KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN TAPPS TER
UJM E 2 (1) (2013)
Unnes Journal of Mathematics Education
http:/ / journal.unnes.ac.id/ sju/ index.php/ ujme
K EEFEK TI FA N M OD EL PEM BEL A JA RA N TA PPS TERHA DA P K EM A M PUA N
PEM ECA HA N M A SA L A H M ATEM ATI K A
M uhamad Gani Rohman , Kusni, Wuryanto
Jurusan M atematika, FM IPA , Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info A rtikel
Sejarah A rtikel:
Diterima Juli 2013
Disetujui Juli 2013
Dipublikasikan Juli 2013
Keywords:
Problem Solving Ability
TA PPS
TPS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) apakah pembelajaran dengan
model TA PPS mampu mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan
masalah?; (2) apakah pembelajaran dengan model TPS mampu mencapai
ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan masalah?; dan (3) apakah
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar dengan model TPS?
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan populasi peserta didik
kelas X di M A N 2 Kudus. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling
terpilih dua kelompok, yaitu kelas X9 sebagai kelompok eksperimen I dan kelas
X10 sebagai kelomok eksperimen II. Kelompok eksperimen I diajar dengan
model TA PPS dan kelompok eksperimen II diajar dengan model TPS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan model TA PPS mampu
mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan masalah; (2) pembelajaran
dengan model TPS mampu mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan
masalah; dan (3) kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
model TPS. Kesimpulan yang diperoleh adalah model pembelajaran TA PPS
efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada
materi ruang dimensi tiga.
A bstract
This research aims are to determine (1) whether learning by TAPPS model is able to
achieve mastery on the classical aspect of problem solving?, (2) whether learning by TPS
model is able to achieve mastery on the classical aspect of problem solving?, And (3)
whether the ability of solving students whom are taught math problem-solving with
learning model TAPPS better than students taught by TPS models? This study is an
experimental study with a population of learners in the class X of M AN 2 Kudus. This
sampling with random sampling techniquewas selected two groups, namely theclass X-9 as
the experimental group I and class X-10 as the experiment I I . The experimental group I is
learnedby TAPPS model and experimental group I I is learnedby TPS model. The results
showed that (1) learning by TAPPS model is able to achieve mastery on the classical aspect
of problem solving; (2) learning by TPS model is able to achieve mastery on the classical
aspect of problem solving; and (3) math problem solving skills of students who are taught
by TAPPS learning model better than students taught by TPS models. The conclusions
obtained TAPPS learning model are effective to improving mathematical problem solving
skills in three-dimensional spacematerial.
A lamat korespondensi:
Email: [email protected]
© 2013 Universitas Negeri Semarang
ISSN 22526927
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Pendahuluan
M atematika merupakan suatu alat
untuk mengembangkan cara berpikir, bersifat
abstrak, penalarannya bersifat deduktif dan
berkenaan dengan gagasan terstruktur yang
hubunganhubungannya diatur secara logis
(Hudojo, 2003).
M empelajari
matematika
sangat
dibutuhkan oleh siswa, baik dalam lingkungan
sekolah maupun dalam kehidupan seharihari,
karena begitu banyak aktivitas yang mereka
lakukan melibatkan matematika. Dengan
belajar matematika, kita dapat belajar berpikir
secara logis, analitis, kritis dan kreatif.
M enurut
PISA
(Programme
for
I nternational Student Assessment) 2009, Indonesia
menduduki peringkat ke61 dari 65 negara
terhadap hasil belajar matematika. Predikat ini
mencerminkan masih kurangnya minat dan
motivasi siswa dalam belajar serta anggapan
bahwa matematika merupakan mata pelajaran
yang sulit, kurang menarik, dan kurang
menyenangkan. Hal ini dapat mengakibatkan
rendahnya kualitas belajar dalam pembelajaran
matematika. Sementara pada kenyataannya,
matematika merupakan ilmu universal yang
dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari.
M atematika juga berperan penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta melayani
ilmu lain dalam penemuan, pengembangan, dan
operasionalnya.
M enurut rumusan NCTM (2000), salah
satu tujuan mendasar dalam belajar matematika
adalah memiliki kemampuan pemecahan
masalah. Hal tersebut berarti peserta didik
diharapkan mampu berpikir matematika tingkat
tinggi karena dalam kegiatan pemecahan
masalah terangkum kemampuan matematika
lainnya seperti penerapan aturan pada masalah
tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian,
pemahaman
konsep,
dan
komunikasi
matematika. Untuk itu diperlukan banyak usaha
untuk
dapat
meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika.
Pemecahan masalah matematika adalah
proses yang menggunakan kekuatan dan
manfaat matematika dalam menyelesaikan
masalah, yang juga merupakan model
penemuan
solusi
melalui
tahaptahap
pemecahan masalah. M enurut Polya (1973),
solusi soal pemecahan masalah memuat empat
langkah fase penyelesaian, yaitu memahami
masalah (understand the problem), mendapatkan
rencana dari penyelesaian (obtain eventually a
plan of the solution), melaksanakan rencana
(carry out the plan), dan memeriksa kembali
penyelesaian terhadap langkah yang telah
dikerjakan (examinethesolution obtained).
Fase pertama adalah memahami
masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap
masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin
mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan
benar. Setelah siswa dapat memahami
masalahnya dengan benar, selanjutnya mereka
harus mampu menyusun rencana penyelesaian
masalah. Kemampuan melakukan fase kedua
ini sangat tergantung pada pengalaman siswa
dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya,
semakin bervariasi pengalaman mereka, ada
kecenderungan siswa lebih kreatif dalam
menyusun rencana penyelesaian suatu masalah.
Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah
dibuat, baik secara tertulis atau tidak,
selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah
sesuai dengan rencana yang dianggap paling
tepat.
Langkah
terakhir
dari
proses
penyelesaian masalah menurut Polya adalah
memeriksa kembali penyelesaian terhadap
langkah yang telah dikerjakan mulai dari fase
pertama sampai fase penyelesaian ketiga.
Dengan cara seperti ini maka berbagai
kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi
kembali sehingga siswa dapat sampai pada
jawaban yang benar sesuai dengan masalah
yang diberikan.
