STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TU

PROSIDING KONFERENSI NASIONAL
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK TAHUN 2016: Indonesia
Menuju SDGs

Editor:
Dr. Agussani, M.AP., Dr. Azamris Chanra, M.AP., Rudianto, S.Sos.,M.Si.,
Abrar
Adhani, S.Sos., M.I.Kom., Ribut Pribadi, S.Sos., M.I.Kom.,
Arifin Saleh, S.Sos., MSP., Nalil
Khairiah, S.IP., M.Pd., Siti Hajar, S.Sos., MSP.

Desain Sampul: Waroeng Potret art design, Publishing & Printing

Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun,
baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem
penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis.

All right reserved
Cetakan Pertama: Pebruari 2016


Diterbitkan oleh UMSU PRESS
Jl. Kapten Mukhtar Basri No. 3 Medan, 20238
Telp. 061-6638296, Fax. 061-6638296
Email: umsupress@gmail.com
http://umsupress.com
ISBN: 978-602-6997-104

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah yang
telah diberikan kepada kita semua sehingga buku prosiding Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik dalam rangka Milad ke-44 FISIP UMSU ini dapat terselesaikan .
Agenda tujuan pembangunan milenium yang terangkum dalam Millenium Development Goals (MDGs)
sudah berakhir. Selama lima belas tahun –sejak September tahun 2000 sampai 2015 –sebanyak 189
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menjalankan program tersebut dengan target utamanya
adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.
Tapi, masih banyak target yang belum tercapai dalam MDGs tersebut. Untuk keberlanjutan program
tersebut, kini MDGs sudah digantikan denga model pembangunan global berbasiskan Sustainable
Development Goals (SDGs).

Model pembangunan global sudah dibahas sejak tahun 2012 lalu pada KTT Rio+20 yang menghasilkan
dokumen “The Future We Want”. Pada dokumen inilah SDGs dicantumkan beserta arahan tentang
pentingnya tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu; Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Hidup yang
harus bersinergi dalam pembangunan global ke depan.
Berdasarkan dokumen tersebut, SDGs harus memenuhi empat prinsip yaitu; Pertama; tidak melemahkan
komitmen internasional terhadap pencapaian MDGs. Kedua; mempertimbangkan kondisi, kapasitas dan
prioritas masing-masing negara. Ketiga; Fokus pada pencapaian ketiga dimensi pembangunan
berkelanjutan (pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan). Terakhir
koheren dan terintegritas dengan pembangunan pasca 2015.
Indonesia sebagai negara besar yang terus berpacu dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang
berkepentingan dan berkewajiban dalam menyukseskan SDGs ini. Untuk menyongsong dan menghadapi
SDGs ini tentu dibutuhkan persiapan yang melibatkan banyak pihak, termasuk salah satunya lembaga
perguruan tinggi.
Dalam rangka itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
(FISIP UMSU) menggagas dan melaksanakan Konferensi Nasional dengan thema “Indonesia Menuju
SDGs”. Kegiatan yang menjadi rangkaian perayaan Milad FISIP UMSU ke-44 ini dimaksudkan untuk
mendapatkan beragam pemikiran terkait pembangunan di bidang ilmu sosial dan ilmu politik yang
kaitannya untuk menyongsong dan menghadapi SDGs.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:


1. Ketua Komisi VIII DPR-RI, selaku keynote speaker kegiatan Konferensi Nasional Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik tahun 2016.
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
selaku penanggungjawab kegiatan Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
tahun 2016.
4. Pengurus IAPA, IPPSI, ASPIKOM dan APIK PTM atas sumbangsih saran dan
pemikirannya.
5. Bapak/Ibu pembicara pada kegiatan Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
tahun 2016.
6. Bapak/Ibu peserta pemaparan hasil penelitian pada Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik tahun 2016.
7. Bapak/Ibu panitia Konferensi Nasional yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pemikirannya demi suksesnya kegiatan ini.
Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi upaya
membangun bangsa dan negara Indonesia menuju SDGs. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang
berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini.
Billahii Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khairat

Wassalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Tim Editor
Ketua,

Dr. Agussani, M.AP

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................
...............................................................................................................................
KATA SAMBUTAN DEKAN FISIP UMSU .......................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................

i
iii
iv

PEMBANGUNAN DESA TERPADU (MENYONGSONG PELAKSANAAN UU NO.6
TAHUN 2014 TENTANG DESA DI KABUPATEN SIDOARJO) ....................
1

...............................................................................................................................
Achmad Sjafi‟i dan Ni Made Ida Pratiwi
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MAKANAN KHAS BOGOR BERBASIS
MASYARAKAT ...................................................................................................
16
Agustina Multi Purnomo
PERENCANAAN PEMBANGUNAN RESPONSIF GENDER...........................
...............................................................................................................................
Aji Ratna Kusuma

31

IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DALAM PELAYANAN PUBLIK (STUDI DI DISDUK
CAPIL KOTA SAMARINDA) .............................................................................
52
Bambang Irawan
PERANAN PEMIMPIN PARTISIPATIF TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA KELOMPOK POSDAYA RUKUN MULYO ...........................................
67
Betty Gama

