Tinjauan Yuridis Terhadap Adanya Wanprestasi Dalam Memorandum Of Understanding Antara PT. Matahari Anugerah Perkasa Dengan CV. Ponorogo Di Kota Medan.
BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI MOU APABILA TERJADI WANPRESTASI DALAM PROSES PELAKSANAAN MOU DI INDONESIA Dilihat dari istilahnya Memorandum Of Understanding berasal dari dua kata,
yaitu Memorandum dan Understanding. Secara gramatikal Memorandum Of
Understanding
diartikan sebagai nota kesepemahaman. Dalam Black’s Law Dictiobary, yang dimaksud dengan Memorandum adalah “ dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang (is to serve as the basis of
future formal contrac) ,atau dapat diartikan bahwa memorandum itu sebagai
permulaan untuk mengadakan ikatan hukum atau perjanjian yang akan dituangkan dalam suatu akta yang autentik. Understanding diartikan sebagai : An implied
agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral.
Artinya, pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun tertulis.
Memorandum of Understanding
dalam pengertian idealnya sebenarnya merupakan suatu bentuk perjanjian atau kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak (prelimary understanding of parties) untuk melangkah kemudian pada penandatanganan suatu kontrak. Contohnya dalam suatu memorandum of understanding dicantumkan kalusula sebagai berikut :
This memorandum of understanding shall come into effect from the date hereof and continue until february 2004 in which period the parties shall negotiate
34
the terms and conditions of biding Agreement to be executed by the parties within the said period unless this MOU is terminated earlier in accordance with point 12 herein
. Dari pengertian tersebut, sejak awal para pihak telah mempunyai maksud untuk memberlakukan langkah tersebut sebagai bagian kesepakatan untuk bernegosiasi (agreement to negotiate). Karena itu, seharusnya tidak dimaksudkan untuk menciptakan akibat hukum (no intention to create legal relation) terhadap
44 konsekuensi pelaksanaan kesepakatan dari memorandum of understanding tersebut. .
Menurut Erman Radjagukguk Memorandum of Understanding mengandung pengertian sebagai dokumen yang memuat saling pengertian dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua belah pihak, oleh sebab itu muatan Memorandum of Understanding harus dituangkan
45 kembali dalam perjanjian sehingga menjadi kekuatan yang mengikat.
Salim H. S memberikan pengertian Memorandum of Understanding adalah “Nota kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antarnegara untuk melakukan kerja
46
sama dalam berbagai aspek kehidupan dan jangka waktunya tertentu” , sedangkan menurut I Nyoman Sudana menyatakan bahwaMemorandum of Understanding
47 merupakan perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya. 44 Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi & Bisnis Kontan, Jakarta, 2006, hal 37. 45 Erman Rajagukguk , Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik diIndonesia,Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal.4. 46 47 Salim H. S,Opcit, hal 47
INyoman Sudana dkk, 1998, Teaching Material Penyusunan Kontrak Dagang, Depok, Tanpa penerbit, hal. 9 Dengan kata lain dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang
48
didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan” Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, meliputi : 1) para pihak yang membuat Memorandum of Understanding tersebut adalah subjek hukum, baik berupa badan hukum publik maupun badan hukum privat.
2) wilayah keberlakuan dari Memorandum of Understanding itu, bisa regional, nasional, maupun internasional.
3) substansi Memorandum of Understanding adalah kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan.
49 4) jangka waktunya tertentu.
Menurut Munir Fuady mengartikan Memorandum of Understanding sebagai berikut : Suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan akan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya lebih detail, karena itu dalam
Memorandum of Understanding hanya berisikan hal-hal yang pokok saja.
Sedangkan mengenai lain-lain aspek dari Memorandum of Understanding relatif
50 sama saja dengan perjanjian perjanjian lainnya.
Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara Teoritis, dokumen Mou tidak mengikat secara hukum 48 49 Ibid, hal 46. 50 Ibid.
Munir Fuady, Op.cit, 91
51
agar mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian. Sama halnya dengan pendapat yang diberikan oleh
I Nyoman Sudana yang menyatakan bahwaMemorandum of Understanding merupakan perjanjian pendahuluan, dalam arti
52 akan diikuti perjanjian lainnya.
