Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi Antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi Dengan CV. Avansa

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PENGADAAN JENIS IKAN NILAI EKONOMI TINGGI ANTARA DINAS

PERTANIAN KOTA TEBING TINGGI DENGAN CV. AVANSA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RIZKY FAUZAN PURBA NIM: 100200254

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PENGADAAN JENIS IKAN NILAI EKONOMI TINGGI ANTARA DINAS

PERTANIAN KOTA TEBING TINGGI DENGAN CV. AVANSA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh ::

RIZKY FAUZAN PURBA NIM: 100200254

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum. NIP: 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH. Zulkifli Sembiring, SH., MH. NIP: 195008081980021002 NIP: 196101181988031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil a’lamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan skripsi ini dengan baik. Begitu pula shalawat dan salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya di akhirat kelak.

Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul yang Penulis kemukakan ialah “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi Antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa”

Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H, M.H., selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Amsali Putra Sembiring, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik Penulis selama mengikuti masa perkuliahan.

9. Bapak dan ibu staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing Penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan.

11.Teristimewa kepada kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Agussalim Purba dan Ibunda Ida A. Siregar S.E., yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan penuh kasih sayang yang tidak hentinya memberikan motivasi, semangat dan do’anya kepada Penulis.

12.Bapak Drs. Sugeng Surya S., selaku Sekretaris Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi, tempat Penulis melakukan penelitian skripsi ini.

13.Bapak Rusydi S.P., selaku staf di Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi, yang menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini.


(5)

14.Seluruh rekan-rekan stambuk 2010 yang terkhusus di grup C dan kelompok Klinis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15.Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu namanya.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, April 2014 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 13

B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 16

C. Syarat Sah Perjanjian ... 20

D. Asas-Asas Perjanjian ... 32

E. Wanprestasi ... 39

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan 45 B. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan ... 48


(7)

D. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 58 E. Prosedur Perjanjian Pemborongan ... 63 F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 70

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PENGADAAN JENIS IKAN NILAI EKONOMI TINGGI ANTARA DINAS PERTANIAN KOTA TEBING TINGGI DENGAN CV. AVANSA

A. Gambaran Umum Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dan CV. Avansa ... 74 B. Tahap Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan .... 78 C. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian

Pemborongan ... 87 D. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan yang Terjadi dalam

Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 91 E. Mekanisme Pembayaran Ganti Rugi ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN


(8)

ABSTRAK Rizky Fauzan Purba*

Muhammad Hayat ) ** Zulkifli Sembiring ) ***

Benih ikan merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pengembangan usaha perikanan budidaya. Sebagai sarana pemerintah untuk membina dan memberdayakan usaha perikanan budidaya di kota Tebing Tinggi, maka Balai Benih Ikan Kota Tebing Tinggi harus mampu menyediakan benih ikan yang unggul dan berkualitas. Dalam rangka menyediakan benih ikan yang unggul dan berkualitas tersebut Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak pihak ketiga. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah apakah penunjukan penyedia barang sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan dan pembayaran ganti rugi bilamana terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan tersebut.

)

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan melakukukan

survey secara langsung di lapangan guna memperoleh informasi tambahan sesuai dengan yang dibutuhkan. Penelitian kepustakaan yaitu melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku maupun artikel atau bahan bacaan yang berasal dari internet. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara guna mendapatkan informasi dan fakta yang sesuai dengan realita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditarik kesimpulan bahwa penunjukan CV. Avansa sebagai penyedia barang sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bahwa tanggung jawab para pihak adalah segala sesuatu yang menjadi kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Bilamana terjadi perselisihan maka diusahakan penyelesaian melalui luar pengadilan, seperti musyawarah dan mediasi. Sedangkan dalam hal Pejabat Pembuat Komitmen dikenakan tanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas kelalaiannya, maka pembayaran hanya dilakukan apabila penyedia telah mengajukan tagihan disertai dengan perhitungan dan data-datanya secara terperinci.

Kata Kunci : Perjanjian, Pemborongan Pekerjaan * Mahasiswa

**

Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK Rizky Fauzan Purba*

Muhammad Hayat ) ** Zulkifli Sembiring ) ***

Benih ikan merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pengembangan usaha perikanan budidaya. Sebagai sarana pemerintah untuk membina dan memberdayakan usaha perikanan budidaya di kota Tebing Tinggi, maka Balai Benih Ikan Kota Tebing Tinggi harus mampu menyediakan benih ikan yang unggul dan berkualitas. Dalam rangka menyediakan benih ikan yang unggul dan berkualitas tersebut Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak pihak ketiga. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah apakah penunjukan penyedia barang sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan dan pembayaran ganti rugi bilamana terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan tersebut.

)

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan melakukukan

survey secara langsung di lapangan guna memperoleh informasi tambahan sesuai dengan yang dibutuhkan. Penelitian kepustakaan yaitu melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku maupun artikel atau bahan bacaan yang berasal dari internet. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara guna mendapatkan informasi dan fakta yang sesuai dengan realita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditarik kesimpulan bahwa penunjukan CV. Avansa sebagai penyedia barang sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bahwa tanggung jawab para pihak adalah segala sesuatu yang menjadi kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Bilamana terjadi perselisihan maka diusahakan penyelesaian melalui luar pengadilan, seperti musyawarah dan mediasi. Sedangkan dalam hal Pejabat Pembuat Komitmen dikenakan tanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas kelalaiannya, maka pembayaran hanya dilakukan apabila penyedia telah mengajukan tagihan disertai dengan perhitungan dan data-datanya secara terperinci.

Kata Kunci : Perjanjian, Pemborongan Pekerjaan * Mahasiswa

**

Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang sangat luas dan di dalamnya terdapat beragam sumber daya alam yang melimpah, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lainnya. Keberadaan sumber daya ikan yang terkandung di dalam perairan Indonesia terbilang sangat banyak, baik dari segi kuantitasnya maupun beragam jenisnya dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara, khususnya masyarakat secara keseluruhan.1 Salah satu upaya yang dilakukan guna pemanfaatan sumber daya ikan bagi kemaslahatan masyarakat adalah usaha perikanan. Pengelolaan usaha perikanan apabila dilakukan dengan semaksimal mungkin, dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan dan belanja negara, yang selama ini diisi oleh sokongan dari pajak, migas dan hasil hutan.2

Secara geografis, wilayah pesisir dan kelautan merupakan daerah yang sangat strategis dalam usaha perikanan karena memiliki sumberdaya ikan yang sangat berlimpah. Namun pada kenyataannya, kegiatan usaha perikanan juga dapat dilakukan di darat dan bahkan kini usaha tersebut banyak ditemukan di daerah yang tidak memiliki wilayah pesisir, yang menjadikan usaha perikanan sebagai sumber pendapatan yang cukup menjanjikan.

1

H. Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 21.

2


(11)

Kota Tebing Tinggi adalah salah satu pemerintahan kota dari 33 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara, dan merupakan satu diantara banyak kota di Indonesia yang tidak memiliki garis pantai, namun berupaya untuk melakukan pemberdayaan terhadap usaha perikanan.3 Usaha perikanan yang diberdayakan di Kota Tebing Tinggi adalah usaha perikanan budidaya. Tujuan dalam melakukan usaha perikanan budidaya adalah memproduksi ikan dalam suatu wadah pemeliharaan yang dikontrol dan berorientasi kepada suatu keuntungan.4

Luas potensi lahan perikanan di Kota Tebing Tinggi cukup besar yaitu ±25 ha, sehingga pengembangan kegiatan usaha sektor perikanan cukup besar.

