ANALISIS NASKAH DRAMA MATAHARI DI SEBUAH (1)

ANALISIS NASKAH DRAMA “MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL”
SEBAGAI SEBUAH KARYA SASTRA

DISUSUN OLEH:
Darliyah

: 125110707111013

Lum atun Nafisah

: 125110707111004

Rachmawati Ayu K.

: 125110707111003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
OKTOBER 2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya yang dipenuhi dengan simbolik atau tanda-

tanda yang tidak mudah ditafsirkan dengan angan-angan, artinya sebaik atau
sebagus apapun penafsiran seseorang tentang karya sastra tetap ada batasan dan
ketentuan, misalnya drama. Drama merupakan bentuk dari karya sastra berupa
gambaran seni yang datang dari nyanyi dan tarian ibadat Yunani kuno, yang di
dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan
penyelesaian digambarkan di atas panggung. Sebuah karya sastra tidak lagi indah
dan bebas untuk diimajinasikan, karena adanya batasan terorganisasi yang
diselesaikan di atas panggung, sebaliknya drama menjadi seni yang dapat
menghancurkan persepsi seseorang terhadap suatu karya sastra.
Shklovsky (dalam Firdaus, 2007) menjelaskan “Seni berarti menghancurkan
persepsi dari yang tadinya otomatis menjadi tidak otomatis, tujuan dari imaji
bukanlah untuk menghadirkan makna dari objek yang dideskripsikan pada

pemahaman kita, melainkan untuk membentuk suatu persepsi khusus dari objek
tersebut”. Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa karya sastra yang
dipertunjukkan akan membuat imajinasi seseorang terhambat, pembaca tidak
dapat mengeksplorasi imajinasinya dengan bebas. Namun perkembangan karya
sastra menjadi sebuah seni pertunjukkan menjadikan karya sastra tersebut tidak
stagnan atau tidak cenderung pada teks tertulis. Keunggulan drama dibandingkan
dengan karya sastra lainnya, seperti cerpen, novel, dan puisi terletak pada
tujuannya, yaitu drama diciptakan untuk dipentaskan dan dinikmati bersamasama. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Dewojati (2010:15) bahwa
drama sebagai sebuah karya sastra diciptakan untuk dipentaskan dan nikmati
secara bersama-sama, serta menjadikan sebuah teks drama lebih hidup karena
diperagakan di atas panggung. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Analisis
Naskah Drama ‘Matahari di Sebuah Jalan Kecil’ sebagai Sebuah Karya Sastra”.

1

1.2.

Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana hakikat drama sebagai sebuah karya sastra?
1.2.2. Bagaimana unsur intrinsik naskah drama “Matahari di Sebuah Jalan

Kecil” karya Arifin Chairin Noer?
1.2.3. Bagaimana unsur ekstrinsik naskah drama “Matahari di Sebuah Jalan
Kecil” karya Arifin Chairin Noer?

1.3.

Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui hakikat drama sebagai sebuah karya sastra.
1.3.1. Untuk mengetahui unsur intrinsik naskah drama “Matahari di Sebuah
Jalan Kecil” karya Arifin Chairin Noer.
1.3.2. Untuk mengetahui unsur ekstrinsik naskah drama “Matahari di Sebuah
Jalan Kecil” karya Arifin Chairin Noer?

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Drama sebagai Sebuah Karya Sastra
Jabrohim (2001:167) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil

pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan itu karena
pengarang berada dalam ruang dan waktu. Sesuai dengan pendapat Horace
(dalam Darma 2004: 9-10) menganggap karya seni yang baik termasuk
sastra selalu memenuhi dua butir kriteria, yaitu dulce et utile, artinya
sastra harus bagus, menarik, memberi kenikmatan. Di samping itu sastra
harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan
kehidupan, dan moral.
Drama adalah salah satu bentuk karya sastra yang menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan konflik melalui dialog. Menurut Damono
dan Hasanudin (dalam Dewojati, 2010:1) drama memiliki karakteristik yang
khusus, yaitu satu sisi berdimensi sastra dan sisi lain sebagai seni
pertunjukan. Kedua sisi tersebut, memiliki kebermanfaatan bagi pembaca
dan penonton. Drama dikatakan bermanfaat bagi pembaca jika pembaca
melihat teks drama dan bermanfaat bagi penonton jika penonton tersebut
menyaksikan sebuah pertunjukan drama.
Kajian tentang drama pada saat sekarang dapat dikatakan sulit
ditemukan karena pembaca teks drama hanya menikmati cerita di dalamnya
tanpa ada sikap kritis, bahkan penonton drama pun terkesan acuh akan
pertunjukkan yang dilihatnya karena ketidakpahaman penonton terhadap
teks drama sebelum dipentaskan. Drama memiliki tiga unsur yang

terkandung di dalamnya, yaitu teks drama, unsur pementasan, dan unsur
penonton.

3

2.2. Unsur Intrinsik Naskah Drama
Unsur-unsur intrinsik drama adalah sebagai berikut (Rohmadi, 2008:147).
2.2.1

Plot
Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan

dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992:19). Peristiwa yang diurutkan
dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan
unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan
kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara
linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap
cerita yang ditampilkan.
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles (dalam
Nurgiyantoro, 2010:142) mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah

terdiri dari tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Plot meliputi halhal berikut ini:
2.2.1.1 Tahap Awal
Tahap awal merupakan tahap perkenalan pada sebuah cerita.
Perkenalan dari segi setting, waktu, perkenalan tokoh-tokoh, dan lainlain (Nurgiyantoro, 2010:142).
Di sebuah jalan kecil terdapat sebuah pabrik es yang sudah sangat
tua. Di depan bangunan pabrik es itu ada seorang wanita tua yang
berjualan makanan berupa pecel. Pelanggannya kebanyakan dari pekerja
pabrik juga. Saat itu yang berada di halaman pabrik tersebut ada Si Tua,
Si Peci, Si Kurus, Si Kacamata, dan Si Pendek. Mereka sedang makan
sekaligus mengeluh tentang harga makanan dan kebutuhan pokok yang
terus beranjak naik sedangkan gaji mereka tak kunjung naik. Dibuktikan
dengan adanya kutipan naskah sebagai berikut.
“Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya
dan pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung
itulah para pekerja pabrik mengerumuni Simbok yang berjualan
pecel di halaman”.

4

2.2.1.2 Tahap Tengah

Tahap tengah merupakan tahap yang menampilkan pertentangan
atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya,
menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan (Nurgiyantoro,
2010:145).
Konflik pertama yang muncul dalam naskah drama tersebut.
Datanglah seorang pemuda yang ikut makan. Jam istirahat bagi para
pekerja sudah habis jadi mereka memutuskan untuk kembali ke dalam
pabrik, sedangkan yang tersisa disitu tinggal seorang pemuda. Setelah
selesai makan dan hendak membayar ternyata dompet pemuda itu
ketinggalan dan ia meminta ijin kepada simbok untuk mengambil
dompetnya dirumah. Akan tetapi, simbok tidak percaya kepada pemuda
itu dan terus memaksa pemuda tersebut untuk membayar makanannya.
Dibuktikan dengan adanya kutipan dialog sebagai berikut.
“Semua tertawa. Lonceng bekerja berdentang. Mereka masing-masing
menghitung dan menyerahkan uang pada Simbok kemudian pergi
bekerja, lewat jalan samping. Yang terakhir adalah si
pendek.....Pemuda menghabiskan makannya dengan lahap sekali,
setelah membuang cekodongnya ia minta air yang biasa disediakan oleh
penjual pecel itu. Ia berdiri, merogoh saku celana. Ia cemas, saku baju
dirogohnya. Ia makin cemas, Simbok memperhatikan dengan biasa”.


