ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH (1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
93/PUU-X/2012 (STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA)
Oleh : Abdurrahman Rahim, SH.I.,MH 1*
Abstrak
Tulisan ini mengangkat tentang sejauh mana kewenangan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah umumnya dan perbankan syariah khususnya pasca
lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review
atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isu utama
sesungguhnya adalah sejauh mana pemahaman atas putusan MK benar-benar memberikan
kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke
Peradilan Umum. Lalu bagaimana dengan pilihan forum lain secara Non litigasi dalam
penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut, apakah ikut tidak berkekuatan hukum mengikat lagi?
Tulisan ini bisa dikatakan bersifat deskriptif analitis dalam penyajiannya, dimulai dari
penyajian kewenangan PA pasca Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan
Agama, berlanjut kepada pasca Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah dan pada akhirnya Pasca Putusan MK sendiri. Data-data yang digunakan adalah data
primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara dengan Ketua Mahkamah
Konstitusi pasca putusan MK yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis.
Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik
secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No 21

tahun 2008 tidak lagi mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali.
Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah, namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di
Peradilan Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan
Agama (non litigasi) dapat dibenarkan manakala ada kesepakatan tertulis terlebih dahulu
diantara para pihak dan forum penyelesaian tersebut tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah (pasal 55 ayat 2 dan 3).
Tulisan ini sangat disadari banyak kekurangan dari segala sisi baik cara penulisan hingga
pemaparan analisisnya, saran dan kritik sangat membantu penulis untuk memperbaikinya di
masa yang akan datang.

I.

PENDAHULUAN
Jauh sebelum putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diketok pada tanggal 29
Agustus 2013, polemik mengenai pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk dijudicial
review sudah sering diangkat dalam diskusi-diskusi, seminar, penelitian, jurnal bahkan sudah
1


*Hakim pada Pengadilan Agama Sambas-Kalimantan Barat

1

2

pernah diajukan materi permohonan serupa ke MK oleh seorang dosen Universitas Islam
Indonesia bernama Dadan Muttaqien meskipun pada akhirnya dicabut (hukumonline.com).
Hasil penelitian atau seminar seakan mengerucut kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah akan menuai pertentangan di kemudian
hari dikarenakan salah satu materi Undang-Undang tersebut, yaitu Pasal 55 ayat 2 dan 3
beserta penjelasannya berpotensi menimbulkan legaldisorder (kegaduhan hukum). (Tesis.
Abdurrahman Rahim, UGM: 2011)
Pasal 55
(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
isi akad.
(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh

bertentangan dengan prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55
(1) Cukup jelas
(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah
upaya sebagai berikut;
a. Musyawarah;
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas.
Dalam Pasal 55 ayat 1 tersebut secara jelas menyatakan bahwa lembaga yang
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan Agama. Hal ini
memperkuat atau sejalan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006 tentang Peradilan Agama bahwa “Pengadilan Agama bertugas, berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang; …(i) ekonomi syari’ah”. Secara yuridis tidak ada yang dilanggar dalam Pasal

3


55 ayat 1 tersebut dikarenakan telah singkron dengan Undang-Undang yang mengatur
sebelumnya.
Dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dinyatakan
apabila para pihak memperjanjikan maka penyelesaian dapat dilakukan sesuai akad. Manakala
dilihat pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 tersebut, pilihan penyelesaian sesuai akad tersebut
“dibatasi” di antaranya melalui jalur non litigasi dan litigasi. Diantara pilihan melalui non
litigasi adalah jalur musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas), sementara jalur litigasi adalah melalui Peradilan Umum.
Hasil analisa yuridis bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme penyelesaian
sengketa ekonomi syariah, dimana Pasal 55 ayat 2 memberi ruang yang sama dalam hal
kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada “Peradilan Umum”. Ketua
Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, DR. H. Andi Syamsu Alam, SH,.MH
menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang bahwa yang berwenang
mengadili sengketa Perbankan syari'ah adalah dua badan peradilan yaitu Peradilan Agama
dan juga Peradilan Umum.
“pada waktu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 lahir, PA secara Absolut
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syari'ah, adanya
undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah ada pandangan
pembuat Undang-Undang bahwa dua-duanya (PA-PN) berwenang mengadili, kita