A. Kedudukan Memorandum Of Understanding Dalam Hukum Perjanjian.
Secara Internasional, di dalam sebuah perjanjian internasional yang menjadi subjek hukum dalam perjanjian tersebut adalah antar negara, oleh demikian ketentuan dalam perjanjian Internasional ini didasarkan pada Konvensi Wina 1969. Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur
mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata- mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen
51 Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Lentera Hati, Jakarta hal. 123. 52 I Nyoman Sudana dkk, 1998, Teaching Material Penyusunan Kontrak Dagang, Depok,Tanpa penerbit, hal. 9. Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli
53 hukum internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris).
Sedangkan secara Nasional, yang menjadi dasar hukum adanya Memorandum of
Understanding adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
54 Internasional. Dalam Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentangPerjanjian Internasional, telah disebutkan pengertian perjanjian internasional, yaitu : “Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik” .
Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, disebutkan bahwa : “Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain” Apabila kita perhatikan definisi dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka perjanjian internasional dalam prakteknya dapat disamakan
treaty convention
dengan : (perjanjian); (konvensi/kebiasaan internasional);
agreement
(persetujuan); Memorandum of Understanding (nota kesepahaman);
protocol
(surat-surat resmi yang memuat hasil perundingan); charter (piagam);
declaration
(pernyataan); final act (keputusan final); arrangement (persetujuan);
exchange of notes 53 (pertukaran nota); agreed minutes (notulen yang disetujui); http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk- pengaturan- perjanjian-internasional 54 Salim H. S, Op.cit, hal 48
summary records
(catatan ringkas); process verbal (berita acara); modus vivendi; dan
55 letter of intent (surat yang menungkapkan suatu keinginan).
Apabila kita perhatikan nama – nama tersebut, maka Memorandum Of
Understanding
yang di buat antara Negara yang satu dengan Negara yang lain termasuk dalam kategori perjanjian internasional sehingga di dalam Implementasinya berlaku kaidah – kaidah Internasional.
1. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian.
Suatu kontrak bisnis yang baik memerlukan suatu persiapan atau perencanaan yang baik sebelumnya. Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan-
56
tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1). Prakontrak yang mencakup proses :
a. Negosiasi
b. Memorandum of Understanding (MoU)
c. Studi kelayakan d. Negosiasi (lanjutan).
2). Kontrak
a. Penulisan naskah awal
b. Perbaikan naskah
c. Penulisan naskah akhir 55 56 Ibid, hal 51.
Marbun, B.N, , Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum, Jakarta, PuspaSwara, 2009, hal. 13 d. Penandatanganan. 3). Pascakontrak
a. Pelaksanaan
b. Penafsiran c. Penyelesaian sengketa.
Menurut teori baru, perjanjian tidak hanya dilihat semata-mata tetapi harus dilihat pembuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahapan dalam pembuatan perjanjian, yaitu : 1) Tahap pra-contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; 2) Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; 3) Tahap post-contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian
57 Adapun menurut Salim H.S, yang menjadi tahapan dalam perancangan
kontrak harus memenuhi delapan tahap
58
, yaitu : a. Penawaran Dan Penerimaan.
Dalam sistem Anglo Amerika, tahap penawaran dan penerimaan disebut dengan Offer dan acceptance. Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penwaran ini ditujukan kepada setiap orang. Acceptance adalah kesepakatan antara pihak 57 Salim, H.S,opcit, hal 16 58 Ibid, hal 83.
penerima dan penawar terhadap persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan itu harus bersifat absolut dan tanpa syaray atas tawaran itu. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan tawaran. Akan tetapi, dalam perundingan yang dilakukan dengan korespondensi, penerimaan yang dikirim dengan media yang sama dianggap sudah disampaikan b. Kesepakatan Para Pihak.
Kesepakan para pihak merupakan tahap persesuaian pernyataan kehendak para pihak tentang objek perjanjian. Dalam sistem Anglo Amerika, kesepakatan para pihak disebut dengan meeting of minds (persesuaian kehendak). Meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress), dan penyalahgunaan keadaan (undue influence), maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan.
c. Pembuatan Kontrak.
Pembuatan kontrak merupakan tahap untuk menyusun dan merancang substansi kontrak yang akan di setujui dan ditandatangani para pihak. Penyusunan dan pembuatan kontrak ini dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dengan menyiapkan rancanagan kontrak yang diinginkan oleh para pihak.
d. Penelaahan Kontrak.