Dengan
belajar
menggunakan
pendekatan
pemecahan
masalah,
siswa
diharapkan
mampu
menggunakan
serta
mengembangkan kemampuan dasar yang
dimiliki. Siswa harus mampu berpikir tingkat
tinggi guna menyelesaikan permasalahan yang
lebih rumit.
Ruang dimensi tiga yang diajarkan pada
kelas X merupakan bagian dari geometri
sebagai salah satu cabang matematika, memiliki
posisi
yang
strategis
untuk
menumbuhkembangkan
kemampuan
pemecahan masalah siswa. M ateri dimensi tiga
yang diajarkan terdiri dari tiga kompetensi
dasar, yaitu: 6.1 M enentukan kedudukan titik,
garis, dan bidang dalam dimensi tiga; 6.2
M enentukan jarak dari titik ke garis dan dari
titik ke bidang dalam ruang dimensi tiga, dan
6.3 M enetukan besar sudut antara garis dan
bidang dan antara dua bidang dalam ruang
dimensi tiga. Namun, selama ini kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa pada
2
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Selain model TA PPS, masih banyak
model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika.
Salah satunya adalah model pembelajaran
Think Pair Share (TPS). Think-Pair-Share (TPS)
atau berpikir, berpasangan, berbagi merupakan
suatu metode pembelajaran kooperatif. M odel
Think-Pair-Share (TPS) tumbuh dari penelitian
pembelajaran kooperatif, model Think-Pair-Share
(TPS) dapat juga disebut sebagai model belajar
mengajar berpasangan. M odel ini pertama kali
dikembangkan oleh Frank Lyman dari
Universitas M aryland. Think-Pair-Share (TPS)
sebagai struktur kegiatan pembelajaran gotong
royong. M odel ini memberikan kesempatan
siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama
dengan siswa lain.
Think-Pair-Share memiliki prosedur yang
ditetapkan secara eksplisit untuk memberi
waktu lebih banyak pada siswa untuk berpikir,
menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
M odel Think-Pair-Share (TPS) sebagai ganti dari
tanya jawab seluruh kelas. Sebagai suatu model
pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) memiliki
langkahlangkah tertentu. M enurut M uslimin
(2001) langkahlangkah Think-Pair-Share (TPS)
ada tiga yaitu : “ Berpikir (Thinking),
berpasangan (Pair), dan berbagi (Share)”
Kegiatan pertama dalam Think-PairShare yakni guru mengajukan pertanyaan yang
berhubungan dengan topik pelajaran. Kemudian
siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan
tersebut secara bergiliran untuk beberapa saat.
Dalam tahap ini siswa dituntut lebih mandiri
dalam mengolah informasi yang dia dapat.
Tahap selanjutnya adalah Pairing. Pada
tahap ini guru meminta siswa duduk
berpasangan dengan siswa lain untuk
mendiskusikan apa yang telah difikirkannya
pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini
diharapkan dapat membagi jawaban dengan
pasangannya. Biasanya guru memberikan
waktu 45 menit untuk berpasangan.
Pada tahap akhir guru meminta kepada
pasangan untuk berbagi jawaban dengan
seluruh kelas tentang apa yang telah mereka
diskusikan. Ini efektif dilakukan dengan cara
bergiliran pasangan demi pasangan dan
dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan
telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai keefektifan model TA PPS
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
materi ruang dimensi tiga masih cukup rendah.
Hal ini dapat dilihat dari hasil daya serap siswa
yang telah dirilis oleh BSNP dalam tiga tahun
terakhir penyelenggaraan UN tingkat SM A .
M odel
TA PPS
merupakan
pengembangan dari model pembelajaran
kooperatif, di mana siswa dituntut belajar
berkelompok secara kooperatif. Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TA PPS) dapat diartikan
sebagai teknik berpikir keras secara berpasangan
dalam pemecahan masalah yang merupakan
salah satu model pembelajaran yang dapat
menciptakan kondisi belajar yang aktif.
Pembelajaran model TA PPS lebih ditekankan
kepada kemampuan pemecahan masalah
(problem solving).
M enurut Lochhead & Whimbey,
sebagaimana dikutip oleh Pate, Wardlow, &
Johnson (2004), “ TAPPS requires two students, the
problem solver and the listener, to work cooperatively
in solving a problem, following strict role protocols” .
Hal ini berarti, TA PPS membutuhkan dua
orang siswa, yang berperan sebagai problem
solver dan listener, untuk berkerja sama dalam
memecahkan masalah, mengikuti suatu aturan
tertentu.
Dalam TA PPS, setiap pasangan diberi
suatu masalah yang harus dipecahkan. Problem
solver bertugas memecahkan masalah dan
menyampaikan
semua
gagasan
dan
pemikirannya selama proses pemecahan
masalah kepada listener. Sedangkan listener
bertugas mengikuti dan mengoreksi dengan cara
mendengarkan seluruh proses yang dilakukan
problem solver dalam memecahkan masalah dan
memberikan petunjuk pemecahan masalah
dengan cara bertanya halhal yang berkaitan
dengan pemecahan masalah tersebut dan tidak
langsung menunjukkan pemecahan masalah
yang dimaksud. Bila model ini diterapkan pada
siswa dengan kemampuan kurang, besar
kemungkinannya membuat kesalahan, listener
sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila
telah
terjadi
kesalahan,
tetapi
tidak
menyebutkan letak kesalahannya.
Setelah menyelesaikan masalah yang
diberikan, pasangan tersebut diberikan masalah
matematis lain yang sejenis dengan tingkat
kesulitan yang sama. Keduanya bertukar peran
yaitu siswa yang sebelumnya berperan sebagai
listener berganti peran menjadi problem solver,
sebaliknya siswa yang sebelumnya berperan
sebagai problem solver berganti peran menjadi
listener, sehingga semua siswa memperoleh
kesempatan menjadi problem solver dan listener.