tidak tahu mengenai politik hukumnya kenapa sampai ini terjadi karena itu wewenang
pemerintah dan DPR,” (wawancara, 29 Nopember 2010 di ruang Kerja Tuada Uldilag
MARI)
Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 secara yuridis dinilai
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Kenapa Undang-Undang yang datang kemudian bisa bertentangan dengan Undang-Undang
yang sebelumnya sudah mengatur tentang forum penyelesaian sengketa? Disinilah mulai
perdebatan panjang mengenai produk hukum Undang-Undang tentang Perbankan Syariah
yang pertama kali lahir hingga pada lahirnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.
Pertanyaan tentang kenapa dan apa faktor penyebab yang melatarbelakangi lahirnya
Pasal 55 ayat 2 “pasal banci” tersebut dapat dijawab dan dianalisa dengan berbagai disiplin
ilmu dan cabang pohon ilmu hukum. Salah satunya penelitian yang sudah pernah penulis
lakukan medio tahun 2008-2010 mengenai faktor politik hukum seperti apa yang mampu

4

melahirkan Pasal 55 ayat 2 sehingga menjadi masalah dikemudian hari. Salah satu data yang
perlu dikaji untuk mengetahuinya tentu dengan menganalisa risalah persidangan pembahasan
dari awal hingga menjadi Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dengan
mengkaji risalah sidang pembahasan pembuatan Undang-Undang, setidaknya dapat

menganalisa tarik ulur serta perdebatan apa yang berlangsung selama pembahasan sehingga
dapat ditarik kesimpulan mengenai faktor kepentingan apa yang menyusupi pikiran para
pembuat Undang-Undang serta kemana arah politik hukum saat pembuatannya. Namun pada
kesempatan kali ini penulis akan mencoba fokus kepada pembahasan mengenai kewenangan
PA pasca putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.
II. PEMBAHASAN
A. Tarik Ulur Kewenangan Peradilan Agama Dalam Undang-Undang Nomor 3

tahun 2006
Diangkatnya point tersebut di atas bukanlah tanpa alasan, timbul pertanyaaan bukankah
tonggak kebangkitan Peradilan Agama secara yuridis telah dimulai pasca undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama atau setidak-tidaknya bergeser ke belakang
lebih jauh sejak dilahirkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Alasan
Pertama, setidaknya lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan tonggak
sejarah di era milinium dimana Peradilan Agama bangkit dari masa kelam dan menggeliat
dengan diberikannya kewenangan baru di luar kewenangan menangani masalah perdata
keluarga yang secara politik hukum merupakan suatu pergeseran yang signifikan dari
pembuatan Undang-Undang Peradilan Agama.
Kedua, Perdebatan mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menangani
sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah khususnya jika ditarik benang merahnya

dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Secara politik hukum
pembuatan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 di DPR RI kala itu sangat kental indikasi
adanya upaya “pengkerdilan tersistematis” oleh pihak yang tidak “senang” dengan
diperluasnya kewenangan PA. Ada beberapa catatan penulis tentang perubahan mendasar atau
dengan meminjam istilah Dr. Jaenal Aripin sebagai “perubahan fundamental” yang diberikan
kepada PA yang sarat dengan perdebatan di legislasi;

5

Pertama, dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris. Hak opsi menurut
Abdullah Tri Wahyudi dalam (Anshori, 2007: 51) adalah hak untuk memilih sitem hukum
yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam
penyelesaian suatu perkara. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum butir kedua bahwa “Bidang
kewarisan adalah mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan tersebut, bilamana berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut
para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan”.

Dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan hak opsi telah
dihapuskan. Sehingga kewenangan PA semakin kokoh dan tidak lagi seperti kerakap di atas
batu, dimana saat hak opsi diberlakukan bagi orang Islam maka terbuka peluang yang sangat
besar terhadap pengenyampingan hukum Islam oleh penganutnya sendiri. Peradilan Agama
ibaratkan punya “gigi tapi tumpul” punya kewenangan tapi tidak sepenuhnya diberikan karena
“umatnya” sendiri dapat berpaling dari Peradilan Agama yang notabene menyelesaikan
dengan sistem hukum Islam. (Basiq jalil,2006: 3)
Penghapusan hak opsi dalam menyelesaikan sengketa kewarisan dalam UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 tersebut menurut Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama,
Akil Mukhtar, secara sosiologis sudah benar karena umat Islam punya hak untuk bisa
mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’ah/Agama Islam. Hukum waris Islam
merupakan wilayah Agama dan diatur dalam syari’at Islam, maka untuk menyelesaikannya
sudah tentu lembaga litigasi yang subjek hukumnya orang-orang Islam yaitu Peradilan
Agama.
“landasan sosiologisnya jelas bahwa umat Islam mempunyai hak untuk mengikuti
hukum-hukum yang berkaitan dengan Islam khususnya konteks kemasyarakatan,
Negara kita mengakui hal ini, kalau hak opsi diberikan tidak tepat, karena lembaga

