Media Massa Suksesi Pemilu atau Kendaraa

Pendahuluan
Dengan berakhirnya rangkaian pesta demokrasi rakyat Indonesia yaitu
Pemilihan Umum baik kancah legislatif maupun eksekutif maka berakhir pula eksistensi
media massa sebagai salah satu sarana pemilu. Ajang pesta lima tahunan rakyat yang
banyak menyita perhatian publik ini tidak terlepas dari peran serta media sebagai salah
satu motor penggerak pemilu di Indonesia. Banyak sekali hal yang sekiranya mustahil
kita tahu tanpa adanya media sebagai salah satu alat kontrol masyarakat terhadap
negara. Melai tahapan persiapan yang dilakukan guna menyambut pemilu hingga
jalannya pemilu sampai dengan prose hitung cepat (quick qount) tersaji secara apik dan
bersifat informatif bagi masyarakat. Dengan semakin majunya teknologi serta pola pikir
masyarakat yang maju, media massa dewasa ini memegang peranan penting dalam
kehidupan berdemokrasi di Indonesia saat ini.
Tulisan kali ini lebih memfokuskan pada peran media massa pada pemilu tahun
2014. Dewasa ini, peran media massa bukan hanya sekedar sarana hiburan saja, tetapi
lebih jauh lagi media massa sudah menjadi saran informasi, edukasi, maupun edukasi
bagi masyarkat secara luas. Peran dan fungsi inilah yang dimanfaatkan banyak pihak
dalam rangka suksesi pemilu tahun 2014 ini. Sosialisasi pemilu baik dari sisi negara
maupun sisi partai politik menjadi lebih mudah dan efektif untuk memberikan kerangka
edukasi politik dimasyarakat. Pemberitaan yang terkait dengan pemilu 2014 semakin
gencar dilakukan menjelang pesta demokrasi tersebut. Isu – isu terkait pemilu mulai
dari partai politik yang masuk bursa pemilu, perolehan hasil suara, hingga berita

mengenai elit politik semakin banyak menghiasi media. Dengan kemudahan akses dari
berbagai kalangan, media massa seolah menjadi hal yang sangat penting dalam suksesi
pemilu pada tahun 2014 ini. Harapannya, dengan adanya media massa ini masyarkat
tidak lagi buta dengan politik dan dapat menjadikan media massa sebagai salah satu
saran edukasi politik di Indonesia.
Permasalahan yang timbul sekarang adalah banyaknya media yang digunakan
sebagai “perang udara”. Maksud dari “perang udara” tersebut adalah banyaknya media
yang digunakan oleh elite-elite politik tertentu untuk meningkatkan elektabilitas. Salah
satunya adalah pemberitaan media yang selalu memberikan liputan yang “baik - baik”
saja terhadap salah satu elite politik, pemberitaan bisa dikatakan untuk sebuah
kepentingan golongan. Banyak elite – elite politik yang berkepentingan dalam pemilu

2014 dan juga memiliki media massa terkenal di Indonesia, menjadi keuntungan
tersendiri bagi mereka. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya iklan dan bisa
dikatakan dapat mengenalkan dirinya lebih awal dari masa kampanye. Hal inilah yang
perlu kita cermati, kebebasan dan ketidakberpihakan media massa pada salah satu
golongan dipertanyakan. Apakah peran media yang awalnya sebagai saran edukasi serta
sosialisasi tetap menjalankan perannya dengan baik ataukah media massa telah
bertransformasi menjadi “kendaraan” partai politik dalam meraih dukungan suara
masyarakat ? . Pokok bahasan inilah yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.


