TEORI BELAJAR DAN TEORI PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR DAN TEORI
PEMBELAJARAN
By Gede Putra Adnyana - Posted on 14 September 2011
Oleh: Gede Putra Adnyana
Teori adalah sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik dan yang digunakan untuk
memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974 dalam Dahar,
1988: 5). Proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, artinya, kumpulan proposisi ini mengikuti
aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan
proposisi lainnya dan juga pada data yang diamati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
proposisi berarti rancangan usulan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 899). Dengan
demikian proposisi dalam kaitannya dengan teori, berarti rancangan gagasan untuk memprediksi
dan mejelaskan fenomena-fenomena. Salah satu fenomena itu adalah belajar dan pembelajaran
yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan
lingkungan. Individu dapat dikatakan telah mengalami proses belajar, meskipun pada dirinya
hanya ada perubahan dalam kecendrungan perilaku (De Cecco & Crawford, 1977 dalam Ali,
2000: 14). Perubahan perilaku tersebut mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan,
sikap, dan sebagainya yang dapat maupun tidak dapat diamati . Perilaku yang dapat diamati
disebut penampilan (behavioral performance) sedangkan yang tidak dapat diamati disebut
kecendrungan perilaku (behavioral tendency). Penampilan yang dimaksud dapat berupa
kemampuan menjelaskan, menyebutkan, dan melakukan sesuatu perbuatan. Terdapat perbedaan

yang mendasar antara perilaku hasil belajar dengan yang terjadi secara kebetulan. Seseorang
yang secara kebetulan dapat melakukan sesuatu, tidak dapat mengulangi perbuatan itu dengan
hasil yang sama. Sedangkan seseorang dapat melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat
melakukkannya secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Gagne (1977) seperti yang
dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat
internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal
dari peristiwa eksternal dilingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi
eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran
(metode atau perlakuan).
Proses belajar dalam konteks pendidikan formal, merupakan proses yang dialami secara
langsung dan aktif oleh pebelajar pada saat mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang
direncanakan atau disajikan di sekolah, baik yang terjadi di kelas maupun di luar kelas
(Soedijarto, 1993: 94). Proses belajar yang berkulitas dan relevan tidak dapat terjadi dengan
sendirinya, melainkan perlu direncanakan. Belajar merupakan kegiatan aktif pebelajar dalam
membangun makna atau pemahaman, sehingga diperlukan dorongan kepada pebelajar dalam
membangun gagasan (Depdiknas, 2002). Oleh karena itu diperlukan penciptaan lingkungan yang
mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab pebelajar untuk belajar sepanjang hayat.

Pembelajaran yang melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu
indera saja. (Dryden, G. dan Jeannette V., 2002: 195). Hal ini akan memunculkan kreativitas

untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu cara saja.
Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata,
pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Lozanov (1978), mengatakan bahwa sampai sejauh mana
seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka
sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, B., 2002: 3). Ini berarti, dalam
pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian pebelajar ke dalam nuansa proses belajar
seumur hidup dan tak terlupakan. Hal ini, sesuai dengan empat pilar pendidikan seumur hidup,
seperti yang ditetapkan UNESCO, yaitu 1) to learn to know (belajar untuk berpengetahuan), 2) to
learn to do (belajar untuk berbuat), 3) to learn to live together (belajar untuk dapat hidup
bersama), dan 4) to learn to be (belajar untuk jati diri) (Sadia, 2006). Untuk itu diperlukan
membangun ikatan emosianal dengan pebelajar, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam
belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan ancaman. Hal ini merupakan faktor yang perlu
diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa
pebelajar lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan
kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan
dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, B., 2002: 23). Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena belajar dan pembelajaran,
sehingga dalam implementasinya dapat lebih efektif dan efesien.
Ada perbedaan yang prinsip antara teori belajar dengan teori pembelajaran. Teori belajar adalah
deskriptif, karena tujuan utamanya memeriksa proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran

adalah preskriptif, karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal
(Bruner dalam Degeng, 1989 dalam Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada
bagaimana peserta didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang
menentukan hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran merupakan
variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Dengan demikian, dalam
pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi
antara metode dan kondisi. Hubungan antara variabel-variebel pembelajaran pada teori belajar,
disajikan pada diagram berikut:
Kondisi
Pembelajaran
Metode
Pembelajaran
Hasil
Pembelajaran

Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual
outcomes) dalam pengertian probabilistik, yaitu hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan
bisa jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena teori belajar adalah
deskriptif, maka menggunakan struktur logis “Jika …., maka …..” (Landa dalam Degeng, 1990
dalam Budiningsih, 2005: 13). Sebagai contoh, ”Jika materi pelajaran (ini suatu kondisi)

diorganisasi dengan menggunakan model elaborasi (ini suatu metode) maka perolehan belajar
dan retensi (ini suatu hasil) akan meningkat”. Dalam proposisi teori belajar tersebut, model
pengorganisasian pembelajaran (model elaborasi) ditetapkan sebagai perlakuan, di bawah
kondisi karakteristik isi pelajaran, untuk memerikan perubahan unjuk kerja (actual outcomes),
berupa peningkatan perolehan belajar dan retensi. Dengan demikian teori belajar menyatakan
bahwa, apa yang terjadi secara psikologis bila suatu tindakan belajar dilakukan oleh seseorang.
Pada teori pembelajaran, fokus diarahkan kepada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain
agar terjadi proses belajar. Oleh karena itu teori pembelajaran berhubungan dengan upaya
mengontrol variable-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat mudah belajar.
Dalam hal ini, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai givens, dan metode yang
optimal ditetapkan sebagai variabel yang diamati. Jadi, kondisi dan hasil pembelajaran sebagai
variabel bebas, sedangkan metode pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Teori pembelajaran adalah goal oriented, artinya, teori pembelajaran dimaksudkan untuk
mencapai tujuan (Reigeluth, 1983; Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 12). Oleh karena itu,
variabel yang diamati dalam teori pembelajaran adalah metode yang optimal untuk mencapai
tujuan. Hubungan antara variable-variabel tersebut, disajikan pada bagan berikut:
Kondisi
Pembelajaran
Hasil
Pembelajaran

Metode
Pembelajaran

Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori pembelajaran adalah hasil
pembelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu. Dengan
demikian teori pembelajaran berisi seperangkap preskriptif guna mengoptimalkan hasil
pembelajaran yang diinginkan di bawah kondisi tertentu. Adapun proposisi yang digunakan
dalam teori pembelajaran adalah “Agar …., lakukan ini” (Landa dalam Degeng, 1990 dalam
Budiningsih, 2005:13). Sebagai contoh, “Agar perolehan belajar dan retensi (suatu hasil)
meningkat, organisasilah materi pelajaran (suatu kondisi) dengan menggunakan model elaborasi
(suatu metode). Dalam proposisi teori pembelajaran, peningkatan perolehan belajar dan retensi
ditetapkan sebagai hasil pembelajaran yang diinginkan, dan model elaborasi yang merupakan
salah satu model untuk mengorganisasi materi pelajaran, dijadikan metode yang optimal untuk
mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam teori pembelajaran harus terdapat variabel
metode pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara
kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri peserta didik. Jadi, dalam teori
pembelajaran, terdapat preskripsi tindakan belajar yang harus dilakukan agar proses psikologis
dapat terjadi.
Teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu teori sebelum abad ke-20 dan
teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin

mental, teori pengembangan alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20
dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen.
Sedangkan teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori belajar perilaku
(behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik), berlandaskan
kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field, berlandaskan kepada segi kognitif
(Ali, 2000: 20). Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical
Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law Of Effect oleh
Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta Teori Operant Conditioning oleh
Skiner (Dahar, 1989: 39). Sedangkan teori belajar Gestalt-field (teori belajar kognitif), meliputi
teori belajar bermakna oleh Ausubel, teori belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori
Webteaching oleh Norman, teori Hirarki belajar oleh Gagne, dan teori perkembangan oleh
Piaget. Teori Piaget biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar
konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2001). Pernyataan ini didukung oleh Sadia
(2006), yang mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme berakar pada teori struktur
genetik Piaget. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang dikembangkannya, Piaget juga


dikenal sebagai konstruktivis pertama. (Penulis: Guru Kimia pada SMAN 2 Busungbiu,
Buleleng, Bali)

Referensi
Ali, H.M. 2000. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan ke-10. Bandung: PT Sinar Baru
Algensindo
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas
DePorter, B. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Ruang
Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Edisi 1. Cetakan ke-10. Bandung: Kaifa
Dryden, G. dan Jeannette V. 2002. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution): Belajar
Akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan “Fun” Bagian I: Keajaiban Pikiran. Penerjemah:
Ahmad Baiquni. Bandung: Kaifa
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Edisi Ke-1. Cet. 1. Jakarta: Kencana
Sadia, I W. 2006. Landasan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar. Materi
Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha Singaraja
Sadia, I W. 2006. Model Pembelajaran Konstruktivistik (Suatu Model Pembelajaran Berdasarkan
Paradigma Konstruktivisme). Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha
Singaraja

Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Cetakan ke-4.
Jakarta: Balai Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka