Input, Interaksi, dan Output dalam Pemerolehan bahasa

  

HARI BERBAHASA DAERAH DI SEKOLAH

DALAM PERSPEKTIF PEMEROLEHAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA

  

I Made Sutama

  Universitas Pendidikan Ganesha imadesutamaubd@gmail.com

  

Abstract

When more than one languages are spoken in a community, there will be two possibilities

emerge. All languages have unique different functions in different domains or one language willinfluence

other languages. What likely happens in Indonesia is the second one; a local language is influenced by

Indonesian or foreign languages, especially English. This condition will cause many local languages loose

its speakers. To maintain the local languages, an idea to speak a local language one day in a week at school

was applied. This initiative was called a Local Language Day. From a language acquisition perspective, the

implementation of this idea has potential to contribute to language maintainance effort because it can create

natural language environment as the source of children’s input to develop their local language competency.

Morever, it can also promote children to interact with others in local language which can enhance their skill

in using the local language. The problem is that not any input is a good input. It is suggested that teachers

and all administrative staff should give a good input to children so the local language day can contribute to

the language maintainance effort.

  Key words: local language day, language acquisition, language maintainance

Abstrak

  Ketika dalam suatu komunitas beberapa bahasa hidup berdampingan, ada dua kemungkinan yang

dapat terjadi. Semua bahasa memiliki fungsi tersendiri dalam ranah yang berbeda-beda atau salah satu

bahasa rembes, disusupi oleh bahasa yang lain. Dalam konteks Indonesia, yang terjadi adalah kemungkinan

yang kedua. Bahasa daerah, terutama, rembes, disusupi oleh bahasa Indonesia, bahkan oleh bahasa asing,

khususnya bahasa Inggris. Kondisi ini semakin hari semakin mengkhawatirkan sehingga tidak tertutup

kemungkinan akan semakin banyak saja bahasa daerah yang menuju ke kepunahannya. Untuk mencegah

hal itu terjadi, diterapkan gagasan hari berbahasa daerah pada hari tertentu di sekolah di berbagai wilayah,

termasuk di sejumlah sekolah di Bali. Dalam perspektif pemerolehan bahasa, penerapan gagasan itu

memiliki potensi untuk berkontribusi bagi penyelamatan bahasa daerah karena akan tercipta lingkungan

bahasa yang alamiah yang dapat memberi input bagi anak sehingga kemampuan berbahasa daerahnya

terus berkembang. Di samping itu, interaksi yang terjadi pada hari berbahasa daerah dapat mengasah

keterampilan anak berbahasa daerah. Hanya saja, tidak sembarang input dapat memberi manfaat. Input

yang bermanfaat adalah input yang berkualitas. Oleh karena itu, pihak guru dan pegawai perlu menyediakan

input yang berkualitas bagi anak-anak, sehingga penerapan hari berbahasa daerah dapat berkontribusi bagi

penyelamatan bahasa daerah. Kata-kata kunci: hari berbahasa daerah, pemerolehan bahasa, pemertahanan bahasa PENDAHULUAN

  Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multibahasa/dwibahasa. Pada masyarakat seperti itu, sejumlah bahasa digunakan dalam berbagai ranah untuk berbagai tujuan. Dalam konteks Indonesia, di hampir di semua daerah, masyarakat menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahkan, di sejumlah daerah, terutama di daerah-daerah yang memiliki daya tarik wisata (DTW), seperti Bali, masyarakat juga menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pada mulanya, ranah dan tujuan penggunaan masing-masing bahasa itu berbeda. Di Bali, misalnya, bahasa daerah digunakan pada ranah kekeluargaan, kekariban, ketetanggaan, adat, dan agama; bahasa Indonesia digunakan pada ranah pendidikan dan pemerintahan; dan bahasa asing digunakan pada ranah hubungan antarbangsa. Kondisi penggunaan bahasa seperti ini melahirkan situasi yang di dalam kajian sosiolinguistik disebut dengan diglosia.

  Namun, semakin lama, semakin kuat ada kecenderungan bahwa diglosia menghadapi ancaman. Ancaman itu muncul karena bahasa tertentu semakin berprestise, lalu semakin mendominasi, sementara bahasa yang lain mengalami hal yang sebaliknya, semakin kurang berprestise, lalu semakin terdominasi. Pada kasus Indonesia, justru bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang semakin dan paling berprestasi, mengalahkan prestise bahasa Indonesia, yang notabene bahasa nasional dan bahasa resmi Negara, lebih-lebih bahasa daerah. Anak-anak Indonesia, dengan dukungan orang tua, dengan motivasi tinggi belajar bahasa Inggris bukan hanya di sekolah, tetapi juga di lembaga-lembaga kursus, namun tidak demikian halnya dalam belajar bahasa Indonesia, apalagi dalam hal belajar bahasa daerah. Sejalan dengan hal itu, dalam prestasi belajar juga demikian. Skor hasil belajar bahasa Inggris menduduki posisi paling tinggi, diikuti secara berturut-turut oleh skor hasil belajar bahasa Indonesia, lalu bahasa daerah.

