Peran Perpustakaan Umum dalam Membangun

Peran Perpustakaan Umum dalam Membangun Masyarakat
Informasi : Sebuah Telaah Ruang Publik Jürgen Habermas
Muhammad Rosyihan Hendrawan, SIP., M.Hum.
Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 163 Malang, Jawa Timur 65145
[email protected]

Abstrak
Pemikiran Habermas tentang ruang publik (public sphere) dapat menjadi sebuah
titian untuk memahami fenomena masyarakat informasi bila dikaitkan dengan
peran perpustakaan sebagai lembaga informasi. Wacana global pun
bermunculan dan mempertanyakan tentang peran perpustakaan umum tersebut.
Konsep masyarakat informasi sendiri merupakan suatu wadah perdebatan yang
dipahami pada tingkat sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi dari berbagai
teori. Secara khusus, apa yang sedang dibangun dan untuk siapa perpustakaan
umum diperuntukkan, tetap sebagai pertanyaan penting. Selain itu, ruang publik
itu sendiri terkait langsung dengan isu-isu tentang demokrasi, keanekaragaman,
multikulturalisme, dan keadilan sosial. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah membawa babak baru dalam masyarakat informasi yang juga
memberi pengaruh terhadap dimensi sosial masyarakat informasi. Konsep library

2.0 juga cukup mampu menjadi alat bagi perpustakaan umum untuk
mengembangkan perannya sebagai ruang publik yang lebih netral Dengan
demikian peran perpustakaan umum dalam membangun masyarakat informasi
perlu diuji secara kritis.
Kata kunci: perpustakaan umum, masyarakat informasi, Jürgen Habermas,
ruang publik, library 2.0.

Pendahuluan
Era Posmodern menarik minat dan perhatian para filsuf untuk berpikir lebih jauh tentang
ragam makna yang terkandung dengan munculnya babak baru pemikiran manusia. Salah
satu diantaranya adalah Jürgen Habermas. Beberapa kontribusi pemikiran telah
dikemukakan oleh Habermas, termasuk pandangannya terkait dengan ruang publik pada era
posmodern atau yang biasa disebut dengan public sphere.
Ruang publik dalam bentuk yang paling sederhana dan ideal adalah dunia di mana pendapat
utama berfokus pada kebutuhan masyarakat yang bebas dan terbuka dipertukarkan antara
orang-orang, tidak dibatasi oleh tekanan eksternal (Habermas, 1991).
Ruang publik menjadi wacana yang semakin hangat ditelaah, terlebih pada era masyarakat
informasi, dimana masyarakat telah meninggalkan industri manufaktur sebagai sentral
kehidupan dan menjadikan informasi sebagai daya utama aktualisasi diri masyarakat.
Dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi, mengakibatkan munculnya

ruang-ruang publik dalam dimensi baru yaitu dunia maya, sehingga teori kritis Habermas
tentang ruang publik semakin menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama sehubungan dengan
paradigma baru masyarakat informasi.

Pemikiran Jürgen Habermas
Pemikiran seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya, demikian pula halnya
dengan Jürgen Habermas. Pemikiran-pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya
sangat berkaitan dengan pengalaman hidup yang dialaminya, termasuk buah pikirannya
tentang konsep ruang publik yang cukup signifikan yang dikenal dengan teori Public Sphere.
Jürgen Habermas adalah salah satu filsuf pada abad 20. Ia adalah sseorang sosilog dan
filsuf berkebangsaan Jerman.
Karya-karya Habermas berfokus pada bidang dasar-dasar teori sosial dan epistemologi,
analisis masyarakat kapitalistik dan demokrasi, aturan hukum dalam konteks sosialevolusioner kritis dan politik kontemporer, terutama politik Jerman. Pemikiran Habermas
banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikran fisuf lain, seperti Weber, Durkheim, Mead,
Marx, Dilthey, Parsons, Kant, Heidegger, Piaget, Horkheimer, Adorno, Marcuse, Arendt,
Wittgenstein, Peirce, Austin, Scholem, dan Nietzsche.
Latar belakang Habermas, yang mana kuat dipengaruhi oleh masa-masa kepemimpinan
Nazi, membuatnya memaknai arti penting dari demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat
dan mengungkapkan gagasan yang bebas dari tekanan politik dan dominasi kapital (Lubis,
2011). Hal ini pulalah yang membuat Habermas berpikir tentang perlunya sebuah ruang