Pembahasan

Media Massa dan Demokrasi
Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham keadulatan rakyat
(democracy), rakyatlah yang dianggap sebagi pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara ( Jimly, 2006: 68-169 ). Pengertian demokrasi sebagai cara
pemrintahan, adalaha suatu sistem pemerintahan negara dimana semua orang (rakyat)
berhak sama untuk memerintah dan juga diperintah ( Koentjoro, 1987: 6).
Menurut Samuel Huntington dalam buku “Gelombang Demokrastisasi Ketiga”
( 1995 ), demokrasi mengandung dua dimensi konteks dan partisipasi yang menurut
Robert Dahl merupakan hal menentukan bagi demokraasi. Demokrasi juga
mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan berbicara,
menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik
dan pelaksanaan kampanye – kampanye pemilihan itu ( Dara Aisyah, 2003: 2 ).
Indikator demokrasi menurut Dahl adalah sebagai berikut :
1. Kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi
2. Kebebasan berekprsi
3. Adnya hak memberikan suara
4. Adanya egilibilitas untuk menduduki jabatn publik

5. Adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat
merebut dukungan dan suara
6. Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif
7. Adanya pemilihan umum yang bebas dan adil

8. Adnya intitusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah
tergantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan
(politik) lainya serta termasuk perlindungsn terhadap HAM
Hubungan Demokrasi dengan politik ditunjukkan melalui pendapat Huntington
yang mendefinisikan ddemokrasi sebagai suatu sistem politik yang mana para pembuat
keputusan kolektif yang paling kuat di dalam sistem politik. Para calon secara bebas
bersaing untuk mendapat suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk
memberikan suaranya. Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang
demokrasi. Pertama, pemahana demokrasi secara normatif, yaitu demokrasi merupakan
suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Kedua,
pemahaman demokrasi secara empirik daimana demokrasi dikaitakan dengan
kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis. Politik sendiri
memiliki definisi dana pandangan yang berbeda-beda. Pada dasarnya politik adalah
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik dalam hal ini adalah
politik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan politik sebagai

kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan di
masyarakat.
Proses politik dimulai dengan masuknya input berupa kepentingan uang
diartikulasikan atau dinyatakan oleh kelompok kepentingan dan diagregasikan atau
dipadukan oleh partai polyik sehingga kepentingan-kepentingan khusus itu menjadi
suatu usulan kebijaksanaan yang lebih umum dan selanjutnya dimasukkan ke dalam
proses pembuatan kebijakansanaan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif
( Colin Mac Andrews, 2008: xiv ).
Jimlly Asshiddiqe menyatakan bahwa penyaluran kedaulatan rakyat secara
langsung dapat dilakukan selain dengan pemilihan umum, dapat pula disalurkan
melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak
atas informasi, hak atas kebebsaan berorganisasi dan berserikat serta hak lainnya yang
dijamin oleh undang-undang ( Jimly, 2010: 57-58).
Menurut DeWitt C. Reddick (1976), fungsi utama media massa sendiri adalah
untuk mengkomunikasikan kesemua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan
pemikiran mereka; dan dalam mewujudkan hal itu, pers tidak akan lepas dengan

responsibilitas dari kebenaran informasi, kebebasan insan pers dari tekanan-tekanan
pihak lainya, kelayakan berita terkait denagn kebenaran dan keakuratannya, aturan
main yang disepakati bersama, dan penuh pertimbangan. Sehingga kebebasan pers

sekarang ini dapat dilaksanakan dengan baik, jika pers itu diimbangi dengan tanggung
jawab dan kode etik sebagai landasan profesi, untuk menghindari adanya pemberitaan
yang menjurus anarkis.
Media pers adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran secara
luas. Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan. Oleh sebab itu, pers dianggap
sebagai the fourh estate of democracy, atau melengkapi istilah Trias Politica

dari

Montesquieu, disebut juga dengan istilah Quadru Politica (Jimly, 2006: 167).
Dalam hal peranan media massa dalam penegakan demokrasi dikemukakan
oleh Gurevitch dan JG Blumler yaitu :
1. Mengawasi

lingkungan

sosial

politik


dengan

melaporkan

perkembangan hal-hal yang menimpa masyarakat.
2. Melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu
dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah atau
masyarakat.
3. Menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara
politisi dan juru bicara negara dengan kelompok kepentinagn dan
kasus-kasusunya lainnya.
4. Membangun jembatan dialog antara pemegang kekuasaan atau
pemerintah dengan masyarakat luas.
5. Membangun mekanisme supaya masyarakat memiliki keterlibatan
dalam hal kebijakan publik.
6. Merangsang masyarakat untuk belajar memilih dan melibatkan diri
dalam proses politik.
7. Menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu yang
membawa pers keluar dari kemerdekaan, integritas, dan dedikasinya
untuk melayani kepentingan masyarakat.

