PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL DAN DAERAH UN

PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL DAN
DAERAH UNTUK MENINGKATKAN DAYA
SAING DAERAH

SUGENG BUDIHARSONO
REGION BRANDING INSTITUTE
BOGOR, 2015

1. Pendahuluan

Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah (Local and Regional Economic
Development) yang pendekatannya berfokus kepada pemanfaatan dan optimalisasi
sumberdaya dan kompetensi daerah dalam menggerakkan perekonomian daerah untuk
mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran dan menciptakan pembangunan
berkelanjutan menemukan momentumnya di tengah arus ekonomi global. Strategi
pengembangan ekonomi daerah yang tepat diharapkan mampu menemukenali dan
menggali potensi ekonomi produktif yang berdaya saing (knowledge based economy)
sekaligus berbasis sumber daya daerah (local resources based economy).
Pengembangan ekonomi daerah yang ada saat ini masih berbasis ideologi
ekonomi tradisional.


Pengembangan ekonomi daerah yang baik, seyogyanya

mengadopsi pengembangan ekonomi lokal, yaitu: pendekatannya kewilayahan,
pendekatan dari bawah, membangun kemitraan dan memanfaatkan potensi lokal.
Pada Tabel 1 disajikan perbedaan antara Pengembangan Ekonomi Lokal dan Ekonomi
Tradisional (Rodriguez-Pose, 2002).

Tabel 1. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Ekonomi Tradisional

Pengembangan Ekonomi Lokal juga berbeda dengan pemberdayaan masyarakat
yang selama ini banyak dilakukan di Indonesia. Perbedaan antara Pengembangan
1

Ekonomi Lokal dengan pemberdayaan masyarakat disajikan pada Tabel 2 (RodriguezPose, 2002)..

Tabel 2. Perbedaan antara Pengembangan Ekonomi Lokal dan Pemberdayaan
Masyarakat

2. Mengapa PELD Penting bagi Nasional dan Daerah
Secara nasional PELD penting, hal ini dikarenakan ada beberapa alasan utama,

antara lain adalah:


Perekonomian daerah adalah bagian integral dari perekonomian nasional,
sehingga apabila kinerja perekonomian daerah bagik maka secara agregat,




kinerja perekonomian nasional pun akan baik juga.
Sesuai dengan kerangka Kebijakan Desentralisasi & Otonomi daerah, bahwa
PELD adalah urusan pilihan daerah
Wilayah Indonesia luas dengan kondisi dan potensi unggulan daerah yang
beragam, oleh karena itu:
o

potensi ekonomi lokal akan lebih efektif dan efisien jika dikelola oleh
Daerah.

o


Keberagaman dapat menciptakan “mozaik” yang indah bila dikelola dg
baik

2





PEL merupakan kebutuhan/strategi nasional dlm rangka meningkatkan kualitas
pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing daerah maupun nasional.

PEL menggunakan pendekatan kewilayahan & bottom-up  dpt menjadi
koreksi atas pendekatan sektoral.
Mayoritas pelaku usahanya adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Jumlah
UMKM pada tahun 2012 adalah 56,5 juta

atau 99,9% jumlah usaha dan


sebagian besar berbasis sumber daya lokal. Sehingga PEL dapat mengatasi
masalah ketenagakerjaan & kemiskinan, serta meningkatkan ketahanan
ekonomi nasional.


Bagi daerah PELD sangat penting karena:
Peningkatan kesempatan berusaha. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah
yang berbasis kepada komoditi unggulan lokal maka akan meningkatkan



kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal maupun investor.
Penyerapan tenaga kerja. Pembangunan ekonomi lokal dan daerah akan
memberikan upah yang lebih baik, manfaat, dan peluang untuk maju bagi para



pekerja.
Retensi Bisnis. Bisnis merasa dihargai oleh masyarakat dan, pada gilirannya,
lebih masyarakat akan cenderung untuk tinggal di daerah tersebut, dan akan




memberikan memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah tersebut.
Diversifikasi Ekonomi. Basis ekonomi yang beragam akan membantu
memperluas pengembangan ekonomi lokal dan mengurangi kerentanan



masyarakat untuk satu bidang usaha.
Swasembada. Basis ekonomi yang lebih kuat berarti pelayanan publik tidak
terlalu bergantung kepada pengaruh antar pemerintah dan aliansi, yang dapat



berubah kebijakannya pada setiap pemilihan kepala daerah.
Peningkatan Basis Pajak dari Dunia Usaha dan Masyarakat.

Peningkatan


kesempatan berusaha dan bekerja akan meningkatakn pendapatan masyarakat
dan dunia usaha yang disebabkan oleh pembangunan ekonomi, peningkatan
dan pemeliharaan infrastruktur lokal, seperti jalan, energy, pendidikan dan


kesehatan.
Kualitas Hidup . Peningkatan basis pajak yang lebih lanjut akan meningkatkan
pajak lokal dan peningkatan kesempatan bekerja akan meningkatkan

3

kesejahteraan ekonomi bagi seluruh masyarakat, termasuk standar kualitas


hidup masyarakat.
Pengakuan Produk Lokal. Pembangunan ekonomi lokal yang sukses sering
terjadi ketika barang yang diproduksi secara lokal dikonsumsi di pasar lokal,




nasional maupun internasional.
Peningkatan Daya Saing.

Pengembangan ekonomi lokal dengan fokus

pengembangan komoditi unggulan daerah dalam bentuk klaster dapat
meningkatkan daya saing daerah dalam rangka menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015.

