PDF ini KONDISI FISIKAKIMIA DAN PEMBEBANAN SEDIMEN DI PERAIRAN DANAU MANINJAU UNTUK KELANGSUNGAN USAHA PERIKANAN KERAMBA JARING APUNG | Aries | 1 PB

KONDISI FISIKA-KIMIA DAN PEMBEBANAN SEDIMEN
DI PERAIRAN DANAU MANINJAU UNTUK KELANGSUNGAN
USAHA PERIKANAN KERAMBA JARING

JURNAL

SUSI ANDRIANI ARIES
NPM. 1110018112003

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BUNG HATTA
2015

KONDISI FISIKA-KIMIA DAN PEMBEBANAN SEDIMEN
DI PERAIRAN DANAU MANINJAU UNTUK KELANGSUNGAN
USAHA PERIKANAN KERAMBA JARING APUNG
1

1

Susi Andriani Aries, 2Hafrijal Syandri, 3Suparno

Mahasiswa Program Pascasarjana Pengeloaan Sumber Daya Perairan, Pesisir dan Kelautan
2,3)
Dosen Program Pascasarjana Pengeloaan Sumber Daya Perairan, Pesisir dan Kelautan
Universitas Bung Hatta

Abstract
The development of fish farming by cages system very rapidly in
Lake Maninjau, causing goldfish and tilapia mass deaths each year,
causing material losses are not small for fish farmers. Research carried out
by descriptive method is surveying at the location of the research study
was conducted research invitation data collection is done at two levels,
namely the depth of the surface level and level depth of 15 meters. The
results were obtained Maninjau Lake water quality data are analyzed by
methods Storet shows water quality of Lake Maninjau classified as poor or
heavy polluted. Based on the value of water quality parameters in June
namely phosphorus was 45.5 ± 9.4, water transparancy was 0.83 ± 0.19
and chlorophyl-a was 123.7 ± 31.3, in December phosphorus was 68.5 ±
11.2, water transparancy was 0.9 ± 0.2 and chlorophyl-a was 70.75 ±
75.43-a average values obtained in June was 63.32 ± 4.03 and in
December was 65.29 ± 0.98, then the lake Maninjau being classified as

eutrophic status. Imposition of organic matter in the waters of Lake
Maninjau based on the amount of feed and fish production Keramba cage
(KJA) for eight years has been accumulated as much as 105,311.97 tons,
with the average load per year 13163.9963 ton, and loads per day on
average reaches 36 , 57 tons.
Keywords: Physical-chemical, sediment loading, Lake Maninjau

KONDISI FISIKA-KIMIA DAN PEMBEBANAN SEDIMEN
DI PERAIRAN DANAU MANINJAU UNTUK KELANGSUNGAN
USAHA PERIKANAN KERAMBA JARING APUNG
1

1

Susi Andriani Aries, 2Hafrijal Syandri, 3Suparno
Mahasiswa Program Pascasarjana Pengeloaan Sumber Daya Perairan, Pesisir dan Kelautan
2,3)
Dosen Program Pascasarjana Pengeloaan Sumber Daya Perairan, Pesisir dan Kelautan
Universitas Bung Hatta
Abstrak

Perkembangan budidaya ikan sistem jaring apung yang sangat pesat di
Danau Maninjau, menyebabkan telah terjadi kematian masal ikan mas dan
nila setiap tahun sehingga menimbulkan kerugian material yang tidak
sedikit bagi petani ikan. Penelitian dilakukan dengan metode deskriftif
yaitu melakukan survey langsung di lokasi penelitian Penelitian dilakukan
penelitian dengan pengambilan data dilakukan pada dua level kedalaman
yaitu level permukaan dan level kedalaman 15 meter. Hasil penelitian
diperoleh data kualitas air Danau Maninjau yang dianalisis dengan metode
Storet menunjukkan mutu kualitas air Danau Maninjau tergolong buruk
atau cemar berat. Berdasarkan nilai parameter kualitas air pada bulan Juni
yaitu phosphor 45,5±9,4, kecerahan 0,83±0,19 dan klorophyl-a
123,7±31,3, pada bulan Desember phorphor 68,5±11,2, kecerahan 0,9±0,2
dan klorophyl-a 70,75±75,43 rata-rata didapatkan nilai pada bulan Juni
adalah 63,32±4,03 dan pada bulan Desember adalah 65,29±0,98, maka
Danau Maninjau tergolong status eutropik sedang. Pembebanan bahan
organik di perairan Danau Maninjau berdasarkan kepada jumlah pakan dan
produksi ikan Keramba Jaring Apung (KJA) selama delapan tahun telah
terakumulasi sebanyak 105.311,97 ton, dengan beban rataan per tahun
13.163,9963 ton, dan beban per hari mencapai rata-rata 36,57 ton.
Kata Kunci : Fisika-kimia, pembebanan sedimen, Danau Maninjau

Pendahuluan
Danau Maninjau merupakan suatu
ekosistem air yang mempunyai luas
permukaan lebih kurang 9.737,50 hektar
telah banyak mengalami perubahan
terutama akibat dari berbagai aktivitas
manusia yang terdapat di sekitarnya.
Danau ini merupakan sumber daya air
yang mempunyai nilai yang sangat
penting ditinjau dari fungsi ekologi,

hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini
berkaitan
dengan
fungsi
Danau
Maninjau sebagai habitat berbagai jenis
organisme air, sebagai sumber air untuk
kegiatan pertanian dan budi daya
perikanan serta kebutuhan air untuk