8. Mengembangkan potensi masyarakat

untuk

peduli

terhadap

lingkunagn politiknya.
Mengenai posisi media dalam sistem politik, maka media massa adalah salah
satu sarana dalam melaksanakan sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah bagian dari

proses sosialisasi yang tujuannya membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan
bagaimana seharusnya masing-masing masyarakat berpartisipasi dalam sistem
politiknya. Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikapsikap dan pola tingkah laku politik ( Colin MacAndrews, 2008: 42 ).
Disisi lain, media dalam hal ini juga mempunyai dua posisi yang berbeda.
Kacung Marijan perpendapat, di negara demokrasi manapun, media akan menjalankan
perannya, pertama, sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Kedua, sebagai
aktor yang akan menyatakan sikapnya dengan mengangkat isu-isu tertentu untuk
mempengaruhi pemirsa ( Kompas, Rabu 7 Maret 2012 ). Dengan inilah, media tidak

akan lepas dari fungsi sosialisasi dan fungsi promosi dalam rangka mempengaruhi
pemirsanya.

Komunikasi Politik dan Fungsi Media Massa
Komunikasi politik merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
bermasyarakat. Dari adanya komunikasi politik inilah yang nantinya akan berdampak
langsung terhadap pandangan politik yang ada di masyarakat. Perkembangan isu-isu
politik serta edukasi politik yang dengan mudah menyebar melalui komunikasi politik
inilah yang akan membawa dampak langsung pada perilaku politik masyarakat
kedepannya. Dengan demikian, komunikasi politik yang bisa memiliki dua hal yang
berkembang, komunikasi politik yang dipengaruhi sistem politik atau komunikasi
politik yang akan mempengaruhi sistem politik.
Pandangan mengenai pengertian komunikasi politik disampaikan oleh
beberapa pengamat, dari Mc Quail (1992), Denton dan Woodward (1995) dan Meadow
(1980) dalam Parwito (2009). Komunikasi politik merupakan “all processes of
information (Including facts, opinions, beliefs, ect.) transmission, exchange and search
engaged in by participants in the course of institutionalized political activities” (Mc Quail,
1992:472-473). Pernyataan Mc Quail tersebut ditegaskan bahwa komunikasi politik
merujuk pada “any exchange of symbols or messages that to significant extent have been
shaped by, or consequences for the functioning of political systems” (Meadow, 1980:4).

Pendapat lainnya “public discussion about the allocation of public resources (revenues),
official authorithy (who is given the power to make legislative and executive decision), and

official sanctions (what the state rewards or punishes)” (Denton dan Woodward, 1995:3).
Suatu komunikasi dapat disebut komunikasi politik “apabila memiliki tujuan yang jelas
menyangkut penjatahan sumber daya publik” (Parwito, 2009:5). Hal itu semakin
ditegaskan bahwa komunikasi politik pada dasarnya adalah “purposeful communication
about politics” (Denton dan Woodward, 1995:4).
Dalam hal ini, proses komunikasi politik melibatkan dual lemabga penting
dalam sistem politik. Dau lembaga politik itu adalah lembaga suprastruktur dan
lembaga infrastruktur. Lembaga suprastruktur adalah lembaga-lembaga tinggi negara
seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan lembaga infrastruktur adalah
kelompok-kelompok pada masyarakat, salah satu contoh kelompok-kelompok ini adalah
partai politik, media massa, dan mahasiswa. Komunikasi politik yang melibatkan
lembaga suprastruktur dan infrastruktur dalam pandangan komunikasi politik terdapat
dua hal penting menurut Parwito (2009). Pertama, proses komunikasi yang berlangsung
satu arah, dimana lembaga suprastruktur sangatlah mengontrol tiap pemberitaan dan
melakukan sebuah doktrin-doktrin. Peristiwa ini pernah dialami oleh Indonesia ketika
era orde baru, pemerintah kala itu tidak melihat aspirasi masyarakat dalam pembuatan
kebijakan melainkan mengambil inisiatif-inisiatif sendiri. Kedua, proses komunikasi

