintesis dan pemecahan
enzim NR (nitrat reduktase) (Conway, 1977; Hipkins dkk, 1980) yang berperan
mereduksi nitrat menjadi ammonium didalam sel alga pada proses sintesis
protein, meningkatkan pH didalam sel melalui penetrasi molekul –molekul
ammonium hidroksida yang tidak larut (Blinks, 1951) yang menyebabkan
hilangnya aktifitas enzim di dalam sel tumbuhan (Devlin dan dan Witham, 1983),
dan menghambat fotosintesis melalui inhibisi proses fotofosforillasi. (Woo dan

Canvin, 1980) sehingga sintesis ATP (didalam reaksi terang dari fotosintesis)
juga terhambat (Salibury dan Ross, 1969). ATP adalah sumber energi didalam
penambatan (fiksasi) karbondioksida untuk metabolisme karbohidart, untuk
sintesis asam – asam amino (protein) dan lipida, serta untuk mempercepat
pergerakan fotosintetat (hasil fotosintesis) dari sel ke sel (Delvin dan Witham,

1983).
Bakteri aerob yang bekerja

di sekitar akar tumbuhan lamun juga

menyebabkan fosfor yang berada dalam keadaan kompleks (terikat dengan ion
Fe sehingga tidak dapat diserap oleh rumput laut) terlepas menjadi bentuk fosfor
terlarut yang dapat diabsorpsi oleh rumput laut (Merioarty dan Boon, 1989 di
dalam Larkum dkk, 1989).
Dengan tersedianya makanan bagi berupa daun tumbuhan lamun, alga
epifita dan hewan – hewan menempel pada substrat dasar, daun, batang dan
akar lamun, maka pemangsaan hewan – hewan herbivora terhadap rumput laut
dapat ditanggulangi.

Pertumbuhan
Laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh dengan metode bersusun
vertikal (2,67 %/hari ), disusul metode terapung ( 2,54 %/hari ), dan terendah

5


pada metode dasar (1,14%/hari ).

gelombang sehingga air menjadi

Page

Vegetasi lamun berfungsi sebagai perangkap sedimen, dan meredam
lebih jernih karena partikel lumpur yang

tersuspensi lebih cepat mengendap. Karenanya rumput laut terpapar dengan
baik dengan cahaya matahari pada metode vertikal dan metode terapung dan
menunjukkan laju fotosintesis tinggi.
Laju pertumbuhan tertinggi pada metode vertikal disebabkan oleh :
seluruh tallus rumput laut yang tergantung secara vertikal dapat terpapar dengan

sinar matahari mulai dari lapisan paling atas hingga ke lapisan yang lebih dalam
dari kolom air. Melalui gerakan tali yang berayun mengikuti pergerakan air juga
menyebabkan tallus tidak mudah luka atau patah sehingga tidak mudah
terinfeksi oleh penyakit.
Laju pertumbuhan rumput laut pada metode terapung yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan metode bersusun vertikal, kemungkinan disebabkan
oleh, fenomena Efek Warburg sebagai akibat dari pengaruh kondisi aerob (oksik)
pada lapisan permukaan yang menghasilkan oksigen terlarut dengan konsentrasi
diatas konsentrasi optimal akibat laju difusi oksigen dari atmosfir yang sangat
tinggi dan hasil fotosintesis tumbuhan lamun, epifita yang menempel pada lamun
dan fitoplankton dengan kepadatan tinggi.

Akibatnya terjadi efek Waburg

(Noggle dan Fritz, 1983) yakni kompetisi antara karbondioksida dengan oksigen
pada

sisi reaktif (reactive site) dari RUBP karboksilase (enzim pengikat gas

karbondioksida CO2 dalam proses fotosintesis), sehingga gas karbondioksida
yang direduksi oleh enzim RuBP karboksilase dalam proses fotosintesis pada
lintasan pentosa fosfat (pentose phosphate patway) menjadi minim.
oksigenasi di sekitar tallus

Proses

rumput laut juga mendorong sintesis asam glikolat

yang merupakan substrat bagi proses respirasi, yang

menghambat produksi

karbohidrat (karaginan dan sebagainya) yang dihasilkan melalui fotosintesis.

6

Meskipun konsentrasi ammonium tinggi pada dasar ekosistem padang
Page

lamun, penyerapan ammonium oleh rumput laut dengan metode lepas dasar
dan metode dasar rendah akibat intensitas cahaya rendah.
amonium dipengaruhi oleh intensitas cahaya

matahari.

Penyerapan

Laju pertumbuhan

rumput laut rendahnya pada metode dasar dapat pula disebabkan oleh aktivitas
dekomposisi bakteri pada bagian tallus rumput laut bersinggungan langsung
dengan dasar perairan yang merupakan substrat bakteri dekomposer.

Kandungan Karaginan
Kandungan karaginan rumput laut antara lain dipengaruhi oleh habitat
(lokasi) dan metode budidaya (Soegiarto, dkk, 1978; Pamungkas, 1987). Rumput
laut K. alvarezii yang dibudidayakan pada ekosistem lamun pada penelitian ini
menghasilkan kandungan karaginan yang cukup tinggi (40,73% - 50,16%).
Ketersediaan ammonium yang banyak di dalam
mengurangi penggunaan energi (NADPH)

ekosistem lamun

dalam mereduksi nitrat menjadi

ammonium dalam biosintesis protein (asam amino) pada sel alga (Syamsuddin,
1997) dan lebih banyak dimanfaatkan untuk mereduksi karbondioksi di dalam
reaksi gelap proses fotosintesis dalam sintesis senyawa organik (termasuk
karaginan) (Syamsuddin, 1997).
Kandungan karaginan tertinggi diperoleh pada metode lepas dasar
(52,58%) disusul dengan metode bersusun vertikal (50,16 %) terendah pada
metode apung (40,73%). Afrianto dan Liviawati (1989) juga mencatat kandungan
karaginan dan kekuatan gel K. alvarezii lebih tinggi pada metode lepas dasar jika
dibandingkan dengan metode budidaya lainnya.