Suasana semakin tegang ketika datang satu persatu pekerja yang
ikut terlibat maupun melihat kejadian tersebut, mereka membela
simbok dan terus memojokkan pemuda itu dikarenakan alasan pemuda
tersebut tidak masuk akal. Mereka terus berdebat dan akhirnya mereka
menyuruh pemuda tersebut untuk meninggalkan bajunya sebagai
jaminan. Dapat dibuktikan dengan adanya kutipan naskah sebagai
berikut.
“Dari pintu munculah si kacamata, si tua, si peci dan lain-lain,
kecuali si pendek….
SI KACAMATA: Ada apa?
5

SI PECI: Makan tidak bayar.
SI TUA: Siapa, pemuda ini?
SI PECI: Ya, pemuda ini?
SI KACAMATA: Segagah ini?
SI PECI: Kalau tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu
(pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya uang tidak?
2.2.1.3 Tahap Akhir

Tahap akhir merupakan tahapan penyelesaian dari klimaks atau
puncak permasalahan sebuah cerita. Menurut Aristoteles (dalam
Nurgiyantoro, 2010:146) penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua
macam kemungkinan: kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).
Tahap akhir menjadi penyelesaian dari konflik cerita yang berujung
bahagia atau menyedihkan. Tergantung pengarang yang menentukan
akhir dari cerita yang ditulisnya.
Kemudian setelah semuanya pergi dan kembali bekerja, si pemuda
tersebut menceritakan yang sebenarnya kepada simbok bahwa dia tidak
bermaksud untuk berbohong. Dia datang ke kota ini dengan tujuan
mencari pekerjaan akan tetapi malang nasibnya dia tak juga kunjung
mendapat pekerjaan dan sudah tiga hari ini dia tidak makan. Simbok pun
tersentuh hatinya mendengar cerita pemuda tersebut dan akhirnya
mengembalikan baju pemuda itu kembali. Dan membiarkan pemuda
tersebut pergi. Akan tetapi, selang beberapa lama baru diketahui jika
sebenarnya pemuda tersebut telah sering menipu dimana-mana. Adapun
dibuktikan dengan adanya kutipan sebagai berikut.
Beres sudah, orang-orang sudah mulai bekerja. Di halaman ada
simbok dan si pemuda. Gemuruh mesin kembali nyata. Lewat
seorang perempuan menjajakan jenang gendul sangat nyaring

suaranya.
PEMUDA: Mbok, mula-mula maksud saya tidak akan menipu.
Sesudah dua hari ini saya hanya minum air mentah saja. Tidak
makan apa-apa.
SIMBOK: (diam)
PEMUDA: Seminggu yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah
bengkel. Ya aku tidak cukup dapat makan. Sebab itulah aku
mencari pekerjaan di sini.
SIMBOK: (diam)

6

2.2.2

Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan atau

perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang
sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada
cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak

tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita.
Penokohan atau perwatakan, yaitu orang yang berperan dalam
drama. Perwatakan penokohan dapat dibedakan menjadi berikut ini
(Rohmadi, 2008:147).
a. Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita.
Tokoh dalam naskah tersebut yang menjadi tokoh pendukung dalam
cerita drama tersebut merupakan tokoh yang berperan sebagai
SIMBOK.
b. Antagonis, yaitu tokoh yang menentang cerita.
Pemuda. Seseorang yang menjadi seseorang yang berbohong dalam
sebuah masalah ketika dia makan tidak bayar dengan alasan uangnya
tertinggal dirumahnya. Dibuktikan dengan adanya kutipan dialog
sebagai berikut.
Sikurus ”bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti
pembohong.” Dan “sejak sekarang saya akan memanggilmu
pembohong”.
Penjaga malam ”Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi
menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
Simbok “Ada apa? Ada apa?
Penjaga malam “Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di
sebuah warung di pasar Kauman”.
Simbok “Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah”.
c. Tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis
maupun antagonis. Tokoh tritagonis dalam naskah drama tersebut
sebagai penengah dari titik konflik yang membantu persoalan antara
tokoh protagonis dan antagonis. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam
kutipan sebagai berikut.