Peradilan yang subjek hukumnya orang Islam ya Peradilan Agama. Kenapa harus
diberikan opsi lagi, itulah makanya dulu hak opsi dihapuskan pada Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama itu” (wawancara dengan Ketua Panja
(panitia kerja) RUU Peradilan Agama Dr. Akil Mukhtar, tanggal 27 April 2010 di ruang
kerja Mahkamah Konstitusi)

6

Kedua, sengketa kepemilikian. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 diatur
manakala terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lainnya selama subjek
hukumnya adalah orang-orang Islam maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang tersebut.
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut
diputus oleh pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49.

Sebelumnya dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan dalam perkara yang
menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sengketa tersebut terlebih dahulu diselesaikan dalam
lingkungan Peradilan Umum. Hal ini menurut penulis sangat merugikan secara politik hukum
dalam hal penegakan/implementasi hukum dalam masyarakat. Di satu sisi Undang-Undang
sudah memberikan kewenangan mengadili tetapi dalam hal yang sama Undang-Undang juga
membatasinya, sehingga terkesan bahwa Undang-Undang tidak bersunguh-sungguh
memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama.
Ketiga, asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Menurut penulis hal ini dapat
dikatakan sebagai suatu perubahan mendasar dan fundamental dari lahirnya Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006. Sebagaimana diketahui bahwa asas yang berlaku pada Peradilan Agama
salah satunya ialah “Asas personalitas keIslaman”. Artinya bahwa Pengadilan Agama hanya
menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu sebagaimana kewenangan yang diberikan
kepadanya selama subjeknya adalah orang-orang yang beragama Islam saja. Sebagaimana
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang..”
Menurut Anshori (2007:62-63) indikator untuk menentukan kewenangan Peradilan
Agama adalah Pertama, Agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hukum
adalah Agama Islam, Kedua, hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan


7

hukum Islam, jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka terhadap kedua belah pihak
yang bersengketa tidak berlaku asas personalitas keIslaman.
Namun dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang
beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Maksud dari Undang-Undang tersebut seperti dijelaskan oleh Ketua Panja RUU tentang
Peradilan Agama Akil Mukhtar, bahwa yang dapat ditundukkan atau yang dapat tunduk
kepada kewenangan Pengadilan Agama bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja,
tetapi siapapun baik personal (perorangan) maupun badan hukum, muslim maupun Non
muslim boleh menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama selama menundukkan dirinya
terhadap hukum Islam secara sukarela. Sebagaimana kutipan wawancara dengan Akil
Mukhtar;
“kalau dulu Peradilan Agama hanya boleh mengadili orang-orang yang secara formil
dapat dibuktikan dia bergama Islam saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 7 tahun 1989, namun sekarang sudah diperluas bahwa siapapun
selama dirinya menundukkan diri kepada hukum Islam secara sukarela maka boleh
menyelesaikan perkaranya di Peradilan Agama, hal ini seiring dengan pemberian
kewenangan kepada Peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka
demikianlah politik hukumnya saat itu” (wawancara tanggal 27 April 2010 di ruangan
kerja hakim Mahkamah Konstitusi).
Sudah jelas bahwa latar belakang dimasukkannya asas penundukan diri terhadap hukum
Islam adalah dikarenakan perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Sebab dalam perspektif praktek bisnis syariah sangat
dimungkinkan keterlibatan Non Muslim sehingga diperbolehkan bagi dirinya untuk tunduk
terhadap hukum Islam.
Keempat, perluasan kewenangan PA dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
atau dalam bahasa belanda berarti “compettentie”. Pasal 49 huruf (i) undang-undang Nomor 3
tahun 2006 (lihat bunyi pasal di atas) PA telah diberikan kewenangan dalam menyelesaikan
sengketa Ekonomi Syariah.

