INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (9)

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS
A. Integrasi dalam Sejarah Islam
Budaya integrasi keilmuan telah dikenalkan dan dikembangkan dengan canggih dalam sejarah
intelektual islam klasik. Dalam sejarah islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli
matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih,
tafsir, hadis, dan tasawuf. Meeskipun mereka berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu
kealaman, para pemikir muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka
diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religious dan spiritual.
Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil mengintegrasikan
filsafat yunani dengan ajaran islam yang bersumberkan kepada Al-qur’an dan hadis, lantaran tematema filsafat yunani diidlamisasikan dan disesuaikan dengan pradigma islam. Al-Jahiz adalah ahli
dalam bidang sastra arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi, dan politik. Al-Kindi
menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi,
matematika, astrologi, optic, zoologi, dan meteorology, dan masih banyak lagi ilmuan, teolog, dan
saintis muslim yang menguasai banyak bidang, baik ilmu-ilmu kewahyuan maupun ilmu-ilmu rasional
dan empirik.
Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religious adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmuilmu religious merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim
apapun profesi mereka. Sedangkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik
adalah bahwa semua ilmu tersebut di kategorikan sebagai ilmu fardh al-kifayah yang diwajibkan
kepada sebagian muslim, atau mungkin tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk
menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.
Banyak ilmuan muslim terdahulu yang kehidupan mereka sangat religious dan sufstik, tetapi

mereka menguasai filsafat dengan segala cabangnya seperti metafisika, matematika, fisika, astronomi,
biologi, kedokteran, dan teknologi arsitektur. Dengan demikian, integrasi ilmu dalam islam bukan hal
yang baru, para ilmuan muslim klasik telah mengerjakan proyek keilmuan tersebut sepanjang masa
keemasan islam. Paling tidak, secara akademik mereka menguaai seluruh disiplin ilmu yang
berkembang pesat pada masa mereka, baik ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, maupun ilmu-ilmu
kewahyuan. Mereka bahkan mengintegrasikan kedua jenis ilmu tersebut, dan keduanya saling
mendukung kegiatan akademik mereka. Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup
mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme.
B. Integrasi dalam Ranah Ontologi
Kata ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu ont yang artinya kebenaran, dan logos yang artinya
teori, sedangkan dalam bahasa latin disebut ontologia, sehingga ontology bermakna teori keberadaan
sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi bisa dikatakan sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu.
Ontology adalah bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat, dan membahas teori
tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan.

Para sufi awal lebih banyak memfokuskan kepada masalah kedekatan kepada Allah Swt., tetapi
belakangan mereka meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain itu juga
mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyibak hakikat
wujud-Nya, tetapi juga wujud alam dan manusia. Tasawuf bukan hanya membahas tentang bagaimana
mendekatkan diri kepada Allah Swt. atau hakikat wujud-Nya, tetapi juga memberikan perspektif

tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia, sebagaimana sains juga hendak mengkaji dan menelaah
fenomena-fenomena alam, terutama berbagai peroalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan
manusia.
Beberapa dari saintis barat sekuler, para filsuf muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan
erat antara alam dengan Allah Swt. Ibn Arabi mengatakan bahwa alam diciptakan Allah Swt. melalui
proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang mejemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil
dua bentuk, yaitu : tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi,, dan tajalli syuhudi dalam bentuk
penampakan diri dalam citra alam semesta. Alam merupakan bayangan dari wujud Allah Swt.,
penampakan dari nama dan sifat-Nya, sedangkan manusia yang telah mencapai kedudukan insan alkamil merupakan wadah tajalli-Nya, selain berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan wali tertinggi
(quthb). Teori Ibn Arabi tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud dan tajalli.
Alam material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud Allah Swt., dan selalu berada
dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan. Hewan,
dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memiliki jiwa (al-nafs) masing-masing. Alam
merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis muslim sebagai peneliti
alam empiric (terutama dunia mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia) harus menyadari bahwa alam
merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt., dan ajaran islam mengajarkan bahwa alam merupakan
tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat
menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya
sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuan-ilmuan barat-sekular.
C. Integrasi dalam Ranah Epistemologi

Epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu epiteme yang artinya pengetahuan, dan logos yang
artinya ilmu atau eksplanasi. Jadi epistemology berarti teori pengetahuan. Epistemologi diartikan
sebagai cabang filafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemology
adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat
diketahui. Runes mengatakan “epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan.” Maka epistemology adalah ilmu tentang cara mendapatkan
ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam
epistemology islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode irfani yang
biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa
melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dalam khazanah peradaban islam, banyak saintis muslim
yang ahli dalam bidang ilmu-ilmmu kealamn juga seorang sufi yang mumpuni dalam bidang tasawuf.
Sebagian sufi memanfaatkan metode irfani untuk mendpatkan pemahaman mendalam mengenai dunia

metafisik dan dunia fisik. Melalui zikir, Ibn arabi mampu menebus berbagai dunia, mulai dari dunia
fisik sampai dunia gaib. Pada zikir awal, Ibn arabi dibawa ke dunia mineral, dan ia diperkenalkan pada
berbagai jenis mineral dan manfaat medisnya. Ketika terus melanjutkan zikirnya, Ibn Arabi dibawa ke
dunia tumbuh-tumbuhan, dan ia dikenalkan pada berbagai jenis dan manfaat tumbuh-tumbuhan
tersebut. Zikir selanjutnya membawa Ibn Arabi menuju dunia hewan, dunia manusia, bahkan 23 jenis
dunia gaib, dan ia sendiri memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang berbagai dunia tersebut.

Sufi seperti Ibn Arabi dan filsuf seperti Ibnu Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap
dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan salat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal,
terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. Hal itu merupakan wujud ketundukan mereka
terhadap Allah Swt. sebagai pemilik dan pemberi ilmu kepada manusia, dan harapan terhadap kasih
sayang-Nya agar diberikan pemahaman terhadap berbagai persoalan rumit yang dihadapi dlam kegiatan
akademiknya. Dari aspek ini, saintis muslim, meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi
dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menmukan ilmu
dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs dengan melaksanakan
berbagai ritual ibadah, termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari
perspektif islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung
dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-Alim.
D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu axios yang artinya nilai dan logos yang artinya teori.
Aksiologi berarti teori nilai, investigasi terhadap asal, criteria, dan status metafisik dari nilai tersebut.
Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi adalah stuudi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna,
karakterisktik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan karakter pertimbangan nilai.aksiologi membahas
tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan penembanagan ilmu, kaitan antara penggunaan dan
pengembangan ilmu dengan kaedah normal, serta tanggung jawab sosial keilmuan.
Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam stika profesi seorang saintis sebagai
ilmuan muslim. Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang saintis muslim masa depan

harus bersikap zuhud dan fakir, dan menolak harta yang syubhat dan haram. Seorang saintis muslim
harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup sederhana meskipun memiliki banyak
harta, dan bersikap dermawan. Seorang saintis muslim harus memiliki sikap sabar, (sabar dalam
beribadah, sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan
maksiat). Seorang saintis muslim harus tawakkal yang artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik da
sosialnya hanya kepada Allah Swt. setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat telah dilakukan secara
maksimal. Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, yang artinya ia hanya melakukan
aktivitas keilmuannya hanya karena cintanya pada Allah, bukan karena ingin menarik perhatian
manusia. Seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida yang artinya menerima dengan ikhlas hasil
dari kegiatan akademik dan sosialnya walaupun yang dicapai tidak sesuai dengan rencana awal dan
meyakini bahwa keputusan itu berasal dari Allah Swt. dan harus diterima dengan lapang dada, serta
meyakini bahwa keputusan-Nya adalah yang terbaik dan tetap berusaha untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dari awal. Saintis muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf,
dan dapat menginternalisasikannya dalam kehidupan akdemik dan sosialnya.