OPTIMALISASI IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANI DALAM PENGELOLAAN
HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN WONOSOBO
81
Darmanto
IMPLEMENTASI
MANAJEMEN
PENGETAHUAN
DALAM
PENGELOLAAN
ORGANISASI NIRLABA UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT (Studi Pada Lembaga Amil Zakat Al Azhar Peduli Umat)
96
Irwa. R. Zarkasi
KOMITMEN PEMERINTAH KOTA LHOKSEUMAWE DALAM PENGEMBANGAN
POTENSI WISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
108
Maryam dan Ade Muana Husniati

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA GORONTALO
(Kajian Penyebab Mendasar dan Kebijakan Terhadap Pekerja Anak di Pasar Sentral Kota

Gorontalo) .............................................................................................................
1171
Ismet Sulila
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA DALAM
PELAKSANAAN SISTEM OUTSOURCING ......................................................
1186
Fithriatus Shalihah
PENGEMBAGAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI MODEL DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN DI PASAR TRADISIONAL ......................................................
1205
Farid Aulia
ANALISIS DESKRIPTIF PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (PEL)
KAITANNYA DENGAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERKELANJUTAN
............................................................................................................................... 1217
Mohammad Yusri

DAN

STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TUA DALAM MENGHADAPI ANAK
AUTISME. (Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme di Yayasan Pendidikan Anak Cacat

Medan) ...................................................................................................................
1234
Mujahiddin
STRATEGI KOMUNIKASI PENGELOLA BANK SAMPAH DALAM MENINGKATKAN
KEBERSIHAN DAN KESEHATAN LINGKUNGAN (STUDI DESKRIFTIP STRATEGI
KOMUNIKASI PENGELOLA BANK SAMPAH MUTIARA DALAM MENINGKATKAN
KEBERSIHAN DAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI KELURAHAN BINJAI
KECAMATAN MEDAN DENAI KOTAMEDAN) .............................................
1250
Effendi Augus

STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TUA DALAM
MENGHADAPI ANAK AUTISME.
(Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme Di Yayasan Pendidikan Anak
Cacat Medan)
Mujahiddin
Ananda Mahardika
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: Muja_mba@yahoo.com

ABSTRAK
Pengidap autisme di dunia dari tahun ke tahun terus meningkat. Negara-negara industri maju
seperti Inggris, Amerika Serikat dan Singapura juga terkena dampak peningkatan syndrome autis
ini.. Di Indonesia pada tahun 2000 yang lalu diperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak
penyandang autis. Angka ini terus meningkat pada tahun 2015. Pada tahun ini pada tahun tahun
2015 diperkirakan 2,4 juta penduduk Indonesia telah mengidap autism dengan 112.000
diantaranya diprediksi diderita oleh anak-anak. Tidak mudah bagi setiap orang tua untuk dapat
menerima kenyataan jika anak mereka mengidap autisme. Banyak orang tua pasti akan
mengalami kebingungan, shock dan stress serta tidak jarang malah menimbulkan konflik di
dalam keluarga yang terkadang berujung pada peceraian. Untuk dapat menjalankan fungsi
tersebut dan membantu kesembuhan anak dari syndrome autisme maka orang tua harus dapat
melakukan penyesuaian diri atau beradaptasi dengan masalah dan takanan yang mereka hadapi.
Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Metode penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif dengan informan yang berasal dari orang tua anak autisme
yang bersekolah di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Medan. Adapun teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan FDG dengan teknik analisis data
menggunakan pendekatan kualitatif model interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan
Huberman yang terdiri atas tiga hal utama yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat tiga langkah orang
tua dalam melakukan coping. Pertama, mengurangi sumber stress yang dihasilkan dari perilaku

anak dengan cara menasehati anak dan mengikut sertakan anak dalam aktivitas rumah tangga.
Langkah kedua dengan melakukan aktivitas yang dapat mengurangi stress dengan cara
mengunjungi tempat-tempat hiburan atau tempat pengajian. Langkah ketiga, mencari dukungan
sosial dengan cara meminta nasihat kepada suami, orang tua dan orang-orang yang dianggap
dekat dengan pribadi orang tua anak dengan kebutuhan autisme.
Kata kunci: autisme, orang tua dan PFC
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada 2008 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 2 April sebagai
hari kesadaran autism sedunia. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan angka anak pengidap
autism spectrum disorder terus meningkat dari tahun ke tahun. Organisasi kesehatan dunia

memperkirakan, hingga akhir tahun lalu, pengidap autism mencapai 35 juta orang. (Tempo, 19
April 2015:21). Beberapa negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat dan Singapura bahkan
mengalami persoalan yang serius terkait perkembangan angka autism.
Di Inggiris misalnya, sekitar 695 ribu dari 63 juta orang mengidap autism. Jika dirataratakan maka 1 dari 100 orang di Inggris mengidap autism. Namun yang menarik, 15 persen dari
penderita autism tersebut dapat bekerja di tengah masyarakat. Hampir sama dengan Inggris,
Singapura yang dianggap sebagai negara maju di kawasan Asia Tenggara juga mengalami kasus
yang serupa. Di mana 1 dari 100 orang di Singapura kini mengidap autism. Atau bisa dikatakan
50.000 orang dari total 5 juta penduduk di Singapura mengidap spectrum ini. Angka pengidap