PLTA Maninjau (Syandri., 2003). Di
danau ini hidup 17 jenis ikan ekonomis
penting (PSLH Unand, 1994), saat
sekarang sudah berkurang menjadi 13

jenis (Syandri., 2004; Azwir., 2010).
Tak kalah pentingnya adalah fungsi
Danau Maninjau
sebagai kawasan
wisata yang sudah terkenal ke
mancanegara dan sangat potensial untuk
pengembangan
kepariwisataan
di
Provinsi Sumatera Barat.
Danau adalah salah satu bentuk
ekosistem yang menempati daerah yang
relatif
kecil
dipermukaan

bumi
dibandingkan dengan nilai habitat laut
dan
daratan.
Untuk
memenuhi
kepentingan manusia, lingkungan sekitar
danau diubah untuk dicocokkan dengan
cara hidup manusia. Ruang dan lahan di
sekitar kawasan danau dirombak untuk
menampung berbagai bentuk kegiatan
manusia seperti permukman,prasarana
jalan,saluran limbah rumah tangga, tanah
pertanian,rekreasi
dan
sebagainya
(Connell dan miller,1995 diacu dalam
Kumurur,2002).
Danau Maninjau terletak di
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten

Agam Propinsi Sumatera Barat. Danau
ini terletak pada posisi 100o 08'53,84"
BT–100o14'02,39" dan 0o14'52,50"0o,24'12,17" LS. Danau Maninjau
merupakan danau tipe vulkono tektonik
atau kaldera berbentuk elips yang diduga
masih terdapat aktifitas vulkanik di
derah
tersebut
ditandai
dengan
munculnya belerang pada waktu tertentu.
Dari berbagai penelitian di Danau
Maninjau memberikan indikasi bahwa
telah terjadi penurunan kualitas air,
khususnya pada lokasi-lokasi yang
banyak terkena dampak dari kegiatan
masyarakat seperti usaha perikanan
dengan keramba jaring apung (KJA)
yang sudah berjumlah sebanyak 13.000
unit (Syandri et al., 2005). Bahkan

Trianto et al., (2011) melaporkan
berjumlah 15.000 unit. Kegiatan
budidaya ikan dalam jaring apung (KJA)

di perairan umum daratan (danau dan
waduk) dapat menghasilkan limbah
organik yang tinggi dan pada akhirnya
akan menghasilkan senyawa nitrit yang
tinggi pada perairan melalui proses
nitrifikasi (Tjahjo et al., 2001; Tjahjo
dan Purnamaningtyas., 2008; Krismono
dan Kartamihardja., 2010).
Hasil
analisis
laboratorium
terhadap sampel air danau yang diambil
pada waktu terjadinya kematian masal
ikan mas dan nila di perairan Danau
Maninjau pada tanggal 31 Desember
2007

menunjukkan
bahwa
nilai
kelarutan oksigen (DO) telah turun pada
nilai yang sangat rendah yaitu sebesar
2,50 mg/l, hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan oksigen sudah sangat
terbatas.
Selanjutnya
nilai
BOD
(Biochemical Oxygen Demand) sebesar
15 mg/l memberikan indikasi tingginya
bahan organik di dalam air. Bahan
organik tersebut kemungkinan berasal
dari sisa pakan yang tidak habis
dikonsumsi oleh ikan budidaya (Syandri
et al., 2008).
Tujuan penelitian ini adalah
Menganalisis parameter kualitas air

(fisika,kimia) di lokasi Keramba Jaring
Apung (KJA) di Danau Maninjau
berdasarkan
tingkat
kedalaman
permukaan dan kedalaman 15 meter;
Menganalisis status tropik (kesuburan
perairan) pada perairan Danau Maninjau;
Menganalisis
pembebanan bahan
organik dan distribusinya di perairan
Danau Maninjau berdasarkan kepada
jumlah pakan dan produksi ikanKeramba
Jaring Apung (KJA) selama 8 tahun
belakangan
Metode Penelitian
Penelitian
dilakukan
dengan
metode deskriftif yaitu melakukan

survey langsung di lokasi penelitian.
Penelitian dimulai bulan Juni–Desember

2013 yang dilakukan di Danau
Maninjau. Berdasarkan alat Garmin’s
GPSMAP tipe 60CSx Sensors and maps
maka titik ordinat posisi lokasi penelitian
adalah di Kecamatan Tanjung Raya
Kabupaten Agam Propinsi Sumatera
Barat, ini terletak pada posisi 100o
08'53,84" BT – 100o14'02,39" dan
0o14'52,50"-0o,24'12,17" LS, elevasi
460-463 m dpl. Lokasi pengambilan
sampel air dilakukan pada stasiun 1
(Sigiran), stasiun 2 (Koto Kaciak), dan
stasiun 3 (Bayur) dan 4 (Tanpa KJA di
Muko-muko).
Bahan yang digunakan adalah
H2SO4, KI, NAOH, kertas pH, lakban,
batu es, tissue. Sedangkan alat yang
digunakan adalah Secchi disk untuk
mengukur kecerahan, Kemmere Bottle
Sampler
untuk
mengambil
air
permukaan dan kedalaman 15, Gerigen,
Coolbox.
Pengambilan
air
pada
kedalaman 15 meter mengacu kepada
penelitian Sulastri et al (1999) dengan
tujuan untuk melihat kualitas air pada
stratifikasi ke dalaman berbeda.