Hurtado dkk. (2008)

memperoleh kandungan karaginan yang tinggi K. Striatum dengan budidaya

Kesimpulan

Page

KESIMPULAN DAN SARAN

7

pada kedalaman 100 cm di bawah permukaan air laut.

Berdasarkan bahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulakan
bahwa budidaya rumput laut K.alvarezii dapat dilakukan di dalam ekositem
padang lamun dan memberikan laju pertumbuhan dan kandungan karaginan
tinggi tanpa harus merusak ekosistem lamun. Hal ini terkait dengan kondisi

fisikawi, kimiawi dan biologis ekosistem padang lamun yang optimal mendukung
pertumbuhan dan kndungan karaginan K. alvarezii yang tinggi.
Metode budidaya tali gantung menghasilkan rumput laut dengan laju
pertumbuhan dan kandungan karaginan tinggi.

Saran
Metode budidaya yang dianjurkan adalah metode tali gantung untuk
memperoleh produksi biomassa dan kandungan karaginan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Afriato

dan E. Liviawaty. 1989. Budidaya
Pengelolahannya. Bhatara. Jakarta

Rumput

laut

dan

Cara

Aliah, F. 1990. Pengaruh kedalaman terhadap Produksi Dan Kandungan
Karaginan
Blinks, L.R. 1951. Physiology and Biochemistry Of Algae; Manual Of Phycology.
Chronica Botanica Co. Whitam, Mass, USA.
Brady, C,N. 1974. The Nature and propertis of Soils. MacMilan Publishing. Co.
New York. berpasir
Burrell, D.V dan H.J.R Schubel. 1977. Seagrass Ecosystem Oceanography. In.:
McRoy, C.P. Dan C.Helferich (Eds). Seagrass Ecosystem. Marcell
Dekker., Inc. New York. Pp 195 – 225.
Conway, H.L.1977. Interaction Of Inorganic Nitrogen In The Uptake and
Assimilation by Marine Phytoplankton. Mar. Biol. 39:221-232.

Page

8

Devlin, R.M. dan F.H. Witham, 1983. Plant Physiology. 4th . Ed. PWS Publ.
Boston, USA. 577 p.
Hipkins, C.R., B.A.Al-bassam dan P.J.Syarett. 1980. The Roles Of Nitrate and
Ammonium in the Regulation of the development of Nitrate Reductase in
Chlamydomonas reinhardtii. Planta.,150:1-18
Hurtado dkk. (2008) mengemukakan bahwa kandungan karaginan yang tinggi
pada budi daya K. Striatum didapatkan pada kedalaman 100 cm.
Larkum, A.J.W., Comb, A.J., Sheperd, A.S. 1989. Biology Of Seagrass. Elsevier.
Hal. 501-535

McCarthy, J.J., W.R. Taylor dan J.L. Taft. 1997. Nitrogenous Nutrition Of The
Plankton In the Chasepeake Bay. 1. Nutrient Availability and
Phytoplankton Preferences. Limnol dan Oceanogr. Pp. 996-1011.

Munoz, J., Y. Freile-Pelegrin and D. Robledo. 2004. Marculture of
Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains
in Tropical Waters of Yucatan, Mexico. Aquaculture, 239: 161-177.
Noggle, G.R. Dan G.J. Fritz. 1983. Intyroductory Plant Physiology. 2nd.ed.
Prentice-hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 627 p.
Pamungkas, K. T. 1987. Mempelajari Korelasi antara Umur Panen dan
Kandungan Karaginan serta senyawa-senyawa Lainnya pada Euchema
cottonii dan E. Spinosum. Fakultas Perikanan. IPB.Bogor.
Prescott, G.W. 1968 The Algae; A Review. Houghton; Mifflin Co. Boston. 430 P.
Salisbury, F.K. dan C. Rose. 1969. Plant Physiology. Wadsworth Publ. Co. Inc.
Belman. California. 764 p
Soegiarto, A. Sulistijo, Atmadja, W.S. dan Mubarak, H. 1987. Budidaya Rumput
Laut (Algae), Manfaat, Potensi dan untuk Budidaya. LON-LIPI. Jakarta.
Syamsuddin, R. 1989. An Ecological Study of Benthic Algae in the Jeneberang
Estuary, Ujung Pandang, Indoinesia. Unpubl. Dissertation. UPLB. 260p.
Syamsuddin, R. 1997 Growth Of Phytoplankton Isochrysis galbana Under
Various Nitrogen Sources and Concentrations. Torani, Bull. IK UNHAS,
Vol, 7(1):23-28
Tomasick, T. Mah, A.J. Nontji, A. dan Moosa, M.K. 1997. The Ecology of
Indonesian Sea. Part II Periplus Sedition, (HK) Ltd. Singapore.
Woo, K.C. dan D.T. Canvin, 1980. Effect Of Ammonia, Nitrate, Glutamate, and
Inhibitors of N Netabolism On Photosynthetic Carbon Fixation in Isolated
spinach Leaf cells. Can.J.Bot. 58:511-516.

Page

9

Wetzel, R.G. 1975. Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia – London –
Toronto. 350 p.

BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii
UNTUK KONSERVASI EKOSISTEM PADANG
LAMUN
(Makalah pada Seminar Kelautan dan Perikanan II)

OLEH

Page

10

RAJUDDIN SYAMSUDDIN
(FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN)

Page

11

APRIL 2015