3. PELD dan Daya Saing Daerah
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain–lain. Dewasa ini,
perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai
bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu
globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya
membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia.
Salah satu bentuk nyata dari globalisasi ekonomi adalah pasar bebas. Dalam
kaitannya dengan hal Indonesia telah menandatangani beberapa pasar bebas, antara
lain adalah CAFTA (China ASEAN Free Trade Assosiation) atau ACFTA (ASEANChina Free Trade Agreement), AIFTA (ASEAN India Free Trade Assosiation) dan AEC
(ASEAN Economic Community). Pada akhir tahun 2015, dimulainya Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA). MEA adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang
direncanakan mulai berlaku pada tahun 2015 bagi negara-negara ASEAN. Dengan
pencapaian tersebut, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi
dimana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran
modal yang lebih bebas. Konsekuensinya kita bersaing dengan produk barang dan jasa
dari negara-negara ASEAN di negara kita sendiri maupun di pasar negara-negara
ASEAN lainnya dan semua ini kata kuncinya adalah DAYA SAING (competitiveness).
Definisi daya saing adalah Competitiveness as the set of institutions, policies, and
factors that determine the level of productivity of a country (Schwab and Porter, 2007).
Pendefinisian daya saing tergantung dimana lokasi daya saing tersebut didefinisikan,
apakah di aras mikro (perusahaan) atau di aras makro (nasional). Diantara kedua
4

konsep daya saing tersebut, muncul konsep daya saing daerah, yang mendapatkan
perhatian yang besar pada beberapa tahun terakhir, hal ini disebabkan karena daerah
merupakan kunci dalam organisasi dan tata kelola pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan kesejahteraan. Menurut Meyer-Stamer (2003), daya saing daerah
didefinisikan sebagai kemampuan suatu wilayah

untuk meningkatkan pendapatan


yang tinggi dan penghidupan masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut pada
standar kehidupan yang tinggi. Sedangkan Huggins (2003) menyatakan bahwa daya
saing daerah yang sejati hanya terjadi ketika pertumbuhan berkelanjutan dicapai pada
tingkat tenaga kerja yang meningkatkan standar kehidupan.
Indonesia diperkirakan belum mampu memaksimalkan pasar Negara-negara
tetangganya karena permasalahan daya saing produk ekspor dalam negeri (tidak hanya
dalam sektor barang namun juga jasa) terutama pada aspek supply-driven terkait dengan
permasalahan produksi di dalam negeri. Pada Tabel 3 disajikan peringkat daya saing
dan kemudahan berusaha (doing business) di negara-negara ASEAN. Dari segi daya
saing, Indonesia masih jauh di bawah Thailand, Malaysia apalagi Singapura.
Demikian juga dengan kemudahan berusaha, hanya sedikit di atas Kamboja dan jauh
sekali berada di bawah negara-negara Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan
Indonesia. Namun demikian, dari segi investasi, Indonesia berada pada peringkat
ketiga di bawah Singapura, walaupun Thailand dan Malaysia, mulai menyusul. Pada
Tabel 4 disajikan Foreign Direct Investment Inflow di Negara-negara ASEAN 2010-2013.

Tabel 3. Peringkat Daya Saing dan Kemudahan Berusaha di Negara-negara
ASEAN 2014
No

Negara
Daya Saing*)
Kemudahan Berusaha **)
2013
2014
2013
2014
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Brunei Darussalam

Kambodja
88
95
Indonesia
38
34
Laos
81
93
Malaysia
24
20
Myanmar
139
134
Filipina
59
52
Singapura
2
2
Thailand
37
31
Timor Leste
136
138
Vietnam
70
68
Sumber: *) WEF. 2014. World Competitiveness Report 2014
**) World Bank. 2014. Doing Business 2014

79
133
128
163
12
138
1
18
169
99

59
137
120
159
6
182
108
1
18
172
99

5

Tabel 4. Foreign Direct Investment Inflow di Negara-negara ASEAN 2010-2013
No

Negara
2010

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

FDI Inflow (Juta US Dollar)
2011
2012

Brunei Darussalam
626
1 208
Kambodja
783
815
Indonesia
13 771
19 241
Laos
279
301
Malaysia
9 000
12 198
Myanmar
1 285
2 200
Filipina
1 070
2 007
Singapura
55 076
50 368
Thailand
9 147
3 710
Timor Leste
29
47
Vietnam
8 000
7 519
Sumber: UNCTAD. 2014. World Investment Report 2014

865
1 447
19 138
294
10 074
2 243
3 215
61 159
10 705
18
8 368

2013
895
1 396
18 444
296
12 306
2 621
3 800
63 772
12 946
20
8 900

Kondisi daya saing dan inovasi Indonesia yang masih belum baik tentunya
merupakan cerminan dari kondisi pengembangan ekonomi lokal dan daerahnya
(PELD).

Hal ini tercermin dari program-program yang dikembangkan oleh

kementerian/lembaga dan pemerintah daerah masih baru bertumpu kepada
pengembangan sumber daya alam dan belum berdasarkan kreatifitas dan inovasi serta
hanya berpendekatan supply-side strategy yang tidak dibarengi dengan demand-side
strategy. Selain itu pelaksanaan program-program oleh kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah serta stakeholder lainnya (donor, dunia usaha dan LSM) juga masih
belum berjalan secara terpadu sehingga belum dapat mendorong daya saing baik daya
saing produk maupun daya saing daerah.Padahal PELD sesungguhnya merupakan
strategi pengembangan kapasitas dan potensi daerah berbasis pengetahuan dan sumber
daya lokal dengan memperhatikan aspek pasar.
Daya saing nasional secara agregat ditentukan oleh daya saing daerah. Oleh
karena itu pertumbuhan ekonomi nasional tidak lepas dari kinerja perekonomian
daerah. Sehingga kinerja perekonomian daerah dapat diukur dalam konteks daya saing
daerah. Menurut Lengyel (2007) bahwa faktor-faktor yang menentukan daya saing
daerah daya saing daerah ada dua, yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktorfaktor pembangunan merupakan faktor langsung dan jangka pendek yang dapat
mempengaruhi output ekonomi (PDRB), produktivitas tenaga kerja maupun laju
penduduk yang bekerja. Sedangkan pengaruh tidak langsung yang mempengaruhi
daya saing daerah dan dalam jangka panjang antara lain adalah factor sosial, ekonomi,
lingkungan dan proses budaya. Pada Gambar 1 disajikan model piramida daya saing
daerah dari Lengyel (2007).
6

PELD
Berkelanjutan

Tujuan dan Sasaran

Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
Kinerja Wilayah
Kesenjangan antar wilayah
PDRB

Kategori
Dasar

Produktivitas
Tenaga kerja

Faktor
Pembangunan
Penentu
Keberhasilan

Sumber
daya
alam

Struktur
Ekonomi

Struktur Sosial

Penelitian
dan
Pengembang
an Teknologi

Laju penyerapan
tenaga kerja

Infrastruktur
Investasi
dan modal
manusia

UMKM

Kegiatan
Inovatif

Aksesibilitas
wilayah

Pusat
Pengambilan
Keputusan

Lingkungan

Kelembagaan
dan modal
sosial

Ketrampilan
angkatan kerja

Identitas Wilayah

Gambar 1. Modifikasi Model Piramida Daya Saing Daerah Imre Lengyel
Daya saing daerah atau daya saing negara berdasarkan input untuk
pembangunan ekonominya, menurut Porter, dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu: (1)
Factor driven, (2) efficiency driven dan (3) innovation driven.