3
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
masalah matematika siswa pada materi ruang
dimensi tiga. Dalam penelitian ini, penulis
membandingkan model pembelajaran TA PPS
dengan model pembelajaran TPS untuk
mengetahui manakah di antara kedua model
pembelajaran tersebut yang lebih efektif untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Permasalahan yang diteliti
adalah adalah (1) apakah pembelajaran dengan
model TA PPS mampu mencapai ketuntasan
klasikal pada aspek pemecahan masalah?; (2)
apakah pembelajaran dengan model TA PPS
mampu mencapai ketuntasan klasikal pada
aspek pemecahan masalah?; dan (3) apakah
kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajar dengan model pembelajaran
TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar
dengan model TPS?.
independen (bebas) dan variabel kemampuan
pemecahan masalah siswa sebagai variabel
dependen (terikat).
Sebelum memulai kegiatan
pembelajaran di kelas, peneliti melakukan uji
normalitas dan uji homogenitas dari hasil
Ulangan Tengah Semester genap dari kedua
kelas sampel yang telah dipilih.
Tabel 2. Normalitas Data Awal
Dari tabel 2, dapat disimpulkan bahwa
data awal pada penelitian ini berdistribusi
normal.
Tabel 3. Homogenitas Data Awal
M etode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain oneshot
case study,
yaitu
desain
dengan
menggunakan
dua
kelas
eksperimen.
Tabel 1. Desain Penelitian One-shot CaseStudy
data
Dari tabel 3, dapat disimpulkan bahwa
awal memiliki varians yang sama.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis tahap awal
diperoleh data yang menunjukkan bahwa kelas
yang diambil sebagai sampel dalam penelitian
berdistribusi normal dan mempunyai varians
yang homogen. Setelah diberikan perlakuan
pembelajaran TA PPS pada kelas eksperimen I
dan pembelajaran TPS pada kelas eksperimen
II, diperoleh data kemampuan pemecahan
maslah matematika yang dapat dilihat pada
Tabel 4.
Kegiatan penelitian diawali dengan
memberi perlakuan pada kelompok eksperimen
I dan kelompok eksperimen II. Pada kelompok
eksperimen I diterapkan model pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TA PPS)
sedangkan pada kelompok eksperimen II
diterapkan model pembelajaran Think-Pair-Share
(TPS). Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas M A N 2 Kudus tahun ajaran 2012
2013. Dalam hal ini didapatkan sampel kelas X
9 sebagai kelas eksperimen I dan kelas X10
sebagai kelas eksperimen II serta satu kelas
sebagai kelas uji coba yaitu kelas X2. Setelah
mendapatkan perlakuan yang berbeda, pada
kedua kelompok diberikan tes dengan materi
yang sama untuk mengetahui perbandingan
hasil
kemampuan
pemecahan
masalah
keduanya.
Variabel dalam penelitian ini yakni
variabel kemampuan pemecahan masalah siswa
dan variabel yang diduga berpengaruh terhadap
kemampuan pemecahan masalah tersebut, yaitu
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TA PPS) dan
Think-Pair-Share (TPS). Variabel Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TA PPS) dan Think-PairShare (TPS) ditempatkan sebagai variabel
Tabel 4. Data Kemampuan Pemecahan M asalah
M atematika
Pada kelas eksperimen I, siswa diberi
perlakuan dengan pembelajaran TA PPS.
Penerapan model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving memiliki unsurunsur fase
yang membuat siswa lebih aktif dan lebih dapat
memahami materi. Guru tidak sekadar
memberikan pengetahuan kepada siswa,
melainkan
memfasilitasi
siswa
untuk
membangun pengetahuannya sendiri sehingga
siswa memiliki pemahaman yang lebih mantap
terhadap materi ruang dimensi tiga.
Pada kelas eksperimen II, siswa diberi
perlakuan dengan pembelajaran model ThinkPair-Share (TPS). M odel Think-Pair-Share (TPS)
4
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Berdasarkan
Tabel
7,
diperoleh
kesimpuan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang diajar dengan
model TA PPS lebih baik daripada kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajar dengan
model TPS.
A danya
perbedaan
kemampuan
pemecahan masalah dari kedua kelompok siswa
yang diberi perlakuan model yang berbeda
dikarenakan kedua model yang digunakan
memiliki kelebihan dan kekurangan masing
masing. Pada pembelajaran dengan model
Thinking Aloud Pair Problem Solving, siswa
terlibat secara aktif dalam pembelajaran untuk
bekerjasama
dalam
kelompok
secara
berpasangan. Pembelajaran model Thinking
Aloud Pair Problem Solving membutuhkan dua
orang siswa, yang berperan sebagai problem
solver dan listener untuk berkerja sama dalam
memecahkan masalah. Dalam proses kerjasama
ini terjadi interaksi antara siswa dengan
pasangan
masingmasing
yang
saling
membantu, saling mendukung, dan melengkapi
satu sama lain sehingga siswa yang belum
mengetahui solusi dari permasalahan yang
dihadapi, menjadi mengetahuinya melalui
kerjasama dengan pasangannya. Jadi, tugas dari
masingmasing siswa dalam kelompoknya
sudah jelas dan tidak terjadi kerancuan dalam
proses diskusi kelompok.
Penerapan
model
pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving memiliki
unsurunsur fase yang membuat siswa lebih
aktif dan lebih dapat memahami materi. Guru
tidak sekadar memberikan pengetahuan kepada
siswa, melainkan memfasilitasi siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri sehingga
siswa memiliki pemahaman yang lebih mantap
terhadap materi ruang dimensi tiga.
Pembelajaran model Thinking Aloud
Pair Problem Solving memiliki
beberapa
kelebihan, yaitu (1) siswa menjadi lebih aktif
dalam pembelajaran; (2) siswa menjadi lebih
bertanggung jawab karena setiap siswa dalam
pasangannya telah memiliki tugas masing
masing (3) siswa dapat saling belajar mengenai
strategi pemecahan masalah satu sama lain; (4)
melatih siswa untuk berpikir keras dalam
memecahkan masalah sehingga pola berpikir
mereka lebih terstruktur.
Selain kelebihan, pembelajaran model
Thinking Aloud Pair Problem Solving juga
memiliki kekurangan, yaitu (1) siswa tidak
mudah untuk menyampaikan apa yang ada
memiliki langkahlangkah: “ Berpikir (Thinking),
berpasangan (Pair), dan berbagi (Share)” .