yang berlangsung dua arah. Hal tersebut memperlihatkan adanya kesenambungan
antara lembaga suprastruktur dan infrastruktur. Biasanya dua lembaga tersebut saling
memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan.
Media massa merupakan kelompok yang sangat penting dalam kajian
komunikasi politik. Kemampuan media mengungkap komunikasi politik verbal
masyarakat berarti memberikan pula pemenuhan atas “people’s right to know” apa yang
sesungguhnya terjadi, sekaligus menjadikan media sebagai wahana diskusi masyarakat
(Subiakto dan Ida, 2012:51). Dapat dikatakan peranan media massa dalam membentuk
pandangan sebuah masyarakat tentang politik sangatlah vital. Media massa dituntut
secara demokratis memberikan liputannya sebagai representasi opini khalayak yang
beragam (Subiakto dan Ida, 2012:51). Adanya media massa merupakan sebuah
penghubung antara lembaga suprastruktur dan infrastrukur.
Hal ini dikarenakan media massa mempunyai akses dalam pemberitaan setiap
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga suprastruktur.Dalam negara-negara
yang sistem politiknya mengatur media komunikasi sehingga menciptkan komunikasi

politik searah, maka media massa merupakan alat kekuasaan negara. Pemberitaan
sangat dikontrol betul oleh pemerintah dan dapat dikatakan media dijadikan alat
pembenaraan untuk setiap kegiatan pemerintah. Selain itu dalam pemberitaannya
media melakukan doktrinisasi dan propaganda kepada masyrakat untuk setiap

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Media massa selain sebagai kelompok dalam lembaga-lembaga infrastruktur,
yang berperan untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan lembagalembaga

suprastruktur.

Kemampuan

media

untuk

mempunyai

akses

untuk

pemberitaan, sangatlah berguna bagi masyarakat untuk melihat kinerja pemerintahan.
Disamping itu media massa juga berperan sebagai jembatan mengenai pro kontra dalam
pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Dapat diambil contoh ketika ada kebijakan
pemerintah yang ternyata banyak masyarakat menolak dengan melakukan aksi unjuk
rasa, media dapat memberikan liputan mengenai hal itu. Hal itu nantinya digunakan
untuk pemerintah untuk mengambil langkah perlu atau tidaknya kebijakan itu
diterapkan.

Netralitas Media Massa
Keberadaan media massa dewasa ini sudah tidak bisa lagi dilepaskan dari
kehidupan sehari-hari masyarakat. Media massa sudah menjadi kebutuhan pokok
masyarakat di berbagai kalangan. Adanya media massa merupakan alat yang sangat
berguna bagi kontrol sosial di masyarakat. Media juga dapat berfungsi ganda sebagai
alat penekan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak sejalan secara lurus dengan
apa yang diinginkan masyarakat ( Samsul Wahidin, 2011: 35 ). Dalam konteks
sosiologis, pers dapat dipandang sebagi satu sistem yaitu sistem pers yang menjadi
bagian dari sistem komunikasi. Sementara sistem komunikasi merupakan bagian dari
sistem kemasyarakatan (Samsul Wahidin, 2011: 42).
Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap masyarakat. Efek langsung yang ditimbulkan adalah bagaimana
media tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pandangan serta pola perilaku
politik yang berkembang di masyarakat. Penggunaan isu-isu yang ada sebagai salah satu
contoh nyata yang menguatkan teori agenda-setting untuk mempengaruhi pandangan