Apabila rancangan kontrak telah selesai, maka tahap selanjutnya adalah melakukan penelaahan atau pengkajian terhadap substansi kontrak yang dirancang oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Tahap penelaahan kontrak merupakan tahap untuk mempelajari, menyelidiki, dan memeriksa substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Hal-hal yang ditelaah meliputi judul kontraknya, tanggal mulai berlakunya kontrak, komparisinya, pengaturan hak dan kewajiban para pihak, serta cara penyelesaian sengketa.
e. Negosiasi.
Negosiasi merupakan tahap untuk melakukan perundingan terhadap naskah rancangan kontrak yang telah disusun oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak.
Hal-hal yang dirundingkan meliputi pengaturan hak-hak dan kewajibanpara pihak, pilihan hukum, dan penyelesaian sengketa. Salah satu pihak selalu menginginkan agar substansi kontrak yang dirancangnya harus menguntungkan yang bersangkutan.
f. Penandatanganan Kontrak.
Tanda tangan kontrak merupakan tahap untuk menyetujui dan menandatangai kontrak yang telah disusun oleh para pihak. Sejak ditandanganinya kontrak, maka sejak saat itu timbullah hak dan kewajiban para pihak.
g. Pelaksanaan Kontrak.
Postcontractual Tahap pelaksannaan kontrak disebut dengan tahap .
Pelaksanaan kontrak merupakan tahap implementasi kontrak yang dibuat oleh para pihak, seperti para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak. h. Sengketa.
Tidak dilaksanakannya substansi kontrak dengan baik oleh salah satu pihak akan menimbulkan sengketa bagi para pihak. Penyelesaian sengketa meripakan tahap untup mengakhiri pertentangan, konflik, sengketa yang timbul antara kedua belah pihak./timbulnya sengketa ini karena salah satu pihak tidak melaksanakan substansi kontrak sebagaimana yang telah disepakati walaupun mereka telah diberikan somasi sebanyak tiga kali berturut-turut. Ada dua cara yang akan di tempuh oleh kedua belah pihak untuk meyelesaikan sengketa, yaitu dengan melalui penyelesaian diluar pengadilan dan melalui litigasi (pengadilan).
Pada dasarnya, kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat di bagi menjadi dua macam, yaitu kontrak berdimensi nasional dan kontrak yang berdimensi internasional. Kontrak yang berdimensi nasional merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak, yang pihaknya adalah warga negara Indonesia. Kontrak yang berdimensi internasional adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak, yang salah satunya pihaknya adalah warga negara asing atau badan hukum asing.
2. Kedudukan Memorandum Of Understanding sebelum adanya Perjanjian.
Secara teori Memorandum of understanding bukanlah merupakan suatu kontrak karena memang masih merupakan kegiatan pra kontrak. Karena itu, di dalamnya sengaja tidak dimasukkannya unsur “intention to create legal relation”
59 Memorandum of
oleh pihak yang melakukan tersebut. Pada dasarnya
Understanding 59 yang dibuat diantara para pihak hanya berisi hal-hal pokok saja, Munir Fuady, Opcit, hal 38. seperti kesepakatan mengenai apa yang menjadi objek perjanjian dan kesepakatan mengenai waktu pengerjaan. Didalam Memorandum Of Understanding, biasanya yang menjadi hak-hak dan kewajiban dari para pihak tidak dicantumkan, artinya pelaksanaan dari Memorandum Of Understanding tersebut hanya bermodalkan kepercayaan dari masing-masing pihak, yang mengakibatkan apabila terjadi sengketa dalam proses pelaksanaan dari Memorandum Of Understanding ini, pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut pihak yang lain atas dasar wanprestasi, atau dengan kata lain sanksi dari tidak dilaksanakannya kesepakatan tersebut hanya sebatas sanksi moral saja.
Ada beberapa hal yang perlu diteliti untuk menentukan apakah suatu
Memorandum Of Understanding
dapat dikatakan suatu kontrak atau tidak yaitu berdasarkan : (1) Materi/substansi dalam Memorandum Of Understanding
Materi atau substansi yang diatur dalam pasal-pasal Memorandum Of
Understanding
sangat penting untuk di teliti, karena di dalam Materi atau substansi tersebut dapat diketahui apakah hak dan kewajiban para pihak di dalam Memorandum
Of Understanding
tersebut sudah seimbang apa tidak, artinya didalam Memorandum
Of Understanding
tersebut antara hak-hak dan kewajiban para pihak telah diatur dengan terperinci atau secara detail. Pada prinsipnya didalam Memorandum Of
Understanding
hanya diatur mengenai unsur-unsur pokoknya saja, seperti objek perjanjian dan waktu perjanjian, maka Memorandum of Understanding semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final
60 dalam pembuatannya.