Pada Gambar 2.

disajikan tahapan pembangunan suatu negara/daerah berdasarkan keunggulan
kompetitifnya. Menurut Lengyel, berdasarkan hal penggolongan di atas, daerah dibagi
menjadi tiga, yaitu: (1) Neofordist region (factor-driven phase), (2) knowledge transfer
region (investment-driven phase), dan (3) Knowledge creation region (innovation-driven
phase). Keunggulan yang sejati hanya pada knowledge creation region, karena benar-benar

mengandalkan inovasi. Inovasi adalah pelaksanaan dari suatu kreatifitas. Pengembangan
industri yang berbasis kreatifitas disebut sebagai industri kreatif.

7

Gambar 2. Tahapan Pembangunan Daerah Menurut Tingkat daya Saingnya
Strategi mikro untuk dapat meningkatkan daya saing daerah adalah melalui
pendekatan klaster usaha.

Menurut Porter (2000), peta ekonomi dunia saat ini

didominasi oleh klaster. Sebuah klaster memungkinkan setiap perusahaan yang ada di
dalamnya untuk mendapatkan keuntungan seolah-olah memiliki skala yang lebih
besar atau seolah-olah itu telah bergabung dengan perusahaan lain tanpa
mengorbankan fleksibilitas. Beberapa manfaat adanya klaster bagi perusahaan secara
ekonomi adalah sebagai berikut: (1) Klaster meningkatkan produktivitas perusahaan.
Persaingan modern tergantung pada produktivitas, bukan pada akses ke input atau
skala usaha individu. Produktivitas terletak pada bagaimana perusahaan bersaing,
bukan bersaing hanya pada bidang tertentu; (2) Klaster mendorong dan memacu
inovasi, yang menyokong pertumbuhan produktivitas.

Pada Gambar 3 disajikan

hubungan antara produktivitas dan inovasi; dan (3) Klaster dapat merangsang
pembentukan bisnis baru, yang memperluas dan memperkuat cluster itu sendiri.

8

Gambar 3. Hubungan antara Inovasi dan Daya Saing

Pada masa kini, perusahaan-perusahaan tidak lagi menghadalkan inovasinya
dikerjakan oleh perusahaan sendiri, namun bergantung kepada lembaga perguruan
tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Selain itu dukungan dari pemerintah sangat
diperlukan agar dapat menstabilkan hubungan antara dunia usaha dan lembaga
perguruan tinggi/lembaga penelitian. Oleh karena itu, agar dunia usaha percaya dan
dapat mengimplementasikan hasil penelitian dari perguruan tinggi/lembaga riset,
seyogyanya penelitiannya merupakan penelitian terapan. Pada Gambar 4 disajikan
hubungan antara pemerintah, dunia usaha dan perguruan tinggi/lembaga penelitian
dalam menghasilkan inovasi. Hubungan ketiga lembaga tersebut disebut juga dengan
Triple Helix of Innovation atau ada juga yang menyebutnya dengan The Golden Triangle.

9

Gambar 4. Hubungan antara Pemerintah, Dunia Usaha dan Perguruan
Tinggi/Lembaga Penelitian dalam menghasilkan Inovasi
4. Membangun Region Brand

Globalisasi menyebabkan produk barang dan jasa tertentu yang ditawarkan oleh
suatu wilayah relatif sama dalam desain, kualitas, harga dsb dengan barang dan jasa
tertentu yang ditawarkan oleh daerah lainnya baik dalam suatu negara maupun dari
negara lainnya.

Oleh karena itu perlu sesuatu yang unik dan berbeda untuk

meningkatkan daya saing (competitive advantage) dari barang dan jasa yang
diproduksi/ditawarkan dari suatu daerah. Salah satu cara agar produk barang dan jasa
dari suatu berbeda dengan daerah lainnya adalah melalui nation/region branding.
Definisi Nation/Region Branding adalah pembentukan citra (secara internal dan
eksternal) untuk negara atau daerah atau beberapa daerah berdasarkan nilai-nilai dan
persepsi yang positif dan relevan. Menurut Anholt (2005) ada 6 faktor yang
mempengaruhi nation branding, yaitu: ekspor, pariwisata, tata kelola, investasi dan
imigrasi, budaya dan warisan, dan manusia. Oleh karena itu Anholt menyebutnya

10

dengan istilah Heksagonal Nation Brand. Secara skematis pada Gambar 5 disajikan
Heksagonal Nation Branding dari Simon Anholt.

Pariwisata

Ekspor

Manusia

Tata Kelola

Nation
Brand

Investasi dan
Imigrasi

Budaya dan
Warisan

Gambar 5. Heksagonal Nation Brand

Pariwisata merupakan salah satu aspek yang sangat membantu dalam
memasarkan merk nasional (national brand) di dunia, karena pariwisata merupakan
salah satu perwujudan visual yang nyata dari suatu negara dan dapat menggambarkan
citra suatu negara. Pengelolaan pariwisata yang baik akan akan berdampak terhadap
kinerja lain dari suatu negara, misalnya para investor akan menginvestasikan modalnya
pada suatu negara karena tertarik dengan pengelolaan pariwisatanya. Pada banyak
negara berkembang, seringkali produk yang dijualnya tidak mempunyai merk. Oleh
karena itu ekspor dengan brand sangat potensial dalam membentuk pencitraan negara
secara berkelanjutan. Unsur tata kelola ini khususnya menyangkut kecerdasan politik
menjadi elemen tersulit untuk dikontrol. Tetapi elemen ini mempunyai dampak yang
kuat terhadap kelima elemen hexagon lainnya. Unsur manusia ini menyangkut seluruh
komponen penduduk (tidak hanya diplomat, artis, dan politikus) yang dapat menjadi
duta negara dengan membawa segala keunikan dan kebaikan negaranya baik di dalam
negeri maupun saat di luar negeri.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pertumbuhan yang cepat di abad ini terjadi
karena beberapa wilayah menjadi magnet bakat, investasi dan kegiatan bisnis. Brand
wilayah

yang

tepat

dan

kuat

dapat

menciptakan

preferensi

positif

dan

menempatkannya pada daftar wilayah yang patut diperhatikan. Budaya dan warisan
seringkali dikenal dengan baik tetapi tidak dapat disalurkan secara efisien menjadi nilai
11

tambah yang bernilai jual. Elemen ini menawarkan dimensi ketiga yang mencitrakan
kekayaan, martabat, kepercayaan, dan respek dari negara lain serta kualitas hidup bagi
yang tinggal di dalamnya.
Berbeda dengan Anholt, Mihalache dan Vukman (2005) mengganti unsur Tata
Kelola dengan Kebijakan Dalam dan Luar Negeri. Saya setuju dimasukkan unsur
kebijakan luar negeri, karena suatu negara yang berdaulat harus mempunyai kebijakan
luar negeri yang bebas dan aktif serta independen, tidak membebek pada suatu negara
besar.

Suatu negara yang terlalu condong kepada negara besar, malah dianggap

sebagai negara yang lemah. Namun saya tidak setuju bahwa adanya unsur kebijakan
luar negeri ini mengganti unsur Tata Kelola, karena unsur tata kelola sangat penting
dalam membuat suasana yang baik, khususnya dalam hal pelayanan perizinan,
penyediaan sarana dan prasarana dasar dan pelayanan publik lainnya. Amine dan
Chao mencoba menkombinasikan antara Anholt dan Mihalache dan Vukman, namun
menghilangkan unsur sumber daya manusia dan tata kelola, sehingga hanya ada unsur
pariwisata, ekspor, kebijakan luar negeri, dan budaya. Karena hanya lima unsur maka
disebut dengan Pentagonal Nation Branding.
Menurut pendapat saya, ide menambahkan unsur kebijakan luar negeri itu
bagus, namun tidak menghilangkan unsur tata kelola. Selain itu, menurut pendapat
saya, masih ada hal yang sangat penting lainnya, malah belum dimasukkan ke dalam
unsur yang mempengaruhi nation branding, yaitu unsur kepempimpinan. Berdasarkan
pengalaman, negara-negara yang memiliki pemimpin dengan kepemimpinan yang kuat
mampu membentuk nation brandingnya dengan baik.

Contoh yang paling bagus

adalah Deng Xiao Ping yang mampu membawa negara Cina dari Negara Tirai Bambu
yang dipandang sebelah mata, menjadi negara super power. Demikian juga dengan
Perdana Menteri Manmohan Singh, mampu menjadikan negara India menjadi negara
yang maju dan disegani di dunia. Di lingkungan negara-negara ASEAN, Mahathir
Muhammad mampu menjadikan negara Malaysia menjadi negara industri maju dan
modern.

Untuk pemimpin daerah di Indonesia yang dapat membawa daerahnya

menjadi daerah yang maju antara lain adalah Fadel Muhammada dari Provinsi
Gorontalo, Hugua dari Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara,

Untung dari

Sragen, Jawa Tengah dan I Gde Winasa dari Jembrana, Bali. Jadi menurut pendapat
saya, yang mempengaruhi nation branding itu ada delapan, yaitu: kepemimpinan,
ekspor, pariwisata, tata kelola, kebijakan luar negeri, investasi, budaya dan warisan,

12

dan manusia. Karena ada delapan unsur dan satu sama lain saling berkaitan maka
disebut dengan Oktagonal Merk Negara (Nation Brand Octagon). Secara skematis pada
Gambar 6 disajikan Oktagonal Merk Negara (Budiharsono, 2010).
Unsur-unsur pembentuk merk daerah berbeda dengan merk nasional, yaitu
hanya 6 unsur. Daerah tidak mempunyai kebijakan luar negeri, demikian juga unsur
pariwisata merupakan bagian yang diekspor, karena dapat merupakan produk
unggulan dari daerah tersebut. Karena hanya ada enam unsur maka disebut dengan
Heksagonal Merk Daerah (Region Brand Hexagon). Secara skematis pada Gambar 7
disajikan Heksagonal Merk Daerah (Budiharsono, 2010).

Kepemimpina
n

Ekspor

Manusia

Tata Kelola

MERK
NEGARA

Pariwisata

Kebijakan Luar
Negeri

Budaya dan Warisan

Investasi

Gambar 6. Oktagonal Merk Negara

Ekspor

Kepemimpinan

MERK
DAERAH

Manusia

Budaya dan Warisan

Tata Kelola

Investasi

Gambar 7. Heksagonal Merk Daerah

13

5. Tahapan Pengembangan Ekonomi Lokal
Tahapan pengembangan ekonomi lokal dan daerah terdiri dari 5 tahap, yaitu:
1. Pembentukan dan Penguatan Forum Stakeholder PELD
2. Kajian komoditi unggulan dan kawasan
3. Penyusunan rencana dan anggaran.
4. Pelaksanaan PELD melalui klaster dan region branding
5. Monitoring dan Evaluasi.
Secara skematik tahapan pengembangan kawasan Minapolitan disajikan pada Gambar
8.

Gambar 8. Tahapan PELD

Proses PELD adalah proses multistakeholder, oleh karena itu hal pertama yang
harus dilakukan adalah membangun komitmen dari seluruh stakeholder yang terlibat,
khususnya adalah kepala daerah, dunia usaha dan organisasi masyarakat madani.
14

Komitmen yang kuat dari kepala daerah dalam proses PELD, yang diimplementasikan
terutama dengan adanya program/kegiatan serta anggarannya setiap tahunnya dalam
rentang waktu yang lama.

Selain komitmen, juga diperlukan kepemimpinan yang

kuat (strong leadership) dari kepala daerah. Dengan dibangunnya komitemen tersebut,
nantinya akan terjalin kepercayaan (trust) diantara stakeholder yang terlibat.
Selanjutnya keterlibatan pemerintahan daerah (ekskutif dan legislative), dunia usaha
dan organisasi masyarakat madani (akademisi, LSM dll) dapat dikukuhkan dalam
suatu organisasi kemitraan yang disebut Forum Stakeholder PELD. Pembelajaran
yang baik dari forum stakeholder PELD tersebut dapat dilihat dari forum stakeholder
PELD yang sudah ada di aras kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang disebut
FEDEP (Forum for Economic Development and Employment Promotion).
4.1. Pembentukan dan Penguatan Forum Stakeholder di aras Kabupaten/Kota
Berdasarkan pengalaman pembentukan forum stakeholder PELD di daerah,
maka ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan, yaitu:


Identifikasi stakeholder kunci yang terlibat dalam dilakukan dengan
menggunakan analisis stakeholder sehingga akan diperoleh stakeholder
kunci yang akan terlibat dalam Forum Stakeholder, kegiatan ini biasanya
diinisiasi oleh Bappeda dengan melibatkan stakeholder lainnya. Hal yang
paling penting agar forum ini dapat berjalan dengan baik adalah adanya local
champion, yaitu stakeholder yang dapat menggerakan dan memotivasi forum





tersebut untuk dapat berjalan dengan baik.
Setelah diketahui stakeholder kunci yang terlibat dan local champion,
Bappeda setempat menginisiasi pembentukan Forum Stakeholder.
Perlu pendampingan dalam proses pembentukan maupun penguatan Forum
Stakeholder.
Organisasi ini tidak harus dipimpin oleh birokrat tapi bisa juga dari dunia
usaha, karena kalau yang memimpin birokrat, maka akan terjadi ewuh
pakewuh dengan kepala daerah. Seyogyanya sebagian besar anggota (lebih
dari 50 %) anggotanya berasal dari dunia usaha (pelaku usaha yang terlibat
langsung, asosiasi bisnis dan perbankan), sisanya baru dari pemerintahan
daerah, akademisi, LSM tokoh masyarakat, media masa dan pegiat seni
budaya.

15

Fungsi forum stakeholder PELD di aras kabupaten/kota ini sangat penting, hal
ini dikarenakan forum tersebut berfungsi sebagai berikut:
Memberikan rekomendasi kepada kepala daerah atau daerah mengenai:














Penguatan UMKM
Penguatan klaster usaha
Penguatan dunia usaha agar memiliki jejaring bisnis dengan mitra lainnya
baik di aras nasional maupun internasional
Optimalisasi layanan public dari pemerintah daerah kepada pelaku usaha
Meningkatkan usaha untuk mencipkatakan iklim bisnis yang kondusif.
Meningkatkan kinerja sektor public
Mempromosikan dan meningkan pemasaran produk-produk unggulan dari
daerah tersebut.

Meningkatkan kemitraan dan kerjasama antar stakeholder yang terlibat dalam
PELD baik dari dunia usaha, pemerintah, akademisi dan yang lainnya.
Meningkatkan kinerja sistem yang ada melalui pendidikan dan pelatihan
(peningkatan kapasitas)
Melaksanakan monitoring dan evaluasi program-program PELD.
Pembiayaan untuk pelaksanaan forum PELD tersebut, berdasarkan pengalaman
dari Provinsi Jawa Tengah berasal dari Pemda dengan besaran dari Rp 50 juta sampai
100 juta/tahun. Pembiayaan merupakan insentif untuk pelaksanaan rapat-rapat dan
dikelola oleh PEMDA (swa kelola).

4.2. Penentuan Komoditi Unggulan
Tahap ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan informasi dan analisis data.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan secara partisipatif baik di tingkat
masyarakat maupun di tingkat birokrasi dan dunia usaha. Analisis data meliputi
analisis rantai nilai (value chain analysis) dan analisis pengembangan wilayah serta
analisis RALED. Untuk menentukan komoditi unggulan dapat digunakan Analisis
Location Quotient (LQ) atau Revealed Comparative Advantage (RCA). Sedangkan untuk
mengetahui kondisi komoditi unggulan dari hulu ke hilir menggunakan Analisis Value
Chain (VCA). Setelah diketahui komoditi unggulan (bisa 1 sampai 3 komoditi unggulan
prioritas), kemudian dilakukan rembug dari forum stakeholder yang sudah dibentuk,
untuk menentukan komoditi unggulan daerah tersebut. Biasanya untuk menentukan
16

komoditi unggulan ini sangat sulit, karena merasa bahwa daerah mampu mempunyai
banyak komoditi unggulan. Namun sebaiknya dalam menentukan komoditi unggulan
memperhartikan beberapa aspek berikut:
Analisis RALED digunakan untuk menentukan status PELD pada suatu daerah
dan atribut pengungkit (leverage attribute) yang nantinya dijadikan untuk menyusun
Rencana Induk (Master Plan).

Sedankan

Analisis Pengembangan Wilayah,

khususnya dari segi keruangan dapat menggunakan analisis Sosiogram, Skalogram
dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
Mempertimbangkan potensi sumber daya yang ada, yaitu: sumber daya alam,
sumber dalam manusia dan strategisitas lokasi daerah.
Berorientasi kepada permintaan jangka pendek dan jangka panjang. Bukan
hanya untuk pasar lokal, regional, tetapi juga untuk pasar internasional.
Komoditi unggulan yang dipilih harus diintegrasikan dengan sektor lainnya.
Pengembangan komoditi unggulan jangan hanya satu komoditi saja (single
commodity development), namun harus diintegrasikan dengan sektor lainnya
misalnya pariwisata.

4.3. Penyusunan Rencana dan Anggaran
Tahap ini meliputi kegiatan penyusunan rencana PEL (Klaster) industri kreatif
dan pengintegrasian rencana tersebut ke dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran daerah.

Dasar penyusunan rencana dan anggaran berdasarkan hasil

analisis VCA, Analisis RALED dan analisis pengembangan wilayah. Rencana yang
akan disusun meliputi: (1) Rencana Induk PELD di aras kabupaten/kota, (2) Rencana
Bisnis dan (3) Rencana Aksi, berdasarkan hasil analisis tersebut dan telah
memperhatikan RTRW Kabupaten serta RPJMD dan Renstra SKPD. Penyusunan
rencana dilakukan secara partisipatif. Hal yang paling penting dalam penyusunan
rencana induk ini adalah bahwa rencana induk (sebaiknya dilegalkan dalam bentuk
Perbup/Perwali, dan sangat baik dalam bentuk Perda) nantinya dijadikan pedoman
dalam penyusunan rencana dan anggaran oleh seluruh SKPD, sehingga rencana induk
ini sebaiknya dapat dintegrasikan dengan dokumen perencanaan dan anggaran daerah
(RPJPD, RPJMD, RENSTRADA dan APBD). Khusus untuk penyusunan rencana
anggaran dalam rencana induk PELD di aras kabupaten/kota ini seyogyanya
menggunakan

program financial matrix. Dalam program financial matrix ini sudah
17

dijelaskan tentang program dan kegiatan, volume dan lokasi kegiatan, biaya/anggaran
kegiatan dan penanggungjawab kegiatan, baik dari pemerintah daerah, pemerintah
provinsi, kementerian/lembaga, donor maupun masyarakat madani. Program financial
matrix inilah yang akan dijual kepada stakeholder tersebut.