7

1. SI PECI: Ia menolak melepaskan bajunya.
2. SI SOPIR: Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan
tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak adil. (pada
pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak,
jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya
kau sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu
dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan
menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis
perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi.
Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga
tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat
yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang,
menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan
akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah
setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian
aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat.
Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan
ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah
perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin.
Kau tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet
asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama Polisi!
Nah, kau suk kuantarkan ke asrama itu?
Sopir tersebut datang sebagai penengah dari pertikaian konflik. Si
sopir mampu meredamkan amarah para pegawai pabrik untuk
membantu SIMBOK (tokoh protagonis) sebagai orang yang kena
tipu dan membantu PEMUDA (tokoh antagonis) dari penghakiman
orang-orang tersebut.
2.2.3

Dialog
Dialog, yaitu percakapan dalam drama. Dalam drama, dialog harus

memenuhi dua tuntutan berikut ini.
a. Dialog harus menunjang gerak dan laku tokohnya
Gerakan dalam sebuah naskah drama biasanya dituangkan dalam
bentuk tanda kurung. Tanda tersebut merupakan bentuk gerakan
yang harus dilakukan ketika sebuah naskah dipentaskan. Dengan
adanya dialog akan lebih memperjelas maksud dan tujuan antar
tokoh.
SI TUA

: (menerima pecel) Sedikit sekali.
8

SIMBOK
: (tak menghiraukan dan terus melayani
yang lain)
SI PECI
: Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)
SI TUA
: Tempe lima rupiah sekarang.
SI KACAMATA
: Beras mahal (membuang cekodongnya)
kemarin istriku mengeluh.

b. Dialog dalam pentas harus lebih tajam daripada dialog sehari-hari.
PENJAGA MALAM: Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi
dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik
anak itu! Belut!
SIMBOK: Ada apa? Ada apa?
PENJAGA MALAM: Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu
di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK: Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.
2.2.4

Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya

fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang
dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya.
Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan tempat dan waktu.
Latar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau
keadaan dalam penceriteraan. Menurut Sudjiman (1992: 46). mengatakan
bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang
berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana. Sedangkan menurut
Sumardjo (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk
tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu
wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain
sebagianya.
Setting/landasan/tempat kejadian cerita biasanya disebut juga latar cerita.
Setting biasanya mencakup hal-hal berikut.
a) Setting tempat berhubungan dengan tempat peristiwa tersebut terjadi.
Tempat dalam naskah terjadi hanya berlangsung di tempat tunggal. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan naskah berkiut.

9

sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan pabrik
itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para
pekerja pabrik mengerumuni SIMBOK yang berjualan pecel di
halaman.
Berdasarkan kutipan tersebut menunjukkan bahwa adanya sebuah
pabrik es yang di depan gedung itu terdapat sebuah halaman yang
digunakan sebagai tempat untuk SIMBOK untuk berjualan pecel.
b) Setting waktu berarti apakah lakon terjadi di waktu siang, sore, atau
malam hari. Setting waktu dalam cerita naskah tersebut terjadi dalam
waktu satu kurun waktu saja.
Sebentar lagi berkas-berkas di langit akan buyar dan matahari akan
memulai memancarkan sinarnya yang putih, terang dan panas.
Dalam kutipan tersebut, adanya petunjuk sinar yang terang dan
panas menggambarkan terjadinya peristiwa pada siang hari.
c) Menurut Nurgiyantoro (2010:233) setting sosial berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial sangat erat kaitanya
dengan kehidupan sosial masyarakat. Kemudian itu, latar sosial juga
meliputi tata cara kehidupan masyarakat mencakup barbagai masalah
ialah berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status tokoh yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010:233-234).
Semua tertawa. Lonceng bekerja berdentang. Mereka masingmasing menghitung dan menyerahkan uang pada SIMBOK
kemudian pergi bekerja, lewat jalan samping. Yang terakhir adalah
si pendek.