  Dalam penggunaannya di masyarakat, dari waktu ke waktu, semakin banyak unsur-unsur bahasa yang lebih berprestise, terutama unsur kosa katanya, di samping unsur morfosintaksisnya, menyusup ke dalam penggunaan bahasa yang kurang berprestise. Banyak kosa kata bahasa Inggris menyusup ke dalam penggunaan bahasa Indonesia; begitu juga kosa kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia menyusup ke dalam penggunaan bahasa daerah. Bukan hanya itu, ranah yang semula menjadi milik bahasa yang kemudian menjadi kurang berprestise diambil atau dimasuki oleh penggunaan bahasa yang lebih berprestise. Sebagai contoh, ranah kekeluargaan yang semula menjadi wilayah penggunaan bahasa daerah dimasuki oleh penggunaan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris. Banyak keluarga, bukan hanya di perkotaan, tetapi juga di luar kota yang dalam kesehariannya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

  Di satu sisi, kondisi di atas merupakan hal baik bagi perkembangan bahasa Indonesia. Tetapi di sisi lain, hal itu berdampak buruk bagi perkembangan bahasa daerah. Semakin lama, bahasa daerah akan semakin terpinggirkan, dan sangat terbuka kemungkinan bahasa daerah menuju ke kepunahannya, sebagaimana dialami oleh sejumlah bahasa daerah di beberapa wilayah di Indonesia. Sumarsono (1993: 15) menyatakan, “Manakala ranah-ranah itu mulai “bocor”, dan bahasa mayoritas merembes masuk , menggantikan fungsi bahasa minoritas, mulailah terjadi pergeseran bahasa, dan kalau semua ranah sudah memakai bahasa mayoritas, sementara bahasa minoritas tidak mampu menembus ranah-ranah yang semula memakai bahasa mayoritas, bahasa minoritas akan punah.”

  Banyak pihak memprihatinkan fenomena itu. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan keberadaan bahasa daerah. Di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Bali, dibuat Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur sebagai payung hukum bagi pelestarian bahasa daerah. Ada juga pemerintah kabupaten/kota yang menetapkan hari berbahasa daerah di lingkungan pemerintahan pada hari tertentu. Hari berbahasa daerah juga digagas oleh sejumlah sekolah. Hal terakhir ini menarik untuk dikaji karena beberapa alasan.Subjek sasarannya banyak dan merupakan generasi yang paling besar kemungkinan penguasaan bahasa daerahnya rendah. Kajian diarahkan pada potensi hari berbahasa daerah di sekolah sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dalam perspektif pemerolehan bahasa. Untuk menuju ke situ, selanjutnya akan dibahas secara berturut-turut tentang penguasaan bahasa, input, interaksi, dan output dalam pemerolehan bahasa, kepunahan dan pemertahanan bahasa, dan hari berbahasa daerah di sekolah, dan tantangan yang dihadapi serta solusi yang perlu ditempuh.

  PEMBAHASAN Penguasaan Bahasa

  Oleh anak, bahasa dikuasai melalui dua cara, yakni pemerolehan dan pembelajaran. Lewat cara pertama, bahasa dikuasai oleh anak lewat penggunaannya dalam lingkungan yang alamiah, biasanya di luar kelas, tanpa ada perhatian khusus terhadap penguasaan bentuk bahasa (Huda, 1999: 7). Lewat cara semacam itu, bahasa dikuasai oleh anak secara bawah sadar. Artinya, tidak ada tujuan yang ditetapkan secara sadar oleh anak untuk menguasai bahasa yang digunakan di sekitarnya. Begitu juga sebaliknya, tidak ada rencana yang dibuat oleh orang-orang di sekitarnya agar anak itu menguasai bahasa yang digunakan. Sebagai akibatnya, anak tidak memiliki kesadaran tentang kaidah bahasa yang diperoleh, tidak juga mampu menjelaskan kaidah apa yang melandasi ujarannya (Huda, 1999: 8). Lewat cara kedua, bahasa dikuasai oleh anak melalui pembelajaran formal di dalam kelas. Melalui pembelajaran di dalam kelas, anak secara sadar berusaha menguasai bahasa yang diajarkan. Anak tahu betul untuk apa mereka belajar bahasa. Pembelajaran bahasa di kelas direncanakan secara cermat oleh guru, lewat penyusunan kurikulum dan silabus pembelajaran bahasa, bahkan lewat penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk beberapa pertemuan dalam rangka mencapai kompetensi dasar tertentu. Sebagai hasil dari pembelajaran bahasa, anak memiliki pengetahuan eksplisit tentang kaidah bahasa (Huda, 1999: 8).