Usaha perikanan budidaya dapat dilakukan di perairan darat seperti sungai, waduk, danau, maupun di tambak-tambak, kolam atau empang yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki kondisi sempurna untuk mengembangkan sumber daya yang dibiakkan di sana.

5

Dalam rangka pengembangan dan peningkatan produksi ikan di Kota Tebing Tinggi telah didirikan satu unit Balai Benih Ikan (BBI) yang berlokasi di kelurahan Pinang Mancung kecamatan Bajenis. Balai benih ikan ini berdiri diatas areal bekas persawahan seluas ±2 ha, memiliki laboratorium ikan darat, bak pemijahan ikan sebanyak 29 unit, rumah tinggal pengelola dan penjaga.6

3

http:// www.kemendagri.go.id/ pages/ profil-daerah/ kabupaten/ id/ 12/ name/ sumatera-utara/detail/1276/kota-tebing-tinggi#profil.,diaksespada tanggal 2 Maret 2014, pukul 20.17 WIB.

Balai benih ikan tersebut dikelola oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi selaku pelaksana urusan pemerintahan daerah dibidang pertanian yang meliputi tanaman pangan,

4

Berdasarkan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

5

Berdasarkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah SKPD Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi Tahun 2012.

6 Ibid.


(12)

peternakan dan perikanan darat berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.7

Balai benih ikan kota Tebing Tinggi didirikan pada tahun 2004, dan sejak saat itu pembangunan dan pemeliharaan terus dilakukan secara berkesinambungan dengan melaksanakan kegiatan penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana produksi perikanan. Pelaksanaan tugas tersebut dilaksanakan dibawah tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Benih Ikan (UPTD-BBI), yang sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang pembenihan ikan.

Pembangunan balai benih ikan di kota tebing tinggi dilandasi dengan harapan kelak sektor perikanan ini dapat menjadi andalan perekonomian kota Tebing Tinggi, yang hanya memiliki lahan pertanian dan perikan yang terbatas.

8

Benih ikan merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan budidaya. Ketersediaan benih ikan yang memenuhi persyaratan jenis, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu, dan harga yang tepat dapat mempengaruhi keberhasilan pembudidayaan ikan .9

7

Pasal 33 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi Nomor 13 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Kota Tebing Tinggi.

Oleh karena itu, sebagai sarana pemerintah untuk membina dan memberdayakan usaha perikanan budidaya di kota Tebing Tinggi, maka balai benih ikan kota Tebing Tinggi harus mampu menyediakan benih ikan yang unggul dan berkualitas. Melalui program “Pengembangan Kawasan Budidaya Laut, Air Payau dan Air Tawar”, Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi melaksanakan kegiatan “Penyediaan

8

Pasal 20A Peraturan Walikota Tebing Tinggi Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2009 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Pada Dinas-Dinas Daerah Kota Tebing Tinggi.

9


(13)

dan Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Produksi Perikanan”, yang dalam hal ini adalah pengadaan jenis ikan nilai ekonomi tinggi.

Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dalam melaksanakan kegiatan pengadaan jenis ikan nilai ekonomi tinggi, mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain. Pihak yang ditunjuk oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi sebagai penyedia barang dalam pelaksanaan kegiatan tersebut adalah CV. Avansa. Kerja sama antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa diikat dalam suatu perjanjian yang dituangkan dalam Surat Perintah Kerja (SPK) sebagai tanda bukti perjanjian. Perjanjian yang diadakan oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa adalah perjanjian pengadaan barang. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai pihak pertama dan wakil direktur IV CV. Avansa untuk dan atas nama CV. Avansa sebagai pihak kedua.

Pada dasarnya para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga hal-hal lain termasuk (dalam hal ini) yang diatur didalam undang-undang, sebagaimana di dalam Pasal 1339 KUH Perdata dinyatakan : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Pasal ini menentukan bahwa penafsiran terhadap suatu perjanjian tidak hanya didasarkan dengan apa yang tertulis didalam perjanjian, karena perjanjian tidak dapat mencakup semua kepentingan dan kehendak para pihak yang mengikatkan diri didalamnya. Begitu juga dengan


(14)

perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa, apa yang diatur di dalam SPK hanya syarat-syarat yang bersifat umum yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian, tidak termasuk mengenai tanggung jawab para pihak, berakhirnya perjanjian dan hal-hal yang bersifat preventif, misalnya mengenai keadaan kahar, penyelesaian perselisihan dan pemberian sanksi. Hal tersebut tidak menjadi persoalan, karena mulai dari penunjukan penyedia barang, proses pelaksanaan perjanjian, hingga berakhirnya perjanjian semuanya telah diatur secara lengkap di dalam peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa untuk instansi pemerintah diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dimana sebelumnya telah diberlakukan perubahan pertama yaitu Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2011. Dua perubahan dalam dua tahun berturut-turut dilakukan atas berbagai evaluasi terhadap Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi pengadaan barang dan jasa masih menemui berbagai kendala. Selain itu banyak isi pasal yang dianggap multitafsir dan menimbulkan ketidakjelasan dalam proses pengadaan barang dan jasa, sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan guna mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan.

Para pihak di dalam perjanjian pemborongan pekerjaan pengadaan barang dan jasa, tentunya harus patuh dan konsisten terhadap tanggungjawabnya. Oleh karena itu, para pihak dituntut untuk melaksanakan tugas dan perannya secara


(15)

professional sesuai dengan yang telah disepakati di dalam SPK. Pada kenyataannya, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kerap tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.10

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas perjanjian pemborongan pekerjaan antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa, yang di tuangkan di dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa”.

Contoh konkritnya adalah dalam proses pemilihan metode penyediaan barang dalam praktiknya sering terjadi kekeliruan, padahal tiap-tiap metode pemilihan penyedia barang memiliki kualifikasi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan pihak penyedia barang/jasa kerap tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan hanya mengejar keuntungan semata, bahkan melanggar asas itikad baik dalam perjanjian. Bila hal tersebut sampai terjadi maka akan rentan timbul wanprestasi, dan tentu saja pihak penyedia barang/jasa harus bertanggungjawab dengan membayar ganti rugi atas wanprestasi tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan dan analisa yang dilakukan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan pengadaan jenis ikan nilai ekonomi tinggi antara Dinas

10

Berdasarkan data Bank Dunia atas penyidikan Unit Penyidikan Korupsi dan Penyelewengan (Corruption and Fraud Investigations Unit), diakses dari

berdasarkan situs resmi Bank Dunia perwakilan Indonesia :


(16)

Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa, rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Apakah penunjukan CV. Avansa sebagai pemborong pekerjaan pengadaan barang oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku?

2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan?

3. Bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan dan pembayaran ganti rugi bilamana terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan utama penulisan skripsi ini adalah guna memenuhi tugas akhir dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sedangkan tujuan penulisan berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memastikan bahwa penunjukan CV. Avansa sebagai pemborong pekerjaan pengadaan barang oleh Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku;

2. Untuk mengetahui tanggung jawab kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan;

3. Untuk mengetahui mekanisme yang ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian perselisihan dan pembayaran ganti rugi bilamana terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.