Dalam penyusunan

program financial matriks harus mengundang seluruh stakeholder kunci tersebut, dan
yang diundang adalah orang yang mempunyai otoritas dalam alokasi anggaran
organisasi yang diwakilinya. Dalam program financial matrix yang dimuat bukan hanya
sekadar rencana dan anggarannya tetapi sudah merupakan komitmen dari organisasi
tersebut.
Setiap kegiatan dibuat TOR singkat, dan kemudian dipromosikan kepada
organisasi/lembaga yang tercantum dalam program financial matrix. Diperlukan peran
aktif dari seluruh organisasi pemerintahan yang ada untuk ‘menjemput bola’ kepada

organisasi-organisasi tersebut. Kepada SKPD yang memperoleh dana dari stakeholder
pemberi dana, diberikan insentif seperti di Pemerintah Provinsi Gorontalo.

4.4. Pelaksanaan PELD
Pelaksanaan PELD pada prinsipnya selain memperkuat forum PELD juga
membangun klaster bisnis yang dilakukan oleh seluruh stakeholder kunci, baik oleh
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, donor agency maupun organisasi
masyarakat madani (akademisi, dll).

Klaster merupakan konsentrasi geografis

perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada sektor tertentu (A cluster is a
geographically proximate group of interconnected companies and association institution in
particular field, linked by communalities and complementarities, Porter, 1998). Klaster
diharapkan dapat menghilangkan kendala-kendala dan inefisiensi untuk meningkatkan
produktivitas. Koordinasi pelaksanaan sebaiknya dilakukan oleh Forum Stakeholder
atau pengelola klaster agar terjadi keterpaduan dan keharmonisan dalam pelaksanaan
pengembangan kawasan tersebut.
Globalisasi menyebabkan produk-produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah lain
dalam suatu negara maupun dari negara-negara lain satu sama lainnya mempunyai
kemiripan dengan harga yang hampir sama. Oleh karena itu agar produk suatu daerah
memiliki keunikan biasanya dibangun suatu citra bahwa daerah yang memproduksi
suatu barang mempunyai keunikan tertentu baik dari cara membuat maupun produk

18

barang dan jasa yang dihasilkan. Proses tersebut salah satunya dengan cara pemberian
merek daerah (region branding), jadi bukan hanya produk saja yang memiliki merek.
Tahapan pengembangan klaster dan region branding adalah sebagai berikut:
Tahapan pengembangan Klaster:

 Sosialisasi klaster, mulai dari batasan klaster, kelembagaan klaster hingga
strategi pengembangan klaster. Hal ini diperlukan agar terjadi kesepahaman
mengenai klaster diantara pelaku usaha, instansi pembina klaster dan
lembaga-lembaga penunjang kegiatan klaster sehingga baik usulan jenis
produk unggulan/sentra dan program pembinaan dapat tepat sasaran

 Mengidentifikasi berbagai produk unggulan daerah/sentra yang akan
berpotensi untuk dikembangkan melalui pendekatan klaster

 Melakukan survey ke lapangan untuk kepentingan validasi dan pengumpulan
data yang berhubungan kriteria produk unggulan yang dapat dikembangkan
melalui pendekatan klaster; seperti prospek pasar, jumlah pengusaha,
ketersediaan bahan baku, keterkaitan dengan usaha lain

 Evaluasi secara obyektif untuk menentukan kelayakan produk unggulan
daerah/sentra yang diusulkan berdasarkan hasil survey

 Menetapkan produk unggulan daerah/sentra yang dapat dikembangkan
berbasis klaster.

 Membentuk manajemen klaster, dengan terlebih dahulu mencari local
champion yang merupakan penggerak klaster.

 Menyusun AD/ART klaster oleh manajemen klaster

 Menyusun rencana bisnis oleh manajemen klaster

 Pelaksanaan dan pembinaan klaster

 Pengembangan klaster dapat dilkukan dengan dengan cara jejaring klaster
seperti di Klaster Borobudur Jawa Tengah.

Pada Gambar 9 disajikan

Pengembangan Klaster Wisata Borobudur di Provinsi Jawa Tengah.

19

Gambar 9. Jejaring Klaster Pengembangan Klaster Wisata Borobudur

Tahapan Region Branding
Ada 7 tahapan dalam membangun region branding pada suatu daerah, sebagai
berikut:

 Mengkaji citra kiwari
o Pemerintah memulai proses pembangunan region branding dengan
mengkaji tentang citra bangsa/wilayah saat ini dalam rangka
memperkuat persepsi positif negara/wilayah tersebut dan menyarong
persepsi negatif.
o Sebagai contoh Indonesia perlu memperkuat citra sebagai negara yang
kaya akan sumber daya alam, sangat indah dan eksotis, tenaga kerja
yang melimpah dan murah, sambil menyaring persepsi negatif sebagai
negara sarang teroris, pemalas, negara babu, dlsb.
o Simon Anholt mengusulkan bahwa citra negara/wilayah didasarkan
kepada bagaimana negara/wilayah tersebut dikenal selama ini, siapa
yang mengetahuinya, dan dengan cara apa diketahuinya.
20

 Membentuk kelompok kerja
o Proses membangun region branding merupakan kemitraan antara publikswasta dan melibatkan seluruh stakeholder kunci, dengan pemain utama
adalah pemerintah. Stakeholder lain seperti media, pendidik, atlet,
budayawan diajak dalam kelompok kerja ini.
o Hal yang paling utama dalam proses membangun branding ini
melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif.
o Proses membangun region branding adalah proses inklusif bukan eksklusif,
tapi kelompok kerja ini harus efektif dan efisien.

 Mengidentifikasi daya saing wilayah

Daya saing wilayah dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut:
o Natural Endowement: sumber daya alam, lokasi wilayah, sejarah wilayah,
obyek wisata, mentalitas manusianya (pekerja keras, bervisi ke depan,
masyarakat yang santun dan sopan, damai dlsb)
o Aquired Endowment: barang publik, kualitas infrastrukur, tingkat melek
huruf, ketrampilan masyarakat, penguasaan bahasa asing, hukum,
kesehatan, pendidikan, perbankan dlsb.
o Mitigasi Resiko: posisi di tingkat internasional, risiko politik, perjanjian
internasional yang menguntungkan, sejarah kredit dan asuransi yang
tersedia untuk investor dan eksportir.
o Kondisi ekonomi: tingkat pertumbuhan ekonomi , kebijakan ekonomi ,
stabilitas

moneter,

akses

terhadap

kredit

dan

peluang

pasar

internasional.