2. Adanya Sanksi.
Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu
61
kontrak, artinya Memorandum Of Understanding bukanlah merupakan suatu perjanjian apabila hanya memiliki sanksi moral saja. Oleh karena itu didalam
memorandum Of Understanding
tersebut haruslah mengatur sanksi hukum yang tegas. Maksudnya adalah dalam proses pelaksanaan Memorandum of Understanding apabila terjadi sengketa atau salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah diperjanjikan, maka pihak yang dirugikan akan mendapat perlindungan hukum, dan perlindungan hukum tersebut berupa penggantian biaya kerugian atas dasar gugatan wanp restasi terhadap pihak yang tidak melaksanakan prestasinya sesuai yang diperjanjikan.
Dengan demikian Memorandum Of Uderstanding yang merupakan Nota Kesepahaman yang dibuat para pihak tentang suatu kesepakatan, haruslah ditindak lanjuti dengan membuat akta otentik yang di buat di hadapan notaris sebagai tindak lanjut dari Memorandum Of Understanding tersebut agar memiliki kekuatan hukum. Akan tetapi apabila dalam proses pelaksanaannya, Memorandum Of Understanding tersebut tidak ditindak lanjuti dengan membuat akta otentik yang diperbuat di hadapan noteris, maka daya mengikat dari Memorandum Of Understanding tersebut, 60 61 Ibid, hal 32 Ibid, hal 11 hanya sebatas moral saja. Hal ini sesuai dengan pendapat sebahagian para ahli yang mengemukakan bahwa Memorandum Of Understanding adalah merupakan
Gentlemen Agreement
, maksudnya adalah kekuatan mengikatnya suatu Memorandum
of Understanding
tidak sama dengan perjanjian biasa, sungguh pun Memorandum of
Understanding
dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun. Oleh karena itu menurut pendapat golongan ini, Memorandum of
Understanding
mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.
3. Kedudukan Memorandum Of Undesrtanding Dalam Perjanjian.
Berbicara mengenai memorandum of understanding, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar, oleh karena Memorandum Of Understanding itu pada akhirnya akan dilanjutkan dengan suatu perjanjian yang mengikat dan yang melahirkan tanggungjawab diantara para phak selanjutnya. Namun karena
Memorandum of Understanding
dibuat sebagai dasar untuk suatu perikatan atau perjanjian ,hal itu tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan bagaimna untuk membuat suatu perjajian. Memorandum of Understanding yang dibuat oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban diantara mereka, dan secara norma hukum hal itu menjadi ketentuan yang melahirkan sanksi dalam arti sanksi moral. Dalam ketentuann KUHperdata yang termuat dalam Pasal 1338 BW disebutkan :
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan pasal 1338 ini ditegaskan bahwa perjanjian yang dibuat dengan dasar itikad baik dan tidak bertentangan dengan undang undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya. Demikian juga dengan
Memorandum of Understanding
waalaupun belum memberikan sanksi yang tegas dalam perjanjiannya akan tetapi karena Memorandum of Understanding itu dibuat memenuhi unsur-unsur perjanjian, maka Memorandum of Understanding tersebut melahirkan hak dan kewajiban yang akhirnya ada sanksi moral sebagaimana yang diingikan pasal 1338 tersebut. Mengacu kepada ketentuan KUHPerdta Memorandum
of Understanding
atau kesepahaman ini adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1313 yang merumuskan pengertian perjanjian dalam Buku III BW yaitu : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ketentuan ini memiliki sifat terbuka yang artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka ini termuat dalam Pasal 1338 ayat(1) BW yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, artinya setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama syarat- syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur didalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut diuraikan bahwa yang menjadi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Kata sepakat yang membuat perjanjian,