  Meskipun kelas cenderung berkesan tempat belajar bahasa secara formal, tidak berarti bahwa di kelas tidak terjadi permerolehan. Pemerolehan terjadi karena di dalam kelas terjadi komunikasi bertujuan, yakni siswa berpartisipasi dalam pembelajaran dan guru memfasilitasi pembelajaran melalui interaksi satu arah, dua arah, bahkan multiarah. Dengan demikian, di kelas ada dua konteks, yakni konteks belajar dan konteks komunikasi. Ketika fokus anak adalah pada usaha belajar bahasa, konteks yang muncul adalah konteks belajar, sementara ketika fokus anak adalah pesan, konteks yang muncul adalah konteks komunikasi (Ellis, 2012: 288).

  Fakta dan pandangan tentang kontribusi lingkungan bahasa informal dan lingkungan bahasa formal terhadap penguasaan bahasa, dalam konteks bahasa kedua dan bahasa asing, bervariasi. Ada fakta dan pandangan yang menyatakan bahwa lingkungan bahasa informal berkontribusi lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Carrol, 1967, (dalam Huda, 1999: 12), bahwa orang yang lebih lama tinggal di tempat bahasa yang dipelajari digunakan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik. Hal senada ditemukan oleh Upshur’s, 1968, (dalam Huda, 1999; 12). Penguasaan sekelompok pebelajar terhadap suatu bahasa ketika bahasa itu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran sama baiknya dengan penguasaan bahasa pebelajar lain yang secara khusus belajar bahasa itu. Namun, ada juga fakta dan pandangan sebaliknya, yakni justru pembelajaran formal yang memiliki pengaruh signifikan pada penguasaan bahasa. Krashen, Jones, Zelenski, dan Upsrich, 1978, (dalam Huda, 1999: 13) melakukan penelitian tentang hubungan antara lama mengenyam pengajaran formal dan lama tinggal di tempat bahasa itu digunakan dengan kemampuan berbahasa itu. Ditemukan bahwa keduanya berhubungan dengan kemampuan berbahasa itu. Namun, hubungan lama mengenyam pengajaran formal dengan kemampuan berbahasa lebih kuat dibandingkan dengan hubungan lama tinggal di tempat bahasa itu digunakan dengan kemampuan berbahasa. Krashen (dalam Huda, 1999: 13-14) menyikapi kedua variasi temuan di atas. Dalam penelitian Carrol dan Upshur’s, subjek yang tidak mengenyam pengajaran bahasa formal terlibat aktif dalam penggunaan bahasa karena mereka “dipaksa” hidup dalam komunitas pemakai bahasa itu. Berdasarkan hal itu, Krashen menyimpulkan bahwa semata- mata memajankan anak pada penggunaan bahasa tidak secara otomatis menjadikan pemerolehan bahasa berlangsung. Supaya pemerolehan bahasa berlangsung, anak memang harus terlibat aktif dalam penggunaan bahasa. Penyikapan lain adalah kurang tepat kalau kita mengkaji pengaruh relatif latar alamiah dan latar pendidikan terhadap kemampuan berbahasa secara keseluruhan; yang lebih tepat adalah mengkaji efeknya pada aspek kemampuan berbahasa yang berbeda. Fakta yang ada mengisyaratkan bahwa latar alamiah meningkatkan kelancaran berbahasa lisan dan kemampuan pragmatik, sementara latar pendidikan meningkatkan pengetahuan gramatika (Ellis, 2012: 290).

  Input, Interaksi, dan Output dalam Pemerolehan bahasa

  Input adalah bahasa yang digunakan di sekitar anak, tempat anak dipajankan. Input dianggap memiliki peran dalam pemerolehan bahasa, namun, seberapa penting peran input dalam pemerolehan bahasa dipandang dengan cara yang berbeda oleh penganut paham yang berbeda (Ellis, 2012: 205). Kaum behavioris memandang bahwa ada hubungan langsung antara input dan output. Mereka menekankan adanya kemungkinan untuk menciptakan pemerolehan bahasa dengan memanipulasi input untuk memberikan rangsangan yang cocok dan dengan meyakinkan bahwa balikan yang yang memadai selalu tersedia. Dengan demikian, menurut kaum behavioris, pemerolehan dikontrol oleh factor eksternal, dan anak diposisikan sebagai sosok yang pasif. Menurut kaum mentalis, input hanya pemicu dimulainya pemrosesan bahasa secara internal. Anak telah dibekali dengan pengetahuan bawaan tentang berbagai kemungkinan bentuk yang dimiliki oleh suatu bahasa, dan menggunakan informasi yang diberikan melalui input untuk sampai pada bentuk-bentuk bahasa yang dapat diterapkan pada bahasa yang dipelajari. Kaum interaksionis memandang bahwa interaksi verbal merupakan hal yang sangat penting dalam belajar bahasa. Interaksi memberikan anak input yang mengandung data yang diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa, memberikan kesempatan untuk bereksperimen dengan memproduksi bahasa dan menerima balikan.