Lokasi peristiwa yang dirujuk oleh pengarang merupakan tempat
peristiwa yang terjadi tempat makan pecel berada di halaman pabrik.
Oleh karena itu, para tokoh yang digambarkan lebih dominan para
10

pekerja pabrik. Secara tidak langsung pengarang mengambil latar
sosial status tokoh sebagai pekerja pabrik.
2.2.5

Tema
Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang

berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif.
Menurut Sudjiman (1992:52) memberikan pengertian bahwa tema
merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya
sastra. Tema atau nada dasar cerita merupakan gagasan pokok yang
terkandung dalam drama. Tema dalam sebuah drama dikembangkan
melalui alur dramatik dalam tokoh-tokoh protagonis dan antagonis
dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasi dalam
bentuk dialog. Dialog tersebut mengejawatkan tema dari lakon/naskah
(Sastromiharjo, 2007:14).
Landasan cerita (ide struktural dalam cerita). Tema juga disebut
sebagai gagasan ide atau pokok pikiran dalam suatu cerita, tema dalam
sebuah cerita dapat menyampaikan amanat (pesan moral kepada
pembaca). Dalam penyampaian tema pengarang tidak langsung
menyebutkannya tetapi menjadi tugas pembaca untuk smencari suatu
tema dalam sebuah cerita.
Dalam naskah drama berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”
memiliki tema yang berlingkup pada kehidupan sosial masyarakat. Hal
ini didasari dari dialog-dialog yang mencoba membahas tentang
masalah-masalah atau realita yang ada di masyarakat, bangsa dan
negara, seperti menjamurnya korupsi, masalah ekonomi, kesejahteraan
hidup, dan ketimpangan sosial. Selain itu, ditampilkan mengenai
seseorang yang pandai bersilat lidah sehingga ia dapat lari dari sebuah
kesalahan. Realita-realita tersebut digambarkan secara utuh dan
kompleks, sehingga membuat pembaca dapat menafsirkan sendiri
kesatuan tema tersebut.

11

2.2.6

Amanat
Amanat atau pesan pengarang yang hendak disampaikan pengarang

melalui dramanya harus dicari oleh pembaca atau penonton. Amanat
adalah maksud yang terkandung dalam suatu drama. Menurut Sudjiman
(1992:52) bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang
mendasari suatu karya sastra. Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat
diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan
juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah
yang disebut amanat.
Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara
implisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran
moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir.
Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan
seruan, saran, peringatan, dan nasehat (Sudjiman, 1992: 57).
Amanat berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan oleh
seorang penulis kepada pembaca untuk bisa memaknai dari keseluruhan
isi naskah drama. Amanat berisi pesan moran dan nilai kehidupan yang
dapat dijadikan renungan berpikir dan implementasi bertindan pembaca
nantinya sesuai dengan kaidah atau norma yang berlaku. Amanat yang
coba ditampilkan dalam naskah drama di atas, yaitu
a) Bagi Pemerintah, kehidupan rakyat saat ini sudahlah sangat berat
dan menderita hendaknya jangan ditambah susah lagi dengan
naiknya harga kebutuhan pokok dalam masyarakat. Meski sekarang
sangatlah berbeda dengan zaman Belanda dulu, tetapi beban hidup
jauh lebih berat saat ini. Orang miskin tambah miskin (buruh dan
kaum pinggiran) dan yang kaya tambah kaya (ketimpangan sosial).
Dibuktikan dengan adanya kutipan sebagai berikut.
SI KACAMATA : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung
nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya
yang kesal. Harga beras naik lagi, katanya.
SI PECI : Apa yang tidak naik?
12

SI TUA : Semua naik.
SI KURUS : Gaji kita tidak naik.
SI TUA : Uang seperti tidak ada harganya sekarang.
SI KURUS : Tidak seperti dulu…. Ah memang tak ada harganya.

b) Bagi semua kalangan, bahwasanya tindakan berbohong atau
menipu orang lain sangatlah tidak baik. Sepandai-pandainya seorang
penipu pasti suatu saat akan terjebak juga dalam aksinya tersebut.
Selain itu, kita harus selektif dalam menilai seseorang, ucapan kata
di bibir sekarang bukanlah menjadi jaminan utama seseorang
tersebut baik, bisa saja orang tersebut adalah penjahat yang busuk
yang nantinya akan melukai atau menjatuhkan diri kita sendiri.
Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi
pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau
kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di
tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti
orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan
akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah
setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku
menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat.
2.3 Unsur Ekstrinsik Naskah Drama
Unsur ekstrinsik dalam naskah drama pada dasarnya sama dengan
naskah prosa, cerpen atau roman. Unsur ekstrinsik naskah drama sebagai
berikut (Sutarni, 2008:183).
2.3.1