2. Kecakapan pihak-pihak yang melakukan perjanjian,
3. Obyek perjanjian itu harus jelas, 4. Perjanjian itu dibuat atas dasar suatu sebab yang dibolehkan.
Walaupun pasal 1338 mengatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secarah sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, akan tetapi apabila unsur-unsur sahnya perjanjian yang disebutkan dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dan tidak mempunyai kekuatan hukum,demikian juga dalam Memorandum of
Understanding
atau Nota kesepahaman itu , Memorandum of Understanding tersebut harus tetap memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 KHUPerdata tersebut. Memorandum Of Understanding yang telah ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian akta otentik yang mengatur substansi dan sanksi hukum yang tegas, maka apabila terjadi sengketa yang disebabkan tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka dengan demikian pihak yang dirugikan dapat menuntut haknya atas dasar wanprestasi kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasinya tersebut sesuai dengan yang diperjanjikan. Adapun tuntutan tersebut adalah berupa penggantian biaya kerugian yang disebabkan dari adanya wanprestasi itu. Dalam pasal 1246 KUHPerdata kerugian ini dirumuskan antara lain :
1. Kerugian Materil dan 2. Kerugian moril.
Kerugian ini dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan tergantung kepada kemauan dari yang bersangkutan,walaupun nantinya akan ditetapkan berdasarkan keputusan Pengadilan oleh Hakim yang mengadilinya.
Memorandum of Understanding
pada dasarnya merupakan Nota Kesepakatan, akan tetapi Memorandum of Understanding yang apabila dibuat dengan mengacu dan telah memenuhi unsure-unsur yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka kekuatan hukum Memorandum of Understanding tersebut seyognyanya sama dengan kekuatan hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia pada umumnya. Apabila
Memorandum of Understanding
yang dibuat antara PT. Matahari Anugerah Perkasa dengan CV. Ponorogo dikaitkan dengan pasal 1320 KUHPerdata, maka kekuatan hukum berlakunya Memorandum of Understanding tersebut sama dengan kekuatan hukum perjanjian pada umumnya yang berlaku di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Memorandum of Understanding yang dibuat antara PT. Matahari Anugerah Perkasa dengan CV. Ponorogo tersebut sudah memenuhi unsur – unsur yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata.
B. Akibat Hukum Adanya Wanprestasi Dalam Pelaksanaan suatu Perjanjian
Wanprestasi merupakan situasi dimana salah satu pihak dalam sebuah perjanjian tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Menurut Amirizal, tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi
62
tersebut. Prestasi diartikan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian atau hal-hal yang telah disepakati bersama, oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Sedangkan pelaksanaan prestasi disesuaikan dengan
63
syarat-syarat yang telah disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Namun demikian pada kenyataannya sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi.
Pasal 1234 KUHPerdata menentukan bahwa prestasi dapat berupa:
a. memberikan sesuatu;
b. berbuat sesuatu; c. tidak berbuat sesuatu.
Wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda wanprestatie artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik yang timbul perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan kedua belah pihak mengenai apa yang menjadi obyek perjanjian atau dengan kata lain wanprestasi
64
berarti prestasi buruk. Apabila si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan telah melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji.
65 Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam:
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; 62 63 Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999, hal.36. 64 Op.Cit , Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, hal 87
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989, Hal 280. 65 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2002), hal 45 d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Menurut Abdulkadir Muhammad terdapat 3 (tiga) bentuk wanprestasi, yaitu :
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali ;
2. Memenuhi prestasi tetapi keliru;
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu; R. Subekti menambahkan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
66
boleh dilakukan. Melakukan prestasi tetapi terlambat atau tidak tepat waktu; Berbicara mengenai Memorandum of Understanding, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Ketentuan yang mangatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III BW, memiliki sifat terbuka yang artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka ini termuat dalam Pasal 1338 ayat(1) BW yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, artinya setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Memorandum of Understanding
sebenarnya adalah merupakan suatu bentuk perjanjian atau kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak (prelimary understanding of parties) untuk melangkah
Memorandum of
kemudian pada penandatanganan suatu kontrak. Artinya 66 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal 23.