Setelah diperoleh data akhir berupa
data
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika pada kelas eksperimen I dan kelas
ekperimen II, dilakukan analisis data akhir
untuk menguji
hipotesishipotesis dalam
penelitian ini. Uji hipotesis pertama yaitu uji
ketuntasan klasikal kelas eksperimen I dengan
menggunakan uji proporsi.
Tabel 5. Hasil Uji Proporsi Kelas Eksperimen I
Berdasarkan
Tabel
5,
diperoleh
simpulan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,
artinya siswa kelas eksperimen I telah mencapai
ketuntasan klasikal. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan model TA PPS
dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Uji hipotesis kedua yaitu uji proporsi
kelas eksperimen II untuk mengetahui apakah
kemampuan pemecahan masalah siswa pada
kelas eksperimen II dapat mencapai ketuntasan
klasikal. Hasil uji proporsi dapat dilihat pada
Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil Uji Proporsi Kelas Eksperimen II
Berdasarkan
Tabel
6,
diperoleh
simpulan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,
artinya siswa kelas eksperimen II telah
mencapai ketuntasan klasikal. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model
TPS dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Uji hipotesis ketiga adalah uji kesamaan
dua proporsi. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui apakah pembelajaran dengan model
TA PPS lebih baik dari pembelajaran dengan
model TPS pada aspek pemecahan masalah. Uji
kesamaan dua proporsi dapat dilihat pada tabel
7.
Tabel 7. Hasil Uji Kesamaan Dua Proporsi
5
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
dipikirannya kepada pasangannya.; dan (2) bagi
seorang listener harus menuntun problem solver
memecahkan masalah sekaligus memonitor
segala yang dilakukan PS. Kekurangan
kekurangan tersebut dapat diatasi dengan
bantuan dari guru untuk memandu proses
diskusi yang berlangsung.
M odel pembelajaran Think-Pair-Share
memiliki prosedur yang ditetapkan secara
eksplisit untuk memberi waktu lebih banyak
pada siswa untuk berpikir, menjawab, dan
saling membantu satu sama lain. Keunggulan
dari
Think-Pair-Share (TPS)
ini
adalah
optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode
klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa
maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh
kelas, model Think-Pair-Share (TPS) ini
memberikan kesempatan kepada setiap siswa
untuk menunjukkan partisipasi mereka kepada
siswa
lain. Namun tugas siswa daalm
kelompoknya tidak dibagi dengan jelas.
memiliki tugas yang jelas karena peran masing
masing siswa dalam tiap pasangan tidak
dibedakan antara yang mengerjakan soal dan
yang membantu mengarahkan temannya untuk
menyelesaikan soal yang diberikan. Sehingga,
interaksi antar siswa dalam tiap pasangan
terkadang kurang berjalan secara aktif dan
efektif karena siswa cenderung untuk bekerja
sendirisendiri terlebih dahulu.
Universitas
Negeri
M alang.
Johnson & Chung. 1999. The Effect of Thinking
A loud Pair Problem Solving (TA PPS) on
the Troubleshooting A bility of Aviation
Technician Students. "Journal of Industrial
Teacher Education, Volume 37, Number 1".
Tersedia
di
http:/ / scholar.lib.vt.edu/
ejournals/ JITE/ v37n1/ john.html. [diakses
322013]
National Council of Teachers of M athematics. 2000.
"Principles and Standards for School
M athematics. NCTM : Reston VA ". Tersedia
di http:/ / www.nctm.org/ . [diakses 23 M ei
2012]
Pate, Wardlow, dan Johnson. 2004. Effects of
Thinking A loud Pair Problem Solving On
The Troubleshooting Performance of
Undergraduate A griculture Students In A
Power Technology Course. "Journal of
A gricultural
Education,
Volume 45,
Number
4".
Tersedia
di
http:/ / pubs.aged.tamu.edu/ jae/ pdf/ Vol45/
4504001.pdf.
[diakses
5122012]
Pate, dan M iller. 2004. Effects of Think–A loud Pair
Problem Solving on Secondary–Level
Students’ Performance in Career and
Technical Education Courses. "Journal of
A gricultural Education", Volume 52,
Number 1. Tersedia di http:/ / www.jae
online.org/ attachments/ article/ 1535/ 52.1.1
20.Pate.pdf.
[diakses
5122012]
Polya, G. 1973. "How to Solve It". New Jersey:
Princeton
University
Press.
Ruseffendi. 2010. "Dasardasar Penelitian Pendidikan
& Bidang Noneksakta Lainnya". Bandung :
Tarsito.
Stice, J. E. 1987. "Teaching Problem Solving".
Tersedia di http:/ / educa.univpm.it/ problem
solving/ stice_ps.html. [diakses 322013]
Sugiyono. 2010. "M etode Penelitian Kuantitatif
Kuantitatif dan R& D". Bandung: A lfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian.
Bandung:
A lfabeta.
Suyitno, A . 2011. "Buku A jar Dasardasar dan Proses
Pembelajaran M atematika 1". Semarang:
Universitas
Negeri
Semarang.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa (1)
pembelajaran dengan model TA PPS mampu
mencapai ketuntasan klasikal pada aspek
pemecahan masalah; (2) pembelajaran dengan
model TPS mampu mencapai ketuntasan
klasikal pada aspek pemecahan masalah; dan
(3)
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa
yang diajar dengan model TPS.
Ucapan Terimakasih
A rtikel ini dapat tersusun dengan baik
berkat bantuan dan bimbingan banyak pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih kepada ibu Qomarul Hana, S.Pd dan
bapak A rdian Awaludin, M .Si. selaku Guru
M atematika kelas X M A N 2 Kudus.
D aftar Pustaka
A rikunto,
S.
2003.
"Dasardasar
Evaluasi
Pendidikan".
Jakarta:
Bumi
A ksara.
Hudojo, H. 2003. "Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran
M atematika".
