Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Dalam Penjualan Voucher Hotel Antara PT. Eka Sukma Tour Dengan Hotel J.W. Marriot Medan

(1)

TESIS

Oleh

RIO ADRIAN SUKMA

097011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIO ADRIAN SUKMA

097011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : Rio Adrian Sukma

Nomor Pokok : 097011118

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : RIO ADRIAN SUKMA

Nim : 097011118

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA DALAM PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL J.W. MARRIOT MEDAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RIO ADRIAN SUKMA Nim :097011118


(6)

dirinya terhadap satu orang atau lebih. Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot dengan PT. Eka Sukma Tour, merupakan perjanjian kontraktual dan merupakan perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, dan bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif yuridis dengan pendekatan yuridis empiris. Data hasil penelitian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dengan menggunakan perangkat normatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan (biasa) dan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut tidak seimbang. Dalam perjanjian standar syarat-syarat ditentukan sepihak oleh pihak hotel. Travel sebagai mitra tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan, sebagaimana tertuang dalam isi perjanjian, khususnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak. Isi perjanjian lebih menekankan kewajiban PT Sukma Tour, sedangkan kewajiban Hotel JW Marriott tidak dinyatakan secara jelas. Demikian juga dalam hal pengaturan hak dan kewajiban tersebut, terutama dalam hal wanprestasi, tidak dicantumkan dengan jelas. Penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak travel, seperti tidak terpenuhinya volume kamar (room) selama waktu yang ditentukan, maka secara langsung pihak Hotel JW Marriot melakukan pemutusan hubungan kerjasama.walaupun dapat dinegoisasi kembali. Dalam hal terjadinya pemutusan tersebut, pihak Sukma Tour harus membayar sejumlah kamar (room) yang telah dibooking. Sedangkan wanprestasi oleh pihak Hotel JW Marriot tidak diatur dalam perjanjian kerjasama, sehingga perlu diatur dalam perjanjian kerjasama selanjutnya. Kata kunci : Perjanjian Kerjasama, Kedudukan Para Pihak, Wanprestasi.


(7)

to one or more people. Law recognizes a person's autonomy right to freely make agreements with any one and to specify the content of the agreement known as the principle of freedom of contract. But, in fact, in a contractual agreement, the clause has been unilaterally determined by the first party. Whereas, the second party, of course, has to comply with the provisions stated in the contract, that there is no equality between the two parties. This condition occurred in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, a contractual agreement made underhanded (not the deed made before/by the notary). The problems to be solved in this study were what the form of the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was, what position the two parties had in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, and how the dispute will be settled if one of the parties involved did not keep his promise as stated in the agreement.

This descriptive juridical study with empirical juridical approach was conducted to answer the research questions. The data obtained were processed and analyzed through qualitative analytical method before drawing a conclusion through deductive method using normative instrument.

The result of this study showed that the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was made underhanded in the form of standard contract that the position of the parties involved in this cooperation agreement of selling hotel voucher was not balanced. In a standard contract, the requirements are unilaterally determined by the hotel management. Travel agency as its partner does not have a beneficial bargaining position, as stated in the agreement, especially in terms of right and responsibility of the parties. The content of the cooperation agreement was focused more on the responsibility of PT. Eka Sukma tour while that of JW Marriot Hotel was not clearly stated. The same thing occurred in terms of the right and responsibility regulations, especially in terms of wanprestasi (broken promise), was not clearly stated either. Legal settlement done, in case the travel agency broke its promise, for example, the room volume was not met in a given time, was that JW Marriot Hotel directly terminated the cooperation. In this case of cooperation termination, PT. Eka Sukma tour had to pay for a number of rooms which had been booked. While about the promise broken by JW Marriot Hotel was not regulated in the cooperation agreement that it needs to be regulated in the future cooperation agreement.