 Mengidentifikasi kelompok sasaran
Menidentikasi kelompok sasaran dari region branding adalah salat satu hal
yang penting. Anholt menyatakan bahwa mengidentifikasi kelompok sasaran
harus sejajar dengan tujuan dari region branding seperti: mitra dagang, pasar
ekspor, sekutu politik , mitra budaya , mahasiswa dan pelaku bisnis. Namun,
penting juga diperhatikan bahwa kelompok sasaran lokal (target internal)
dimasukkan dalam upaya region, karena mereka kemudian akan menjadi
brand ambassador wilayah tersebut, misalnya dalam interaksi mereka dengan
turis, investor dan pengunjung lainnya.

21

 Menentukan pesan utama dan identitas daerah
Suatu bangsa/wilayah tidak bisa menjadi segalanya bagi semua orang di
dunia dan dengan demikian harus mengembangkan pesan khusus yang
ditargetkan pada kelompok sasaran tertentu atau disebut juga dengan pesan
inti. Pesan inti harus jelas, konsisten dan kredibel juga harus sejalan dengan
identitas nasional/wilayah dan harus bermuatan ajakan yang unik dan
berkaitan dengan keunggulan kompetitif bangsa atau wilayah tersebut. Pesan
inti juga harus sejalan dengan aspirasi masyarakat setempat.
Setiap nation/region branding harus memiliki pesan yang jelas dan identitas
yang berbeda. Identitas bangsa/wilayah merupakan sesuatu hal yang
dirasakan oleh kelompok sasaran tentang bangsa/wilayah tersebut. Suatu
negara/wilayah dapat menggunakan sejarah, budaya, pengembangan
teknologinya atau tonggak penting lainnya untuk mengukir identitas unik
untuk dirinya sendiri. Contoh: Mesir dengan Piramidanya, Jepang dengan
mobil kompak dan produk elektroniknya, Jawa Tengah/Yogyakarta dengan
Borobudurnya dlsb. Namun, negara dapat memiliki banyak identitas dan ini
menimbulkan tantangan besar nation branding karena fakta bahwa banyak
identitas dapat menciptakan kebingungan dalam kelompok sasaran,
misalnya, Amerika Serikat mempromosikan identitas dari demokrasi yang
stabil yang mempromosikan perdamaian dan harmoni tapi juga ingin
diidentifikasi sebagai negara adidaya dalam hal kecakapan ekonomi dan
militer.

 Mengkaji kesiapan
Region branding adalah proses yang mahal dan memakan waktu dan
memerlukan visi daerah yang strategis dan perencanaan jangka panjang
rinci. Program region branding pada umumnya memakan waktu antara lima
sampai dengan dua puluh tahun atau sampai berhasil. Hal ini juga penting
bagi otoritas region branding untuk memastikan buy-in dari semua sektor
ekonomi dan masyarakat umum di daerah tersebut dalam rangka untuk
menggalang dukungan yang maksimal. Otoritas region branding harus
memastikan bahwa sumber daya yang memadai harus disediekan untuk
melaksanakan dan mengelola kampanye region branding.

22

 Mengukur kemajuan
Sama seperti proses apapun, setelah mulai menerapkan program region
branding, sangat penting untuk memantau proses untuk memastikan bahwa
semuanya berjalan sesuai rencana. Karena kompleksitas dan faktor-faktor
lingkungan yang selalu berubah, mungkin perlu untuk mengambil tindakan
korektif dalam bentuk penyesuaian program dan anggaran. Monev region
branding misalnya dengan menggunakan Octagonal Branding untuk nation
branding ataupun Hexagonal Branding untuk region branding.
Keuntungan Region Branding
Region branding ini bermanfaat untuk badan promosi daerah, kelompok sasaran
dan masyarakat dari daerah tersebut.

Secara rinci manfaat region branding

tersebut sebagai berikut:

 Manfaat bagi Badan Promosi Daerah
o Memberikan fokus strategis yang lebih besar berdasarkan memenuhi
kebutuhan , keinginan dan keinginan khalayak kunci .
o Memupuk pendekatan terpadu dan koperasi untuk membangun reputasi
kota dan menciptakan iklim usaha yang makmur dalam kota .
o Menyediakan kerangka kerja pengambilan keputusan untuk membangun
sebuah identitas yang konsisten yang kuat untuk kota di pasar utama dan
menghindari pesan bertentangan dan berubah dan gambar .
o Hasil dalam pengembalian yang lebih tinggi atas investasi ( ROI ) dari
investasi pemasaran .
o Menangkap kekuatan dan kepribadian tempat dalam cara yang
memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk menggunakan pesan
yang konsisten dan menarik yang serupa.
o Menyediakan payung pemersatu untuk menciptakan produk dan
pengembangan peluang bisnis kabupaten/kota.

 Manfaat untuk Kelompok Sasaran

o Memberikan ketenangan pikiran dengan meningkatkan kepercayaan dan
mengurangi ketidakpastian dalam perencanaan mereka.
o Menetapkan perbedaan titik nilai yang jelas dalam benak pelanggan
o Menghemat waktu dan usaha dalam memutuskan .

23

o Mencerminkan sesuatu yang baik kepada pelanggan yang berkaitan
dengan wilayah tersebut.
o Menyentuh kebutuhan dan keinginan mereka .
o Memberikan nilai tambah dan manfaat yang dirasakan.

 Manfaat Bagi Masyarakat

o Menciptakan fokus pemersatu untuk membantu semua masyarakat, dunia
usaha, dan organisasi nir-laba yang bergantung pada reputasi dan citra
wilayah untuk semua atau bagian dari mata pencaharian mereka.
o Menghasilkan peningkatan penghormatan dan pengakuan dikaitkan
dengan wilayah yang bersangkutan sebagai warga dan pengusaha.
o Mengoreksi hal-hal yang tidak akurat atau persepsi yang tidak seimbang.
o Meningkatkan pendapatan stakeholder, margin keuntungan, dan pajak.
o Meningkatkan

kemampuan

untuk

menarik,

merekrut,

dan

mempertahankan orang-orang berbakat.
o Meningkatkan kebanggaan warga.
o Memperluas ukuran " kue pembangunan " bagi stakeholder setempat
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar
Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi (Monev) dilakukan secara berkala. Monitoring
dilakukan sekurang-kurangnya 3 bulan sekali, sedangkan evaluasi





dilakukan pada akhir tahun.
Monev dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci.
Tindak lanjut dari monev amat penting sebagai bagian perbaikan
pelaksanaan pada masa mendatang.