M alang:
6
Unnes Journal of Mathematics Education
http:/ / journal.unnes.ac.id/ sju/ index.php/ ujme
K EEFEK TI FA N M OD EL PEM BEL A JA RA N TA PPS TERHA DA P K EM A M PUA N
PEM ECA HA N M A SA L A H M ATEM ATI K A
M uhamad Gani Rohman , Kusni, Wuryanto
Jurusan M atematika, FM IPA , Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info A rtikel
Sejarah A rtikel:
Diterima Juli 2013
Disetujui Juli 2013
Dipublikasikan Juli 2013
Keywords:
Problem Solving Ability
TA PPS
TPS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) apakah pembelajaran dengan
model TA PPS mampu mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan
masalah?; (2) apakah pembelajaran dengan model TPS mampu mencapai
ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan masalah?; dan (3) apakah
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar dengan model TPS?
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan populasi peserta didik
kelas X di M A N 2 Kudus. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling
terpilih dua kelompok, yaitu kelas X9 sebagai kelompok eksperimen I dan kelas
X10 sebagai kelomok eksperimen II. Kelompok eksperimen I diajar dengan
model TA PPS dan kelompok eksperimen II diajar dengan model TPS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan model TA PPS mampu
mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan masalah; (2) pembelajaran
dengan model TPS mampu mencapai ketuntasan klasikal pada aspek pemecahan
masalah; dan (3) kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
model TPS. Kesimpulan yang diperoleh adalah model pembelajaran TA PPS
efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada
materi ruang dimensi tiga.
A bstract
This research aims are to determine (1) whether learning by TAPPS model is able to
achieve mastery on the classical aspect of problem solving?, (2) whether learning by TPS
model is able to achieve mastery on the classical aspect of problem solving?, And (3)
whether the ability of solving students whom are taught math problem-solving with
learning model TAPPS better than students taught by TPS models? This study is an
experimental study with a population of learners in the class X of M AN 2 Kudus. This
sampling with random sampling techniquewas selected two groups, namely theclass X-9 as
the experimental group I and class X-10 as the experiment I I . The experimental group I is
learnedby TAPPS model and experimental group I I is learnedby TPS model. The results
showed that (1) learning by TAPPS model is able to achieve mastery on the classical aspect
of problem solving; (2) learning by TPS model is able to achieve mastery on the classical
aspect of problem solving; and (3) math problem solving skills of students who are taught
by TAPPS learning model better than students taught by TPS models. The conclusions
obtained TAPPS learning model are effective to improving mathematical problem solving
skills in three-dimensional spacematerial.
A lamat korespondensi:
Email: [email protected]
© 2013 Universitas Negeri Semarang
ISSN 22526927
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Pendahuluan
M atematika merupakan suatu alat
untuk mengembangkan cara berpikir, bersifat
abstrak, penalarannya bersifat deduktif dan
berkenaan dengan gagasan terstruktur yang
hubunganhubungannya diatur secara logis
(Hudojo, 2003).
M empelajari
matematika
sangat
dibutuhkan oleh siswa, baik dalam lingkungan
sekolah maupun dalam kehidupan seharihari,
karena begitu banyak aktivitas yang mereka
lakukan melibatkan matematika. Dengan
belajar matematika, kita dapat belajar berpikir
secara logis, analitis, kritis dan kreatif.
M enurut
PISA
(Programme
for
I nternational Student Assessment) 2009, Indonesia
menduduki peringkat ke61 dari 65 negara
terhadap hasil belajar matematika. Predikat ini
mencerminkan masih kurangnya minat dan
motivasi siswa dalam belajar serta anggapan
bahwa matematika merupakan mata pelajaran
yang sulit, kurang menarik, dan kurang
menyenangkan. Hal ini dapat mengakibatkan
rendahnya kualitas belajar dalam pembelajaran
matematika. Sementara pada kenyataannya,
matematika merupakan ilmu universal yang
dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari.
M atematika juga berperan penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta melayani
ilmu lain dalam penemuan, pengembangan, dan
operasionalnya.
M enurut rumusan NCTM (2000), salah
satu tujuan mendasar dalam belajar matematika
adalah memiliki kemampuan pemecahan
masalah. Hal tersebut berarti peserta didik
diharapkan mampu berpikir matematika tingkat
tinggi karena dalam kegiatan pemecahan
masalah terangkum kemampuan matematika
lainnya seperti penerapan aturan pada masalah
tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian,
pemahaman
konsep,
dan
komunikasi
matematika. Untuk itu diperlukan banyak usaha
untuk
dapat
meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika.
Pemecahan masalah matematika adalah
proses yang menggunakan kekuatan dan
manfaat matematika dalam menyelesaikan
masalah, yang juga merupakan model
penemuan
solusi
melalui
tahaptahap
pemecahan masalah. M enurut Polya (1973),
solusi soal pemecahan masalah memuat empat
langkah fase penyelesaian, yaitu memahami
masalah (understand the problem), mendapatkan
rencana dari penyelesaian (obtain eventually a
plan of the solution), melaksanakan rencana
(carry out the plan), dan memeriksa kembali
penyelesaian terhadap langkah yang telah
dikerjakan (examinethesolution obtained).
Fase pertama adalah memahami
masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap
masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin
mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan
benar. Setelah siswa dapat memahami
masalahnya dengan benar, selanjutnya mereka
harus mampu menyusun rencana penyelesaian
masalah. Kemampuan melakukan fase kedua
ini sangat tergantung pada pengalaman siswa
dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya,
semakin bervariasi pengalaman mereka, ada
kecenderungan siswa lebih kreatif dalam
menyusun rencana penyelesaian suatu masalah.
Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah
dibuat, baik secara tertulis atau tidak,
selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah
sesuai dengan rencana yang dianggap paling
tepat.
Langkah
terakhir
dari
proses
penyelesaian masalah menurut Polya adalah
memeriksa kembali penyelesaian terhadap
langkah yang telah dikerjakan mulai dari fase
pertama sampai fase penyelesaian ketiga.
Dengan cara seperti ini maka berbagai
kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi
kembali sehingga siswa dapat sampai pada
jawaban yang benar sesuai dengan masalah
yang diberikan.