Understanding
ini selanjutnya akan di tindak lanjuti dengan pembuatan Akta otentik yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang lebih terperinci lagi diantara para pihak. Saat ini hukum positif di Indonesia sendiri belum mengatur secara khusus
Memorandum of Understanding
mengenai keberlakuan . Dari pengertian memorandum of understanding disebutkan bahwa Memorandum of Understanding merupakan suatu perjanjian pendahuluan, oleh karena itu pengaturannya tunduk kepada ketentuan tentang perikatan yang tercantum dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya menganut sistem terbuka (open system). Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang. Sistem hukum perjanjian yang bersifat terbuka tersebut tertuang didalam asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak diberi kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian; menentukan bentuk perjanjian; dan menerima atau menyimpangi hukum perjanjian yang bersifat hukum pelengkap (aanvullendrecht). Dalam pembuatan perjanjian, di Indonesia dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana tertuang dalam
pasal 1338 KUH Perdata ayat (1). Asas kebebasan berkontrak berarti para pihak bebas untuk membuat kesepakatan dalam bentuk apapun, termasuk jika kesepakatan
Memorandum of
itu dituangkan dalam suatu perjanjian pendahuluan atau
Understanding
. Para pihak juga diberikan kebebasan untuk menentukan materi muatan atau substansi Memorandum of Understanding akan mengatur mengenai apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, serta sepanjang penyusunan Memorandum of Understanding itu memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu walaupun dalam peraturan perundang-undangan di indonesia tidak ada mengatur mengenai Memorandum of
Understanding
, maka dengan adanya asas kebebasan berkontrak tersebut maka dapat dijadikan pijakan untuk berlakunya Memorandum of Understanding.
Berbicara mengenai kekuatan hukum dari berlakunya Memorandum of
Understanding khususnya di indonesia, maka pertama kali yang harus di teliti adalah
mengenai apa-apa saja yang menjadi isi atau unsur-unsur yang diatur atau terdapat di dalam memorandum of understanding tersebut. Dalam pasal 1335 dan pasal 1337 kitab undang-undang hukum perdata dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila perjanjian tersebut tidak mempunyai causa; causanya palsu; causanya bertentangan dengan undang-undang; causanya bertentangan dengan kesusilaan; causanya bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan kata lain, bahwa apa yang hendak dicapai oleh para pihak dalam suatu perjanjian harus disertai dengan suatu iktikad baik. Artinya Memorandum of
understanding
yang dibuat, dan telah memenuhi unsur 1320 kitab undang-undang hukum perdata, maka secara hukum memorandum of understanding tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum layaknya perjanjian-perjanjian lain yang berlaku di indonesia.
memorandum of
Dalam arti bahwa apabila terjadi pengingkaran dalam
understanding yang mempunyai kekuatan hukum yang telah mempunyai kekuatan
hukum mengikat, akan menyebabkan pihak yang mengingkari memorandum of
understanding
tersebut dapat dituntut di muka pengadilan dengan dasar gugatan wanprestasi. Dasar hukumnya adalah Pasal 1243 Kitab Undnag-Undang Hukum Perdata. Gugatan wanprestasi harus didasarkan pada adanya hubungan kontraktual diantara para pihak. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara peristiwa yang menjadi penyebab wanprestasi dengan kerugian yang ditimbulkan akibat peristiwa tersebut. Gugatan wanprestasi yang ditujukan kepada pihak yang
memorandum of understanding
melakukan pengingkaran terhadap dapat menimbulkan akibat hukum atau kewajiban hukum bagi pihak yang melakukan pengingkaran tersebut, antara lain pemenuhan isi kesepakatan dalam memorandum of
understanding
; pemenuhan isi kesepakatan dalam memorandum of understanding ditambah dengan ganti rugi; ganti rugi; pembatalan memorandum of understanding; atau pembatalan memorandum of understanding ditambah dengan ganti rugi.
Dalam hal memorandum of understanding yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dimana unsur – unsur yang terdapat dalam pembuatan
memorandum of understanding
tersebut tidak memenuhi unsur – unsur seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata, maka apabila terjadi pengingkaran oleh salah satu pihak yang menyebabkan kerugian pada pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut tidak dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi. Namun pihak yang dirugikan tersebut dimungkinkan untuk mengajukan gugatan dengan dasar perbuatan melawan hukum. Perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut harus dibuktikan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut tidak memenuhi salah satu saja dari unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Dan apabila perbuatan tersebut terbukti merupakan perbuatan melawan hukum, maka pihak yang melakukan pengingkaran terhadap
Memorandum of Understanding
tersebut dapat dituntut untuk mengganti kerugian yang telah ditimbulkannya. Ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum meliputi tiga hal. yaitu:
a) Biaya yang telah dikeluarkan;
b) Kerugian yang diderita; c) Keuntungan yang mungkin akan diperoleh.
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu; 1) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi; 2) pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; 3) penilaian resiko; 4) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim. Menginggat wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan
67
kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim Dalam hal terjadinya perbuatan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian,
68
maka kreditur dapat menuntut hal-hal sebagai berikut : 1). Ia dapat meminta pemenuhan prestasi 2). Ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3). Ia dapat menuntut pemenuhan prestasi disertai dengan penggantian kerugian yang diderita sebagai terjadinya wanprestasi.