Keywords: Cooperation Agreement, Position of the Parties Involved, Breaking Promise Stated in the Agreement


(8)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan lahir batin kepada penulis sehingga dapat menjalani dan menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan inilah, penulis membuat suatu karya ilmiah yang berjudul“TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA DALAM PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL J.W MARRIOT MEDAN”.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan penghargaan dan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Ucapan terimakasih ini penulis tujukan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., atas kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(9)

dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Terimakasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH serta. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Humselaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

5. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., dan Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum., selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini;

6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak menambah ilmu pengetahuan penulis.

7. Kedua orangtua, ayahBen Sukma Harahapdan MamiNouritha F.Sinulingga. yang memotivasi dan memberi kasih sayang yang tiada habis nya.dan buat Istri Ayu Febrianti dan anak tercinta, Aiko yang membuat selalu semangat. Dan kakak kakak ku.Ira, Lia, Dini ,Suci,Tyka dan abang ipar bang Wahyu, Roni, Hendradanbang Zul.serta tidak lupa kepada kedua mertua.


(10)

Tommy, Bang Zulkarnain, Bang Hendra, Bang Andi, Mighdad, Moses, RicharddanAde,semoga setelah selesainya studi ini persahabatan kita bisa tetap terjalin meskipun kita tidak bersama-sama lagi.

9. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara ,Bu Fat, Kak Lisa, kak Winda, Kak Sari, kak Afnidan Bang Aldi, Bang Ken;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segaa kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga tesis ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya.

Medan, Januari 2012 Penulis


(11)

I. IDENTITAS PRIBADI

N a m a : Rio Adrian Sukma Tempat/Tgl Lahir : Medan/17 Februari 1985 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah

Alamat : Jalan Sunggal No. 28 Medan

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Swasta Harapan Medan dari tahun 1991 sampai tahun 1997. 2. SLTP Swasta Harapan Medan dari tahun 1997 sampai tahun 2000. 3. SLTA Swasta Harapan Medan dari tahun 2000 sampai tahun 2003.

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dari tahun 2003 sampai tahun 2008.

5. Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dari tahun 2009 sampai tahun 2012


(12)

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 7

1. Kerangka Teori... 7

2. Konsepsi... 27

G. Metode Penelitian... 28

1. Spesifikasi Penelitian ... 28

2. Jenis dan Sumber Data ... 29

3. Alat Pengumpul Data ... 30

4. Analisis Data ... 30

BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN... 32

A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel ... 32


(13)

BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT

MEDAN... 56

A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Terhadap Para Pihak... 56

B. Asas Kebebasan Berkontrak ... 59

1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak ... 59

2. Sumber-sumber Hukum Perancangan Kontrak... 64

3. Prinsip-prinsip Dalam Perancangan Kontrak... 66

4. Pengakhiran Kontrak (termination of contract)... 68

C. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel ... 68

BAB IV PENYELESAIAN HUKUM JIKA TERJADI WANPRESTASI ANTARA SALAH SATU PIHAK... 81

A. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Perjanjian... 81

B. Akibat Hukum yang Timbul dari Wanprestasi ... 87

C. Keadaan Memaksa ... 90

D. Perselisihan Hukum yang Terjadi Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ... 93

E. Penyelesaian Perselisihan Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan... 96

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 101

A. Kesimpulan... 101

B. Saran ... 102


(14)