Dengan
belajar
menggunakan
pendekatan
pemecahan
masalah,
siswa
diharapkan
mampu
menggunakan
serta
mengembangkan kemampuan dasar yang
dimiliki. Siswa harus mampu berpikir tingkat
tinggi guna menyelesaikan permasalahan yang
lebih rumit.
Ruang dimensi tiga yang diajarkan pada
kelas X merupakan bagian dari geometri
sebagai salah satu cabang matematika, memiliki
posisi
yang
strategis
untuk
menumbuhkembangkan
kemampuan
pemecahan masalah siswa. M ateri dimensi tiga
yang diajarkan terdiri dari tiga kompetensi
dasar, yaitu: 6.1 M enentukan kedudukan titik,
garis, dan bidang dalam dimensi tiga; 6.2
M enentukan jarak dari titik ke garis dan dari
titik ke bidang dalam ruang dimensi tiga, dan
6.3 M enetukan besar sudut antara garis dan
bidang dan antara dua bidang dalam ruang
dimensi tiga. Namun, selama ini kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa pada
2
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Selain model TA PPS, masih banyak
model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika.
Salah satunya adalah model pembelajaran
Think Pair Share (TPS). Think-Pair-Share (TPS)
atau berpikir, berpasangan, berbagi merupakan
suatu metode pembelajaran kooperatif. M odel
Think-Pair-Share (TPS) tumbuh dari penelitian
pembelajaran kooperatif, model Think-Pair-Share
(TPS) dapat juga disebut sebagai model belajar
mengajar berpasangan. M odel ini pertama kali
dikembangkan oleh Frank Lyman dari
Universitas M aryland. Think-Pair-Share (TPS)
sebagai struktur kegiatan pembelajaran gotong
royong. M odel ini memberikan kesempatan
siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama
dengan siswa lain.
Think-Pair-Share memiliki prosedur yang
ditetapkan secara eksplisit untuk memberi
waktu lebih banyak pada siswa untuk berpikir,
menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
M odel Think-Pair-Share (TPS) sebagai ganti dari
tanya jawab seluruh kelas. Sebagai suatu model
pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) memiliki
langkahlangkah tertentu. M enurut M uslimin
(2001) langkahlangkah Think-Pair-Share (TPS)
ada tiga yaitu : “ Berpikir (Thinking),
berpasangan (Pair), dan berbagi (Share)”
Kegiatan pertama dalam Think-PairShare yakni guru mengajukan pertanyaan yang
berhubungan dengan topik pelajaran. Kemudian
siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan
tersebut secara bergiliran untuk beberapa saat.
Dalam tahap ini siswa dituntut lebih mandiri
dalam mengolah informasi yang dia dapat.
Tahap selanjutnya adalah Pairing. Pada
tahap ini guru meminta siswa duduk
berpasangan dengan siswa lain untuk
mendiskusikan apa yang telah difikirkannya
pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini
diharapkan dapat membagi jawaban dengan
pasangannya. Biasanya guru memberikan
waktu 45 menit untuk berpasangan.
Pada tahap akhir guru meminta kepada
pasangan untuk berbagi jawaban dengan
seluruh kelas tentang apa yang telah mereka
diskusikan. Ini efektif dilakukan dengan cara
bergiliran pasangan demi pasangan dan
dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan
telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai keefektifan model TA PPS
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
materi ruang dimensi tiga masih cukup rendah.
Hal ini dapat dilihat dari hasil daya serap siswa
yang telah dirilis oleh BSNP dalam tiga tahun
terakhir penyelenggaraan UN tingkat SM A .
M odel
TA PPS
merupakan
pengembangan dari model pembelajaran
kooperatif, di mana siswa dituntut belajar
berkelompok secara kooperatif. Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TA PPS) dapat diartikan
sebagai teknik berpikir keras secara berpasangan
dalam pemecahan masalah yang merupakan
salah satu model pembelajaran yang dapat
menciptakan kondisi belajar yang aktif.
Pembelajaran model TA PPS lebih ditekankan
kepada kemampuan pemecahan masalah
(problem solving).
M enurut Lochhead & Whimbey,
sebagaimana dikutip oleh Pate, Wardlow, &
Johnson (2004), “ TAPPS requires two students, the
problem solver and the listener, to work cooperatively
in solving a problem, following strict role protocols” .
Hal ini berarti, TA PPS membutuhkan dua
orang siswa, yang berperan sebagai problem
solver dan listener, untuk berkerja sama dalam
memecahkan masalah, mengikuti suatu aturan
tertentu.
Dalam TA PPS, setiap pasangan diberi
suatu masalah yang harus dipecahkan. Problem
solver bertugas memecahkan masalah dan
menyampaikan
semua
gagasan
dan
pemikirannya selama proses pemecahan
masalah kepada listener. Sedangkan listener
bertugas mengikuti dan mengoreksi dengan cara
mendengarkan seluruh proses yang dilakukan
problem solver dalam memecahkan masalah dan
memberikan petunjuk pemecahan masalah
dengan cara bertanya halhal yang berkaitan
dengan pemecahan masalah tersebut dan tidak
langsung menunjukkan pemecahan masalah
yang dimaksud. Bila model ini diterapkan pada
siswa dengan kemampuan kurang, besar
kemungkinannya membuat kesalahan, listener
sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila
telah
terjadi
kesalahan,
tetapi
tidak
menyebutkan letak kesalahannya.
Setelah menyelesaikan masalah yang
diberikan, pasangan tersebut diberikan masalah
matematis lain yang sejenis dengan tingkat
kesulitan yang sama. Keduanya bertukar peran
yaitu siswa yang sebelumnya berperan sebagai
listener berganti peran menjadi problem solver,
sebaliknya siswa yang sebelumnya berperan
sebagai problem solver berganti peran menjadi
listener, sehingga semua siswa memperoleh
kesempatan menjadi problem solver dan listener.