(17)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :

1. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pihak-pihak yang menjadikan skripsi ini sebagai bahan bacaan maupun bahan kajian guna menambah wawasan, pengetahuan, dan memberikan pemahaman mengenai hukum perjanjian terkhusus perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh badan publik dengan pihak ketiga.

2. Secara praktis, diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan atau sumbangan pemikiran kepada setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian, khususnya dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara badan publik dengan pihak ketiga.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukankan, baik secara daring dengan menggunakan layanan pencarian web di internet maupun melakukan pencarian langsung di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa“ belum pernah ditulis sebelumnya. Jika dikemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang mirip atau bahkan sama dengan judul yang penulis angkat, maka penulis menjamin bahwa baik rumusan permasalahan, isi, maupun tempat dilakukan


(18)

penelitian adalah berbeda. Dengan demikian skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, guna mendapatkan penemuan, pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu yang dituju secara tepat maka digunakanlah metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibagi atas tiga aspek, yang dijabarkan sebagai berikut.

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum bersifat normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Adapun dikatakan bersifat deskriptif yaitu penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena-fenomena alamiah maupun fenomena-fenomena buatan manusia. Fenomena itu biasanya berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.11

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, berupa norma dasar (Pancasila), peraturan dasar

11


(19)

seperti Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan perundang-undangan,yurisprudensi, dan sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, misalnya, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, jurnal, dan termasuk juga tulisan-tulisan dan informasi yang diperoleh dari berbagai media yang tidak diragukan lagi kesahihannya, seperti tulisan-tulisan para sarjana (pakar) di surat kabar, majalah dan artikel-artikel di berbagai website di internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan tambahan yang dapat memberikan petunjuk dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini melakukan metode bola salju (snow ball theory), yang dilakukan dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.12

12

M.Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 101.

Sumber-sumber kepustakaan yang digunakan dalam dalam penulisan ini yaitu buku-buku hukum, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel, jurnal-jurnal hukum dan sumber lainnya.


(20)

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu melakukan kagiatan pengumpulan data secara langsung ditempat dimana studi kasus dilakukan. Penelitian lapangan ini dilakukan guna mendapatkan data-data aktual untuk kemudian diidentifikasi dan digunakan dalam menganalisis permasalahan terkait dengan penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini disusun atas lima bab, dan sistematika tersebut dimulai dengan Bab I. Pada Bab I dijelaskan secara umum mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah dalam penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. Bab I merupakan pijakan bagi penelitian dan sekaligus pengantar atas bab-bab setelahnya.

Pembahasan dalam Bab II adalah tentang tinjauan umum mengenai perjanjian. Bab II berisi bagaimana dasar-dasar terjadinya suatu perjanjian yang terdiri dari : pengertian perjanjian secara umum, yang berisi tentang penelaahan pengertian perjanjian pada umumnya; unsur-unsur perjanjian, yang berisi tentang unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian; syarat sah perjanjian, yang berisi tentang persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian yang sah; asas-asas perjanjian, yang berisi tentang asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian; dan wanprestasi, yang berisi hal-hal mengenai terjadinya suatu wanprestasi.

Dalam Bab III pembahasan yang diangkat adalah tinjauan umum mengenai perjanjian pemborongan, dimana dalam bab ini dipaparkan tentang pengertian dan


(21)

pengaturan mengenai perjanjian pemborongan, sifat dan bentuk perjanjian pemborongan, jenis-jenis dan isi perjanjian pemborongan, pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan, prosedur dalam perjanjian pemborongan, dan yang terkhir adalah berakhirnya suatu perjanjian pemborongan.

Dalam penulisan ini, Bab II dan Bab III merupakan landasan bagi pembahasan Bab IV, karena didalamnya dibahas mengenai implementasi dari apa yang telah dijabarkan dalam Bab II dan Bab III. Bab IV merupakan muara dari penulisan skripsi ini, karena permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini dibahas dan diselesaikan di Bab IV. Yang dibahas dalam bab ini adalah tentang tinjauan yuridis perjanjian pemborongan pekerjaan pengadaan jenis ikan nilai ekonomi tinggi antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi dengan CV. Avansa, dimana penjabarannya terdiri dari: gambaran umum mengenai CV. Avansa, tahap pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pemborongan, tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, mekanisme penyelesaian perselisihan dan pembayaran ganti rugi dalam hal terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

Bab V merupakan penutup rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi. Di dalam Bab ini berisi simpulan serta saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan saran adalah sebagai bentuk gagasan dan ide yang hendak disampaikan, terutama dalam hal ini kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) yang merupakan bagian dari KUH Perdata yang terdiri atas empat buku. Keempat buku tersebut memberikan pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht), Buku II memuat ketentuan hukum kebendaan (zakenrecht), Buku III mengenai hukum perikatan (verbintenissenrecht), dan yang terakhir adalah Buku IV mengatur pembuktian dan daluarsa (bewijs en verjaring). Dalam buku III KUH Perdata memuat pengaturan tentang verbintenissenrecht yang di dalamnya juga tercakup istilah overeenkomst. Kata “verbintenis” bila diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan kedalam tiga istilah, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenkomst dapat diterjemahkan kedalam dua istilah, yaitu perjanjian dan persetujuan.13

Terhadap istilah perikatan dan perjanjian, banyak yang menyatakan bahwa hal tersebut menunjuk kepada dua hal yang sama. Hal ini diakibatkan karena perikatan berasal atau bersumber dari perjanjian, dimana perjanjian melahirkan Selanjutnya peristilahan yang kini kerap digunakan terhadap terjemahan “overeenkomst”

adalah perjanjian dan terjemahan dari “verbitenis” adalah perikatan.

13


(23)

perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Meskipun demikian, baik perikatan maupun perjanjian merupakan dua hal yang relatif berbeda, R. Subekti di dalam bukunya menyatakan bahwa kata “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari kata “perjanjian”, sebab di dalam Buku III yang berjudul “Perihal Perikatan”, juga diatur perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). 14

Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat dilihat dalam Pasal 1233 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang.” Ketentuan tersebut dipertegas dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian jelas bahwa apabila berbicara tentang perikatan yang ada di Buku III, maka sesungguhnya sebagian besar perikatan tersebut ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian.15 dan suatu perjanjian itu merupakan sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.16

14

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 122.

15

Ibid., hal. 123.

16

J. Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 6.


(24)

Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi perjanjian tersebut adalah tidak lengkap dan sangat luas. Dikatakan tidak lengkap karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja. Sangat luas karena dapat mencakup perihal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Demikian halnya seperti yang dinyatakan oleh Purwahid Patrik,17

1. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari kata “mengikatkan” yang merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”;

bahwa kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consencus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum;

3. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).

R. Subekti memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

17


(25)

melaksanakan sesuatu hal.18 Mariam Darus Badrulzaman mengartikan perjanjian adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi. 19 Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk melaksanakan prestasi.20

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Pada dasarnya definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut melengkapi kekurangan definsi Pasal 1313 KUH Perdata. Dengan demikian, pengertian perjanjian secara lengkap adalah suatu perbuatan hukum kekayaan/harta benda, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Abdulkadir Muhammad, berdasarkan pada perumusan Pasal 1313 KUH Perdata dan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian, merumuskan unsur-unsur yang harus ada di dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut :21

1. Para Pihak

Dalam suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian. Para pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian dapat terdiri dari manusia sebagai natuurlijk person dan badan 18

R.Subekt, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal.1.