5. Rencana Aksi Pelaksanaan PELD Selama 5 Tahun
Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah seyogyanya dilaksanakan secara
rinci sejak perencanaannya.

Secara rinci rencana aksi pelaksanaan PELD secara

umum selama 5 tahun bagi suatu daerah disajikan pada Tabel 5. Namun, akan lebih
baik pelaksanaan

PELD tersebut disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam,

manusia dan lingkungannya. Sedangkan pada Tabel 6 disajikan rencana aksi dan
anggaran untuk tahun 2915.

24

Tabel 5. Rencana Aksi Pelaksanaan PELD

No

Kegiatan

Tahun ke-1
Q1

1.

2.

Pembentukan
dan
Penguatan
Stakeholder
a. Identifikasi stakeholder kunci
dan local champion
b. Rapat-rapat/FGD
untuk
pembentukan forum stakeholder
c. Pembentukan forum stakeholder
PELD yang ditetapkan oleh
peraturan kepala daerah
d. Penyusunan AD/ART dan
rencana kerja selama masa
kepengurusan
e. Pelaksanaan rencana aksi dan
peran forum
Penentuan Komoditi Unggulan
a. Analisis LQ/RCA
b. Penentuan komoditi unggulan
secara partisipatif dan penetapan
oleh SK kepala daerah/PERDA
c. Analisis Rantai Nilai
d. Analisis RALED

Q2

Q3





Tahun ke-2
Q4

Q1

Q2

Tahun ke-3

Tahun ke-4

Tahun ke-5

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

















































Tabel 5. Lanjutan
No

Kegiatan

Tahun ke-1
Q1

3.

4.

Penyusunan
Rencana
dan
Anggaran
a. Penyusunan Rencana Induk
b. Penyusunan Rencana Bisnis
c. Penyusunan Rencana Aksi
d. Penyusunan Program Financial
Matrix
e. Penetapan
rencana
induk
berdasarkan
SK
Kepala
Daerah/PERDA
Membangun Klaster
a. Sosialisasi
klaster
kepada
stakeholder terkait
b. Mengidentifikasi berbagai
produk unggulan klaster
c. Melakukan survey ke lapangan
untuk kepentingan validasi
d. Evaluasi secara obyektif untuk
menentukan kelayakan produk
unggulan
e. Menetapkan produk unggulan
klaster
f. Membentuk manajemen klaster
g. Menyusun AD/ART klaster
h. Menyusun rencana bisnis
i. Pelaksanaan pembinaan klaster

Q2

Q3











Tahun ke-2
Q4

Q1





Q2









Q3









Q4

Tahun ke-3
Q1

Q2









Tahun ke-4

Tahun ke-5

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4























26

Tabel 5. Lanjutan
No

Kegiatan

Tahun ke-1
Q1

5.

5.

6.

Pengembangan Region Branding
a. Mengkaji citra kiwari
b. Membentuk POKJA
c. Identifikasi daya saing
d. Identitifikasi kelompok sasaran
e. Menentukan pesan inti
f. Mengkaji kesiapan
g. Mengukur kemajuan
h. Peluncuran dan Pemeliharaan
region branding
Monitoring dan Evaluasi PELD
a. Monitoring
b. Evaluasi
Fasilitasi PELD oleh TA
a. Tenaga Ahli PELD
b. Pendamping
PELD
untuk
PEMDA dan klaster

Q2




Q3

Tahun ke-2
Q4

Q1

Q2

Q3













Q4





Tahun ke-3

Tahun ke-4

Tahun ke-5

Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

Q3

Q4
























































































































27

Tabel 5. Lanjutan
No

Kegiatan

Tahun ke-1
Q1

7.

Pelatihan dan Studi Banding
a. Pelatihan Dasar PELD
c. Pelatihan VCA dan RALED
d. Pelatihan Penyusunan Master
Plan
e. Pelatihan
Pengembangan
Klaster dan Region Branding
f. Pelatihan
tentang
OVOP/OTOP/Klaster
g. Studi banding ke daerah yang
PELD-nya sudah maju seperti di
Provinsi Jawa Tengah
h. Studi Banding ke negara-negara
tetangga yang pengembangan
klaster/OTOP
sudah
baik
misalnya Thailand
i. Pelatihan
kerjasama
antar
daerah dalam bentuk regional
management/regional marketing

Q2

Q3

Tahun ke-2
Q4

Q1

Q2

Q3

Q4

Tahun ke-3
Q1

Q2

Q3

Q4

Tahun ke-4
Q1

Q2

Q3

Q4

Tahun ke-5
Q1

Q2

Q3

Q4










28

Daftar Rujukan
Anholt, Simon. 2005. Three interlinking concepts: Intellectual Property, Nation
Branding and Economic Development. WIPO International Seminar on
Intellectual Property and Development, Geneva, May 2-3, 2005.
Budiharsono, S. 2010. Pengembangan Ekonomi Lokal Wilayah Cirebon, The Hidden
Paradise B ehind The Mask. Makalah Workshop and Action Pembangunan
Ekonomi Kota Cirebon Berwawasan Lingkungan pada tanggal 1 Februari 2010
di Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Farinha, L., Ferreira, J. J. (2013). Triangulation of the Triple Helix: A Conceptual
Framework,
Triple
Helix
White
Paper.
http://www.triplehelixassociation.org/working-papers/triangulationof-thetriple-helix-a-conceptual-framework-wp-1-2013 7 March 2013
Ketels, C. H. M. and O. Memedovic. 2008. From Clusters to Cluster-based
Development. Int. J. Technological Learning, Innovation and Development, Vol.
1, No. 3, 2008, p: 375-392.
Leydesdorff, L. (2011). The Triple Helix, Quadruple Helix, …, and an N-Tuple of
Helices: Explanatory Models for Analyzing the Knowledge-Based Economy?
Journal of the Knowledge Economy. Doi: 10.1007/s13132-011-0049-4
Lengyel I. 2004: The Pyramid Model: Enhancing Regional Competitiveness in Hungary.
Acta Oeconomica, 54 (3) pp. 323-342.
Porter, M. E. 2000. Location, Competition, and Economic Development: Local
Clusters in a Global Economy. Economic Development Quarterly, Vol. 14 No. 1,
February 2000, p: 15-34.
Rodriguez-Pose, A. 2002. The role of the ILO in implementing local economic
development strategies in a globalized world. ILO Geneva.