Latar Belakang Pengarang
3.3.1.1 Biografi
Berisi riwayat hidup pengarang secara keseluruhan terutama pada saat
menulis naskah.
3.3.1.2 Kondisi Psikologis
Pemahaman terhadap kondisi mood passion sebagai keadaan atau latar
belakang yang mengharuskan penulis menuliskan cerita.

13

3.3.1.3 Aliran Sastra
Pemahaman terhadap gaya penyajian cerita secara umum yang biasa
dipakai penulis dalam menyajikan cerita sebelumnya.
2.3.2

Latar Belakang Masyarakat
Latar belakang masyarakat merupakan pemahaman kita
terhadap keadaan atau peristiwa yang terjadi secara umum di
masyarakat. Pemahaman latar belakang masyarakat dapat berupa
pengkajian terhadap ideology negara keadaan politik pemerintah,
kondisi sosial masyarakat, penghidupan atau tingkat ekonomi
masyarakat peradaban atau kebudayaan, sistem pertahanan wilayah
dalam suatu negara. Pemahaman terhadap semua unsure tersebut
dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap sejarah atau
perjalanan kehidupan bangsa.

14

BAB III
PENUTUP
2.4 Simpulan
Naskah drama berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” karya
Arifin C. Noor setelah dikaji secara struktural memberikan sejumlah
pembelajaran dan hasil analisis struktur naskah tersebut. Diantaranya dari
segi : 1) tema, 2) latar, 3) penokohan, 4) plot dan 5) amanat. Tema dalam
naskah tersebut mengenai segelumit keadaan sosial yang ada dalam
masyarakat yang di dalamnya tersaji berbagai nilai dan unsur kehidupan
seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Latar yang ada pada
naskah drama tersebut meliputi: 1) latar tempat yaitu Kendal, halaman
depan pabrik es dan 2) latar waktu

: Pagi menjelang siang hari.

Penulis menggambarkan nama para tokoh dengan menggunakan
simbol dan berikut nama para tokoh dalam naskah drama tersebut: si Tua,
si Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga
malam, Perempuan, dan si Sopir. Plot yang ada dalam naskah tersebut
meliputi: 1) pemaparan, 2) Pertikaian Awal, dan 3) Klimaks. Penulis
memposisikan dirinya sebagai orang ketiga dalam naskah tersebut.
Amanat naskah: bahwasanya tindakan berbohong atau menipu orang lain
sangatlah tidak baik. Sepandai-pandainya seorang penipu pasti suatu saat
akan terjebak juga dalam aksinya tersebut.
2.5 Saran
Dalam menyusun makalah ini, penulis tentu masih banyak
kekurangan. Dan penulis berharap pembaca dapat mengambil sesuatu yang
positif dan bermanfaat dari pembahasan naskah drama berjudul “Matahari
di Sebuah Jalanm Kecil” ini. Untuk itu dibutuhkan saran dan kritik yang
membangun

dari

para

pembaca.

Untuk

kedepannya,

diharapkan

menganalisis naskah ini dengan gaya dan pendekatan yang lebih
mendalam dan mutakhir lagi.

15

DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Nurgiantoro. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jabrohim. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rohmadi, Muhammad. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia: untuk SMA dan MA
Kelas XII IPA/IPS. DEPDIKBUD.
Sastromiharjo, Andoyo. 2007. Bahasa dan Sastra Indonesia 2. Jakarta: Yudhistira.
Sutarni, Sukardi. 2008. Bahasa Indonesia 3: SMA Kelas XII. Surabaya: Quadra.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakop dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta:
Gramedia.

16