8

Ada tiga kewenangan Peradilan Agama dalam UU tersebut yang terbilang masih baru,
diantaranya kewenangan menyelesaikan perkara Zakat, infaq dan sengketa ekonomi syariah.
Namun yang menjadi fokus penelitian ini adalah kewenangan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ekonomi syari’ah sendiri sangat luas sekali
cakupannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
Tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, meliputi; a. Bank
syari’ah, b...dst.
Siapa sangka proses lahirnya pasal 49 huruf (i) begitu alot dan penuh perjuangan,
terlebih perjuangan meyakinkan para pembuat Undang-Undang dan pemerintah akan kesiapan
PA serta mematahkan stigma negatif mereka terhadap PA. Berbagai resistensi (penolakan)
dari berbagai pihak dan meragukan kemampuan Peradilan Agama mengemban amanah baru
tersebut khususnya menyelesaikan Ekonomi Syari’ah.
Alasan ketidakmampuan hakim Peradilan Agama dalam meyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah diakui Akil Mukhtar mantan mantan ketua Panitia Kerja (Panja) RUU
Peradilan Agama sebagai alasan yang tidak bisa diterima dari sisi akademis, yuridis maupun
sosiologis. Hakim Peradilan Agama tentu lebih paham mengenai ekonomi syariah ketimbang
hakim dari peradilan lainnya sebab secara akademisi sebagian besar hakim PA adalah lulusan
Hukum Syariah dan secara yuridis bahwa hukum Islam diakui oleh negara untuk boleh tunduk
kepadanya dan menjadikannya hukum positif.
“Argumentasi di DPR bahwa ketidakmampuan PA dalam menyelesaikan perkara
ekonomi syari’ah sangat sulit diterima mengingat masyarakat Indonesia yang
beragama Islam itu punya landasan hukum yang kuat yang diakui oleh negara bahwa
ia bisa tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum positif yang bisa mengikat
masyarakat Indonesia,” (wawancara dengan Akil Mukhtar, Gedung MK tanggal MK,
27 April 2010).
B. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah.
Seperti yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, tulisan ini tidak akan mengupas
lebih dalam bagaimana politik hukum saat RUU Perbankan Syari’ah ini dibahas di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR-RI), bagaimana perdebatan antara pemerintah dan DPR-RI, pro

9

kontra dan kompromi-kompromi apa yang terjadi dalam pembahasan. Namun Pasal yang
paling krusial dan menuai pro kontra adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
perbankan syariah dalam pasal 55 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 55
(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
isi akad.
(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55
(1) Cukup jelas
(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah
upaya sebagai berikut;
e. Musyawarah;
f. Mediasi perbankan;
g. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
h. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.
(3) Cukup jelas.
Berdasarkan hasil analisis yuridis bahwa pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme
lembaga litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, di satu sisi diberikan kewenangan
mutlak kepada Peradilan Agama (pasal 55 ayat 1), dan disisi lain dibuka kran penyelesaian di
pengadilan umum (Pasal 55 ayat 2). (Rahim, Abdurrahman, Tesis, UGM; 2009-2010)
Disadari betul oleh para akademisi khususnya warga Peradilan Agama bahwa ada
penyimpangan makna dari pasal 55 ayat 2 tersebut. Saat penulis melakukan penelitian (tesis)
mengenai Politik Hukum dibalik lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, seperti
disinggung di atas, Ketua Kamar Agama MARI DR. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH
menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang dimana PA dan PN sama-sama
diberikan kewenangan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

10

Hasil analisis yuridis Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pasal
55 ayat 2 tersebut juga berpotensi menyebabkan kekacauan hukum karena antara ayat 1
dengan ayat 2 dari Pasal 55 tersebut saling bertentangan. Ada pilihan forum (choice of forum)
dua lembaga litigasi dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah.
Pertama, Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut telah menyatakan dengan tegas lembaga
yang berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan
Agama. Kedua, ayat 2 menyatakan jika telah diperjanjikan atau jika para pihak telah
melakukan akad terlebih dahulu maka boleh merujuk kepada isi akad tersebut. Makna dari
ayat 2 tersebut mengandung kebebasan berkontrak dari para pihak dalam melakukan suatu
akad. Hal ini sebenarnya sudah sesuai atau sejalan dengan asas hukum perikatan atau hukum
perjanjian Islam dan teori hukum perjanjian dan ketentuan tersebut terkait dengan asas
kebebasan berkontrak.
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan.
Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan
isinya, maka mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak
dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut, artinya sepanjang tidak bertentangan
dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman
Djamil, Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad
sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran
Agama. (Djamil, 2001:249).
Demikian pula Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata
“semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, dan d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.
Salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Subekti (2001:20) adalah
sebab yang halal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab yang
dimaksud dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. KUHPerdata tidak