Pengambilan data dilakukan pada
dua level kedalaman yaitu level
permukaan dan level kedalaman 15
meter. Beberapa parameter kualitas air
seperti pH, kecerahan dan suhu air di
ukur dilapangan. Sedangkan parameter
kualitas air yang lain di ukur di
laboratorium. Pengamatan parameter
lingkungan berpedoman kepada APHA
(1989).
Hasil dan Pembahasan
Parameter kualitas perairan
yang diukur dalam penelitian ini
meliputi Suhu, Total Residu Terlarut
(TDS), Total Residu Tersuspensi
(TSS), pH, BOD 5 , COD, DO, NNO3 , dan N-NO2 yang berkaitan
secara langsung dengan ekosistem
danau. Hasil pengukuran tersebut
digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Grafik hasil pengukuran parameter kualitas air

Suhu
Hasil pengukuran suhu pada
lokasi penelitian di permukaan berkisar
antara 27,25-28,30 °C. Berdasarkan
standar baku mutu air, suhu pada
kisaran tersebut termasuk suhu ideal
untuk pertumbuhan planton yang
terdapat pada perairan Danau Maninjau.
Suhu air mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap proses pertukaran atau
metabolisme makhluk hidup. Selain
mempengaruhi
proses
pertukaran
zat,suhu juga berpengaruh terhadap
kadar oksigen yang terlarut dalam air,
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan nafsu makan ikan.
Dalam berbagai hal suhu berfungsi
sebagai syarat rangsangan alam yang
menentukan beberapa proses seperti
migrasi, bertelur, metabolisme,dan lain
sebagainya. Diperairan lokasi budidaya
ikan sistem keramba mempunyai kisaran
suhu antara 27-30 derjat celcius. Ikan
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran
suhu 25-32 derjat celcius,tetapi dengan
perubahan suhu yang mendadak dapat
membuat ikan stress.
Distribusi temperatur menurut
kedalaman membentuk profil yang jelas
pada lapisan epilimnion.Hal ini serupa
juga di jumpai pada hasil pengamatan
Boer (1993). Kondisi ini di jumpai di
daerah tropis karena adanya pengaruh
hujan
dan
angin
menimbulkan
percampuran lapisan perairan. Suhu
suatu perairan ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain ketinggian suatu
daerah, curah hujan yang tinggi dan
intensitas
cahaya
matahari
yang
menembus
suatu perairan.
Suhu
merupakan faktor pembatas yang akan
memberikan pengaruh besar terhadap
kehidupan karang sehingga juga akan
berdampak pada kehidupan hewan lain
yang ikut berasosiasi ekosistem danau.

Perubahan
suhu
perairan
akan
mempengaruhi proses-proses biologic
dan ekologis yang terjadi di dalam air
dan pada akhirnya akan mempengaruhi
komunitas biologis di dalamnya.
Total Residu Terlarut (TDS)
TDS atau kepadatan terlarut total
adalah bahan-bahan yang terlarut dalam
perai ran biasanya berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lainya
yang tidak tersaring pada kertas saring
yang berdiameter 0,45 mikron (Rao,
1992 dalam Effendi, 2003). Nilai TDS
perairan sangat dipengaruhi oleh
pelapukan batuan, limpasan dari tanah
dan pengaruh limbah dormistik dan
industri.
Hasil pengukuran menunjukkan
kisaran TDS pada permukaan adalah
42,65 - 37,17 mg/L, nilai tertinggi
terdapat pada bulan Juni dan terendah
pada bulan Desember. Sementara pada
kedalaman TDS ditemukan bernilai
50,32-57,57 mg/L, nilai tertinggi
terdapat pada bulan Juni dan terendah
pada bulan Desember. Merujuk pada
baku mutu diketahui bahwa batas
maksimal TDS yang diperkenankan
adalah 1000 Mg/L, sehingga dapat
disimpulkan bahwa TDS di sekitar
Danau Maninjau masih di bawah baku
mutu yang ditetapkan baik pada bulan
Juni maupun pada bulan Desember.
Total Padatan Tersuspensi (TSS)
Keberadaan
total
padatan
tersuspensi
(TSS)
di
perairan
mempengaruhi
intensitas
cahaya
matahari ke dalam
badan air.
Konsentrasi TSS berbanding terbalik
dengan kecerahan, jika TSS kecil maka
kecerahan akan tinggi. Total suspendid
solid (TSS) suatu contoh air adalah
jumlah bobot bahan resuspensi dalam

suatu volume air tertentu,,dengan satuan
mg per liter (Sastrawijaya, 2000).
Padatan tersuspensi terdiri dari
komponen terendapkan, tahan melayang
dan komponen tersuspensi koloid.
Padatan tersuspensi mengandung bahan
anorganik dan bahan organik.
Bahan anorganik antara lain
berupa liat dan butiran pasir,sedangkan
bahan organik terbuat dari sisa-sisa
tumbuhan padatan biologi lainnya
seperti sel alga, bakteri dan sebagainya
(Marganof,2007), dapat pula berasal dari
kotoran hewan, kotoran manusia,
lumpur,
dan
limbah
industri
(Sastrawijaya, 2000).
Zat padat tersuspensi pada baku
mutu air kelas dua di persyaratkan
maksimal 50 mg/L, kelas tiga di
persyaratkan maksimal 400 mg/L. Hasil
analisis laboratorium adalah 241 mg/L
(Pujiastuti,2009).
Menurut Fardiaz (1992) padaran
tersuspensi akan mengurangi penetrasi
cahaya ke dalam air sehingga
mempengaruhi
regenerasi
dengan
melalui proses fotosintesa dan nilai
kekeruhan air meningkat. Konsentrasi
rata-rata TSS di permukaan berkisar
7,30-21,40 mg/L dimana nilai tertinggi
ditemukan pada bulan Juni dan nilai
terendah pada bulan Desember.
Secara umum terlihat kandungan
TSS lebih tinggi saat bulan Juni
dibandingkan bulan Desember. Hal ini
disebabkan pengaruh masukan dari
daratan pada bulan Juni lebih besar
dibandingkan saat bulan Desember.
Selain itu terjadi penurunan konsentrasi
TSS pada tempat yang terletak di
permukaan. Permukaan merupakan
tempat dengan kandungan TSS yang
lebih rendah pada bulan Juni maupun
Desember. Ini disebabkan permukaan
terletak lebih jauh dari sungai yang