  Corder, 1967, (dalam Gass, 2013: 340), membedakan input dengan intake. Jika input mengacu pada bahasa yang digunakan di sekitar anak, intake adalah apa yang benar-benar diinternalisasi oleh anak. Bisa jadi input adalah bahasa yang sama sekali tidak dipahami oleh anak, tetapi digunakan di sekitar anak, sehingga tidak dimungkinkan untuk diintegrasikan ke dalam sistem bahasa anak saat itu. Dengan demikian, sekadar input tidak memadai bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Supaya input berguna bagi terjadinya pemerolehan bahasa, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, menurut Krashen (dalam Huda, 1999: 25), input yang diterima oleh anak haruslah dapat dipahami, sedikit lebih sulit daripada bahasa yang telah dikuasai oleh anak. Untuk menggambarkan kondisi input yang ideal, Kreshen membuat rumus “i + 1”. Dalam rumus ini, “i” adalah simbol kondisi kemampuan berbahasa anak, sementara “+1” adalah kesulitan di atas kemampuan berbahasa anak. Input bukan semata-mata urusan kuantitas karena kuantitas input semata tidak akan menjamin peningkatan kemampuan berbahasa (Edmondson, 2009: 184).

  Kedua, menurut Edmondson (2009: 185), input yang benar-benar relevan bagi perkembangan bahasa anak adalah input yang diwujudkan melalui interaksi (negotiated input). Hal ini masuk akal karena, sebagaimana dikemukakan oleh Gass (2013: 356), input tidak akan memadai bagi terjadinya pemerolehan kalau hanya didengar. Dalam kondisi seperti itu, anak dapat menginterpretasi makna tanpa menggunakan pengetahuan sintaksis.

  Tidak akan demikian halnya kalau anak terlibat dalam memproduksi bahasa atau output karena anak terpaksa menyusun kata-kata dalam urutan tertentu (Gass, 2013: 356). Aktivitas memproduksi bahasa memaksa anak beranjak dari pemrosesan semantik (semantic processing) ke pemrosesan sintaksis (syntactic processing) (Swain, dalam Gass, 2013: 356). Swain pernah melakukan penelitian untuk mencari jawaban atas masalah mengapa pebelajar bahasa Perancis sebagai bahasa kedua (B2) dalam program celup (immersion program) tidak mencapai kemajuan sebagaimana yang diharapkan. Dari penelitiannya itu diketahui bahwa mereka sedikit mendapat kesempatan untuk menggunakan bahasa Perancis secara produktif. Temuan inilah yang menjadikannya yakin akan pentingnya output bagi perkembangan bahasa anak. Di sini, output dilihat sebagai cara mempraktikkan pengetahuan yang telah dimiliki. Di samping itu, output juga memungkinkan diperolehnya input tambahan.

  Tentang bagaimana output bisa memiliki peranan sentral dalam proses belajar bahasa dikemukakan oleh Gass dkk. (2013: 357). Menurut Gass, output dapat digunakan untuk (1) mendapatkan balikan penting untuk memverifikasi hipotesis, (2) menguji hipotesis tentang struktur dan makna bahasa yang dipelajari, (3) mengembangkan otomatisitas dalam memproduksi bahasa, dan (4) mendorong terjadinya pergeseran dari pemrosesan berdasarkan makna ke pemrosesan berdasarkan kaidah sintaksis. Balikan adalah sumber informasi penting bagi anak.