19

Mariam Darus Badrulzaman Kontrak Baku (Standard Pengembangannya di Indonesia),

Universitas Sumatera Utara, Medan, 1980, hal. 3.

20

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.

21


(26)

hukum sebagai rechtpersoon. Masing-masing pihak menduduki tempat yang berbeda, pihak pertama mempunyai hak atas prestasi dan pihak kedua wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Kedua pihak dalam perjanjian harus mematuhi syarat-syarat kebebasan menyatakan kehendak, tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan satu sama lain.22

2. Persetujuan antara para pihak

Sebelum membuat suatu perjanjian para pihak memiliki kebebasan untuk melakukan negosiasi. Negosiasi yang dimaksud adalah dimana pihak yang satu mengajukan penawaran kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga mencapai persetujuan final. Setelah negosasi berhasil dilakukan, maka akan timbul persetujuan yang merupakan persepakatan seia-sekata antara para pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian.23

3. Adanya tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak, dimana kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi dengan jalan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan perjanjian yang akan dicapai pihak-pihak itu sifatnya harus halal. Artinya tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.24

22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 233.

23

Ibid. hal. 299-300.

24


(27)

4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak yang telah sepakat untuk diberikan beban/tanggung jawab dalam suatu perjanjian.Prestasi merupakan objek perjanjian dan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Dalam Pasal 1234 KUH Perdata dinyatakan ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Memberikan sesuatu prestasinya dapat berupa menyerahkan suatu barang atau memberikan kenikmatan atas suatu barang. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya mengangkut barang tertentu. Tidak berbuat sesuatu adalah jika dalam perjanjian para pihak berjanji untuk tidak melaksanakan perbuatan tertentu, misalnya berjanji untuk tidak melakukan persaingan curang.25

5. Ada bentuk tertentu

Suatu perjanjian dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis dapat berupa akta otentik maupun akta bawah tangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perjanjian dalam bentuk lisan adalah perjanjian yang dibuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya sehingga dapat dipahami oleh para pihak. Pada praktiknya, perjanjian lisan sedapat mungkin harus dihindari, karena perjanjian lisan mengandung risiko yang sangat tinggi, terutama dalam pembuktian jika terjadi sengketa.

25


(28)

6. Adanya syarat-syarat tertentu

Di dalam isi suatu perjanjian terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Dari syarat-syarat tersebut para pihak dapat mengetahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajibannya, misalnya mengenai barang, harga dan dapat berupa syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai mekanisme pembayaran, cara penyerahan barang dan lain-lain.

Unsur-unsur yang terkandung di dalam perjanjian sebagai klasifikasi bagian dari klausul perjanjian, diuraikan oleh Ahmadi Miru adalah sebagai berikut : 26

a. Unsur Esensialia

Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena jika tidak ada, bukan merupakan perjnajian yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian yang lain. Contohnya, dalam perjanjian jual-beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

b. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia adalah bagian dari perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Sebagai contoh, jika dalam perjanjian tidak diperjanjikan tentang cacat

26

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 31-32.


(29)

tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUH Perdata bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.

c. Unsur Accidentalia

Unsur Accidentalia adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya, jangka waktu pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang.

C. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian dikatakan mengikat atau tidak mengikat terhadap para pihak yang membuatnya tergantung kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata dinyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan selanjutnya dalam Ayat (3) dinyatakan: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bila suatu perjanjian dibuat secara sah, maka perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang dan secara serta merta akan mengikat para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Selain itu, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik agar kedudukan para pihak menjadi seimbang antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk membuat suatu perjanjian yang sah menurut hukum harus memenuhi empat syarat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;


(30)

Syarat sah perjanjian yang pertama (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (kecakapan untuk membuat suatu perikatan) disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat kontrak. Sedangkan syarat ketiga (suatu hal tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang tidak dilarang) disebut sebagai syarat objektif, karena menyangkut objek hukum yang membuat kontrak tersebut.27

Penjelasan mengenai syarat sah perjanjian yang diatur dalam 1320 KUH Perdata, dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

Ad.1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Syarat subjektif pertama sahnya suatu perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Secara tersirat, hal ini menunjukkan bahwa adanya kesepakatan merupakan syarat penting dan mutlak sebagai dasar awal dalam mengadakan suatu perjanjian. KUH Perdata tidak memberikan penjelasan mengenai arti sepakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai kesepakatan akan dijabarkan dengan merujuk kepada pendapat atau teori hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum (khususnya hukum perjanjian).

Sepakat menurut Mariam Darus Badrulzaman, dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie). 28

27

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal.111.

28

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 74.


(31)

Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak mantara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketaui orang lain.29

Menurut J. H. Niewenhuis, kesepakatan adalah dimana para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian, atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. Sama halnya dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, J. H. Niewenhuis juga menyatakan bahwa kesepakatan dibentuk oleh dua unsur yang fundamental, yakni adanya penawaran (offer), yang diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, dan penerimaan (acceptance), yang artinya pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.30

Berdasarkan beberapa pendapat sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa kesepakatan (consensus) adalah suatu persesuaian kehendak. Artinya kehendak yang satu saling bertemu dan memeperoleh kesesuaian dengan kehendak lain, hingga pada akhirnya ditutup dengan kata “sepakat”. Kesepakatan dapat terealisasi dengan dipenuhinya dua unsur yaitu adanya penawaran dan penerimaan. Di dalam konteks penawaran-penerimaan, disyaratkan adanya suatu kehendak yang nyata tertuju pada orang tertentu, yang terejawantahkan dalam pernyataan yang disampaikan oleh kedua belah pihak, yang terwujud dalam rangkaian kata-kata, baik lisan maupun 29

Sudikno Mertokusumo dalam Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 112.

30

J.H. Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan oleh Djasadin Saragih, Surabaya, 1985, hal. 2.


(32)

tulisan. Kehendak dapat muncul dalam bentuk pernyataan secara tegas atau diam-diam, bahkan juga sikap berdiam diri atau tidak berbuat yang dalam keadaan tertentu dapat diartikan sebagai suatu pernyataan.31

Suatu pernyataan kehendak lazimnya terdapat kesesuaian antara kehendak dan kenyataan. Namun adakalanya terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dengan pernyataan yang disampaikan, maka dalam hal ini terdapat tiga teori yang dapat dijadikan acuan, yaitu :32

a. Teori kehendak (wilstheorie), menyatakan bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi;

b. Teori pernyataan (verklaringstheorie), menyatakan bahwa kehendak merupakan proses bathiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi;

c. Teori kepercayaan (vertouwenstheorie), bahwa tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.

Syarat kesepakatan merupakan pencerminan asas konsensualisme, dengan adanya kata sepakat maka suatu perjanjian dianggap telah lahir.

31

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan.

Citra Aditya Bakti, bandung, 2009. hal. 113.