autism yang lebih tinggi juga terjadi di Amerika Serikat. Terdapat 3,5 juta orang Amerika Serikat
yang mengidap autism. Dari 3,5 juta tersebut 30 ribu di antaranya adalah anak-anak. Data
tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 68 anak di Amerika Serikat mengidap autism saat lahir.
(Tempo, 19 April 2015:21).
Perkembangan sinderom autism tidak hanya terjadi di negara-negara maju tersebut tetapi
juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2000 yang lalu diperkirakan
terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autis di Indonesia. Pada tahun yang sama Dr.
Melly Budhiman seorang psikiater anak dan Ketua Yayasan Autis Indonesia, mengatakan bila
sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autis diperkirakan satu per 5.000 anak, saat ini
meningkat menjadi satu per 500 anak. (http://kesos.unpad.ac.id/?p=552). Sedangkan Dr. Widodo
pada tahun 2006, menyatakan bahwa diperkirakan jumlah anak autis di Indonesia dapat
mencapai 150 - 200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1,
namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat
(http://www.ychicenter.org/index.). Kini, pada tahun tahun 2015 diperkirakan 2,4 juta penduduk
Indonesia telah mengidap autism dengan 112.000 diantaranya diprediksi diderita oleh anak-anak.
(Tempo, 19 April 2015:21).
Sementara itu, jika penanganan anak autis terus diabaikan maka akan berdampak pada
munculnya masalah sosial. Raab dan Selznick dalam Soetomo (2008:6) menyatakan bahwa
masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan di antara warga
masyarakat. Sebagai ilustrasi misalnya, masalah anak autis pada dasarnya bukan merupakan
masalah sosial, kondisi itu dapat menjadi masalah sosial apabila kemudian dapat mempengaruhi
proses relasi sosial. Ditambah lagi bahwa; suatu masalah yang dihadapi seorang warga

masyarakat sebagai individu tidak otomatis merupakan masalah sosial. Masalah individu tersebut
dapat menjadi masalah sosial jika kemudian berkembang menjadi isu sosial. Kini, perkembangan
pengidap autism yang terus berkembang menjadikan autisme sebagai isu sosial di tengah
masyarakat. Apalagi sampai saat ini pengetahuaan masyarakat –khususnya keluarga yang
memiliki anak autisme –terkait persoalan anak autisme masih sangat minim. Tidak banyak orang
tua yang mengetahui gejala awal anak mengidap autisme serta tidak banyak juga yang
mengatahui tetang bagaimana cara penyembuhannya. Pengetahuan yang minim ini kemudian
membuat masa depan anak autisme menjadi tidak pasti. Tercatat, saat ini diperkirakan 80% anak
autisme menjadi penganguran pada saat usia 19-23 tahun.
Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi proses akuisisi
keterampilan individu manusia dalam area; interaksi sosial, komunikasi dan imaginasi. Bila
anak-anak „tipikal‟ mempelajari keterampilan tersebut secara natural, individu dengan autis
memerlukan pengajaran yang eksplisit pada area-area tersebut. Gejala autis dapat sangat ringan
(mild), sedang (moderate) hingga parah (severe) sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari
seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya ganguan autis kemudian diparalelkan dengan
keberfungsiannya sehingga sering dikatakan bahwa: anak dengan autis yang menunjukkan
tingkat intelegensi dan kognitif rendah; tidak berbicara (nonverbal), menunjukkan perilaku
menyakiti diri sendiri, serta sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka para
penyandang dikategorikan sebagai low functioning. Sementara anak autis yang menunjukkan
fungsi kognitif dan intelegensi yang baik; dapat menggunakan bahasa dan bicaranya serta
menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum, dikatakan sebagai high functioning.
Oleh karenanya, tidak mudah bagi setiap orang tua untuk dapat menerima kenyataan jika
anak mereka mengidap autisme. Banyak orang tua pasti akan mengalami kebingungan, shock
dan stress serta tidak jarang malah menimbulkan konflik di dalam keluarga yang terkadang
berujung pada peceraian. Konflik tersebut selalu dipicu oleh sikap kedua orang tua yang saling
menyalahkan dan mengkait-kaitkan kehadiran anak autisme dengan dosa-dosa masa lalu mereka.
Tentunya, konflik yang terjadi antara kedua orang tua akan merugikan anak autis, sebab anak
dipastikan tidak akan mendapatkan penanganan pengobatan secara maksimal. Terkadang ketidak
mampuan orang tua dalam menerima kenyataan anaknya mengidap autisme dapat menimbulkan
diskriminasi secara langsung terhadap anak tersebut. Orang tua pasti akan mengabaikan hak-hak
anaknya, mengurungnya di rumah karena merasa malu mempunyai anak yang menderita