masyarakat. Pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai isuisu atau peristiwa politik yang terjadi sambil mempertimbangkan mana yang benar dan
mana yang salah menjadi semakin kabur. Disisi lain, teori kultivasi mengasumsikan
bahwa individu-individu dengan terpaan televisi lebih tinggi cenderung memiliki
pandangan atau penilaian terhadap realitas yang sama dengan realitas yang disuguhkan
melalui televisi. Penumbuhan citra pada publik mengenai objek (figur atau tokoh, partai
politik, organisasi, pemerintahan, dan perusahaan) ( Parwito, 2009: 126 ). Selain media
mempunyai fungsi-fungsi politik, disisi lain medai mempunyai kekuatan. Kekuatan itu
terbagi menjadi tiga hal, yakni: 1) mengkonstruksi dan medenkonstruksi realitas hingga
tercipta citra dan presepsi-presepsi tertentu pada masyarakat. 2) mengagregasikan dan
mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan-tuntutan.

3)

memproduksi dan

mereproduksi identitas budaya ( Pawito, 2009: 104 ). Dengan demikian, secara tidak
langsung terjadi pembentukan pola pikir di masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi
oleh media itu sendiri.
Media massa pada saat ini menjadi pokok terpenting dalam perkembangan
politik sekarang ini. Pemberitaan media yang menyangkut masalah-masalah yang ada di
lingkup lembaga suprastruktur dan infrastruktur menjadi cara agar terciptanya
komunikasi dua arah antar lembaga tersebut. Adanya komunikasi dua arah yang terjadi
antar lembaga tersebut akan membuka peluang bagi tumbuhnya opini publik yang akan
mempengaruhi terhadap kebijakan publik. Disisi lain, adanya media juga semakin
diperlukan sebagai alat kontrol yang sangat efektif saat ini. Di negara yang menjujung
tinggi demokrasi semangat untuk kebebasan pers dan media sangatlah diutamkan.
Kembali lagi pada fungsi serta peranannya guna menciptakan komunikasi politik yang
baik, pers dan media haruslah mandiri serta bebas dari tekanan dari pihak manapun.
Dengan demikian, nantinya akan terwujudnya pengawasan kepada semua pihak agar
tidak terjadi penyelewengan dari tindakan semena-mena.
Masalah yang terjadi kemudian ketika kita melihat pemberitaan di media yang
ada di Indonesia ini sudah menunjukkan ketidaknetralannya. Sebagai sarana
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakatnya, peran media saat ini mulai
dipertanyakan. Pemberitaan media yang sering memojokkan kelompok-kelompok
tertentu dan menggunggulkan kelompok tertentu menjadi bukti adanya penyimpangan
yang terjadi dalam tubuh media itu sendiri. Banyaknya propaganda yang muncul di