32


(33)

Untuk itu, berikut empat teori yang menjelaskan tentang kapan suatu kesepakatan dalam perjanjian dianggap telah lahir :33

1) Teori pernyataan (uitingstheorie), menyatakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan atau menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Kelemahan teori ini adalah tidak dapata ditentukan secara pasti kapan kontrak itu lahir;

2) Teori pengiriman (verzendingstheorie), menyatakan bahwa kesepakatan telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan. Kelemahan teori hukum ini adalah pada pihak yang menawarkan tidak tahu secara jelas bahwa ia telah terikat dengan penawarannya sendiri;

3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie), meyatakan bahwa kesepakatan lahir pada saat surat jawaban (penerimaan) diterima oleh pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan tersebut meskipun telah sampai di tempatnya ternyata tidak segera dibaca;

4) Teori penerimaan (onvangstheorie), menyatakan bahwa kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

33


(34)

Secara yuridis, Hoge Raad mengikuti teori penerimaan untuk menentukan moment (saat) terjadinya kesepakatan yang menimbulkan perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan bahwa tidak cukup jika pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup jika mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu bahwa pernyataan kehendak itu saling mencapai pihak lain.34

Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Perjanjian yang timbul karena adanya kekhilafan, paksaan dan penipuan disebut sebagai perjanjian dengan cacat kehendak. Perjanjian yang dibuat dengan adanya unsur cacat kehendak mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan. Selain ketiga unsur cacat kehendak tersebut, terdapat unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi berkembang dalam doktrin hukum dan yurisprudensi.35

Unsur cacat kehendak yang pertama adalah kekhilafan atau kakeliruan (dwaling) yang diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Kekeliruan dapat terjadi dalam hal seseorang mendapat gambaran yang salah mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian pada saat membuat perjanjian. Perjanjian dapat dibatalkan apabila pihak lawan mengetahui atau setidak-tidaknya menyadari bahwa sifat atau keadaan tertentu dapat

34 Ibid.

35


(35)

menimbulkan kesesatan bagi pihak lain, dan perjanjian tidak dapat dibatalkan bilamana kekeliruan atau gambaran yang salah tersebut diperoleh karena kesalahan sendiri dan ia tidak berusaha untuk melakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang sebenarnya.

Unsur cacat kehendak yang kedua adalah tentang paksaan (dwang) yang diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUH Perdata. Paksaan dalam pembuatan perjanjian dapat terjadi jika ada pihak yang memberikan persetujuannya karena di bawah ancaman. Paksaan dapat berupa tekanan psikologis maupun kekerasan fisik, yang harus dilakukan secara nyata dan menimbulkan ketakutan yang sungguh-sungguh bagi orang lain yang menyebabkan ia harus menyepakati perjanjian tersebut. Ancaman tidak selalu berupa perbuatan yang melanggar hukum (penganiayaan, pembunuhan), namun dapat berupa perbuatan yang bukan melanggar hukum, tetapi ancaman tersebut ditujukan untuk mencapai sesuatu yang bukan merupakan hak pelaku.36

Unsur cacat kehendak yang ketiga adalah penipuan (bedrog) yang diatur dalam pasal 1328 KUH Perdata. Mirip dengan unsur kekhilafan, penipuan dapat terjadi dalam hal seseorang mendapat (terpengaruh) gambaran yang salah mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian pada saat membuat perjanjian, dan gambaran tersebut muncul karena diciptakan atau berasal dari orang lain. Gambaran tersebut

36


(36)

adalah kekeliruan mengenai sifat dan keadaan yang secara sengaja ditimbulkan pelaku untuk menyesatkan pihak lawan.

Unsur cacat kehendak yang terakhir dan merupakan tambahan atas unsur-unsur dalam Pasal 1321, adalah unsur penyalahgunaan keadaan. Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur, yaitu kerugian bagi satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain, yang menimbulkan sifat perbuatan, yaitu adanya keunggulan pada satu diantara dua pihak, yang bersifat ekonomis dan/atau psikologis. 37

Keunggulan ekonomis dalam penyalahgunaan keadaan terjadi bilamana posisi ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang, sehingga satu diantara dua pihak tersebut bergantung kepada yang lain. Selanjutnya keunggulan psikologis yang menyalahgunakan keadaan terjadi karena satu diantara dua pihak mendominasi secara kejiwaan, yang secara kondisional terjadi karena : pertama, karena adanya ketergantungan relatif, misalnya antara nasabah dengan bank atau klien dengan advokat; kedua, satu diantara dua pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk kepentingannya, misalnya yang bersangkutan kurang sumber daya (informasi, pengalaman dan/atau pendidikan).38

Ad.2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian

Kecakapan merupakan syarat subjektif yang kedua. Kecakapan yang dimaksud di dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap subjek hukum yang berwenang untuk 37

Ibid., hal. 121.

38 Ibid.


(37)

melakukan perbuatan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum, termasuk dalam hukum perjanjian. Subjek hukum yang dianggap cakap seyogiyanya mampu untuk mempertanggungjawabkan hal-hal yang telah disepakatinya dalam perjanjian. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.39

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Sedangkan orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian dinyatakan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, adalah sebagai berikut :

a. Orang-orang yang belum dewasa, diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata yang menegaskan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jika perkawinan tersebut berakhir sebelum umur mereka genap duapuluh tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Selanjutnya, mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orag tua, berada di bawah perwalian. Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar kecakapannya tidak serumit pada person, karena cukup dilihat dari kewenangannya. Artinya kecakapan untuk

39


(38)

melakukan perbuatan hukum didasarkan kepada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya.

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (under curatele), sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 433 KUH Perdata ia yaitu orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu (kurang akal), sakit otak (ingatan) dan orang yang boros yang tidak dapat menahan keinginannya, meskipun dalam keadaan tertentu ia cakap mempergunakan pikirannya. Seorang di bawah pengampuan dalam membuat perjanjian atau perbuatan hukum lainnya diwakili oleh pengampunya yang disebut dengan kurator.

c. Orang-orang permpuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Ketentuan ini telah direvisi oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan.

Ad.3. Suatu Pokok Persoalan Tertentu

Suatu pokok hal tertentu yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, adalah mengenai prestasi (objek) yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Pasal 1333 KUH Perdata memberikan pengaturan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang


(39)

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Artinya adalah, bahwa dalam suatu perjanjian hal yang paling utama adalah menentukan jenis objek atau pokok persoalan perjanjiannya, mengenai jumlahnya (kuantitas) dapat ditentukan kemudian.

Doktrin hukum mengakui bahwa tidak hanya terhadap benda/barang yang berwujud, tetapi juga terhadap benda/barang yang tidak berwujud yang akan ada dikemudian hari, dapat menjadi objek atau pokok persoalan dalam perjanjian, asalkan benda/barang tersebut dapat ditentukan kemudian dan dengan syarat-syarat tertentu (syarat menangguhkan).40 Selengkapnya mengenai benda-benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 41

a. Benda dalam perdagangan;

b. Benda tertentu atau dapat ditentukan;

c. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; d. Benda yang tidak dilarang oleh undang-undang atau benda yang

halal;

e. Benda yang ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya; f. Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya;

g. Benda yang berada dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak yang sah.

40

Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal 130.

41

M. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal. 17.