3
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
masalah matematika siswa pada materi ruang
dimensi tiga. Dalam penelitian ini, penulis
membandingkan model pembelajaran TA PPS
dengan model pembelajaran TPS untuk
mengetahui manakah di antara kedua model
pembelajaran tersebut yang lebih efektif untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Permasalahan yang diteliti
adalah adalah (1) apakah pembelajaran dengan
model TA PPS mampu mencapai ketuntasan
klasikal pada aspek pemecahan masalah?; (2)
apakah pembelajaran dengan model TA PPS
mampu mencapai ketuntasan klasikal pada
aspek pemecahan masalah?; dan (3) apakah
kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajar dengan model pembelajaran
TA PPS lebih baik daripada siswa yang diajar
dengan model TPS?.
independen (bebas) dan variabel kemampuan
pemecahan masalah siswa sebagai variabel
dependen (terikat).
Sebelum memulai kegiatan
pembelajaran di kelas, peneliti melakukan uji
normalitas dan uji homogenitas dari hasil
Ulangan Tengah Semester genap dari kedua
kelas sampel yang telah dipilih.
Tabel 2. Normalitas Data Awal
Dari tabel 2, dapat disimpulkan bahwa
data awal pada penelitian ini berdistribusi
normal.
Tabel 3. Homogenitas Data Awal
M etode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain oneshot
case study,
yaitu
desain
dengan
menggunakan
dua
kelas
eksperimen.
Tabel 1. Desain Penelitian One-shot CaseStudy
data
Dari tabel 3, dapat disimpulkan bahwa
awal memiliki varians yang sama.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis tahap awal
diperoleh data yang menunjukkan bahwa kelas
yang diambil sebagai sampel dalam penelitian
berdistribusi normal dan mempunyai varians
yang homogen. Setelah diberikan perlakuan
pembelajaran TA PPS pada kelas eksperimen I
dan pembelajaran TPS pada kelas eksperimen
II, diperoleh data kemampuan pemecahan
maslah matematika yang dapat dilihat pada
Tabel 4.
Kegiatan penelitian diawali dengan
memberi perlakuan pada kelompok eksperimen
I dan kelompok eksperimen II. Pada kelompok
eksperimen I diterapkan model pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TA PPS)
sedangkan pada kelompok eksperimen II
diterapkan model pembelajaran Think-Pair-Share
(TPS). Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas M A N 2 Kudus tahun ajaran 2012
2013. Dalam hal ini didapatkan sampel kelas X
9 sebagai kelas eksperimen I dan kelas X10
sebagai kelas eksperimen II serta satu kelas
sebagai kelas uji coba yaitu kelas X2. Setelah
mendapatkan perlakuan yang berbeda, pada
kedua kelompok diberikan tes dengan materi
yang sama untuk mengetahui perbandingan
hasil
kemampuan
pemecahan
masalah
keduanya.
Variabel dalam penelitian ini yakni
variabel kemampuan pemecahan masalah siswa
dan variabel yang diduga berpengaruh terhadap
kemampuan pemecahan masalah tersebut, yaitu
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TA PPS) dan
Think-Pair-Share (TPS). Variabel Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TA PPS) dan Think-PairShare (TPS) ditempatkan sebagai variabel
Tabel 4. Data Kemampuan Pemecahan M asalah
M atematika
Pada kelas eksperimen I, siswa diberi
perlakuan dengan pembelajaran TA PPS.
Penerapan model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving memiliki unsurunsur fase
yang membuat siswa lebih aktif dan lebih dapat
memahami materi. Guru tidak sekadar
memberikan pengetahuan kepada siswa,
melainkan
memfasilitasi
siswa
untuk
membangun pengetahuannya sendiri sehingga
siswa memiliki pemahaman yang lebih mantap
terhadap materi ruang dimensi tiga.
Pada kelas eksperimen II, siswa diberi
perlakuan dengan pembelajaran model ThinkPair-Share (TPS). M odel Think-Pair-Share (TPS)
4
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
Berdasarkan
Tabel
7,
diperoleh
kesimpuan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang diajar dengan
model TA PPS lebih baik daripada kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajar dengan
model TPS.
A danya
perbedaan
kemampuan
pemecahan masalah dari kedua kelompok siswa
yang diberi perlakuan model yang berbeda
dikarenakan kedua model yang digunakan
memiliki kelebihan dan kekurangan masing
masing. Pada pembelajaran dengan model
Thinking Aloud Pair Problem Solving, siswa
terlibat secara aktif dalam pembelajaran untuk
bekerjasama
dalam
kelompok
secara
berpasangan. Pembelajaran model Thinking
Aloud Pair Problem Solving membutuhkan dua
orang siswa, yang berperan sebagai problem
solver dan listener untuk berkerja sama dalam
memecahkan masalah. Dalam proses kerjasama
ini terjadi interaksi antara siswa dengan
pasangan
masingmasing
yang
saling
membantu, saling mendukung, dan melengkapi
satu sama lain sehingga siswa yang belum
mengetahui solusi dari permasalahan yang
dihadapi, menjadi mengetahuinya melalui
kerjasama dengan pasangannya. Jadi, tugas dari
masingmasing siswa dalam kelompoknya
sudah jelas dan tidak terjadi kerancuan dalam
proses diskusi kelompok.
Penerapan
model
pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving memiliki
unsurunsur fase yang membuat siswa lebih
aktif dan lebih dapat memahami materi. Guru
tidak sekadar memberikan pengetahuan kepada
siswa, melainkan memfasilitasi siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri sehingga
siswa memiliki pemahaman yang lebih mantap
terhadap materi ruang dimensi tiga.
Pembelajaran model Thinking Aloud
Pair Problem Solving memiliki
beberapa
kelebihan, yaitu (1) siswa menjadi lebih aktif
dalam pembelajaran; (2) siswa menjadi lebih
bertanggung jawab karena setiap siswa dalam
pasangannya telah memiliki tugas masing
masing (3) siswa dapat saling belajar mengenai
strategi pemecahan masalah satu sama lain; (4)
melatih siswa untuk berpikir keras dalam
memecahkan masalah sehingga pola berpikir
mereka lebih terstruktur.
Selain kelebihan, pembelajaran model
Thinking Aloud Pair Problem Solving juga
memiliki kekurangan, yaitu (1) siswa tidak
mudah untuk menyampaikan apa yang ada
memiliki langkahlangkah: “ Berpikir (Thinking),
berpasangan (Pair), dan berbagi (Share)” .