media tak terlepas dari kepemilikan media oleh orang-orang yang berkepentingan
dalam politik. Praktek-praktek propaganda itu muncul lantaran keinginan para politisi
tersebut ingin mendapat dukungan dan memperbesar pengikut untuk menerima dan
melaksanakan ide serta program politiknya ( Sumarno, 1989: 144-145 ). Kondisi seperti
ini sangat menciderai prinsip objektif, independen dan berimbang, harus menjadi
pedoman dari sebuah media.
Kasus yang dapat kita amati adalah mengenai independensi dan netralitas Dua
Media Media Media Grup ( Metro TV dan Media Indonesia ) dan Tv One yang kini banyak
dipertanyakan. Bagaimana kedua media tersebut saling bersaing untuk dapat
mempengaruhi pandangan serta perilaku politik masyarkat. Tidak berlebih jika kita
perlu khawatir rasanya dengan apa yang terjadi saat ini khususnya mengenai netralitas
kedua media tersebut. Karena seperti yang disampaikan D. McQuail, bahwa semakin
sempurna monopoli komunikasi massa ( lewat kepemilikan media seperti Media Grup
oleh Partai Nasional Demokrat ), maka semakin besar kemungkinan perubahan
pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki yaitu kepentingan politik yang
menunggangi media. Bukan tidak mungkin kondisi seperti ini dapat menular pada
media-media lainya. Hal inilah yang membuat fungsi edukasi dari media menjadi kabur.
Karena selain fungsi kontrol media juga memiliki edukasi yang sekarang malah
bertransformasi menjadi fungsi monopoli massa.
Banyaknya politisi yang berasal dari pemilik media membuat keuntungan
tersendiri bagi kelompoknya dalam membuat mencitrakan diri kepada masyarakat luas.
Iklan merupakan sebuah strategi kampanye yang sering digunakan para poltisi untuk
membuat pencitraan di masyarakat. Para politisi pemilik media diuntungkan dalam hal
ini dikarenakan mereka dapat setiap waktu melakukan pengiklanan. Iklan yang
ditanyangkan bisa dilakukan setiap saat dengan frekuensi yang terbilang padat serta
tanpa ada batasan. Menurut ( Subiakto dan Ida, 2010: 174 ) dijelaskan bahwa adanya
black campaign by design yang melibatkan media massa, terkadng media tahu bahwa
itu sebuah pelanggaran tapi mereka enggan melaporkan penyimpangan tersebut karena
menyangkut kelompok kepentingan politiknya.
Kekuatan yang dimiliki media massa terkadang juga sangat berperan dalam
peningkatan elektabilitas elite politik tertentu. Sebagai contoh, bagaimana seorang
Jokowi sanagt memanfaatkan kekuatan media ini. Bagaimana setiap aksi maupun

kegiatan yang dia lakukan selalu disorot media dan dapat dibayangkan berapa juta
pasang mata yang menyaksikannya. Kondisi ini bukan tidak mungkin dapat
mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap Jokowi saja, namun memungkinkan
pula akan adanya pola politik yang mengikuti dibelakangnya. Tidak menutup
kemungkinan pula hal tersebut akan mempengaruhi perilaku para elite politik lainnya
untuk mendongkrak popularitasnya di masyarakat. Disisi lain, adanya pengangkatan
isu-isu tak sedap di ranah pemerintahan dengan nada profokatif yang terkesan melebihlebihkan dapat memicu hal lain yang terkadang berada diluar nalar kita. Seperti
headline Media Indonesia “ Pejabat Negara Diisi banyak pembohong” yang sangat jelas
nyata memperlihatkan nada profokatifnya untuk membentuk presepsi masyarakat.
Ketakutan nantinya yang semakin menjadi-jadi adalah akan semakin kaburnya fungsi
edukasi dari media. Nantinya masyarakat akan semakin pasif terhadap partisipasi
politik yang diharapkan dapat di dongkrak melaui media.
Media massa yang seharusnya berjalan secara berimbang, transparan, akurat,
independen, bebas tekanan serta kepentingan berubah menjadi kendaraan politik para
elite untuk meraih dukungan masyarakat. Kompetisi politik yang semakin sengit
menjadikan kepemilikan media menjadi jalan alternatif para elite politik. Peliputan
media terhadap bakal pejabat publik yang semakin sering akan membawa efek langsung
terhadap publik yang akan dibuktikan dengan pola serta perilaku politik publik di
pemilihan umum nantinya. Tanggung jawab besar yang dimiliki media massa sebagai
kekuatan strategis dalam menyebarkan informasi kepada publik akan diuji saat
momentum pemilihan umum nantinya.
Media massa seharusnya menolak campur tangan pihak-pihak tertentu yang
membawa media massa keluar dari kemerdekaan, integritas, serta fungsi dan
dedikasinya untuk melayani kepentingan masyarakat. Perhelatan pesta demokrasi
berupa pemilihan umum seharusnya berjalan selayaknya demokrasi bukan monopoli
massa yang tersetting oleh adanya media massa yang ditunggangi elite politik. Kondisi
ini tentunya akan sangat menciderai fungsi serta kebebasan media serta akan
menjerumuskan publik dalam hal edukasi politik yang seharusnya diterima sebagai
konpensasi dari adanya kebebasan atas informasi serta tekanan dari pihak atau
kelompok tertentu.