(40)

Ad.4. Suatu Sebab yang Halal

Syarat yang terakhir dan merupakan syarat objektif yang kedua adalah suatu sebab yang halal. Mengenai suatu sebab yang halal, KUH Perdata tidak memberikan penjelasan lebih lanjut selain dari yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian sebab atau kausa (oorzaak) harus dihubungkan dengan konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata. Sebab atau kausa menunjuk pada adanya hubungan tujuan (causa finalis), yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup perjanjian/kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak pada saat hendak membuat perjanjian/kontrak.42

Dalam suatu perjanjian, harus dibedakan antara kausa yang halal dalam pengertian “tujuan” dan kausa yang halal dalam kaitannya dengan “motif”. Kausa yang halal dalam perjanjian jual beli rumah adalah tujuan beralihnya hak milik rumah tersebut dari penjual kepada pembeli dengan bayaran dari pembeli kepada penjual. Motif penjual menjual rumahnya, mungkin dilandasi oleh keinginan melunasi utangnya, sedangkan pembeli termotivasi membeli rumah untuk anaknya. Hukum tidak memperhatikan Istilah halal yang digunakan bukan merujuk kepada lawan dari istilah haram yang terdapat dalam hukum Islam, melainkan bahwa isi suatu perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan baik dan ketertiban umum.

42


(41)

motivasi pembuatan kontrak, yang penting keduanya harus memiliki kausa yang halal, terlepas dari motivasinya.43

Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sah sebagaimana yang diatur dalam 1320 KUH Perdata, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut :

1) Noneksistensi, artinya tidak ada perjanjian, jika tidak ada kesepakatan; 2) Vernietigbaar, artinya perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian

tersebut timbul akibat cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid), dimana tidak terpenuhinya syarat subjektif sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan; dan

3) Nietig, artinya perjanjian batal demi hukum, jika perjanjian tersebut tidak mempunyai objek atau pokok persoalan tertentu dan tidak dapat ditentukan objeknya serta mempunyai sebab atau causa yang dilarang, dimana tidak terpenuhinya syarat objektif, sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.

D. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Asas hukum merupakan landasan filosofis bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang artinya harus dipedomani dalam setiap pembuatan peraturan hukum. Fungsi dari asas hukum adalah sebagai pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum

43


(42)

dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.44

Memperhatikan kaitannya dengan hukum perjanjian, maka dalam hukum perjanjian juga terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai landasan filosofis, dan memberikan pedoman atau arahan terhadap pembentukan norma-norma hukum dalam perjanjian yang dibuat para pihak sebagaimana seharusnya. Dalam Lokal Karya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Asas Kepercayaan 2. Asas Persamaan Hukum 3. Asas Keseimbangan 4. Asas Kepastian Hukum 5. Asas Moralitas

6. Asas Kepatutan 7. Asas Kebiasaan 8. Asas Perlindungan

Selain dari delapan asas tersebut masih banyak lagi asas hukum perikatan/perjanjian lainnya, meskipun demikian, terdapat lima asas utama yang harus diperhatikan dalam pembuatan perjanjian, yaitu :

a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

44


(43)

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang bersifat universal, artinya asas ini tidak hanya terdapat dalam hukum perikatan/perjanjian di Indonesia (KUH Perdata), namun pada umumnya juga dianut di semua negara. Sutan Remy Sjahdeini menguraikan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menjadi enam, yaitu :45

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;

4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.

Dalam KUH Perdata terdapat pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak sebagaimana tertuang pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

45


(44)

3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Selain dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan baik, dan tidak berlawanan dengan ketertiban umum.

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang artinya sepakat. Sepakat yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang menyepakati atau menyetujui mengenai prestasi yang diperjanjikan. Dengan adanya kesepakatan, secara teoritis pada saat yang bersamaan telah terjadi suatu perjanjian diantara para pihak yang menyatakannya. Pernyataan sepakat pada dasarnya dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Namun, pernyataan sepakat secara lisan dipandang tidak baik, mengingat pernyataan tersebut bisa saja diingkari sewaktu-waktu.

Muhammad Syaifuddin di dalam bukunya memberikan penjelasan bahwa kata sepakat secara lisan tidak memberi jaminan, karena sulit untuk dibuktikan terlebih bila tidak ada saksi. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban hukum kontraktual yang disepakati secara lisan, maka para pihak tidak hanya bersandar pada asas konsensualitas semata, tetapi juga menggunakan pengaman hukum (legal cover) berupa kontrak/perjanjian


(45)

dalam bentuk tertulis, bahkan dalam bentuk akta otentik, dengan menghadirkan dua orang saksi saat terjadinya kesepakatan.46

c. Asas Perjanjian Mengikat (Pacta sunt Servanda)

Berpijak pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, disimpukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat menurut hukum atau dengan cara yang sah (sesuai Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.47

` Lebih lanjut, Pasal 1338 KUH Perdata memberikan pengaturan bahwa bilamana perjanjian yang telah dibuat hendak ditarik kembali, maka harus dengan kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri, atau karena alasan-alasan yang dinyatakan oleh undang-undang.

d. Asas Itikad Baik

Pada abad ke-19, seiring dengan semakin berpengaruhnya doktrin pemikiran ekonomi laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi prinsip yang umum dalam mendukung persaingan bebas. Kebebasan berkontrak menjadi penjelmaan hukum (legal expression) prinsip pasar bebas.48

46

Joni Emirzon dalam Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 21.

Namun, kebebasan berkontrak dalam kenyataannya dapat menimbulkan

47

Herlien Budiono, op.cit., hal. 91.

48

Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, UI Pascasarjana, Jakarta, 2004, hal. 1.


(46)

ketidakadilan. Seyogianya dalam kebebasan berkontrak, para pihak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar menawar yang seimbang.49

Putusan Pengadilan Inggris menyatakan bahwa apabila orang memiliki pengetahuan khusus (ahli) memberikan keterangan kepada pihak lain dengan maksud mempengaruhi pihak lain supaya menutup perjanjian dengannya, dia wajib berhati-hati bahwa keterangan-keterangannya adalah benar dan dapat dipercaya. Putusan tersebut merupakan bentuk konkrit dari penjelmaan asal kehati-hatian, yang kemudian asas tersebut berkembang dan menjadi asas itikad baik.

Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi akan cendrung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.

50

Dalam hukum Indonesia, asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, yang menetapkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pengertian itikad baik dalam ranah hukum memiliki makna yang lebih luas daripada pengertian dalam istilah sehari-hari. Hoge raad dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 (Nederlndse jurisprudentie, hlm. 676) memberikan rumusan bahwa : “volgens de eisen van redelijk heid en billijkheid”, artinya itikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. Redelijkheid

artinya rasional, dapat diterjemahkan oleh nalar dan akal sehat, sedangkan

49 Ibid. 50


(47)

billijkheid artinya patut dan adil. Dengan demikian “redelijkheid en billijkheid”, meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan subjektivitas para pihak.51

Asas itikad baik terbagi atas dua macam, yaitu asas itikad baik nisbi dan asas itikad baik mutlak. Pada asas itikad baik nisbi, yang diperhatikan adalah sikap dan perilaku yang nyata dari subjek. Pada asas itikad baik mutlak, penilaiannya adalah pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.52

Dalam perkembangannya, ruang lingkup asas itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata terlihat begitu sempit, karena sesungguhnya keberadaan itikad baik juga diperlukan sebelum hubungan hukum perjanjian diadakan dan begitu pula pada saat penyusunan kontrak dilakukan. Bila dikaitkan dengan pemborongan pekerjaan, maka itikad baik seharusnya telah ada sejak saat proses penunjukan pihak penyedia barang/jasa dilakukan, pada saat penyusunan SPK, dan terutama pada saat pelaksanaan perjanjian itu sendiri.

e. Asas Personalitas

Asas personalitas atau juga dikenal dengan asas kepribadian, merupakan asas yang memberikan ketentuan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana dinyatakan dalam

51

P.L. Werry dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 136.