publik yang dapat digunakan oleh semua orang dengan bebas untuk mendapatkan informasi
publik dan menyampaikan gagasan-gagasan berkenaan dengan kepentingan-kepentingan
publik. Konsep ini dituangkan dalam pemikiran kritisnya yaitu teori Public Sphere. Dalam era
informasi ini, teori Public Sphere sering digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan
sosial, terutama yang berkaitan dengan ruang-ruang publik baru dalam masyarakat
informasi.
Teori Public Sphere
Habermas memiliki banyak karya pemikiran, terutama tentang hal-hal yang menyangkut
tentang perubahan-perubahan sosial budaya dalam era posmodernisme. Salah satu karya
besarnya adalah konsep teori ruang publik atau yang lebih lazim dikenal dengan Public
Sphere. Pemikiran Habermas ini dituangkan dalam suatu karya berjudul The Structural
Transformation of The Public Sphere: an Inquiry into a Catagory of Bourgeois Society pada
tahun 1962 yang kemudian diterjmahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1989.
Inti dari karya tersebut adalah tentang analisis Habermas tentang asal mula ruang publik
Borjuis serta pengaruhnya terhadap perubahan struktural ruang publik pada masa sekarang
yang ditandai dengan dominasi kapitalisme, industri kebudayaan, serta organisasi-organisasi
ekonomi dan kelompok bisnis besar dalam ranah kehidupan publik.
Dengan bertolak pada pola kemasyarakatan zaman Yunani kuno, Habermas memandang
publik sebagai spesifikasi masyarakat sipil yang mengukuhkan diri sebagai tempat
pertukaran komoditas dan kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri. Sedangkan

sphere dipandang sebagai ruang atau tempat terbuka dimana orang-orang (publik) di
dalamnya memandang pada satu tujuan dan tindakan yang sama.
Maka tempat-tempat seperti sidang pengadilan, ruang diskusi, dan ruang pertandingan
dapat dikategorikan sebagai public sphere pada zaman Yunani kuno. Berdasarkan
pemikiran Habermas, fungsi public sphere telah bergeser seiring perubahan zaman. Pada
zaman feodal Habermas menengarai munculnya sebuah ruang publik yaitu raja dan kaum
bangsawan (ruang publik borjuis), yang memegang kekuasaan dan mempertontonkannya
pada khalayak untuk mempertahankan kekuasaan (Kellner, 2005).
Pengertian publik disini mulai bergeser. Ruang publik borjuis dipahami sebagai ruang orangorang privat yang berkumpul sebagai publik. Ruang publik ada karena orang-orang privat
berkumpul dan membicarakan kebutuhan umum masyarakat pada tataran negara.

Habermas mencoba mengkaji labih jauh tentang pembagian antara yang publik dan yang
privat dalam bahasa dan filsafat. Ia menemukan bahwa ruang publik borjuis pada abad 18
berfungsi sebagai mediasi antara permasalahan privat individu di dalam kehidupan keluarga,
ekonomi, dan sosial dengan permasalahan kehidupan sosial dan publik. Hal tersebut
dilakukan dengan tujuan mengatasi kepentingan dan opini privat untuk mencapai
kepentingan bersama dan konsensus sosial.
Konsep ruang publik yang dikemukakan Habermas adalah ruang bagi diskusi kritis dan
terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat berkumpul untuk membentuk
sebuah publik, yang kemudian ruang publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas

kekuasaan negara. Ruang publik disini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan
politik, seperti surat kabar dan jurnal, serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub
politik, majelis publik, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lainnya dimana diskusi sosiopolitik berlangsung.
Prinsip-prinsip ruang publik yang diusung Habermas mengedepankan adanya kebebasan
berbicara dan berkumpul, kebebasan pers, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam
perdebatan dan pengambilan keputusan. Melalui dialog, khususnya, diskusi kritis dan
perdebatan, ruang publik menghasilkan pendapat dan sikap (Hardiman, 1993) serta
merupakan fondasi (landasan) bagi pemikiran sosial emansipatoris (Holub dan Habermas,
1997). Hal ideal tersebut adalah sebagai mediator antara masyarakat dan negara, sumber
dari opini publik yang diperlukan untuk menegaskan dan membimbing urusan negara
(Calhoun, 1992).