11

secara tegas memberikan pengertian mengenai sebab yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata
menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari Pasal ini dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah bahwa perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Berkaitan dengannya bahwa Pasal 55 Ayat 2 tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal
55 ayat 1 dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, oleh sebab itu apabila kontrak yang dibuat bertentangan dengan hukum maka
akibatnya batal demi hukum. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat 1
dari Pasal 55 tersebut merupakan pasal induk yang mengatur soal kewenangan dan sesuai
menurut aturan hukum, sedangkan ayat 2 tersebut hanyalah Pasal alternatif dan Pasal
alternatif tidak boleh bertentangan dengan Pasal induknya. (wawancara, 24 April 2010,di
UMJ Jakarta dan Mimbar Hukum, edisi 70 hal 22). Pertanyaannya adalah kenapa Pasal itu
lahir sedangkan bertentangan dengan hukum.? Hal ini kembali kepada makna dan kembali
kepada politik hukum pembuatan Perundang-Undangan yang melatar belakanginya.
Bahkan Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 terdapat ketentuan yang bersifat ketentuan menghindar dari keadaan
normal (exilled clausule) atau bisa dikatakan sebagai ketentuan khusus dari keadaan umum
(speciallis clousule), dimana ketentuan ayat (2) tersebut bukanlah Lex Specialis

tetapi

ketentuan yang yang mengatur adanya akad atau kesepakatan yang harus dilakukan ataupun
yang harus tidak dilakukan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa bahwa jika ayat 2
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tersebut bersifat Exilled clausule maka ayat 2 tersebut
adalah norma yang seharusnya tidak ada, sebab sudah jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 1,
namun karena adanya faktor (X ) hal itu dapat “dipaksakan” muncul meskipun mengandung
pertentangan dengan Pasal induknya yaitu Pasal 1.
Dengan kata lain bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut adalah Contradictio Interminis
(kesepakatan yang lahir karena dipaksakan) sehingga untuk mengetahui makna dari
Contradictio Interminis tersebut harus kembali kepada proses pembuatan Undang-Undang
untuk menilai kekuatan politik hukum mana yang dominan sehingga bisa didapatkan norma
idealnya (Ideal Norm).

12

Jika kembali melihat pendapat pertama di atas, bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut
bertentangan dengan ayat (1) maka sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan di sana karena
pada dasarnya Pasal (2) tersebut adalah kondisi yang dipaksakan. Dengan demikian ayat 2
sesungguhnya dipahami tidak mereduksi ketentuan Pasal 1 tentang kewenangan Peradilan
Agama, karena ketentuan Pasal 55 ayat (2) mengandung makna:
(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah
upaya sebagai berikut;
a. Musyawarah;
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum
Dalam bunyi Pasal tersebut tidak terkandung adanya kewenangan baru yang diberikan
kepada Peradilan Umum, namun ayat tersebut hanya menyiratkan bahwa adanya pilihan
forum saja (Choice Of Forum) sekaligus membuat norma di atas norma induknya, jadi tidak
menambahkan kewenangan forum (Choice of Jurisdictie). Oleh sebab itu kalangan yang
masih menganggap bahwa kewenangan Peradilan Agama direduksi/diambil oleh Peradilan
Umum adalah tidak tepat karena bukan itulah yang dimaksud oleh Undang-Undang. Tidak
dapat dipungkiri bahwa hanya segelintir orang yang mengerti akan hal ini karena sekilas tanpa
melakukan pengkajian dan penelitian maka masyarakat bahkan praktisi hukum pun akan
langsung mengambil kesimpulan secara langsung bahwa telah terjadi perebutan kewenangan
PA oleh PN.
Setelah dianalisa dan dicermati secara seksama, bagaimanapun Pasal 55 Ayat 2 ini
mengandung kalimat bersayap dan multi interpretasi. Sehingga sudah pasti yang sangat
dirugikan secara kewenangan adalah Peradilan Agama. karena seyogyanya PA semakin
diperkuat pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
namun faktanya berbeda bahwa seolah-olah Peradilan Agama kembali mundur, ibarat punya
senjata tetapi tumpul kembali.

C. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012

Setelah hampir satu tahun bergulir permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi akhirnya selesai. Tepat pada Tanggal 29

13

Agustus 2013 Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012. Materi
yang diuji tidak lain adalah pasal 55 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang tersebut. Adapun amar
putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sebagai berikut;
MENGADILI,
Menyatakan:
1.

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2.

Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

3.

Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Setelah membaca dengan seksama, bagaimana sesungguhnya Putusan MK tersebut dan
kalaupun tidak mau disebut istimewa tapi apakah putusan tersebut mampu menjawab dari
segala bentuk sengkarut dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang dualisme
penyelesaian sengketa perbankan syariah? Ada beberapa pertanyaan mendasar pasca putusan
tersebut;
1.

Kenapa MK menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan
Undang-Undang dasar 1945? Bukankah yang diminta pemohon adalah Pasal 55
ayat 2 dan 3?

2.

Apakah penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi yang tertera
dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 juga ikut dinyatakan tidak berkekuatan hukum
tetap semuanya, sebab amar putusan mahkamah menunjuk secara keseluruhan?

14

3.

Dan apakah putusan ini betul-betul menyatakan PA satu-satunya lembaga
penyelesaian sengketa perbankan syariah?

Jika kita baca dan fahami dengan seksama pertimbangan Mahkamah Konstitusi, dari
sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, semuanya sepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat 2
dan 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm)
tidak mengandung permasalahan konstitusional. Sebaliknya semua hakim Mahkamah
Konstitusi satu suara bahwa yang mempunyai masalah konstitusional ketika penjelasan pasal
55 ayat 2 Undang-Undang tersebut muncul.
Pasal 55
(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
isi akad.
(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55
(1) Cukup jelas
(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah
upaya sebagai berikut;
i. Musyawarah;
j. Mediasi perbankan;
k. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
l. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.
(3) Cukup jelas
8 orang hakim dari total 9 orang hakim MK sepakat menyatakan bahwa penjelasan
pasal 55 ayat 2 di atas bertentangan dengan konstitusi secara keseluruhannya (lihat bunyi
penjelasan pasal di atas), sehingga penjelasan tersebut tidak lagi berkekuatan hukum tetap
sejak putusan dijatuhkan. Artinya proses penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non
litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah) dan Litigasi (Peradilan
Umum) semuanya.

15

Sementara itu hanya 1 orang hakim MK (Muhammad Alim) yang mempunyai Pendapat
berbeda (disetting opinion) dari 8 orang hakim MK lainnya. Muhammad Alim justeru
berpendapat bahwa hanya penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) (Peradilan Umum) yang
mempunyai masalah konstitusi dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang dasar
1945, sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf a, b, dan c (Musyawarah, mediasi
perbankan dan Arbitrase Syariah) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
penjelasan tersebut dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan prinsip syariah.
Penulis berasumsi pemahaman amar putusan MK berpotensi dipahami oleh pembaca
secara bias, dimana penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar peradilan) sudah
ditiadakan sehingga dipahami hanya Peradilan Agama satu-satunya lembaga penyelesaian
sengketa perbankan syariah? Tetapi jika ada, asumsi demikian adalah keliru sebab tidak
demikian maksud putusan MK.
Jelas, bahwa MK dalam amarnya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 secara
keseluruhan bertentangan dengan konstitusi kita. Ada beberapa alasan kenapa MK
menjatuhkan putusan demikian, Pertama, seperti telah disinggung di atas bahwa norma utama
(ideal Norm) adalah pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 dan secara konstitusi
dibenarkan dalam Undang-Undang. Alasan yuridisnya bahwa perbankan syariah adalah
wilayah muamalat/perdata/private dimana sangat bersinggungan dengan perikatan atau
perjanjian diantara 2 atau lebih para pihak dan padanya melekat asas kebebasan berkontrak,
termasuk kekebasan para pihak memilih forum untuk menyelesaikan sengketa. Sehingga pasal
55 ayat 2 dan 3 tetap berlaku. Kedua, pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 adalah
norma utama atau Norma induk, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2 dan 3 hanyalah
penjabaran makna dari pasal induknya (yaitu pasal 55 ayat 2). Ketika penjelasan atau
penjabaran makna dari suatu pasal induk dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka
sesungguhnya tidak serta merta pasal yang dijelaskannya ikut menjadi bertentangan, sebab
dalam teori pembuatan peraturan Perundang-undangan penjelasan pasal hanya berfungsi
menjelaskan maksud pasal induknya dan tidak boleh membuat norma diatas norma induknya.
Dalam kasus ini sesungguhnya tanpa penjelasan, pasal 55 ayat 2 dan 3 tersebut sudah bisa
mengakomodir maksud dari pembuat Undang-Undang dan tentunya tidak bertentangan
dengan konstitusi.