autisme. Padahal orang tua dalam hal ini keluarga memiliki fungsi yang nyata bagi kehidupan
anak-anak di dalamnya, termasuk anak autis. William J. Goode sebagaimana dikutip oleh
Soelaeman (2011:115) menyatakan fungsi keluarga meliputi; pengaturan seksual, reproduksi,
sosialisasi, pemeliharaan, penetapan anak dalam masyarakat, pemuasaan kebutuhan sosial dan
control sosial.
Fungsi pemeliharaan, fungsi penetapan anak dalam masyarkat dan fungsi pemuasan
kebutuhan sosial adalah tiga fungsi utama yang harusnya dapat dimainkan oleh orang tua dalam
membantu keberhasilan perkembangan anak autis yang mengalami masalah pada bidang
komunikasi, interaksi dan imaginasi. Untuk dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut dan
membantu kesembuhan anak dari syndrome autisme maka orang tua harus dapat melakukan
penyesuaian diri atau beradaptasi dengan masalah dan takanan yang mereka hadapi. Konsep
untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Pengertian coping hampir sama
dengan penyesuaian (adjustment). Hanya saja perbedaannya, penyesuaian mengandung
pengartian yang lebih luas jika dibanidngkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap
tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang.
Sedangkan coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan.
(Rustiana dalam Wardani, 2009:28).
Terdapat

empat

tujuan

dari

coping

yaitu;

mempertahankan

keseimbangan

emosi,

mempertahankan selfimage yang positif, mengurangi takanan lingkungan atau menyesuaikan diri
terhadap kajian negatif dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
(Taylor, Hapsari dkk, Wardani, 2009:29). Berbagai strategi coping dengan pendekatan kognitif
dan behavioral (perilaku) telah banyak ditawarkan oleh para pakar untuk mengatasi stress.
Lazarus & Folkman dalam Nevid (2003) mengelompokkan prilaku coping menjadi dua bentuk
atau strategi, yaitu;
1.

Problem Focused Coping (PFC) yaitu strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang
menimbulkan stress. Strategi ini digunakan individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dengan cara mempelajari keterampilan baru. Strategi ini cenderung digunakan
individu bila dirinya yakin akan dapat merubah situasi. (Cohen dalam el-Hakim; 2014:290).

2.

Emotion Focused Coping (EFC) yaitu strategi untuk mengatasi emosi negative yang
menyertainya. Strategi ini digunakan untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan

oleh stressor (sumber steres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi
sumber sters secara langsung.
Kemampuan orang tua melakukan coping –baik dalam bentuk PFC dan EFC –akan
menentukan bagaimana sikap dan perilaku orang tua dalam menghadapi anak autisme. Namun
pada penelitian ini, strategi coping yang akan dilihat hanya berfokus pada strategi coping dengan
model Problem Focused Coping (PFC). Pemilihan model PFC ini di latar belakangi oleh
keinginan untuk melihat bagaimana strategi yang digunakan oleh orang tua dalam mengatasi
situasi stress yang ditimbulkan dari perilaku dan sikap anak autisme dalam kehidupan seharihari. Hal ini penting untuk dilihat, sebab keberhasilan orang tua dalam mengatasi situasi yang
menimbulkan stress dapat sangat berguna untuk membantu perkembang anak autisme pada
masa-masa perawatan atau perobatan. Atas dasar hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan topic; Model Strategi Problem Focused Coping Orang Tua Dalam
Menghadapi Anak Autisme. Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme di Yayasan Pendidikan
Anak Cacat (YPAC) Medan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran utama yang ingin dicapai oleh seorang peneliti
melalui kegiatan penelitian. Tanpa tujuan, kegiatan yang ingin dilaksanakan tidak akan
mempunyai arah yang jelas. Maka berdasarkan rumusan malaha di atas, tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaiaman model strategi problem focused coping orang tua dalam
menghadapi anak autisme.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Autisme
Pemakaian istilah autis kepada penderita diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kenner,
seorang psikiater dari Harvard (Kenner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun
1943, berdasarkan pengamatan terhadap 11 penderita yang menunjukkan gejala kesulitan
berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, prilaku yang tidak biasa, dan cara
berkomunikasi yang aneh (Huzaemah, 2010:2).
Autis adalah perkembangan kekacauan otak dan gangguan perpasif yang ditandai dengan
terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam

bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial,
gangguan dalam perasaan sensoris, serta terbatasnya dan tingkah laku yang berulang-ulang
(Huzaemah, 2010:5).
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar
untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak
senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang
terdekat dan berharap orang tersebut mau melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain ia selalu
menjauh bila didekati (Huzaemah, 2010:9).