Teori Public Sphere dalam Masyarakat Informasi
Masyarakat informasi adalah masyarakat yang muncul sebagai akibat dari era informasi.
Sebuah penanda berakhirnya era industri manufaktur, dan berpindahnya struktur dan pola
masyarakat, yang semula bergantung pada industri manufaktur, kini berubah haluan menjadi
masyarakat yang bergantung pada informasi sebagai daya penggerak utama masyarakat
dalam mengaktualisasikan diri.
Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku informasi yang merupakan
keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan sumber dan saluran informasi,

perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya dalam menemukan informasi dengan
tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku
mencari informasi yang ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi,
dan perilaku penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika
menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah
dimiliki sebelumnya.
Informasi adalah kunci utama masyarakat informasi. Dalam pemikiran Habermas tentang
ruang publik, informasi juga menjadi sumber utama munculnya konsep ruang publik. Akses
terhadap informasi menjadi sorotan dari teori public sphere itu sendiri, dimana Habermas
mengajukan pemikiran tentang adanya suatu ruang yang dapat digunakan semua orang
(publik) untuk membicarakan isu-isu yang menjadi kepentingan publik (berbagi informasi)
dengan kebebasan akses terhadap informasi publik itu sendiri.
Konsep public sphere tersebut selaras dengan tujuan awal masyarakat informasi, yaitu
“information for all” (Webster, 1995). Namun seiring berjalannya waktu konsep awal
masyarakat informasi juga tergerus komersialisme, sebagaimana halnya dengan degradasi
public sphere. Terdapat pihak-pihak yang menjadi penguasa informasi (information rich),
sementara di sisi lain terdapat pihak-pihak yang tidak mendapat akses terhadap informasi
(information poor), termasuk dalam akses terhadap informasi publik. Kesenjangan ini
menimbulkan kesenjangan informasi (information gap).


Disinilah nampak diperlukan adanya public sphere untuk mengatasi kesenjangan informasi
tersebut. Hal inilah yang coba diterapkan oleh perpustakaan, terutama oleh perpustakaan
umum, untuk menciptakan ruang publik yang dapat memberikan akses informasi pada
semua lapisan masyarakat, serta mengurangi dampak politisasi dan dominasi kapitalisme.
Perpustakaan umum mewakili kriteria yang cukup untuk berperan sebagai public sphere,
yaitu dengan mengedepankan prinsip informasi bagi setiap orang serta kebebasan akses
informasi dengan tanpa dipungut biaya. Penyelenggaraan perpustakaan dalam menyediakan
informasi juga terlepas dari politik dan dominasi kapital, sehingga semua orang bebas
memanfaatkan perpustakaan umum sebagai public sphere.

Peran Perpustakaan Umum sebagai Ruang Publik dalam Masyarakat Informasi
Perpustakaan umum adalah contoh terbaik dari lingkup masyarakat informasi. Ini adalah
ruang global yang memberikan orang kesempatan untuk mengekspresikan berbagi
pendapat, berita, dan informasi. Orang tidak pernah sebelumnya memiliki kesempatan untuk
mendapatkan informasi.
Perpustakaan Umum
Perpustakaan umum merupakan unit atau satuan kerja, badan atau lembaga yang
membidangi pengembangan pengetahuan masyarakat yang berada dalam jangkauannya.
Bertugas mengumpulkan, menyimpan, mengatur dan menyajikan bahan pustaka untuk
masyarakat umum. Perpustakaan umum diselenggarakan untuk memberikan pelayanan

kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat
istiadat, umur, jenis dan lain sebagainya, untuk itu koleksi perpustakaan umum terdiri dari
beraneka ragam bidang dan pokok masalah sesuai dengan kebutuhan informasi dari
penggunanya.
Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (PNRI, 2000) dijelaskan
bahwa Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan di pemukiman
penduduk (kota atau desa) diperuntukkan bagi semua lapisan dan golongan masyarakat
penduduk pemukiman tersebut untuk melayani kebutuhannya akan informasi dan bahan
bacaan. Definisi lain tentang perpustakaan umum dikemukakan oleh Taslimah Yusuf (1996)
bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang seluruh atau sebahagian dananya
disediakan oleh masyarakat dan penggunaannya tidak terbatas pada kelompok orang
tertentu.
Beberapa pendapat di atas, mengemukakan bahwa perpustakaan umum adalah
perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat baik kabupaten atau
kota, yang berada didaerah pemukiman penduduk, untuk melayani masyarakat dari berbagai
golongan tanpa membedakan agama, ras, status sosial ekonomi, usia dan gender.
Pengguna perpustakaan umum sangat beragam, hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi
perpustakaan umum yang melayani masyarakat mulai dari tingkat persiapan sekolah hingga
perguruan tinggi, peneliti dan umum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pedoman
Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (PNRI, 2000) bahwa mengingat fungsinya sebagai

perpustakaan umum, maka penggunanya terdiri dari berjenis-jenis lapisan masyarakat yang
memiliki kebutuhan dan minat yang berbeda terhadap bahan pustaka yang diinginkan.
Dengan keberagaman pengguna pada perpustakaan umum, maka dibutuhkan perbandingan
yang proporsional antara jumlah koleksi dan ruangan dengan jumlah pengguna dalam
memenuhi kebutuhan informasi.
Perpustakaan umum diunggulkan sebagai ruang yang netral terhadap tekanan kuasa
pemerintah maupun kapitalisme. Perpustakaan dalam lingkup masyarakat informasi juga
diharapkan mampu menjembatani kesenjangan informasi yang mana juga ditengarai

sebagai akibat dari dominasi pihah-pihak tertentu (kaum elit) yang ingin menguasai informasi
yang merupakan daya penggerak aktualitas masyarakat informasi.
Fungsi “agent of change” perpustakaan umum diharapkan mampu menjadi tonggak yang
meniadakan dominasi informasi. Di tangan perpustakaan, diseminasi informasi diharapkan
lebih merata dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Perpustakaan umum diharapkan
dapat menjadi ruang publik yang identik dengan netralitas, dimana setiap orang bebas
mengakses informasi, belajar, dan juga berdiskusi tentang hal apa pun.
Pada kenyataannya, perpustakaan umum itu sendiri merupakan lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah, sehingga dalam penyelenggaraannya tentu tidak dapat lepas dari visi dan misi
pemerintah. Bahkan dalam praktiknya, sensor yang diberlakukan pemerintah juga berlaku di
perpustakaan. Manajemen dan aliran informasi pun juga tidak terlepas dari pemerintah.

Selain pengaruh pemerintah yang cukup kuat dalam penyelenggaraan perpustakaan umum,
dominasi kaum kapitalis dalam perpustakaan umum pun tidak terelakkan.
Terlebih setelah muncul pandangan informasi sebagai komoditi dalam masyarakat informasi.
Tidak setiap orang dapat mengakses perpustakaan. Perlu adanya faktor-faktor ekonomi di
dalamnya, seperti dalam bentuk keanggotaan misalnya. Dari sudut pandang ini, terlihat
bahwa perpustakaan umum merupakan lembaga informasi yang mencoba menyalurkan
“pengetahuan sah” kepada masyarakat luas.
Pengaruh Konsep Library 2.0
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta pemanfaatannya dalam kehidupan
sehari-hari merupakan salah satu ciri dari masyarakat informasi. Hal tersebut tidak terkecuali
dalam konsep pemanfaatan perpustakaan umum sebagai ruang publik. Perkembangan
lembaga informasi seperti perpustakaan umum telah mencapai tahapan apa yang dikenal
dengan konsep library 2.0 dimana perkembangan tersebut memungkinkan orang-orang
berinteraksi dua arah baik melalui teknologi informasi maupun secara konvensional.
Library 2.0 merupakan model untuk perubahan yang terus menerus, untuk memberdayakan
pengguna melalui keterlibatan mereka dan layanan yang berfokus pada pengguna, dan
perubahan dan untuk menjangkau pihak lain yang berpotensi sebagai pengguna melalui
layanan-layanannya. Perubahan yang dapat dilakukan dengan konsep library 2.0 adalah
perubahan pelayanan, prosedur dan operasional lainnya. Perubahan ini bersifat terus
menerus melalui evaluasi dan pembaharuan.