16

Jika dianalisis kembali, sudah terang bahwa penjelasan pasal 55 ayat 2 membuat norma
baru, yaitu adanya opsi Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
Padahal dalam pasal induknya pasal 55 ayat 1 (selain pasal 55 ayat 2 dan 3) sudah jelas
ditentukan sebuah norma bahwa Peradilan Agama adalah lembaga penyelesaian secara
litigasi. Hal ini jelas bertentangan baik secara teori pembuatan peraturan perundang-undangan
maupun asas kepastian hukum yang wajib dalam sebuah produk peraturan-perundangundangan.
Dengan demikian, ada beberapa ketentuan yang dapat dipahami dari analisis putusan
MK tersebut;
1.

Keputusan MK mengakibatkan secara yuridis bahwa semua “pembatasan”
pilihan forum (choice of forum) penyelesaian sengketa yang tertera dalam
penjelasan pasal 55 ayat 2 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik
penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi.

2.

Segala ketentuan dari penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus kembali
kepada pasal induk yaitu pasal 55 ayat 1, 2, dan 3 sehingga choice of forum tetap
berlaku;

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar menjelaskan bahwa setelah penjelasan pasal
55 ayat 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat, maka
pengguna (user) Undang-Undang harus kembali kepada ketentuan dasarnya yaitu pasal 55
ayat 1, 2 dan 3.
“Semua penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut batal, maka untuk menyelesaikan sengketa
perbankan harus kembali kepada ketentuan dasar yang mengikat, yaitu pasal 55 ayat 1,
2 dan 3” (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 19.57
WIB).
Dengan demikian, sudah terjawab bagaimana menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
dan lembaga litigasi mana berwenang secara mutlak, maka dari analisa di atas dapat ditarik
untuk menjawab hal tersebut;

17

1. Pasal 55 ayat 1 secara tegas memberikan kewenangan kepada PA sebagai satu-

satunya lembaga peradilan (litigasi) yang berwenang “menyelesaikan” sengketa
perbankan syariah;
2. Pasal 55 ayat 2 secara tegas menentukan norma bahwa para pihak yang bersengketa

diberikan peluang untuk memilih penyelesaian (choice of forum) sengketa diluar
Peradilan Agama (litigasi), manakala para pihak memperjanjikan maka penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai akad (non Litigasi).
Barangkali akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin choice of forum penyelesaian
diluar peradilan Agama tetap dibenarkan/diperbolehkan, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2
sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Lebih lanjutnya apakah
penyelesaian sengketa perbankan secara non litigasi (musyawarah, mediasi perbankan,
arbitrase syariah) tetap berlaku?
Jawabannya choice of forum di luar PA tetap berlaku dengan ketentuan;
1. Pilihan forum (chice of forum) tetap dibenarkan selama tidak bertentangan dengan

sesuai prinsip-prinsip syariah;
Pasal 55 ayat 3
“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip Syariah.
Akil Mukhtar menjelaskan bahwa choice of forum yang dimaksud tersebut tetap
dalam koridor selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan prinsip
syariah.
“di dalam ekonomi syariah terdapat bentuk-bentuk penyelesaian di luar peradilan
yang dibenarkan menurut prinsip-prinsip syariah sehingga koridor choice forum
diluar PA itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip syariah” (wawancara dengan
Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 20.03 WIB).
Yang dimaksud dengan forum penyelesaian tidak bertentangan dengan prinsip
syariah tersebut jika kembali kepada teori perbankan pada umumnya ada beberapa
penyelesaian sengketa di luar peradilan (litigasi) yang lazim dilakukan dan
sepanjang pengertian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tidak bertentangan,
diantaranya;

18

a.