dirinya terhadap satu orang atau lebih. Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot dengan PT. Eka Sukma Tour, merupakan perjanjian kontraktual dan merupakan perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, dan bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif yuridis dengan pendekatan yuridis empiris. Data hasil penelitian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dengan menggunakan perangkat normatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan (biasa) dan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut tidak seimbang. Dalam perjanjian standar syarat-syarat ditentukan sepihak oleh pihak hotel. Travel sebagai mitra tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan, sebagaimana tertuang dalam isi perjanjian, khususnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak. Isi perjanjian lebih menekankan kewajiban PT Sukma Tour, sedangkan kewajiban Hotel JW Marriott tidak dinyatakan secara jelas. Demikian juga dalam hal pengaturan hak dan kewajiban tersebut, terutama dalam hal wanprestasi, tidak dicantumkan dengan jelas. Penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak travel, seperti tidak terpenuhinya volume kamar (room) selama waktu yang ditentukan, maka secara langsung pihak Hotel JW Marriot melakukan pemutusan hubungan kerjasama.walaupun dapat dinegoisasi kembali. Dalam hal terjadinya pemutusan tersebut, pihak Sukma Tour harus membayar sejumlah kamar (room) yang telah dibooking. Sedangkan wanprestasi oleh pihak Hotel JW Marriot tidak diatur dalam perjanjian kerjasama, sehingga perlu diatur dalam perjanjian kerjasama selanjutnya. Kata kunci : Perjanjian Kerjasama, Kedudukan Para Pihak, Wanprestasi.


(15)

to one or more people. Law recognizes a person's autonomy right to freely make agreements with any one and to specify the content of the agreement known as the principle of freedom of contract. But, in fact, in a contractual agreement, the clause has been unilaterally determined by the first party. Whereas, the second party, of course, has to comply with the provisions stated in the contract, that there is no equality between the two parties. This condition occurred in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, a contractual agreement made underhanded (not the deed made before/by the notary). The problems to be solved in this study were what the form of the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was, what position the two parties had in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, and how the dispute will be settled if one of the parties involved did not keep his promise as stated in the agreement.

This descriptive juridical study with empirical juridical approach was conducted to answer the research questions. The data obtained were processed and analyzed through qualitative analytical method before drawing a conclusion through deductive method using normative instrument.

The result of this study showed that the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was made underhanded in the form of standard contract that the position of the parties involved in this cooperation agreement of selling hotel voucher was not balanced. In a standard contract, the requirements are unilaterally determined by the hotel management. Travel agency as its partner does not have a beneficial bargaining position, as stated in the agreement, especially in terms of right and responsibility of the parties. The content of the cooperation agreement was focused more on the responsibility of PT. Eka Sukma tour while that of JW Marriot Hotel was not clearly stated. The same thing occurred in terms of the right and responsibility regulations, especially in terms of wanprestasi (broken promise), was not clearly stated either. Legal settlement done, in case the travel agency broke its promise, for example, the room volume was not met in a given time, was that JW Marriot Hotel directly terminated the cooperation. In this case of cooperation termination, PT. Eka Sukma tour had to pay for a number of rooms which had been booked. While about the promise broken by JW Marriot Hotel was not regulated in the cooperation agreement that it needs to be regulated in the future cooperation agreement.

Keywords: Cooperation Agreement, Position of the Parties Involved, Breaking Promise Stated in the Agreement


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.1

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi.2 Dari pengertian singkat tersebut dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum (rechsbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya, oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/persoon adalah

1Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, 1992, hlm. 93. 2M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 6.


(17)

hubungan yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”3 Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.4

Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.5

Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, maka pihak-pihak yang akan mengikat diri dalam suatu perjanjian kerjasama dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang akan ada pada KUHPerdata. Tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang

3Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Perjanjian,Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm, 52. 4Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 1.

5 Ridwan Khaidandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 38.


(18)

memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, sedangkan dalam hal ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak.

Dengan demikian perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik yang telah dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut dengan demikian maka pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua mitra yang berjanji, terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kerjasama, asas kemitraan itu sangat diperlukan.6

Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain asas tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas fundamental lainnya dan hukum kontrak adalah konsensualisme. Ketiga asas dasar tersebut perlu ditambah satu asas lagi yakni asas keseimbangan, agar dapat mengoper seluruh asas


(19)

hukum kontrak pada khususnya ataupun instrumen hukum yang ada di dalam KUHPerdata dengan mendasarkan nilai dan norma hukum yang berlaku.7

Dalam pelaksanaan kepariwisataan juga terjadi perjanjian diantara pengusaha kepariwisataan tersebut. Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha pariwisata adalah jasa perjalanan wisata (travel). Selanjutnya Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha penyediaan akomodasi adalah berupa usaha hotel.