Gambar 1: Adanya saling keterikatan tiga gangguan pada anak autistik.
Sumber: Yuwono (2009:27)

Perilaku

Interaksi

Komunikasi

sosial

dan

Gambar di atas menunjukan adanya saling keterikatan antara ketiga aspek. Jika prilaku
bermasalah maka dua aspek interaksi sosial dan komunikasi dan bahasa akan mengalami
kesulitan dalam berkembang. Sebaliknya jika kemampuan komunikasi dan bahasa anak tidak
berkembang, maka anak akan kesulitan dalam mengembangkan prilaku dan interaksi sosial yang
bermakna. Demikian pula jika anak memiliki kesulitan dalam berinteraksi sosial. Implikasi
terhadap penanganannya atas pemahaman ini adalah penanganan yang bersifat intergrate
(keterpaduan) karena sifat masalah anak autistik yang tidak dikotomis (Yuwono, 2009:27).

2. Penyebab Autis
Pandangan tentang terjadinya autisme sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang
panjang diantara para pakar autisme. Meskipun secara umum ada kesepakatan di dalam lapangan
yang membuktikan adanya keragaman tingkat penyebabnya. Pertama; termasuk bersifat genetik

metabolik, dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil (rumbella), gangguan pencernaan
hingga kerancuan logam berat. Kedua; Selain faktor-faktor di atas, ada juga dugaan bahwa anak
dengan autisme disebabkan oleh faktor dari lingkungan misalnya pada saat vaccinations. Hal ini
terjadi berdasarkan laporan yang diberikan oleh pihak orang tua yang mengatakan anaknya
mengalami perubahan yang kurang menguntungkan setelah diberikan vacctinations. Mereka
mengaku bahwa cirri-ciri anak dengan autisme muncul setelah anak mereka diberikan
vacctinations, tetapi ada juga beberapa orang tua yang mengatakan anaknya tetap nampak
“normal” perkembangannya walaupun sudah diberikan vacctinations (Yuwono 2009:32).
Ketiga; Dugaan lain yang muncul dari penyebab autisme adalah prilaku ibu pada masa
hamil yang sering mengkonsumsi seefood di mana jenis makanan ini banyak mengandung
mercury yang sangat tinggi karena adanya pencemaran air laut akibat dari industri-industri yang
membuang limbahnya ke laut. Selain itu pada masa hamil ibu juga mengalami kekurangan
mineral yang penting seperti zinc, magnesium, iodine, lithium, and potassium. Pasticides dan
racun yang berasal dari lingkungan lainnya dan masih banyak faktor-faktor dari lingkungan yang
belum diketahui dengan pasti (Yuwono, 2009:33).
Hal ini diperparah lagi ketika anak dengan autisme terus dibiarakan dengan keasikan
terhadap dirinya sendiri, seperti beby sister/orang tua yang tidak memberikan perhatian kepada
anak, dengan mengajaknya bermain ataupun berbicara. Maka sindrom autisme yang sudah ada
akan dapat berkembang dengan cepat pada prilaku anak. Sehingga orang tua kembali lagi
diharapkan mampu menditeksi masalah anak sejak usia dini agar dapat mempermudahkan dalam
mengatasi masalah yang muncul.

3.

Perilaku Anak Autis
Anak autisme memiliki prilaku yang bersifat tertutup dan kurang merespon dalam hal

interaksi sosial dan komunikasi. Bentuk-bentuk prilaku ini menunjukkan hal yang mencolok di
antara anak-anak lain pada umumnya. Prilaku-prilaku anak dengan autisme biasanya tidak
terarah; berlari, mondar-mandir, berputar-putar, memanjat, melompat-lompat, terpukau terhadap
benda-benda yang berputar, emosinal yang meledak-ledak (tantrum), dan keras kepala. Prilakuprilaku tersebut dapat di katagorikan kedalam prilaku yang aggressive, self injury, rigid routines,
self stimulation, dan fixations.

4.

Jenis Problem Focused Coping (PFC)
Menurut Bishop jenis-jenis problem-focused coping adalah: pertama, Active coping

(koping aktif), yaitu mengambil langkah aktif untuk memindahkan atau menghilangkan sumber
stress atau mengurangi akibatnya. Kedua, Planning (perencanaan), yaitu berusaha membuat
rencana atau tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah serta memikirkan
tentang bagaimana mengatasi sumber stress. Ketiga, Suppression of comnpeting activities
(penekanan pada aktivitas utama), yaitu usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau
mengesampingkan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah, untuk menghadapi
sumber stress atau tantangan maupun ancaman yang sedang di hadapi. Keempat, Restrain coping
(penguasaan diri), yaitu berusaha mengontrol atau mengendalikan tindakan sampai menunggu
kesempatan yang tepat untuk bertindak. Kelima, Seeking social support for instrumental reasons
(mencari dukungan sosial), yaitu berusaha mencari nasehat, bantuan. (el-Hakim, 2014:293).
Sementara itu Sarafino mengatakan bahwa jenis-jenis problem-focused coping yaitu: Pertama,
Planful problem-solving, yaitu menganalisis situasis untuk mencapai solusi atas permasalahan
dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk mengatasi masalah. Kedua, Confrontative
coping, yaitu usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah secara tenang, rasional dan
mengarah pada penyelesaian masalah. Ketiga, Seeking social-support, yaitu mencoba untuk
memperoleh informasi atau dukungan emosional. (el-Hakim, 2014:293).
Berbeda dengan kedua ahli di atas, Lazarus & Folkman dalam Wardani (2009) membagi
jenis problem focus coping ke dalam tiga bentuk strategi yaitu; pertama; Exercised Caution
(Cautiousness) yaitu individu berpikir dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan
masalah yang tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah
serta mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan sebelumnya. Kedua; Instrumental Action,
yaitu tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta
menyusun langkah yang akan dilakukannya. Ketiga Negotiation (Negosiasi) yaitu merupakan
beberapa usaha oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan
penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.
Sayangnya, pengklasifikasian ini pun masih belum mencapai kesepakatan yang penuh,
sehingga hanya sedikit ahli yang mengklasifikasikan bentuk perilaku itu berdasarkan daerah