Musyawarah Internal;
Diantaranya dengan jalan merevitalisasi proses yaitu dengan evaluasi ulang
pembiayaan dengan jalan Rescheduling atau perubahan menyangkut jadwal
pembayaran, Restructuring yaitu dengan perubahan sebagian atau seluruh
ketentuan-ketentuan pembiayaan, Reconditioning yaitu perubahan sebagian
atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan termasuk perubahan jangka
waktudan persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut saldo, Bantuan
Management yaitu penempatan sumber daya insani pada posisi manajemen
oleh bank.

b.

Alternative Dispuste Resolution (ADR)
Yaitu Alternatif penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak di luar pengadilan, diantaranya dengan jalan
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.

c.

Arbitrase Syariah (Basyarnas)
Basyarnas adalah satu penyelesaian sengekta di luar pengadilan (non litigasi)
setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak tercapai. Namun
penyelesaian melalui Basyarnas dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan
dan dicantumkan dalam akta akad sejak awal sebelum sengketa (pactum de
Comprimittendo)

2. Pilihan penyelesaian sesuai akad (choice of forum) adalah second choice (pilihan

kedua) bilamana para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui PA
3. Pilihan Forum (choice of forum) penyelesaian sengketa perbankan syariah atau

ekonomi syariah harus “diwajibkan” untuk membuat kesepakatan tersebut secara
tertulis dan di dalam akta tersebut lengkap termuat mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Lihat pertimbangan MK hal 36-37
“[3.20] Menimbang bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk
penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para
pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan Agama.

19

Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus
bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa
bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan Agama.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang
terkait dengan masalah yang diangkat;
1. MK hanya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan

konstitusi dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal
55 ayat 2 sebagai pasal dasar induk) tetap mengikat;
2. Pembatasan pilihan forum (choice of forum) dalam penjelesan pasal 55 ayat 2, baik

melalui non litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan, Arbitrase syariah) dan pilihan
litigasi (Peradilan Umum) semuanya dinyatakan melanggar konstitusi dan tidak
mengikat lagi ;
3. Peradilan

Agama

adalah

satu-satunya

lembaga

peradilan

yang

berwenang

menyelesaikan sengketa Perbankan syariah dan ekonomi syariah umunya serta tidak
ada lagi dualisme kewenangan absolut lembaga peradilan antara PA dan PN;
4. Penyelesaian sengketa sesuai akad diperkenankan oleh Undang-Undang untuk

memilih forum penyelesaian di luar Peradilan Agama bilamana para pihak
menyepakati dalam akad secara tertulis dan jelas.
5. Ketentuan

pemilihan

penyelesaian

sesuai

akad

diluar

pengadilan

Agama

diperbolehkan oleh Undang-Undang selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah.

20

Daftar Pustaka
A. Buku
Anshori, Abdul Ghofur, 2007,Peradilan Agama Di indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006,
Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, UII Press, Yogyakarta
Antonio, M. Syafe’I, 1994, Prinsip Dasar Operasi Bank Muamalat Dan BPRS Dalam
Arbitrase Islam Di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta.
Aripin, Jenal, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai reformasi Hukum di Indonesia, Prenada
Media, Jakarta.
Djamil, Faturrahman, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, Dalam Kompilasi Hukum Perikatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung
Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta.
_______________, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Proses dan Teknik Pembentukannya ,
Kanisius, Yogyakarta.
Jalil, Basiq., 2006, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum
(Hukum Isam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama
Pasang Surutnya Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam di
Aceh), Kencana, Jakarta.
Lev, Daniel., 1979, Peradilan Agama Di iIndonesia, Suatu Studi Tentang Landasan Politik
Lembaga-lembaga Hukum, PT. Intermasa, Jakarta.
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
B. Undang-Undang
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 1980
nomor 49.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 2006 nomor 22.
Undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Peraturan PerUndangundangan, Lembaran Negara tahun 2004 nomor 53.
Undang-undang No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara tahun
2008 nomor 94.
Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara nomor 2009 nomor 159.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibyo, Cet. 8, Pradya paramitha, 1976

21

C. Website
www.mahkamahagung.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id
www.badilag.net
www.hukumonline.com