Oleh karena bidang usaha yang saling mendukung tersebut, maka hotel sebagai penyedia akomodasi kepariwisataan bekerja sama dengan pihak jasa perjalanan wisata (travel) dalam hal memasarkan jasa akomodasi yang disediakan kepada konsumen. Kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjajian.

Berdasarkan uraian tersebut berarti hak otonomi menunjukkan asas kesetaraan dalam melakukan perjanjian. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot sebagai penyedia kamar hotel (room) dengan PT.Eka Sukma Tour, sebagai perusahaan travel agent. Keuntungan dari voucher hotel ini adalah bahwa wisatawan sebagai konsumen dapat membooking

7 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 123.


(20)

kamar hotel melalui travel agent-nya, dan pihak travel memperoleh sejumlah fee tertentu dari penjualan voucher tersebut.

Dalam hal ini Hotel JW Marriot mengeluarkan voucher hotel untuk sejumlah kamar (room) yang kemudian dijual kepada wisatawan melalui travel agent. Pihak Hotel JW Marriot secara sepihak telah menentukan hak dan kewajiban para pihak termasuk jika terjadi wanprestasi. Voucher hotel yang dikeluarkan oleh pihak Hotel JW Marriot berupa lembar tanda bukti pembayaran atas suatu kamar (room) pada Hotel JW Marriot Medan. Penjualan voucher dilakukan oleh travel kepada wisawatan yang hendak menginap di Hotel JW Marriot, dimana pihak travel diberikan volume kamar (room) tertentu yang harus terjual dalam satu periode waktu tertentu, misalnya 3 bulan.

Perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut berupa perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Jika travel tidak dapat menjual voucher sebanyak volume kamar (room) yang telah ditentukan, maka dianggap wanprestasi, dan pihak Hotel JW Marriot secara sepihak memutuskan kerjasama dengan pihak travel. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan tersebut.

Sehubungan dengan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut, dilakukan suatu kajian atau tinjauan yuridis tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.


(21)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ?

2. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ? 3. Bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara

salah satu pihak ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.

2. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.


(22)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang keperdataan terutama yang berhubungan dengan perjanjian.

2. Secara Praktis

Diharapkan akan bermanfaat sebagai masukan bagi praktisi travel dan hotel terutama pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian kerjasama, dan masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang membahas mengenai tinjauan yuridis perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjradi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada


(23)

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.8 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis dibidang hukum.9 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.10 Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.11

Suatu perbuatan hukum dilakukan bertujuan untuk memperoleh keadilan. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.12

Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam

mengutamakan “the search for justice”.13 Terdapat macam-macam teori mengenai

8JJJ M. Wuismen,Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, Penyunting M. Hisman, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203.

9M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hlm. 27. 10Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 1998, hlm. 23. 11M. Solly Lubis,Op.Cit., hlm. 23.

12 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 239.

13 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Kanisius, Yogyakarta, 1995 hal. 196.


(24)

keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan John Rawls dalam bukunyaa theory of justice.

John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.14Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum,

14 John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 97.


(25)

tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.15 Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,


(26)

pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:

1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,

2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.

3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.

Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:

1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)

2. Prinsip perbedaan (differences principle)


(27)

Jadi kaitan antara teori keadilan dengan perjanjian kerjasama voucher hotel antara PT.Sukma Tour dengan Hotel J.W Marriot bahwa didalam kerjasama tersebut hendak nya menerapkan prinsip Kebebasan yang sama, Prinsip perbedaan dan Prinsip Persamaan Kesempatan, agar keadilan tersebut bisa terwujud dan terjaga keseimbangan kepentingan para pihak.

Dalam hukum kontrak (perjanjian) dikenal tiga asas, yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak (the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak (principle of freedom on contract). Ketiga asas ini saling berkaitan satu sama lain.

Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka orang-orang boleh membuat atau tidak membuat perjanjian. Para pihak yang telah sepakat akan membuat perjanjian, bebas menentukan apa yang apa yang boleh dan tidak boleh dicantumkan dalam suatu perjanjian. Kesepakatan yang diambil oleh para pihak mengikat mereka sebagai Undang-undang (Pasal 1338 KUH Perdata). Penerapan asas ini memberikan tempat yang penting bagi berlakunya asas konsensual, yang mengindikasikan adanya keseimbangan kepentingan, keseimbangan dalam pembagian beban resiko, dan


(28)

keseimbangan posisi tawar (bargaining position). Menurut Sutan Remy Syahdeini kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki

bargaining poweryang seimbang. Jika bargaining powertidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadiunconscionable.16

Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan:

Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.17 Asas keseimbangan merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik, prinsip transaksi jujur dan prinsip keadilan. Keseimbangan dalam hukum dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar dalam masayrakat, oleh karena itu diperlukan suatu sistem pengaturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Menurut prinsip-prinsip UNIDROIT,18 salah satu pihak dapat membatalkan seluruh atau sebagian syarat individual dari kontrak, apabila kontrak atau syarat tersebut secara tidak sah memberikan keuntungan yang berlebihan kepada salah satu pihak saja. Keadaan demikian didasarkan pada dua hal :

(a) Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau

16 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Buku I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 185.

17Ibid.


(29)

dari keborosan, ketidak tahuan, kekurang pengalaman atau kekurang ahlian dalam tawar menawar;

(b) Sifat dan tujuan dari kontrak.

Menurut prinsip keseimbangan, salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan secara yang tidak sah kepada pihak lain. Keuntungan yang berlebihan tersebut harus nampak pada saat pembuatan kontrak. Istilah keuntungan yang berlebihan diartikan sebagai suatu perbedaan penting dalam harga atau unsur lainnya. Hal ini mengganggu keseimbangan dalam pelaksanaan da keserasian dalam masyarakat, yang dapat digunakan sebagai alasan permohonan pembatalan kontrak melalui pengadilan.

Oleh karena itu asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas hukum kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

b. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.

c. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.


(30)

Asas menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan.

e. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.

f. Asas Moral

Asas ini terlihat di dalam Zaak waarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangktan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata.

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

h. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.19

Pembahasan hukum kontrak sering kali dikaitkan dengan pembahasan keseimbangan dalam berkontrak (azas keseimbangan). Acap kali muncul anggapan bahwa kontrak yang terjalin antara pihak-pihak tidak memberikan keseimbangan posisi bagi salah satunya. Kontrak yang demikian dianggap tidak adil dan berat sebelah, sehingga memunculkan upaya untuk mencari dan menggali temuan-temuan baru di bidang hukum kontrak agar dapat menyelesaikan problematika ketidakseimbangan dalam hubungan kontraktual.

Pengertian “keseimbangan-seimbang” atau evenwicht-evenwichtig (Belanda), atau equality-equal-equilibrium (Inggris) bermakna leksikal “sama, sebanding”


(31)

menunjuk pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat, dan lain-lain.20 Menurut Sutan Remy Syahdeini bahwa keseimbangan para pihak yang berkontrak hanya akan terwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat. Dengan membiarkan hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak, seringkali menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah. Dengan demikian, negara seharusnya campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu yang harus dimuat atau dilarang dalam suatu kontrak.

Menurut Herlin Budiono, azas keseimbangan juga dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibannya dalam perjanjian. Ketidakseimbangan posisi menimbulkan ketidakadilan, sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.21

Ahmadi Miru berkomentar bahwa keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan dengan konsumen.22 Berarti, azas keseimbangan diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak. Selanjutnya B. Arief Sidharta berpendapat bahwa azas-azas hukum kontrak yang hidup dalam kesadaran hukum Indonesia sebagaimana tercermin dalam hukum adat, maupun

azas-20Tim Penyusun,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 60 dan 788.