membawa bahan tersuspensi sehingga
pengaruhnya lebih kecil dibandingkan
kedalaman.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH adalah
nilai yang menunjukkan aktivitas ion
hidrogen dalam air dan digunakan
untuk mengukur apakah suatu larutan
bersifat asam atau basa. Nilai pH
berkisar 1-14 dimana nilai pH 7 adalah
batas tengah antara asam dan basa.
Semakin tinggi pH suatu larutan
semakin besar sifat basanya demikian
sebaliknya, semakin rendah pH maka
semakin asam perairan.
Tebbut (1992) menyatakan bahwa
ion H+ dalam air, maka perairan
semakin asam dan pH nya akan rendah.
Ellis (1937) dalam Boyd (1979)
menyatakan bahwa perairan dengan
pH-6,5-9,0 merupakan kisaran yang
paling sesuai untuk memproduksi ikan.
Derajat keasaman (pH) merupakan
ukuran konsentrasi hidrogen dan ion
hidroksida
dalam
larutan.
Hasil
pengukuran pH di lokasi permukaan
berkisar antara 6-6,73, hal ini
menunjukkan bahwa derajat keasaman
perairan di Danau Maninjau sesuai
dengan standar baku mutu air tawar.
Sedangkan NTAC (1968) mengatakan
bahwa perairan yang ideal bagi
perikanan
adalah
perairan
yang
mempunyai pH antara 6,5-8,5 Pada
umumnya pH air danau tidak banyak
bervariasi, karena adanya sistem karbon
dioksida dalam air yang mempunyai
kapasitas penyangga (buffering capacity)
yang kuat. Derajat keasaman (pH) -air
hanya menggambarkan konsentrasi ion
hidrogen (H+) dalam air dengan
persamaan pH = -log (H+), makin tinggi
konsentrasi.

Pada
hasil
pengukuran
menunjukkan
variasi
pH
pada
kedalaman bulan Juni dan bulan
Desember tidak terlalu besar, terlihat
pada gambar, pada bulan Juni pH
berkisar 6-7,5. Rata-rata nilai pH pada
bulan Desember sedikit lebih rendah
dibanding bulan Juni. Lebih rendahnya
pH pada bulan Desember karena
meningkatnya
masukan
material
organik dari perairan sungai sekitarnya
pada saat bulan Desember. Disamping
itu tingginya kandungan fitoplankton
pada bulan tersebut dapat menambah
proses
pembusukan
sehingga
berpengaruh pada penurunan
pH.
Distribusi nilai pH secara vertikal
menggambarkan profil dengan nilai
yang semakin rendah ke arah dasar
perairan. Lapisan perairan yang lebih
atas menunjukkan perairan yang
bersifat alkalis dan lapisan perairan
pada bagian dalam perairan sampai
dasar bersifat netral sampai sedikit
asam. Sedangkan pada bulan Juni nilai
rata-rata pH lebih tinggi, hal ini
disebabkan karena minimnya masukan
material organik dari perairan sungai
sekitarnya pada saat bulan Juni.
Dari pembahasan tersebut diatas
jika dibandingkan dengan baku mutu
maka standar untuk perairan yang ideal
adalah perairan dengan pH sebesar 69, sehingga dapat disimpulkan bahwa
untuk membudidaya ikan di Danau
Maninjau sebaiknya dilakukan pada
bulan Juni.
B OD 5
Danau
Maninjau
mendapat
pasokan bahan organik dan aktivitas
penduduk sekitamya seperti pernukiman
menyebabkan jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk dekomposisi bahan
organik juga tinggi. Berdasarkan PP no

82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas
Air
dan
Pengendaalian
Pencemaran, BOD5 yang diperkenankan
3 mg/L sehingga dapat disimpulkan
perairan Danau Maninjau dilihat dari
konsentrasi BOD5 masih layak untuk
kehidupan biota di dalamnya. Sedikit
berbeda dengan yang dikemukakan oleh
Lee et al. 1978 bahwa kisaran BOD5 3-5
mg/L (Kedalaman) menandakan perairan
berada dalam kondisi hampir tercemar.
BOD
(Biological
Oxiygen
Demand) merupakan salah satu indikator
pencemaran
organik
pada
suatu
perairan.Bahan organik akan distabilkan
secara biologis dengan melibatkan
mikroba melalui sistem oksidasi aerobik
atau anaerobik, maka jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk memecah (mendegradasi) bahan
buangan organik yang ada di dalam
perairan tersebut di namakan dengan
BOD (Wardhana, 2001).
Oksidasi
aerobik
dapat
menyebabkan penurunan kandungan
oksigen terlalut di perairan sampai pada
tingkat terendah bahkan anaerob,
sehingga dalam hal ini bakteri yang
bersifat anaerob akan menghasilkan
peran dari bakteri yang berupa aerobik
dalam mengoksidasi bahan organik
dengan cara oksidasi anaerobik. Perairan
dengan
nilai
BOD
tinggi
mengindikasikan bahwa bahan pencemar
yang ada dalam perairan tersebut juga
tinggi yang menunjukan semakin
besarnya
bahan
organik
yang
terdekomposisi menggunakan sejumlah
oksigen di perairan.
CO D
Parameter lain yang juga dapat
digunakan sebagai penduga pencemaran
organik adalah COD. Nilai COD
menggambarkan jumlah total oksigen

yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan organik secara kimiawi baik yang
dapat didegradasi secara biologi
(biodegradable) maupun yang sukar
didegradasi (non biodegradable) menjadi
CO2 dan H2O (Effendi 2003).
COD atau kebutuhan oksigen
berarti menggambarkan jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
secara kimia bahan organik baik yang
bisa di degrasi secara biologis maupun
yang sukar di degrasi secara biologis
menjadi CO2 dan H2O ( Boyd,1979).
Perairan yang mempunyai nilai
COD tinggi tidak di inginkan bagi
kepentingan
perikanan
dan
pertanian.Nilai COD pada perairan tidak
tercemar bisa melebihi 20 mg /L, pada
perairan Tercemar bisa melebihi 200
mg/L dan perairan yang terkena limbah
COD nya bisa mencapai 6000 mg/L (
Boyd,1979 ).
Nilai COD yang tinggi diduga
dapat di sebabkan oleh penumpukan
bahan organik yang berasal dari KJA
yang padat di daerah tersebut. Oktaviana
( 2007 ) mengatakan nilai COD yang
tinggi menunjukan kan dungan organik
yang tinggi pada saat nilai COD yang di
peroleh saat penelitian lebih besar dari
pada nilai BOPS.
Menurut Marganof ( 2007 ) hal ini
di sebabkan bahan organik yang dapat di
uraikan secara kimia lebih besar di
bandingkan penguraian biologi. Nilai
COD menunjukan banyaknya oksigen
yang di perlukan oleh oksidator kalium
di kromat untuk mengiksidasi zat-zat
organik yang terkandung di dalam air
limbah menjadi karbondioksida dan uap
air.
Nilai COD merupakan ukurun bagi
pencemaran air oleh zat-zat organik yang
secara alamiah tidak dapat dioksedasi
melalui
proses
mikrologi
dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut dalam air. Bakteri dapat
mengoksidasi zat-zat organik menjadi
CO2 dan H2O. Kalium dikromat dapat
mengoksidasi
lebih
banyak
lagi
,sehingga menghasilkan nilai COD yang
lebih tinggi daripada BOD air yang sama
( Sastrawijaya,2000 ).
Hasil penelitian menunjukkan
konsentrasi COD jauh lebih besar 30 kali
lebih besar dibandingkan BOD5. Seperti
dinyatakan oleh Metcalf and Eddy
(1991); Effendi (2003) bahwa perbedean
konsentrasi BOD5 dengan COD biasanya
terjadi pada perairan tercemer karena
bahan organik yang mampu diuraikan
secara kimia lebih besar dibandingkan
penguraian secara biologi. Sehingga
diketahui bahwa secara keseluhan ratarata COD lebih tinggi pada bulan Juni
dibandingkan pada bulan Desember.
Berdasarkan PP RI No. 82 (2001)
tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yang
menyatakan bahwa batas maksimal COD
yang diperkenankan untuk kegiatan
perikanan adalah 25 mg/L, sehingga
didapatkan
kesimpulan
bahwa
konsentrasi COD di permukaan dan
kedalam sudah melebihi ambang batas,
kecuali pada saat bulan Juni di
permukaan.
Oksigen Terlarut (DO)
Kadar
DO
lebih
tinggi
dibandingkan standar baku mutu air.
Menurut Beveridge (1987) yang diacu
oleh Marganof (2007) laju konsumsi
oksigen pada budidaya KJA dua kali
lebih tinggi daripada laju konsumsi
Oksigen perairan yang tak terdapat KJA.
Difusi Oksigen ke dalam air terjadi
secara langsung pada kondisi nagram
(gram) atau karena agirasi (pergolakan
massa air) akibat adanya gelombang atau

angin (Marganof,2007). Kandungan
oksigen terlarut menunjukan jumlah
oksigen yang terlarut di dalam air.
Adanya Oksigen yang terlarut dalam air
secara mutlak terutama dalam air
permukaan.
Dalam
hubungannya
dengan
pencernaan limbah pakan ikan dalam
KJA dan limbah domistik, pengukuran
oksigen terlarut merupakan dasar
pengukuran BOD.
Berdasarkan PP 82
tahun
2001,golongan kelas II sebagai baku
mutu air minimum 4 mg/L dan kelas III
minimum 3 mg/L.Pengaruh hujan dan
ombak memungkinkan timbulnya aerasi
dan meningkatkan oksigen dalam
perairan.
Distribusi
kandungan
DO
menggambarkan profil yang semakin
rendah kandungan DO arah dasar
perairan. Tipe profil DO demikian
disebut tipe “clinograde” mencirikan
perairan yang subur (Goldman dan
Horn,1983).Tingginya kandungan DO
pada lapisan atas perairan disebabkan
proses difusi oksigen dari udara dan
proses fotosintesis. Adapun hasil
pengukurab DO adalah sebagai berikut.
Hasil pengukuran DO di lokasi
penelitian permukaan berkisar antara
6,12-7,15
mg/L,
Iebih
tinggi
dibandingkan standar baku mutu air
tawar. Kelarutan oksigen diperairan
dipengaruhi oleh suhu dan dekomposisi
bahan organik. Perairan yang kaya bahan
organik memerlukan oksigen yang
banyak untuk proses dekomposisi bahan
organik tersebut.. Dalam kondisi
anaerobik, peranan oksigen adalah untuk
mengoksidasi bahan organik dan
anorganik dengan hasil akhir adalah
nutrien yang dapat menyuburkan
perairan.