Di tengah komersialisme informasi, library 2.0 menjadi solusi ruang publik yang menjanjikan
netralitas bagi masyarakat informasi. Inovasi dalam komunikasi dua arah yang menjadi ciri
library 2.0 telah melahirkankan realitas ruang publik bagi masyarakat informasi. Teknologi
informasi dan komunikasi saat ini telah mampu mendistribusikan informasi ke seluruh dunia
dalam waktu bersamaan kepada sistem sosial dan politik yang ada.
Terlihat bahwa konsep ruang publik Habermas yang dimaknai sebagai suatu wilayah bebas
sensor dan dominasi serta terdapat interaksi sosial secara terbuka, nampaknya
termanifestasi dalam library 2.0 ini. Meskipun demikian, jika kita cermati lebih jauh akan
nampak usaha keras perpustakaan umum untuk menjadi ruang publik yang memiliki
netralitas terhadap pemerintah dan kapitalisme.
Dapat dibayangkan bahwa perpustakaan umum yang sudah menerapkan konsep library 2.0
akan memiliki tampilan dasar umum dan tampilan perorangan sesuai yang diinginkan
pengguna. Namun pada dasarnya konsep library 2.0 tidak terbatas pada perwujudan
tampilan saja. Pengguna juga berpartisipasi dalam tiga fungsi dasar suatu perpustakaan
yaitu : akuisisi, pengolahan pustaka, dan pendayagunaan koleksi.

Semua jasa perpustakaan dikembangkan dengan meminta masukan dari pemakai. Semua
usaha peningkatan ini selalu dievaluasi pelaksanaannya. Untuk inilah interaksi antara
perpustakaan dan pengguna dilakukan secara intensif. Oleh karena itu ada yang
beranggapan bahwa konsep library 2.0 tidak harus dilakukan dengan penerapan teknologi
informasi dan komunikasi, selama interaksi dengan pengguna dapat dilakukan untuk
meningkatan layanan. Dengan kata lain, konsep user oriented yang sudah lama dikenal
oleh para pustakawan itu direvitalisasi kembali (Sudarsono, 2010). Namun jelas bahwa
teknologi informasi dan komunikasi akan sangat membantu dan memudahkan interaksi
tersebut.
Dengan turut mengembangkan library 2.0 dan terus berusaha mengadopsi konsep virtual
yang kini lebih menjanjikan netralitas lebih dari ruang-ruang publik secara harafiah. Semakin
berkembangnya konsep perpustakaan digital yang lebih mampu memfasilitasi distribusi
informasi, bahkan hingga skala dunia, perpustakaan akan lebih mampu dalam memenuhi
kebutuhan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat dan perlahan-lahan mengikis dominasi
kaum elit yang terdapat dalam penyelenggaraan perpustakaan umum.
Habermas yang menyatakan hal tersebut membutuhkan kebebasan dan kesetaraan tidak
selalu ada di setiap masyarakat, karena hal tersebut adalah langkah menuju arah yang ideal.
Akses informasi terus meningkat dan hal tersebut masih harus dilihat berapa banyak
manusia akhirnya akan dimasukkan di bawah payung ruang publik ini. Sebagaimana Holub
dan Habermas (1997) menyatakan teori Habermas menjelaskan bahwa ruang publik tidak
diberikan untuk setiap jenis masyarakat dan juga tidak memiliki status yang tetap.