(fokus) respon sedangkan sebagian besar hanya mendasarkan pada bentuk respon dalam
pengklasifikasian tersebut
Dari beberapa penjelasan di atas, maka strategi problem focus coping yang akan dipakai
pada penelitian ini dapat dirumuskan kedalam beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut adalah
sebagai berikut; pertama, active coping yaitu bentuk langkah pertama yang dilakukan oleh orang
tua untuk memindahkan atau menghilangkan sumber stress. Bentuk langkah aktif tersebut adalah
membuat perencanaan. Perencanaan atau planning merupakan tahap kedua yang akan dilalui.
Tahap ini adalah tahap di mana orang tua membuat rencana atau tindakan yang harus dilakukan
dalam menghadapi masalah serta memikirkan tentang bagaimana mengatasi sumber stress yang
ada. Tahap ketiga Instrumental Action adalah menjalankan perencanaan yang meliputi; restrain
coping (penguasaan diri), Suppression of comnpeting activities (penekanan pada aktivitas
utama), dan Confrontative coping (pengatasan masalah dengan tenang). Dan Tahap keempat
adalah Seeking social support for instrumental reasons yaitu tahap untuk mencari dukungan
sosial yang meliputi; mencari informasi, meminta nasehat dan negosiasi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha mengungkapkan kajian,
tentang model strategi problem focused coping orang tua dalam menghadapi anak autisme. Hal
ini seperti dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (dalam Kaylan: 2012) bahwa metode penelitian
kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata,
catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian.

A. Subjek Penelitian
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut subjek penelitian adalah informant dan key
informant. Hal ini mengacu pada apa yang dituliskan oleh Idrus (2009) tentang karakteristik
penelitian kualitatif. Dalam menentukan informant, asumsi yang dikedepankan adalah bahwa
seorang informant adalah seseorang yang dianggap paling tahu tentang dirinya dan tentang objek
penelitian yang akan diteliti oleh si peneliti. Sehingga peneliti dapat menggali objek yang diteliti
pada informannya (Idrus, 2009).
Adapun total informant pada penelitian ini berjumlah dua orang yaitu orang tua (ibu) Arif
dan orang tua (ibu) Rifki. Kedua informat ini diambil secara purporsive sampling, Sebagaimana

dijelaskan oleh Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang
dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa
sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.

B. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dua cara yaitu: pertama, data skunder
dikumpulkan dari berbagai buku-buku, jurnal, laporan penelitian dan blog. Kedua, data primer
dikumpulkan melalui wawancara mendalam.

C. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model
interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga hal utama
yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, sebagai suatu hal yang
jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang
sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Idrus, 2009).

HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Tidak mudah bagi orang tua untuk mengetahui apakah anaknya menderita autisme atau
tidak. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan informasi yang diperoleh orang tua
tentang gejala autisme. Keganjilan pertumbuhan anak dalam bidang interkasi sosial, perilaku dan
komunikasi (berbahasa) yang dinilai sangat lambat membuat orang tua harus membawa anak
mereka untuk diperiksa ke dokter atau psikolog. Meski telah diperiksa oleh dokter atau psikolog
dan dinyatakan anak menderita autisme tidak banyak juga orang tua yang sangup untuk
menerima hasil tes tersebut. Bahkan terkadang orang tua malah tidak percaya dengan diagnosa
yang diberikan oleh dokter atau psikolog.
Hal ini dinyatakan langsung oleh Ibu Eva Noviana, yang mengaku sejak usia dua tahun
sudah mengetahui jika anaknya Rifki memiliki syndrome autisme. Meski sudah mengetahui dari
gelaja awal melalui informasi yang diberikan oleh orang tua dan psikolog namun tetap saja Eva