Ni tra t (NO 3 )
Nitrat adalah bentuk utama
nitrogen di perairan alami dan
merupakan
nutrient
utama
bagi
tumbuhan
dan alga. Nitrat yang
terbentuk dimanfaatkan oleh tumbuhan
selanjutnya tumbuhan dan hewan yang
telah mati akan terurai menjadi asam
amino dan sisa bahan organik. Nitrat
merupakan salah satu bentuk nitrogen
yang larut dalam air. Pencemaran dan
pemupukan kotoran hewan dan manusia
merupakan penyebabnya kadar nitrat.
Kandungan nitrogen sebagai nitrat
manusia PP 82 tahun 2001 tentang.
Pengolahan
kualitas
air
dan
pengendalian pencemaran air.Baku mutu
air kelas dua dan tiga maksimum 10
mg/L.
Konsentrasi maksimum nitrat pada
zona wisata 1,05 mg/L dan minumun
0,18 mg/L pada titik input air PDAM.
Jadi secara keseluruhan kualitas air pada
zona karamba dan zona manfaat lainnya
masih memenuhi baku mutu ( Pujiastuti,
2009).
Hasil
penelitian
menunjukan
kandungan nitrat tertinggi pada bulan
Desember
di
Danau
Maninjau.
Penguatan kandungan nitrat dikarenakan
terjadinya penumpukan ilmiah lahan
ikan pada budidaya sistem karamba
jaring apung dan kegiatan penduduk
sekitar danau maninjau.
Nilai rata-rata kandungan menurut
bulan Desember lebih tinggi pada bulan
Juni.
Kondisi
ini
disebabkan
meningkatnya masukan kandungan
melalui erosi tanah yang disebabkan air
hujan, karena nitrat memiliki sifat
mudah pindah melalui erosi tanah
(Goldman dan Horn,1983).
Nilai konsentrasi nitrat yang tinggi
diperairan diduga bahwa jumlah pakan
yang ditentukan pada budidaya ikan

sistem KJA telah memberikan pengaruh
terhadap peningkatan konsentrasi nitrat
di perairan.Penelitian Ginting (2011)
input pakan ikan KJA mempunyai
konstribusi terhadap pengkayaan nitrat
(NO3) dalam badan air dengan koefisien
determinasi sebesar 86%.
Pada bulan Desember nampaknya
masukan nitrat kedalam perairan cukup
besar dan juga diduga adanya
pemanfaatan oleh fitoplankton. Kondisi
ini terlihat dan distribusi kandungan
klorofil yang menunjukan pola yang
berlawanan dengan pola distribusi
kandungan nitrat.
Hasil pengukuran kandungan nitrat
di lokasi penelitian di permukaan
berkisar antara 0,45-0,68 mg/L, hal ini
menunjukkan bahwa kandungan nitrat di
perairan di Danau Maninjau lebih rendah
dibandingkan standar baku mutu air
tawar 10 mg/L. Hal ini dipengaruhi oleh
aliran Sungai disekitar yang membawa
unsur hara muara di perairan Danau
Maninjau. Sesuai dengan pernyataan
Muchtar (1994) bahwa kandungan fosfat
dan nitrat di suatu perairan dipengaruhi
oleh aliran sungai yang membawa zat
hara dan bermuara ke perairan tersebut..
Ni tri t (NO 2 )
Nitrit adalah senyawa nitrogen
beracun yang biasanya ditemukan dalam
jumlah sangat sedikit, lebih sedikit
dibandingkan nitrat. lni disebabkan
sifatnya yang tidak stabil oleh
keberadaan oksigen merupakan bentuk
peralihan antara amonia dan nitrat
(nitrifikasi) dan antara nitrat den gas
nitrogen
(denitrifikasi).
Hasil
pengukuran menunjukkan kisaran nitrit
pada permukaan adalah 0,08-0,12 mg/L,
nilai tertinggi terdapat pada bulan Juni
dan terendah pada bulan Desember.
Sementara pada kedalaman nitrit

ditemukan bernilai sama yaitu 0,15 mg/L
pada bulan Juni maupun pada bulan
Desember. Merujuk pada PP RI No. 82
(2001), batas maksimal nitrit yang
diperkenankan adalah 0,06 mg/L
sehingga dapat disimpulkan bahwa
konsentrasi nitrit di sekitar Danau
Maninjau pada bulan Juni maupun saat
bulan Desember sudah melebihi ambang
batas yang diperkenankan untuk
perikanan. Tingginya kadar nitrit
berkaitan dengan proses nitrifikasi
(proses oksidasi amonia menjadi nitrat
dan nitrit).
Sumber nitrit dapat berupa limbah
industri dan domestik dengan kadar
relative karena akan segera dioksidasi
menjadi nitrat (Effendi 2003). Jika
dikatakan dengan konsentrasi oksigen
yang rendah di permukaan, ada
kemungkinan nitrit dihasilkan dari
proses perombakan bahan organik yang
berlangsung pada kadar oksigen rendah.
Berdasarkan data kualitas air
Danau Maninjau yang dianalisis dengan
metode Storet maka baku mutu kualitas
air Danau Maninjau tergolong buruk
atau cemar berat.
Status Tropik
Parameter status tropik yang
diukur dalam penelitian ini meliputi
kecerahan, Total N, Total P, dan
Klorofil a yang berkaitan secara
langsung dengan ekosistem danau.
Proses alami yang terjadi di suatu
perairan dan kegiatan manusia di sekitar
perairan (seperti pertanian, pemukiman,
peternakan, budidaya ikan) menjadi
penyebab terjadinya perubahan status
trofik perairan. Pencemaran bahan
organik saat ini telah menjadi fenomena
umum dijumpai di hampir semua
perairan danau. Ledakan populasi
fitoplangton dan tumbuhan air terapung

seperti eceng gondok, merupakan
indikasi
terjadinya
eutrofikasi
(Chrismadha et al, 2011). Status trofik
berguna untuk memonitor kualitas air
(Leitao, 2012) melalui pemahaman
terhadap siklus nutrien dan interaksinya
dengan jejaring makanan dalam suatu
ekosistem (Dodds, 2007).
Menurut standar klasifikasi tingkat
tropik OECD yang dikutip Rayding dan
Rast (1989) kisaran TN untuk perairan
eutrofik 0,395-8,913 mg/L. Danau
Maninjau
diklasifikasikan
perairan
eutrofik ringan. Lebih lanjat Rayding
dan Rast melaporkan bahwa masih
belum adanya standar yang absolut
untuk standar status tingkat tropik
perairan. Tumpang tindih nilai kisaran
parameter indikator tingkat tropik masih
bisa terjadi.