Penutup
Public sphere merupakan konsep pemikiran kritis Jürgen Habermas akan pentingnya ruang
publik yang dapat digunakan setiap lapisan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya
dan mengakses informasi-informasi publik secara bebas. Dalam pemikirannya tentang
ruang publik ini, Habermas menggunakan kajian pendekatan yang bertolak pada public
sphere untuk menganalisa transformasi struktural ruang publik pada masa sekarang.
Habermas mengemukakan bahwa public sphere pada masa kini telah mengalami degradasi
yang disebabkan oleh politisasi penguasa dan dominasi kapitalisme modern. Media dan
ruang publik menjadi kurang maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagai ruang netral
bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengakses informasiinformasi publik.
Teori Public Sphere memiliki korelasi yang kuat dengan masyarakat informasi. Fungsi
perpustakaan umum dalam masyarakat informasi merupakan manifestasi ruang publik yang
netral terhadap politisasi dan dominasi kapitalisme modern. Perpustakaan umum memiliki
kriteria konsep public sphere dalam memberikan layanan informasi bagi semua orang.
Namun degradasi public sphere pun pada era informasi juga dialami oleh perpustakaan
umum.
Kekurangan dari teori Public Sphere adalah kurangnya perhatian terhadap faktor
perkembangan teknologi yang memungkinkan percakapan global, sementara di sisi lain
perkembangan teknologi informasi ini menjadi ciri masyarakat di era informasi. Bertolak dari
hal tersebut diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan teori Public Sphere dengan
mempertimbangkan struktur dan pola hidup masyarakat di era informasi yang erat dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa babak baru dalam
masyarakat informasi yang juga memberi pengaruh terhadap dimensi sosial masyarakat
informasi. Konsep library 2.0 juga cukup mampu menjadi alat bagi perpustakaan umum
untuk mengembangkan perannya sebagai ruang publik yang lebih netral dari politisasi dan

dominasi kapital. Dengan mengembangkan perpustakaan umum ke arah digital, akan
memberi kekuatan baru bagi perpustakaan umum untuk menjalankan fungsinya sebagai
“agent of change” dalam masyarakat informasi untuk mendistribusikan informasi secara labih
merata bagi setiap lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka
Calhoun, Craig J. (1992). Habermas and the Public Sphere. Massachusetts: The MIT Press.
Habermas, Jürgen. (1991). The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT press.
Habermas, Jürgen; Crossley, Nick; and Roberts, John Michael. (2004). After Habermas: New
Perspective on The Public Sphere. Oxford: Blackwell Publishing.
Hardiman, Fransisco Budi. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Holub, Robert C. dan Jürgen Habermas. 1997. The Johns Hopkins Guide to Literary Theory
and
Criticism.
Diakses
7
November
2011,
dari
http://www.press.jhu.edu/books/hopkins_guide_to_literary_theory/jurgen_habermas.h
tml
Kellner, Douglas. (2005). Habermas, The Public Sphere and Democracy: A critical
Intervention.
Diakses 31 Oktober 2011 dari http://www.gseis.ucla.edu/
faculty/kellner/kellner.htm.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2011). Teori Kritis dan Posmodernisme: Pengaruhnya pada Filsafat
Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Makalah
disampaikan pada kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian di Universitas
Indonesia, Depok, Indonesia.
Perpustakaan Nasional RI. (2000). Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum.
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Sudarsono, Blasius. (2010). Menerapkan Konsep Perpustakaaan 2.0. Jurnal Baca 13 (1)
Agustus 2010, 1-14. Jakarta: PDII-LIPI.
Yusuf Taslimah. (1996). Manajemen Perpustakaan Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.
Webster, Frank. (1995). Theories of the Information Society. London: Routledge.

Biografi Penulis
Muhammad Rosyihan Hendrawan is a lecturer on Library Science Study Program at the Faculty of
Administrative Science University of Brawijaya Malang, Indonesia 65145. He holds a Master´s degree
in Library Science from University of Indonesia, in 2013. He received a Bachelor´s degree in Library
Science from State Islamic University of Sunan Kalijaga, in 2010. He also member of Ikatan Sarjana
Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII). His research interests currently focus on a
number of areas including RDA, FRBR, metadata, online searching and their integration in knowledge
organization and digital library applications.