tidak percaya dan kerena sampai usia empat tahun Rifki tidak mengalami perubahan apapun, Eva
baru percaya dan mulai mengikutkan Rifki terapi untuk anak autisme.
Tidak hanya Eva yang mengalami hal tersebut, Nur Hayani Lubis, Ibu dari Arif juga
mengalami hal yang sama. Bahkan Nur sendiri mengaku bahwa dirinya mulai mengetahui Arif
menderita autisme pada usia lima tahun. Awalnya, menurut Nur, Arif hanya didiagnosis dokter
sebagai anak yang hiperaktif dan disarankan untuk sekolah di SLB namun saran dokter tersebut
tidak diikuti oleh Nur. Nur menjelaskan, Arif mulai mengikuti program terapi dan di sekolah di
YPAC setelah umur 10 tahun. Dampak yang dirasakan oleh Nur kemudian adalah proses
penyebuhan Arif semakin terasa berat sebab Arif telah melawati masa keemasan atau golden
age.
Kondisi yang diderita oleh Arif dan Rifki ini tentunya membuat kedua orang tua mereka
mengalami stress. Eva mencerita dirinya sempat shok dan mengurung diri di kamar karena
mengetahui anaknya Rifki menderita syndrome autisme. Sedangkan Nur Hayani mengakui
dirinya sempat stress dan jatuh sakit ketika mengetahui anaknya Arif menderita syndrome autis.
Stress tersebut menurutnya muncul karena rasa sedih ketika melihat banyak anak lain normal
sedangkan anaknya sendiri mengalami syndrome autisme.
Begitupun, untuk dapat mengurangi rasa stress yang muncul dari perilaku anak mereka
yang menderita syndrome autisme, kedua orang tua ini melakukan berbagai strategi untuk dapat
mengontrol, menguasai dan mencegah stress yang selalu hadir setiap saat. Strategi itu kemudian
kita sebut dengan istilah problem focused coping. Ada beberapa strategi problem focused coping
yang dilakukan oleh kedua orang tua ini untuk dapat mengkontrol, menguasai dan mencegah
stress yaitu:
1.

Mengurangi sumber stress yang dihasilkan dari perilaku anak.
Untuk mengurangi sumber stress yang muncul dari perilaku anak-anak mereka yang

menderita autisme dengan tipikal hiperaktif, kedua orang tua ini mempunyai strategi yang
berbeda-beda. Nur misalnya, untuk dapat mengurangi rasa stress terhadap perilaku hiperakhit
Arif, terkadang melakukan cubitan terhadap Arif, itupun reaksi yang ditimbulkan oleh Arif
hanya tertawa atau tersenyum. Seolah tidak merasakan rasa kesal ibunya yang ditandai dengan
tindakan menyubit. Selain dengan cara menyubit, untuk mengatasi rasa stress dan sikap
hiperaktif Arif, Nur sering melibatkan Arif pada kegiatan rumah tangga yang dilakukannya.
Misalnya mengajak Arif untuk ikut menyuci atau membilas pakaian. Dengan cara ini, menurut

Nur, perilaku hiperaktif Arif bisa berkurang, meski setelah kegiatan itu usai perliku hiperaktif
Arif kembali berlangsung.
Berbeda dengan Nur, Eva orang tua dari Rifki mengaku hanya bisa pasrah setiap kali
melihat perilaku hiperaktif anaknya berlangsung. Sikap pasrah itu dilakukan dengan cara istifar
dan berdoa di dalam hati. Dengan cara seperti ini Eva merasa tekanan stressnya berkurang.
Selain sikap pasrah, Eva juga sering menasehati Rifki agar tidak bandal dan lasak. Pada
Prinsipnya, Eva tidak ingin untuk menyalahkan Rifki sebab baginya Rifki tidak mengetahui apaapa. Yang terpenting menurutnya adalah peranan aktif ia dan suaminya untuk mendidik Rifki.

2. Aktivitas Yang Dilakukan Untuk Mengurangi Stress
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Eva untuk mengurangi stress yang muncul dari
perilaku Rifki adalah pergi ketempat hiburan bersama ibu-ibu lainya yang juga memiliki anak
dengan disabilitas. Tempat hiburan yang biasa dikunjungi oleh Eva bersama teman-temannya
adalah mall dan tempat karoke keluarga. Selain pergi ketempat hiburan, Eva mengakui sering
pergi ke pengajian untuk mendengarkan ceramah agama dari ustad. Sekali-kali Eva juga
berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan ustad yang ada. Hal ini dilakukan Eva untuk dapat
menambah semangat dan motivasi bagi dirinya untuk tetap bisa sabar dalam menghadapi
perilaku Rifki.
Berbeda dengan Eva, Nur orang tua Arif mengatakan aktivitas yang dilakukannya untuk
dapat mengurangi stress adalah mengikuti saran yang diberikan oleh guru Arif dengan tetap
memberikan pelatihan kepada Arif di rumah. Misalnya melatih Arif untuk memasukkan guli ke
dalam botol dan mengajarinya untuk mengancing bajunya sendiri. Hal ini dilakukan untuk
melatih konsentrasi Arif dan mengurangi tindakan hiperaktifnya. Selain itu, Nur juga
menceritakan untuk mengurangi stress yang muncul, ia juga menyempatkan pergi ke tempattempat hiburan seperti mall. Namun, selama pergi ke mall, Nur tetap membawa Arif untuk ikut
bersamanya. Tidak jarang ia malah membawa Arif untuk bermain di arena permainan yang ada
di mall seperti tempat mandi bola dan lain sebagainya. Bagi Nur, melihat Arif gembira adalah
satu kebahagiaan yang dapat mengurangi stress yang ada pada dirinya.