dengan nilai Fosfor 0,260 mg/L dan
Revita et.al (2012) dengan kisaran nilai
Fosfat 0,29-0,048 mg/L. Kisaran nilai ini
sudah melebihi batas yang disaratkan
oleh PP No.82 tahun 2001 yaitu 0,2
mg/L untuk kelas dua.

Kandungan Fosfat yang diperoleh
dari hasil analisa didapatkan rata-rata
0,57 mg/L. Nilai ini lebih tinggi
dibanding penelitian Wibowo 2004

Nilai ini lebih tinggi dari beban
rataan organik KJA pertahun diwaduk
Cirata sebanyak 6.556,20 ton per tahun
(Lukman 2002)

Pembebanan Sedimen
Beban organik dari limbah
budidaya sistem KJA sejak tahun
pertama penerapannya (2005) di Danau
Maninjau sampai tahun 2012 telah
terakumulasi sebanyak 105.311,97 ton,
dengan beban rataan per tahun
13.163,9963 ton, dan beban per hari
mencapai
rata-rata
36,57
ton.
Pembebanan organik ini tampak
berfluktuasi sejalan dengan tingkat
produksi ikannya, dan tingkat tertinggi
terjadi pada tahun 2009 yang mencapai
45,04 ton per hari.

Pembebanan organik lebih besar
dampaknya di Danau Maninjau
dibandingkan di waduk Cirata, karena
proses sedimentasinya lebih tinggi,
berbeda pada waduk Gajah Mungkur
jumlah beban limbah Nitrogen (N) dan
Fosfor (P) yaitu Nitrogen
sebesar 81.963,51 ton per tahun dan
Fosfor sebesar 28.501,71 ton ( Peni Puji
Astuti,2003 ) nilai Nitrogen (N) dan
Fosfor (P) lebih tinggi dari perairan
Danau Maninjau.

meningkatkan penyerapan oksigen di
Hipolimnion. Menurut Cornett dan
Rigler 85% konsumsi oksigen dilapisan
Hipolimnion danau terjadi pada
sedimen. Dengan bertambahnya beban
organik, dapat diduga penyerapan
oksigen oleh sedimen akan lebih dari
85%, sehingga muncul kondisi anoksik.

Gambar 2. Produksi ikan, jumlah pakan dan perkiraan limbah organik dan KJA Danau
Maninjau

Pada gambar 2 dapat dijelaskan
dari tahun 2010 – 2012 jumlah KJA
meningkat namun jumlah pakan yang
diberikan berkurang, hal ini disebabkan
sejak kematian massal tahun 2009 petani
lebih banyak memelihara ikan nila, pada
ikan nila jumlah pakan yang dibutuhkan
sebayak 1,5 ton/KJA dibanding dengan
ikan mas membutuhkan pakan sebanyak
3 ton/KJA.
Kadar bahan organik sedimen di
perairan Danau Maninjau umumnya
jauh lebih tinggi, bahkan terhadap
perairan
yang
telah
mengalami
pencemaran. Tingginya akumulasi
bahan organik pada sedimen akan

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian
tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
Data kualitas air Danau Maninjau
yang dianalisis dengan metode Storet
menunjukkan kualitas air Danau
Maninjau tergolong buruk atau cemar
berat.
Nilai parameter kualitas air yaitu
phosfor, kecerahan dan klorophyl-a
rata-rata didapatkan nilai pada bulan
Juni
(musim
kemarau)
adalah
63,32±4,03 dan pada bulan Desember
adalah 65,29±0,98, maka berdasarkan
nilai tersebut Danau Maninjau berada

pada
status
eutropik
sedang.
Pembebanan bahan organik di perairan
Danau Maninjau berdasarkan kepada
jumlah pakan dan produksi ikan
Keramba Jaring Apung (KJA) selama
delapan tahun telah terakumulasi
sebanyak 105.311,97 ton, dengan beban
rataan per tahun 13.163,9963 ton, dan
beban per hari mencapai rata-rata 36,57
ton.

DAFTAR PUSTAKA
Azwir, 2010. Kajian keanekaragaman
spesies ikan di perairan
Danau Maninjau Sumatera
Barat.
Tesis
Program
Pascasarjana
Universitas
Bung Hatta Padang.
Boyd, C. E., 1982. Water quality
management for pond fish
culture.
Elsevier
Science
Publishers Company. New
York. 318 p
Boyd, C. E., 1979. Water Quality in
WarmuraterFish Ponds Auburn
Univercity
Agricultural
Experiment Station. Auburn
Habama, USA. 358p

Boer L. 1993. Some (major) Chemical
Features in Diatas, Singkarak
and Ranau Lakes in Sumatera
Indonesia, Tropical Limnology,
Tropical Lake and Reservoir,
K.H. Timotius and F. Golthen
Both (Ed). Vol II 393p