  Dengan adanya balikan, anak dapat mengetahui ketepatan atau ketidaktepatan ujarannya dan mendapatkan kesempatan tambahan untuk fokus pada produksi atau pemahaman. Balikan dapat diberikan melalui berbagai cara, eksplisit, dengan secara terus terang menyatakan ada masalah, atau implisit, memberi balikan ketika interaksi sedang berlangsung. Ketika output dihasilkan sebagai bagian dari rangkaian negosiasi, output adalah cara untuk menguji hipotesis. Ini tidak berarti bahwa anak secara sadar menguji hipotesis setiap memproduksi ujaran.Melalui negosiasi dan pemberian balikan anak dapat disadarkan tentang kebenaran hipotesis yang dirumuskan ketika memproduksi bahasa. Dengan demikian, aktivitas menggunakan bahasa membantu anak mengembangkan daya analisis yang memungkinkan anak berpikir tentang bahasa. Menghasilkan output dapat mengembangkan kelancaran berbahasa dan otomatisasi pemrosesan. Pikiran manusia dapat dipandang sebagai sistem pemrosesan yang terbatas. Proses tertentu dilakukan secara sengaja, memerlukan waktu dan kapasitas memori kerja yang memadai, sementara proses yang lain bersifat rutin dan otomatis, sehingga memerlukan waktu dan kapasitas yang lebih sedikit. Menurut Swain, 1985, (dalam Gass dkk., 2013: 374), output dapat memaksa anak untuk berpindah dari pemrosesan semantik ke pemrosesan sintaktis. Pemrosesan bahasa hanya pada tataran makna tidak akan dapat membantu mencapai tujuan memahami sintaksis suatu bahasa. Padahal, hal itu sangat esensial dalam menjamin akurasi produksi bahasa.

  Kepunahan dan Pemertahanan Bahasa Daerah

  Kepunahan sebuah bahasa daerah telah menjadi sesuatu yang bersifat alamiah melalui proses yang hampir sama (Nurhayati, 2011). Pada mulanya bahasa daerah harus hidup berdampingan dengan bahasa kedua. Sejak saat itulah, penutur bahasa daerah menjadi dwibahasawan. Dalam kondisi seperti itu, terjadi persaingan penggunaan kedua bahasa, dan pada akhirnya bahasa daerah tergeser, lalu punah. Ada enam gejala yang menjadi pertanda kepunahan sebuah bahasa pada masa depan (Grimes, dalam Darwis, 2011: 4). Keenam gejala itu adalah (1) jumlah penutur aktif bahasa itu menurun secara drastis, (2) ranah penggunaannya semakin berkurang, (3) penutur usia muda mengabaikan bahasanya, (4) bahasa itu tidak lagi digunakan untuk memelihara identitas etnik, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak terampil lagi menggunakan bahasa itu, dan (6) banyaknya contoh semakin punahnya dialek suatu bahasa. Bahasa-bahasa yang terancam punah itu biasanya memiliki beberapa kondisi berikut ini (Ibrahim, 2011: 41). Yang pertama adalah bahasa-bahasa itu pada umumnya ada di negara berkembang yang notabene miskin sumber daya manusia dan sumber daya alam. Yang kedua adalah total populasi etniknya tidak lebih dari 5000 orang. Yang ketiga adalah bahasa-bahasa itu dimiliki oleh etnik minoritas terisolasi atau yang berada di wilayah yang keragaman bahasa dan budayanya tinggi. Yang keempat adalah bahasa itu ada di wilayah multibahasa yang memilih sebuah lingua franca dalam komunikasi lintas etnik.

  Ada banyak sebab mengapa berbagai bahasa daerah di hampir semua belahan dunia mengalami kepunahannya. Menurut Summer Institut of Linguistics (SIL), 2008, (dalam Darwis, 2011: 4), minimal ada dua belas faktor yang berhubungan dengan kepunahan bahasa. Keduabelas faktor itu adalah (1) jumlah penutur yang kecil, (2) usia penutur, (3) digunakan atau tidaknya bahasa itu oleh anak-anak, (4) digunakannya bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasa itu secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan (12) kedinamisan penutur mambaca dan menulis sastra. Sebab lain disampaikan oleh Ibrahim (2011: 42). Dikatakannya ada tiga sebab utama kepunahan suatu bahasa, yaitu: (1) orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa itu kepada anak-anaknya serta tidak lagi menggunakannya di rumah, (2) sebagian masyarakat tutur tidak lagi menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari, dan (3) tekanan sebuah bahasa mayoritas dalam masyarakat tutur multilingual.

  Karena kepunahan bahasa adalah fenomena alami, ada sebagian yang berpandangan untuk apa hal itu dirisaukan. Sekilas pandangan itu tampak dapat diterima. Namun, kalau direnungkan secara lebih dalam, pandangan itu dilandasi oleh pemahaman yang sempit akan dampak kepunahan sebuah bahasa. Living Tongues, Institute for Endangered Languages (dalam Ibrahim, 2011: 46) menyatakan bahwa bahasa adalah gudang pengetahuan manusia yang sangat luas tentang duania alamiah, tanaman, hewan, ekosistem, dan sediaan budaya; setiap bahasa memuat kesuluruhan sejarah umat manusia. Itulah sebabnya, Ibrahim (2011: 46) menyatakan kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban.