4). Ia dapat meminta pembatalan perjanjian.
Beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) KUH Perdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki 67 68 Ibid. hal 40 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 147 penilaian untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan. Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh
69 para pihak.
1) Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa: a) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
b) Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak.
c) Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah leluasa untuk, 69 menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 271. waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.
Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu: a) harus ada persetujuan timbal balik
b) harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai (pernyataan
lalai, in mora stelling, ingebrekestelling) c) putusan hakim.
Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan
kepada Pengadilan …,
kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend
70 recht)
dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan hakim sekedar menyatakan saja bahwa
70 Menurut Pitlo, untuk mengetahui suatu undang-undang bersifat memaksa atau
melengkapi kadang-kadang tidak mudah. Namun demikian, dengan rumusan kata-kata ”memerintahkan”, ”melarang”, ”tidak boleh”, ”tidak dapat” menunjukkan sifat memaksanya. Begitu
juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan. Periksa A. Pitlo, Het Systeem van Het Nederlandse Privaaterecht, (terjemahan D.Saragih), (Bandung: Alumni, 1973). hal.13-20. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid. hal. 272 kontrak telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim
71
adalah konstitutif berdasarkan:
1. Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim
2. Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak
3. Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus.
4. Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan. 2) Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht). Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:
a) Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur b) Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara 71 positif dalam kontrak Periksa Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV (Jakarta: Binacipta, 1987), hal.
66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga Mempunyai kekuasaan ‘descretionair’ , artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan pemutusan
kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), hal. 148. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid c) Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, sehingga hal ini dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan” (bestandig geberukikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat mengatur. Berdasarkan 2 (dua) pendapat yang berkembang mengenai klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, apabila dikaitkan dengan kepentingan para pelaku bisnis (Pengembang) tampaknya pendapat kedua lebih mendekati nilai kepraktisannya (Pasal 1266 KUH Perdata disimpulkan bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pelaku bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi kontrak mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan kontrak. Klausul Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dianggap jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum pelaku bisnis. Namun dari sisi perlindungan hak-hak Pembeli, Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak Pembeli oleh Pengembang dengan mengatasnamakan melaksanakan ketentuan perjanjian. Dari sisi kepatutan mungkin Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata dapat diterima apabila substansi perjanjian telah memberikan jaminan adanya keseimbangan bagi para pihak. Namun pada kenyataannya tidak jarang ditemukan perjanjian yang berat sebelah dan cenderung merugikan kepentingan salah satu pihak. Dalam praktik bisnis
masih ditemukan suatu perjanjian yang mencantumkan klausul baku tentang pembatasan tanggung jawab salah satu pihak apabila timbul suatu resiko. Terhadap perjanjian yang demikian, maka pengabaian Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata perlu ditelaah secara mendalam apakah dapat diterima berdasarkan asas kepatutan di atas.C. Akibat Hukum Terhadap Adanya Wanprestasi Dalam Suatu Memorandum Of Understanding.
Memorandum of understanding
akan memiliki kekuatan hukum tetap layaknya suatu perjanjian apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur di dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengingkaran terhadap memorandum yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan secara hukum dengan dasar gugatan wanprestasi. Akan tetapi memorandum yang tidak memenuhi syarat- syarat seperti yang diatur di dalam pasal 1320 tetapi memenuhi ketentuan yang terdapat di dalam pasal (Pasal 1335, 1337, 1339, dan 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maka apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam memorandum tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan hukum dengan dasar perbuatan melawan hukum, serta tidak dapat di gugat berdasarkan gugatan wanprestasi.
Memorandum of Understanding
Dalam hal yang isinya merupakan kesepakatan mengenai pokok-pokok tertentu saja, misalnya berupa objek pekerjaan dan waktu pelaksanaan saja, tetapi tidak mencakup mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak (belum bersifat final sebagai perjanjian), maka dengan demikian apabila dalam pelaksanaan memorandum tersebut terjadi sengketa, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut secara hukum, dengan kata lain apabila terjadi sengketa, maka sanksi yang ditimbulkan terhadap adanya pengingkaran prestasi tersebut hanyalah sebatas sanksi moral saja, sanksi moral disini dimaksudkan adalah sebatas itikad baik dari pihak yang tidak melakukan prestasinya sesuai dengan yang disepakati.