Setelah diperoleh data akhir berupa
data
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika pada kelas eksperimen I dan kelas
ekperimen II, dilakukan analisis data akhir
untuk menguji
hipotesishipotesis dalam
penelitian ini. Uji hipotesis pertama yaitu uji
ketuntasan klasikal kelas eksperimen I dengan
menggunakan uji proporsi.
Tabel 5. Hasil Uji Proporsi Kelas Eksperimen I
Berdasarkan
Tabel
5,
diperoleh
simpulan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,
artinya siswa kelas eksperimen I telah mencapai
ketuntasan klasikal. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan model TA PPS
dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Uji hipotesis kedua yaitu uji proporsi
kelas eksperimen II untuk mengetahui apakah
kemampuan pemecahan masalah siswa pada
kelas eksperimen II dapat mencapai ketuntasan
klasikal. Hasil uji proporsi dapat dilihat pada
Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil Uji Proporsi Kelas Eksperimen II
Berdasarkan
Tabel
6,
diperoleh
simpulan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,
artinya siswa kelas eksperimen II telah
mencapai ketuntasan klasikal. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model
TPS dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Uji hipotesis ketiga adalah uji kesamaan
dua proporsi. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui apakah pembelajaran dengan model
TA PPS lebih baik dari pembelajaran dengan
model TPS pada aspek pemecahan masalah. Uji
kesamaan dua proporsi dapat dilihat pada tabel
7.
Tabel 7. Hasil Uji Kesamaan Dua Proporsi
5
M G Rohman et al / Journal of M athematics Education 2 (1) (2013)
dipikirannya kepada pasangannya.; dan (2) bagi
seorang listener harus menuntun problem solver
memecahkan masalah sekaligus memonitor
segala yang dilakukan PS. Kekurangan
kekurangan tersebut dapat diatasi dengan
bantuan dari guru untuk memandu proses
diskusi yang berlangsung.
M odel pembelajaran Think-Pair-Share
memiliki prosedur yang ditetapkan secara
eksplisit untuk memberi waktu lebih banyak
pada siswa untuk berpikir, menjawab, dan
saling membantu satu sama lain. Keunggulan
dari
Think-Pair-Share (TPS)
ini
adalah
optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode
klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa
maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh
kelas, model Think-Pair-Share (TPS) ini
memberikan kesempatan kepada setiap siswa
untuk menunjukkan partisipasi mereka kepada
siswa
lain. Namun tugas siswa daalm
kelompoknya tidak dibagi dengan jelas.
memiliki tugas yang jelas karena peran masing
masing siswa dalam tiap pasangan tidak
dibedakan antara yang mengerjakan soal dan
yang membantu mengarahkan temannya untuk
menyelesaikan soal yang diberikan. Sehingga,
interaksi antar siswa dalam tiap pasangan
terkadang kurang berjalan secara aktif dan
efektif karena siswa cenderung untuk bekerja
sendirisendiri terlebih dahulu.
Universitas
Negeri
M alang.
Johnson & Chung. 1999. The Effect of Thinking
A loud Pair Problem Solving (TA PPS) on
the Troubleshooting A bility of Aviation
Technician Students. "Journal of Industrial
Teacher Education, Volume 37, Number 1".
Tersedia
di
http:/ / scholar.lib.vt.edu/
ejournals/ JITE/ v37n1/ john.html. [diakses
322013]
National Council of Teachers of M athematics. 2000.
"Principles and Standards for School
M athematics. NCTM : Reston VA ". Tersedia
di http:/ / www.nctm.org/ . [diakses 23 M ei
2012]
Pate, Wardlow, dan Johnson. 2004. Effects of
Thinking A loud Pair Problem Solving On
The Troubleshooting Performance of
Undergraduate A griculture Students In A
Power Technology Course. "Journal of
A gricultural
Education,
Volume 45,
Number
4".
Tersedia
di
http:/ / pubs.aged.tamu.edu/ jae/ pdf/ Vol45/
4504001.pdf.
[diakses
5122012]
Pate, dan M iller. 2004. Effects of Think–A loud Pair
Problem Solving on Secondary–Level
Students’ Performance in Career and
Technical Education Courses. "Journal of
A gricultural Education", Volume 52,
Number 1. Tersedia di http:/ / www.jae
online.org/ attachments/ article/ 1535/ 52.1.1
20.Pate.pdf.
[diakses
5122012]
Polya, G. 1973. "How to Solve It". New Jersey:
Princeton
University
Press.
Ruseffendi. 2010. "Dasardasar Penelitian Pendidikan
& Bidang Noneksakta Lainnya". Bandung :
Tarsito.
Stice, J. E. 1987. "Teaching Problem Solving".
Tersedia di http:/ / educa.univpm.it/ problem
solving/ stice_ps.html. [diakses 322013]
Sugiyono. 2010. "M etode Penelitian Kuantitatif
Kuantitatif dan R& D". Bandung: A lfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian.
Bandung:
A lfabeta.
Suyitno, A . 2011. "Buku A jar Dasardasar dan Proses
Pembelajaran M atematika 1". Semarang:
Universitas
Negeri
Semarang.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa (1)
pembelajaran dengan model TA PPS mampu
mencapai ketuntasan klasikal pada aspek
pemecahan masalah; (2) pembelajaran dengan
model TPS mampu mencapai ketuntasan
klasikal pada aspek pemecahan masalah; dan
(3)
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran TA PPS lebih baik daripada siswa
yang diajar dengan model TPS.
Ucapan Terimakasih
A rtikel ini dapat tersusun dengan baik
berkat bantuan dan bimbingan banyak pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih kepada ibu Qomarul Hana, S.Pd dan
bapak A rdian Awaludin, M .Si. selaku Guru
M atematika kelas X M A N 2 Kudus.
D aftar Pustaka
A rikunto,
S.
2003.
"Dasardasar
Evaluasi
Pendidikan".
Jakarta:
Bumi
A ksara.
Hudojo, H. 2003. "Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran
M atematika".
M alang:
6