  Karena begitu serius dampak dari kepunahan suatu bahasa, pemertahanan bahasa daerah menjadi mutlak untuk dilakukan. Banyak hal yang telah digagas berkenaan dengan upaya pemertahanan bahasa daerah. Darwis (2011), misalnya, menyarankan lima hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Kelima hal itu adalah (1) menamai gedung-gedung dan fasilitas modern dengan ungkapan-ungkapan bahasa daerah sehingga masyarakat tidak memandang bahasa daerah sebagai sesuatu yang kuno, tetapi sebaliknya mengidentifikasi bahasa daerah sebagai sesuatu yang modern, (2) mendorong orang berpendidikan tinggi dan tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk sewaktu-waktu dalam situasi dan kondisi yang tepat berbahasa daerah sehingga bahasa daerah tidak dikesankan dengan kemiskinan dan kebodohan, (3) membangun kesadaran bahwa bahasa daerah adalah identitas diri yang diperlukan dalam pergaulan nasional sehingga kesan bahasa daerah tidak diperlukan ketika keluar kampung bisa dihilangkan, (4) memberi penghargaan kepada perantau yang dengan semangat mempertahankan identitas etnisnya dengan mempertahankan bahasa daerah, dan (5) mendorong pemerintah daerah dalam era otonomi daerah untuk membuat kebijakan yang berkontribusi bagi pemertahanan bahasa daerah. Dalam hal pemertahanan bahasa Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta, Nurhayati, 2011), mengusulkan beberapa pemikiran praktis, yakni (1) menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai kesempatan, misalnya di dalam keluarga, di dalam forum-forum pertemuan, dan di lembaga pendidikan, (2) menghidupsuburkan pemakaian bahasa Jawa di media massa, dan (3) memperjuangkan bahasa Jawa dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia menjadi bahasa nasional kedua. Di samping tiga hal itu, Nurhayati juga mengusulkan beberapa hal sebagai pelengkap pemikiran, yaitu: (1) melalui penanaman filosofi Jawa, (2) melalui lomba dan festival, (3) melalui pengembangan kesenian tradisional, dan (4) melalui hari berbahasa Jawa, baik di sekolah maupun di kantor-kantor pemerintah.

  Dalam konteks yang lebih luas, yakni pemertahanan bahasa-bahasa nusantara, Mbete (2010) menawarkan lima strategi. Yang pertama, dan utama, adalah pemantapan kedwibahasaan. Kedwibahasaan yang mantap ditandai oleh penguasaan secara berimbang lebih dari satu bahasa, daerah, nasional, bahkan asing. Pemantapan kedwibahasaan dapat dilakukan melalui (1) peningkatan disiplin menggunakan bahasa daerah, nasional, dan asing sesuai dengan ranah pemakaiannya masing-masing dan (2) pembenahan pembelajaran bahasa daerah melalui pengembangan kurikulum, bahan ajar, model pembelajaran, dan peningkatan mutu guru. Yang kedua adalah keterjalinan subtansi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Strategi ini tepat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tinggi, baik yang mengembangkan ilmu bahasa murni maupun yang mengembangkan ilmu pendidikan bahasa. Melalui strategi ini, tiga dharma perguruan tinggi diupayakan memiliki keterjalinan substansi sehingga antara dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat memiliki kesejalanan dalam hal pemertahanan bahasa- bahasa daerah di nusantara. Yang ketiga adalah kerja sama kelembagaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga tradisional. Ranah-ranah keluarga, ketetanggaan, adat dan tradisi, serta agama, yang belakangan ini mulai dimasuki oleh penggunaan bahasa Indonesia, perlu dikembalikan menjadi milik bahasa daerah. Untuk itu, lembaga-lembaga tradisional dan keagamaan perlu didorong untuk kembali berperan serta mengembalikan penggunaan bahasa-bahasa daerah di habitat aslinya. Pemberian peran seperti itu sangat cocok seiring dengan era otonomi daerah yang sudah berlangsung selama beberapa tahun. Yang keempat adalah penerjemahan, penulisan, dan teknologisasi khazanah budaya nusantara. Penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam bahasa asing dari negeri-negeri maju ke dalam bahasa-bahasa daerah yang besar perlu dilakukan. Upaya seperti itu dapat merangsang perkembangan dan kehidupan bahasa-bahasa daerah, di samping menambah wawasan pengetahuan masyarakat lokal. Sebaliknya, perlu dilakukan teknologisasi terhadap kekayaan bahasa, sastra, dan budaya nusantara sehingga anak-anak, remaja, dan generasi muda dapat memahami dan menikmati kembali khasanah bahasa, sastra, dan budayanya. Yang kelima adalah reorientasi kebahasaan dan kebudayaan nasional. Jati diri bangsa Indonesia bukan hanya bahasa Indonesia dan simbol-simbol nasional lainnya. Bahasa, sastra, dan kekayaan budaya nusantara adalah jati diri yang lain dari bangsa Indonesia yang bineka. Oleh karena itu, pemahaman warga bangsa akan keberadaan, fungsi, dan makna, baik bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa lokal perlu disempurnakan sehingga mereka tidak memandang cukup menguasai bahasa Indonesia, tanpa perlu menguasai bahasa lokal.