3.

Usaha Mencari Dukungan Sosial
Selain melakukan aktivitas yang bersifat menghibur diri, kedua ibu dari Arif dan Rifki ini

juga mencari dukungan sosial agar tetap dapat sabar dan tabah menghadapi perilaku dari anakanak mereka. Dukungan sosial tersebut biasanya datang dari keluarga inti seperti suami dan
keluarga batih seperti ayah, ibu, dan saudara kandung. Bentuk dukungan sosial yang didapatkan
biasanya berupa nasehat dan anjuran-anjuran untuk tetap bisa sabar.
Pemberian nasehat tersebut menurut Nur sangat berpengaruh terhadap penurunan beban
stress yang sedang ia hadapi. Bahkan menurutnya, hampir setiap saat ia meminta nasehat dari
suami dan orang tuanya. Tidak berbeda jauh dengan Nur, hal senada juga disampaikan oleh Eva.
Eva mengakui bahwa nasihat dari orang tuanya, mertua dan suami menjadi penting untuk
menambah semangatnya membesarkan Rifki. Selain meminta saran dari keluarga, Eva juga
sering berkonsultasi dengan ustad yang ada dipengajiannya. Hal ini dilakukan Eva karena merasa
percaya kepada orang-orang tersebut.
Dari uraian di atas tampak bagaimana strategi problem focused coping yang dilakukan
kedua orang tua tersebut dalam menghadapi anak mereka yang mengalami syndrome autisme
dengan tipikal hiperaktif. Strategi yang dilakukan tersebut setidaknya dapat mengurangi tingkat
stress yang mereka alami. Meski-pun pada kenyataannya rasa stress itu tetap ada selama anak
mereka belum benar-benar sembuh dari syndrome atusime.

SIMPULAN
Setelah melakukan pembahasan dan analisis data maka dapat disimpulkan bahwa untuk
mengurangi rasa stress yang muncul dari perilaku anak autisme kedua orang tua ini
menggunakan langkah-langkah dengan memberikan nasihat kepada anak, mengajak anak ikut
berperan serta dalam aktivitas rumah tangga dan terakhir membawa anak untuk bermain. Selain
itu untuk menghilangkan stress yang muncul, kedua orang tua anak autisme dengan kebutuhan
autisme ini selalu menghibur diri (refreshing) dengan pergi ke mall dan tempat-tempat hiburan
lain termasuk dalam acara-acara pengajian. Langkah berikutnya, kedua orang tua anak dengan
kebutuhan autisme ini juga meminta dukungan sosial berupa nasihat dari suami, keluarga dan
juga orang-orang yang dianggap dekat dengan mereka. Biasanya pemberiaan nasehat ini sangat
berpengaruh terhadap tingkat motivasi mereka dalam mendidik anak.

DAFTAR PUSTAKA
Desi Sulistyo Wardani. (2009). Strategi Coping Orang Tua Menghadapi Anak Autis. Indigenous;
Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 11, No. 1, Mei 2009 : 26-35.
El-Hakim, Luqman. (2014). Fenomena Pacaran Dunia Remaja; Fakta, Data Masalah dan Solusi.
Pekan Baru: Zanafa Publishing.
Firdaus, K. 2004. Distress dan Perilaku Koping pada Perawat RSU. Skripsi. Surakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hapsari, RA., Karyani,U., Taufik. (2002). Perjuangan Hidup Pengungsi Kerusuhan Etnis (Studi
Kasus tentang Perilaku Coping pada Pengungsi di Madura). Indegenous Jurnal Ilmiah
Berkala Psikologi. Vol 6. No: 2. 122-129.
Huzaemah, (2010), Kenali Autis Sejak Dini, Pustaka Populer Obor, Jakarta.
Indirawati, Emma. (2006). Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan
Strategi Coping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember 2006
Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
(Edisi Kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kaelan, M.S, (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya,
Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Lestari, Dwi Winda. (2014). Penerimaan Diri Dan Strategi Coping Pada Remaja Korban
Perceraian Orang Tua. eJournal Psikologi, 2014, 2 (1): 1-13. fisip-unmul.org
Majalah Tempo, 19 April 2015. Hlm 21.
Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. (2003) Psikologi Abnormal. Ed. Kelima.
Jilid 1. Jakarta: PT Glora Aksara pratama.
Soelaeman, M. Munandar. (2011). Ilmu Sosial Dasar; Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung:
Reflika Aditama.
Soetomo. (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Sulistiadi, Ricky dkk. (2007). Stres Dan Coping Stres Pedagang Pasar Tanah Abang Lama
Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Perelokasian Pasar. HUMANITAS, Vol.4 No.2
Agustus 2007. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Yuwono Joko, (2009), Memahami Anak Autistik Kajian Teoritik dan Empirik, Alfabeta,
Bandung.
http://kesos.unpad.ac.id/?p=552 ; diakses pada tanggal 10 Juni 2015