Penutup
Adanya bentuk kepemilikan media oleh para elite politik bahkan beberapa
partai politik yang ada di Indonesia sangat menciderai kemerdekaan media massa
sendiri yang harusnya bebas dari tekanan maupun kepentingan golongan. Terlebih lagi,
adanya kepemilikan media massa oleh bakal calon pejabat publik akan semakin
membuat netralitas media dipertanyakan. Pemberitaan yang dilakukan oleh media
massa yang dimiliki elite politik semata-mata hanya untuk kepentingan politik saja.
Liputan yang dilakukan media massa hanya bertujuan sebagai alat pendongkrak
popularitas elite politik bukan menjadi sarana edukasi bagi publik. Fungsi media yang
mulai kabur ini akan memicu sikap apatis dan pasif masyarakat terhadap politik.
Kondisi ini yang akan mengakibatkan terhambatnya komunikasi antar lembaga politik
terkait juga komunukasi pemerintah dengan warganya. Dampaknya akan terasa pada
tiap kebijakan yang dibuat nantinya.
Dalam demokrasi, media massa harusnya merdeka dari segala tekanan dan
tunggangan kepetingan politik yang ada. Indepedensi, netralitas, integritas, serta
akuntabilitas media massa haruslah dipegang teguh dan dijalankan sesuai kode etik
media massa dalam rangka menjalankan fungsi media massa sebagaimana layaknya.
Sebagai salah satu alat kontrol sosial di masyarakat, sudah selayaknya media massa
mampu memberikan dedikasinya yang terbaik terhadap publik dengan kembali
menjalankan fungsi edukasi serta sosialisasi yang hampir kabur akibat monopoli politik
para elite.
Disisi lain, masyarakat seharusnya juga mulai sadar dan membangun sikap
kritis terhadap setiap pemberitaan yang ada di media massa. Merubah pola pikir yang
awalnya menerima dengan mudah semua pemberitaan serta isu yang disampaikan
media massa, beralih menjadi pola pikir yang kritis dengan memfilter apapun yang ada
di media massa agar tidak ada salah presepsi nantinya. Harapannya, kedepan media
massa dapat merdeka serta kembali menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial
dan komunikasi politik yang berimbang dan bebas tanpa kepentingan politik. Dengan
demikian, media massa juga dapat mengawal pemilu di Indonesia dalam rangka
mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka
Colin MacAndrews. 2008. Perbandingan Sistem Politi., Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Dara Aisyah. 2003. Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi. Usu Digital Library
Haryanto. 1984. Partai Politik: sutu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty
Jalaluddin Rakhmat. Cetakan kelimabelas 2000. Psikologi Komunikas., Bandung:
Remaja Rosdakarya
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, e-book
Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitrusionalisme Indonesi., Jakarta: sinar
Grafika
Jimly Asshiddiqie. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafika
Johnny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya:
Bayumedia Publishing
Koentjoro Poerbopranoto. 1987.

Sistem Pemerintahan Demokrasi.

Bandung:

Eresco
Parwito. 2009. Komunikasi Politik; Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Yogyakarta: Jalasutra.
Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencan Prenada Media Group
Samsul Wahidin. 2011. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Setiyono, Budi. 2008. Iklan Politik; Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum.
Yogyakarta: Galang Press.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, & Demokrasi.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sumarno. 1989. Dimensi-Dimesi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Media Ditinggalkan Jika Bertentangan dengan Publik, Kompas, Rabu 7 Maret 2010
Media Indonesai edisi Rabu 22 Februari 2012
Media Indonesia edisi Kamis 8 Maret 2012