  Hari Berbahasa Daerah di Sekolah

  Hari berbahasa daerah di sekolah adalah suatu program salah satu hari, dari Senin sampai dengan Sabtu, yang ditetapkan sebagai hari warga sekolah, siswa, guru, dan pegawai diimbau untuk berbahasa daerah ketika berkomunikasi di lingkungan sekolah, diluar kegiatan belajar di kelas. Hari berbahasa daerah seperti itu telah berlangsung di sejumlah sekolah di beberapa tempat di tanah air, seperti Denpasar, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Di Kota Bandung, hari berbahasa daerah di sekolah bahkan dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda), tepatnya Perda Nomor 9 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hari Rabu ditetapkan sebagai hari berbahasa Sunda dalam semua kegiatan pendidikan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

  Jika dilihat dari sisi pemerolehan bahasa, tradisi hari berbahasa daerah di sekolah itu bisa diduga dapat meningkatkan intensitas pemerolehan bahasa daerah di luar rumah karena beberapa alasan. Pada hari itu, semua warga sekolah akan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Komunikasi yang mereka lakukan adalah komunikasi bertujuan yang sifatnya alamiah, bukan komunikasi simulatif. Itu berarti bahwa hari berbahasa daerah di sekolah dapat menciptakan lingkungan berbahasa alamiah yang sangat diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Lingkungan berbahasa alamiah seperti itu akan menjadi sumber input lain bagi anak-anak, selain sumber input dari ranah kekeluargaan dan ketetanggaan, yang di perkotaan semakin sedikit jumlahnya. Di samping menyediakan input, hari berbahasa daerah di sekolah juga akan mendorong terjadinya interaksi di antara warga sekolah. Sebagaimana diketahui, input akan semakin meningkat kualitasnya jika diterima melalui interaksi, bukan semata-mata dari aktivitas mendengarkan. Ini terjadi karena dalam melakukan interaksi anak harus memanfaatkan pengetahuan sintaksis, berbeda dengan ketika mendengarkan, mereka dapat menginterpretasi makna tanpa melibatkan pengetahuan sintaksis. Lebih lanjut, interaksi akan memaksa anak untuk memproduksi bahasa atau menghasilkan output. Melalui produksi bahasa, banyak hal bisa dilakukan oleh anak, seperti (1) mendapatkan balikan penting untuk memverifikasi hipotesis, (2) menguji hipotesis tentang struktur dan makna bahasa yang dipelajari, (3) mengembangkan otomatisitas dalam memproduksi bahasa, dan (4) mendorong terjadinya pergeseran dari pemrosesan berdasarkan makna ke pemrosesan berdasarkan kaidah sintaksis. Lebih dari meningkatkan intensitas pemerolehan bahasa daerah, hari berbahasa daerah di sekolah, lebih jauh, dapat berperan dalam pemertahanan bahasa daerah. Dikatakan demikian karena, dengan hari berbahasa daerah di sekolah, kedwibahasaan anak, meminjam istilah Mbete (2010) akan dapat dimantapkan.