52


(48)

Pasal 1315 KUH Perdata bahwa “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Artinya, perjanjian hanya dapat mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain diluar dari pada perjanjian tersebut (pihak ke tiga). Selanjutnya dalam Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317”. Pasal ini mempertegas pengaturan Pasal 1315 KUH Perdata, dimana suatu perjanjian tidak dapat memberikan baik kerugian maupun manfaat terhadap pihak ke tiga. Pengecualian diberikan sebagaimana diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata yang memperbolehkan seseorang membuat janji guna kepentingan pihak ketiga, sepanjang perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung kepentingan semacam itu. Sementara itu, dalam Pasal 1318 KUH Perdata, dimana seseorang memperjanjikan sesuatu hal untuk dirinya sendiri, maka secara serta merta juga untuk kepentingan ahli warisnya dan pihak-pihak yang memperoleh hak darinya.

E. Wanprestasi

Wanprestasi (wanprestatie) menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, atau tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. 53

53

Sudarsono, Kamus Hukum, Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal. 578.

Dalam pelaksanaan perjanjian, Pasal 1234 KUH Perdata memberikan ketentuan


(49)

mengengenai wujud prestasi, yaitu dapat berupa memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, secara sederhana wanprestasi dapat terjadi bilamana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang disebutkan dan disepakati dalam perjanjian.

Ahmadi Miru dalam bukunya54

1. sama sekali tidak memenuhi prestasi;

, menyatakaan bahwa ada empat macam wujud wanprestasi, yaitu :

2. prestasi yang dilakukan tidak sempurna; 3. terlambat memenuhi prestasi;

4. melakukan apa yang di dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Keempat wujud wanprestasi tersebut, dapat terjadi karena disengaja, karena kelalaian, atau karena tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja melakukan wanprestasi, dapat terjadi karena tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut karena adanya keadaan memaksa (overmacht).

Seorang debitur, bila melakukan wanprestasi maka akan menimbulkan suatu akibat hukum dalam perjanjian. Akibat yang harus ditanggung oleh debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sanksi, yang dapat berupa sebagai berikut :55

a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). Adanya pernyataan lalai dari pihak yang dirugikan merupakan persyaratan atas penggantian biaya kerugian yang diwajibkan kepada pihak yang lalai. Pernyataan lalai dikeluarkan setelah

54

Ahmadi Miru, op.cit., hal. 74.

55


(50)

dilakukan pemberian teguran dan peringatan kepada pihak yang melakukan kelalaian.

b. Apabila perikatan itu timbal balik (bilateral), kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata).

c. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 (2) KUH Perdata).

d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka

pengadilan negeri dan debitur dinyatakan bersalah. (Pasal 181 (1) HIR). Dalam wanprestasi, selain mengidentifikasi wujud wanprestasi, yang juga penting untuk dilakukan adalah menentukan saat/momen terjadinya wanprestasi. Dalam Pasal 1237 KUH Perdata dinyatakan bahwa, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan kreditor. Jika debitor lalai akan menyerahkannya, maka sejak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa wanprestasi telah terjadi pada saat debitor (pihak yang dibebani prestasi) tidak melaksanakan prestasinya (berupa memberikan kebendaan tertentu).

Selain berdasarkan ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata, pernyataan lalai secara prosedural dapat dikatakan sebagai penentuan saat/momen terjadinya


(51)

wanprestasi. Bentuk pernyataan lalai yang diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata ada tiga macam, yaitu :

1) Surat perintah, berupa peritah lisan yang disampaikan melalui juru sita pada pengadilan kepada debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam perjanjian, yang berwujud salinan surat peringatan. Surat Edaran (SEMA) Nomor 3/1963 yang secara subtantif mengakui bahwa turunan surat gugatan kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi kepada debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat dianggap pernyataan lalai56

2) Akta sejenis, yaitu akta otentik yang sejenis dengan perintah lisan juru sita pada pengadilan itu, yang antara lain dapat berupa surat, telegram, dal lainnya;

;

3) Sesuai dengan kesepakatan yang dinyatakan secara tegas dalam kontrak itu sendiri.

Wanprestasi dapat mengakibatkan kreditur menderita kerugian. Oleh karena itu, kreditur dapat memilih beberapa kemungkinan akibat yang harus ditanggung oleh pihak yang melakukan wanprestasi, yang dapat berupa tuntutan pembatalan kontrak dan pemenuhan kontrak. Bila diuraikan lebih lanjut, maka terdapat empat kemungkinan, yaitu :

a) pembatalan perjanjian saja;

b) pembatalan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi;

56


(52)

c) pemenuhan kontrak saja;

d) pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Selain dari pada keempat kemungkinan tersebut, masih ada lagi satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja” Namun, dalam kenyataannya tidaklah mungkin seseorang hanya menuntut ganti rugi saja yang artinya melepas kemungkinan dipenuhinya perjanjian. Karena pembatalan perjanjian atau dipenuhinya perjanjian merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada tuntutan gantirugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi. 57

Pengertian ganti rugi (schade) menurut KUH Perdata adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan oleh para pihak saat mereka membuat perjanjian, yang timbul sebagai akibat wanprestasi. Ganti rugi menurut Pasal 1246 KUH Perdata terdiri atas rugi yang diderita oleh kreditur dan untung yang sedianya (seharusnya) dapat dinikmati oleh kreditur. Hal ini juga sejalan dengan pendapat J.H. Niewenhuis yang menyatakan bahwa kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak pertama (yang dirugikan), yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma (dalam hal ini wanprestasi) oleh pihak lain. Kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya “bagaimana dalam kenyataannya” keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma (wanprestasi) dengan situasi hipotesis situasi itu akan jadi bagaimana seandainya tidak terjadi pelanggaran norma (wanprestasi).58

57

Ahmadi Miru, op.cit. hal. 75.

58


(53)

Dalam hal ganti kerugian, terdapat tiga bentuk dari ganti kerugian. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1246 KUH Perdata, ketiga komponen tersebut, yaitu :

(1) Biaya (kosten), yaitu segala pengeluaran atau ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan;

(2) Rugi (scaaden), yaitu kerugian yang disebabkan lalainya debitur sehingga menyebabkan berkurangnya nilai barang atau rusak barang yang menjadi prestasi dalam perjanjian;

(3) Bunga (interessen), yaitu keuntungan yang sedianya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur, dimana akibat terjadinya wanprestasi maka keuntungan tersebut menjadi hilang atau tidak lagi dapat diharapkan.

Pembebanan ganti rugi kepada pihak debitur harus dikaitkan dengan sifat pelanggaran kontraktual yang fundamental. Pelanggaran-pelanggaran kecil yang secara signifikan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan kontrak hendaknya ditoleransi oleh pihak kreditur dan tidak secara membabi buta menerapkan sanksi kepada debitur dalam bentuk ganti rugi. Jadi, perlu memperhitungkan secara proposional sesuai dengan kadar kesalahan dan beban yang harus dipikul oleh salah satu pihak, sehingga kontrak berjalan dengan baik.59

59


(54)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan

Pengaturan umum mengenai perjanjian pemborongan dimuat dalam Bab VII A Buku III Pasal 1601 b, dan Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616 KUH Perdata. Pemborongan pekerjaan sebagaimana yang dinyatakan dalam 1601 b KUH Perdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Artinya, dalam suatu perjanjian pemborongan ada dua pihak yang terlibat. Pihak pertama disebut pihak yang memborongkan (Kepala Kantor, Satuan Kerja, Pemimpin Proyek) dan pihak kedua disebut dengan pemborong, rekanan, atau kontraktor.

Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena dapat menimbulkan anggapan bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kewajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Pada hakikatnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dan yang memborongkan, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Untuk melengkapi kekurangan definisi perjanjian pemborongan tersebut, Djulmialdji menyatakan bahwa perjanjian pemborongan merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong,


(55)

mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak lain yang memborongkan, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan.60 Bagaimana caranya pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan, karena yang dikehendaki dari pembuatan perjanjian pemborongan adalah hasilnya, yang pada akhirnya harus diserahkan dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjaniian.61

Selain dalam KUH Perdata, perjanjian pemborongan juga diatur dalam

Algemene Voorwaarden Voorde Unit Bij Aaneming Van Openbare Werken in Indonesie Tahun 1941 (selanjutnya disebut dengan A.V. 1941) tentang syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia, yang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia. A.V. 1941 adalah peraturan standar yang digunakan bagi perjanjian pemborongan di Indonesia khususnya untuk proyek-proyek pemerintah. Namun seiring perkembangan zaman dan keluarnya peraturan perundang-undangan yang baru, ketentuan-ketentuan dalam A.V. 1941 banyak yang sudah tidak relevan dan dinyatakan tidak lagi berlaku.62

Pengaturan perjanjian pemorongan dalam KUH Perdata merupakan pengaturan pelengkap dan bersifat umum (general). Dikatakan pelengkap karena dalam perjanjian pemborongan para pihak dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan, sepanjang tidak bertentangan dengan

undang-60

F.X. Djulmialdji, Hukum Bangunan, Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 4.

61

R. Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit., hal. 58.

62


(56)

undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dikatakan bersifat umum karena KUH Perdata merupakan lex generalis terhadap peraturan perundang-undangan lain yang juga memberikan pengaturan mengenai perjanjian pemborongan, artinya pengaturan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat berlaku dalam perjanjian pemborongan proyek swasta maupun dalam perjanjian proyek-proyek pemerintah.

Perjanjian pemborongan adalah perjanjian yang kompleks dan rentan bermasalah. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan khusus terkait tata laksana perjanjian tersebut. Beberapa pemborongan pekerjaan yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Pemborongan pekerjaan konstruksi, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi;

2. Pemborongan kerja dan penyedia jasa pekerja/buruh, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan 3. Pemborongan pekerjaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Mengenai pengaturan pekerjaan pemborongan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah, telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama yaitu Perturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan yang terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang didampingi oleh Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70


(1)

3) Bertanggung jawab dalam memberikan keterangan-keterangan yang valid guna mendukung kegiatan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan PPK.

4) Bertanggung jawab untuk menyerahkan hasil pekerjaan/barang dalam keadaan/kondisi yang baik, dan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak.

5) Bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan tempat kerja dan membatasi perusakan dan gangguan kepada masyarakat maupun miliknya akibat kegiatan penyedia dengan mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk itu.

3. Dalam syarat-syarat SPK diatur bahwa penyelesaian perselisihan sedapat mungkin dilakukan dengan bermusyawarah untuk memperoleh kesepakatan secara damai dan kekeluargaan. Jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka dilanjutkan pada proses mediasi dengan bantuan pihak ketiga (mediator) sebagai penengah yang netral dengan memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian perselisihan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan pilihan terakhir apabila cara-cara penyelesaian di luar pengadilan tersebut diatas dinyatakan gagal. Mengenai tata cara pembayaran ganti rugi tidak diatur dengan jelas dalam SPK, namun biasanya perhitungan ganti rugi dilakukan pada saat pembayaran prestasi pekerjaan dan hanya dibayarkan apabila penyedia telah mengajukan tagihan disertai dengan perhitungan dan data-datanya secara terperinci.


(2)

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan dan bermanfaat terhadap perkembangan perjanjian pemborongan, sebagai berikut :

1. Dalam pelaksanaan penunjukan penyedia pengadaan barang/jasa hendaknya dilakukan secara hati-hati dan jujur, agar nantinya terpilih penyedia barang/jasa yang benar-benar mampu dan berkompeten untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. 2. Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa dari awal hingga

berakhirnya pekerjaan, hendaknya para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana yang telah disepakati, guna menunjukkan rasa tanggung jawabnya untuk memberikan hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan.

3. Dalam penyelesaian perselisihan hendaknya mengutamakan penyelesaian melalui musyawarah. Selain murah dan hemat waktu, penyelesaian perselisihan melalui musyawarah dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, karena para pihak dapat secara bersama-sama mencari jalan keluar guna penyelesaian perselisihan tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

, 1980, Kontrak Baku: Standard Pengembangannya di Indonesia,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Djulmialji, F.X., 1996, Hukum Bangunan, Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.

, 1995, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

Hernoko, Agus Yudha, 2013, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta.

H.S., Salim, 2010, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

Kansil, C.S.T. dan Christine S. T. Kansil, 2002, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, UI Pascasarjana, Jakarta.

Margono, Suyod, 2010, Mempertimbangkan ADR (Alternative Dispute Resolution & Arbitrase : Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(4)

Mulhadi, 2010, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor.

Niewenhuis, Jacob Hans, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan oleh Djasadin Saragih, Surabaya.

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-DasarHukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung. Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung.

Setiawan, R., 1987, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Mascjchun, 1982, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty, Yogyakarta.

Subekti, R., 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Supriadi, H. dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2012, Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Sinar Grafika, Jakarta.

Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Syamsuddin, M. Syaufii, 2005, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial,


(5)

Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Tribawono, Djoko, 2002, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Subekti R. dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi Nomor 13 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Kota Tebing Tinggi

Peraturan Walikota Tebing Tinggi Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2009 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Pada Dinas-Dinas Daerah Kota Tebing Tinggi


(6)

C. Sumber Internet/Website

-utara/detail/1276/kota-tebing-tinggi#profil., diakses pada tanggal 2 Maret 2014, pukul 20.17 WIB.

diakses pada tanggal 5 Maret

2014, pukul 08.21 WIB.

diakses pada tanggal 10 April 2014, pukul 09.33 WIB.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pt.Indonesia Asahan Aluminium Dengan Pt.Putra Tanjung Lestari Dalam Pengandaan Tenaga Keeja Outsourcing Setelah Pt.Inalum Bumn

1 53 110

Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi Antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Dengan Perusahaan Rekanan ( Studi Di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara)

1 67 98

Analisa Yuridis Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Dibawah Tangan Terhadap Hal-Hal Yang Tidak Diperjanjikan Secara Tegas

2 83 126

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

8 122 120

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Kendaraan Bus Wisata Antara PT. Lingga Jati Al Manshurin Dengan P.O. Karona

2 56 102

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Jual-Beli Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Antara PTPN I DAN PT. Bagun Sempurna Lestari (BSL)

12 132 123

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)

3 106 112

Tinjauan Yuridis Perjanjian Franchise Berdasarkan Undang-Undang Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual

2 43 88

Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional)

2 43 119

Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Kontrak Kerja Pembangunan Irigasi Antara Cv. Raut Agung Group Dan Dinas Pekerjaan Umum Kota Tebing Tinggi

0 10 86