Connell, D.W. and Miller, G.J. 1995.
Kimia dan Ekotoksikologi
Pencemaran.
Edisi ke I. Jakarta. UI Press.
hal: 11-475
Chrismadha, T., G. S. Haryani, M.
Fakhrudin
dan
P.
E.
Hehanussa. 2011. Aplikasi
Ekohidrologi dalam Naila
Zulfia dan Aisyah / BAWAL
Vol. 5 (3) Desember 2013 :
189-199
198
pengelolaan
danau. Prosiding Seminar

Nasional Ekohidrologi . p. 2544

Doods, W. K., 2007. Trophic State,
Eutrophication and Nutrient
Criteria in Streams.
TRENDS in Ecology and
Evolution Vol.22 No.12. p.
669-676.
www
.sciencedirect.com.
diunduh
tanggal 19 Maret 2013 pukul
23.15

Effendie, H. 2003. Telaah kualitas
air bagi pengelolaan sumber
daya dan lingkungan perairan.
Kanius Yogyakarata 258 p.
Goldman CH & AJ Horn, 1983.
Limnology, Mc Graw – Hill
Book Company, New York,
San
Fransisco,
Toranto,
Sydney, Tokyo, 464p
Kumurur VA.2002. Aspek Strategis
Pengelolaan Danau Tondano
Secara Terpadu. J . Ekoton
2,73-80.
Lee Cd, SB Wang, CL Kuo. 1978.
Benthic and fish as Biological
Indicator of Water Guality
With Referencess of Water
Polution Control in Developing
Countries, Bangkok.
Leitão, P. C., 2012. Management of
The
Trophic
Status
in
Portuguese Reservoirs. 20 p.
http://swat.tamu.edu/
media/56573/b4-3-leitao.pdf.

Diunduh tanggal 19
2013 pukul 23.05 WIB

Maret

Lukman
dan
Hidayat,
2002
Pembebanan dan Distribusi
Bhan Organik di Waduk Cirata.
Jurnal Teknologo Lingkungan ,
Vol. 3, No.2 Mei 2002: 129135
Marganof. 2007. Model Pengendalian
Pencemaran Perairan di Danau
Maninjau Sumatera Barat.
Tesis. Bogor: Institut Pertanian
Bogor

Octaviana. IS. 2007. Kajian Kualitas
Air Waduk Cirata sebagai Area
Budidaya Ikan Menggunakan
Kolam Jaring Apung. Skripsi.
Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan. Institut Teknologi
Bandung
PSLH

Rovita, G. D, P. W. Purnomo dan P.
Soedarsono. 2012. Starifikasi Vertikal
NOƒ -N
Dan PO„ -P Pada Perairan Di
Sekitar Eceng Gondok (
Eichornia Crassipes Solms)
Dengan
Latar
Belakang
Penggunaan Lahan Berbeda Di
Rawa Pening.
Journal of
Management
of
Aquatic
Resources : 1 (1). Universitas
Diponegoro. Semarang. p. 1-7
Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran
Lingkungan. Rineka Cipta.
Jakarta
Sulastri, M. Badjoeri, Y. Sudarso dan
M.S. Syawal. Kondisi Fisika –
Kimia dan Biologi Perairan
Danau
Ranau
Sumatera
Selatan. Jurnal Limnotek 1999,
Vol. VI, No. !, p. 25-38

Unand,
1984.
Studi
pendahuluan ekologi Danau
Singkarak dan Maninjau. Pusat
Studi
Lingkungan
Hidup
Unand Padang.

Syandri, H. 2003. Keramba jaring
apung dan permasalahannya di
Danau Maninjau, Sumatera
Barat. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, 8 (2) : 74 – 81.

Pujiastuti, P. 2009. Deteksi Dini
Dampak Berantai Budidaya
Ikan KJA terhadap Nilai
Manfaat
WGM,
Fakultas
Teknik Universitas Setia Budi
Surakarta

Syandri, H. 2004. Penggunaan ikan
Asang (Osteochilus vittatus )
dan ikan tawes (Puntius
javanicus) sebagai agen hayati
pembersih Danau Maninjau.
Jurnal Natur Indonesia, 6 (2) :
87 – 91.

Ryding, S. O. & W. Rast, 1989, The
Control of Eutrophication of
Lakes and
Reservoirs, Man and Biosphere
0 Series, UNESCO and The
Partheson
_
Publ,
Group.,314pPage 12

Syandri, H . 2005. Kajian sosial dan
teknologi
keramba
jaring
apung di Danau Maninjau.
Jurnal Dinamika Pertanian,
XIX (1) : 141 – 151.

Tebbutt, T. H. Y. 1992. Principles of
Water Quality Control. Fourth
edition. Pergamon
Press:Oxford.251p
Tjohyo,D,W,H; S,Norianah; S,R,
Purnamaningtyas.,
2001.
Evaluasi bio-limnologi dan
relung ekologi komunitas ikan
untuk menentukan jenis ikan
yang ditebar di Waduk Darma.
Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 7 (1) : 11-23.
Tjohyo,D,W,H;
Purnamaningtyas.,
Kajian kualitas air

S,R,
2008.
dalam

evaluasi
pengembangan
perikanan di Waduk Ir.H.
Djuanda, Jawa Barat. Jurnal
Penelitian
Perikanan
Indonesia, 14 (1) : 15-29.
Triyanto; D. I Hartoto; Sutrisno., A.
Hamdani dan Sulastri. 2011.
Potensi bisnis pengelolaan
rasau modern (floating brush
park
fishery)
dalam
peningkatan
produksi
penangkapan ikan di Danau
Maninjau, Sumatera Barat.
Prosiding Forum Perairan
Umum Indonesia Ke-8 : 203212.