  Dibalik potensi hari berbahasa daerah di sekolah dalam meningkatkan kemungkinan terjadinya pemerolehan bahasa daerah, ada sejumlah hal yang dapat menjadi sandungan pelaksanaannya. Yang pertama adalah kesiapan guru dan pegawai sebagai sumber input berkualitas dan fasilitator bagi terjadinya interkasi. Seperti telah disampaikan sebelumnya, tidak sembarang input dapat mendorong terjadinya pemerolehan bahasa. Input yang dapat mendorong terjadinya pemerolehan bahasa adalah input yang berkualitas, dalam artian dapat dijadikan model dan sedikit lebih sulit dari tingkat penguasaan bahasa siswa. Tentu tidak semua guru dan pegawai dapat menjadi penyedia input seperti itu. Belum lagi dalam hal menjadi fasilitator. Diperlukan kesediaan guru dan pegawai untuk menjadi inisiator interaksi dengan murid. Dalam keadaan kemampuan anak terbatas dalam berbahasa daerah, tentu sulit diharapkan anak mengambil inisiatif untuk memulai interaksi. Oleh karena itu, kesadaran guru dan pegawai akan pentingnya pemertahanan bahasa daerah perlu digugah sehingga tumbuh motivasi internal untuk menjadi penyadia input yang berkualitas dan fasilitator/inisiator interaksi. Yang kedua adalah bagaimana kita dapat memaksa anak untuk mau berbahasa daerah di sekolah. Kesulitan itu dapat bersumber pada banyak hal. Sumber pertama adalah tipologi bahasa daerah menurut Krauss (dalam Ibrahim, 2011: 36). Jika bahasa daerah itu adalah bahasa daerah yang punah (moribund languages), tentu tidak dimungkinkan untuk mengharuskan anak menggunakannya melalui program hari berbahasa daerah di sekolah karena bahasa dengan status seperti itu tidak lagi digunakan, dipelajari, atau diperoleh sebagai bahasa ibunya. Berbeda halnya kalau bahasa itu adalah bahasa yang berstatus terancam punah (endangered languages), yang masih dipelajari atau diperoleh oleh anak, tetapi ada kemungkinan ditinggalkan pada abad mendatang. Sumber kedua adalah perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasa itu secara umum (SIL, dalam Darwis, 2011: 4). Bisa jadi anak-anak penutur bahasa daerah itu tidak lagi membanggakan bahasa daerahnya sebagai identitas etnik, bahkan bersikap negatif terhadap bahasa daerahnya. Kedua hal ini tentu akan menjadi hambatan untuk mendorong mereka mau berbahasa daerah di sekolah dengan sesama warga sekolah. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran mereka bahwa bahasa daerah adalah identitas etnik yang patut dibanggakan dan bagian dari identitas bangsa yang bhineka. Di samping itu, pada hari berbahasa daerah di sekolah, bahasa daerah itu tidak hanya diwajibkan digunakan di luar kelas, tetapi juga dalam pembelajaran di kelas. Ketika suatu bahasa digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran, pada hakikatnya telah tercipta lingkungan bahasa yang alamiah di dalam kelas yang diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Hanya saja, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah menuntut semua guru mahir berbahasa daerah. Di samping itu, tidak dalam semua kondisi siswa ide ini dapat diterapkan. Jika kelas heterogen dari segi latar belakang bahasa ibu anak, tentu ide itu tidak mungkin diterapkan. Ide itu bisa diterapkan jika latar belakang bahasa ibu anak cenderung homogeny. Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran juga perlu dibuatkan payung hukumnya, paling tidak dalam bentuk Perda, sehingga tidak dituduh menentang peraturan perundang-undangan lain yang menyatakan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan adalah bahasa Indonesia.

  PENUTUP

  Ketika dalam masyarakat multibahasa, bahasa dominan (bahasa nasional dan asing) terus-menerus rembes ke bahasa yang kurang dominan (bahasa daerah), kepunahan bahasa, dalam hal ini bahasa daerah, hanya akan menunggu waktu. Untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan, salah satu cara yang ditempuh adalah program hari berbahasa daerah di sekolah. Program ini memiliki potensi untuk meningkatkan intensitas pemerolehan bahasa daerah. Hanya saja ada sejumlah hambatan yang menghadang, seperti kesiapan guru dan pegawai untuk menjadi penyedia input yang berkualitas dan fasilitator atau inisiator interaksi, serta tipologi bahasa daerah yang mau dipertahankan dan sikap negatif anak terhadap bahasa daerahnya. Untuk itu, perlu ditempuh beberapa solusi. Di antaranya adalah menjadikan ruang kelas sebagai bagian dari wilayah penerapan hari berbahasa daerah di sekolah dan membangun kesadaran bersama akan pentingnya pemertahanan bahasa daerah.

  Darwis, Muhammad. 2011. Nasib Bahasa Daerah di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan (Makalah). dalam http://repository.unhas.ac.id (Diakses 7 Januari 2015). Edmondson, Willis. 1999. Twelve Lectures on Second Language Acquisition. Tubingen: Gunter Narr Verlag Tubingen. Ellis, Road. 2012. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.

  Gass, Susan M., Behney, Jennifer, and Plonsky, Luke. 2013. Second Language Acquisition: An Introductory Course. New York and London: Routledge. Huda, Nuril. 1999. Language Learning and Teaching: Issues and Trends. Malang: IKIP Malang Publishers. Ibrahim, Gufran Ali. 2011. “Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya.” Linguistik Indonesia, Februari 2011: 35-52. Mbete, Aron Meko. 2010. Strategi Pemertahanan Bahasa-bahasa Nusantara (Makalah). dalam http://eprints.undip.ac.id (Diakses 6 Januari 2015). Munaf, Ngusman Abdul. 2010. Pengembangan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah

  Melalui Penstabilan Diglosia (Makalah). Dalam http://eprints.undip.ac.id (Diakses 6 Januari 2015).

  Nurhayati, Endang. 2011. Model Pemertahanan Bahasa Jawa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Makalah). dalam http://staf.uny.ac.id (Diakses 7Januari 2015). Sumarsono. 1990. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.