21 Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 302.

22 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 129


(32)

azas hukum moderen sebagaimana ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak Belanda di perundang-undangan, praktek hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam suatu azas, yaitu azas keseimbangan.23

Herlien Budiono, memberi 2 (dua) makna pada azas keseimbangan, yaitu (i) azas keseimbangan sebagai azas etikel yang bermakna suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Makna keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak (berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan) dan pada sisi lain keyakinan (akan kemampuan). Dalam batasan kedua sisi tersebut keseimbangan akan dapat diwujudkan.24 (ii) azas keseimbangan sebagai azas yuridikal artinya azas keseimbangan dapat dipahami sebagai azas yang layak atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.25 Dalam hal keseimbangan kontraktual terganggu, maka jalan keluar untuk melakukan pengujian daya kerja azas keseimbangan, melalui : tindakan, isi dan pelaksanaan perjanjian.26

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

23B. Arief Sidharta, Kata Pengantar dalam Herlien Budiono,Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. Viii.

24

Herlien Budiono, 2006.Ibid.,hlm. 304-305. 25Ibid.,hlm. 307.


(33)

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Secara garis besar KUHPerdata mengklasifikasikan jenis‐jenis perjanjian sebagai berikut27:

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya, misalnya hibah.

2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak membebani

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian bernama dan tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian‐perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yag tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para pihak.

5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak‐pihak. Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian di samping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.

Suatu perjanjian dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau mungkin tidak dapat dilaksanakan karena adanya


(34)

hambatan‐hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan‐hambatan tersebut dapat terjadi berupa wanprestasi dan keadaan memaksa28.

a. Wanprestasi

Wanprestasi menurut Abdul Kadir Muhamad mempunyai arti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian29. Sedangkan menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi30.

Dari dua pengertian di atas, maka secara umum wanprestasi berarti pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Misalnya seorang debitur disebutkan dalam keadaan wanprestasi maka dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang sepatutnya.

Debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi baik karena lalai maupun karena kesengajaan, apabila31:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

28J. Satrio,Hukum PerikatanPerikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hlm, 83. 29Abdul Kadir Muhamad,Op.Cit,hlm. 20.

30

J. Satrio,Op.Cit, hlm. 122.

31Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 122.


(35)

c. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tetapi sudah terlambat. d. Melakukan suatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk menentukan dan menyatakan apakah seseorang melakukan

wanprestasi, tidaklah mudah karena seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Sebelum dinyatakan wanprestasi, seorang debitur harus lebih dahulu ditagih atau diberi teguran atau somasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyebutkan : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan terus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal 1238 KUH Perdata mengatakan bahwa debitur lalai, dan oleh KUH Perdata telah jelas ditetapkan, sejak kapan debitur dalam keadaan lalai, yaitu dengan tiga jenis teguran atau peringatan :

1. Surat Perintah

Surat perintah atau surat peringatan resmi dari hakim atau juru sita pengadilan biasanya berbentuk penetapan atau beschiking. Berdasarkan surat perintah tersebut juru sita memberi surat teguran secara lisan kepada debitur kapan selambat‐lambatnya ia harus berprestasi. Ini biasanya disebut dengan exploit juru sita.


(36)

Akta sejenis ini merupakan peringatan secara tertulis, maksudnya dapat berupa akta di bawah tangan atau dengan akta notaris.

3. Tersimpul dari perjanjiannya sendiri

Maksudnya sejak membuat perjanjian para pihak sudah menentukan saat kapan terjadinya wanprestasi.

Pernyataan lalai sebenarnya merupakan suatu peringatan dari kreditur agar debitur berprestasi, selambat‐lambatnya pada suatu saat tertentu32.

Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai dengan memilih beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut:

a. Pemenuhan perjanjian;

b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi; c. Ganti rugi saja;

d. Pembatalan perjanjian;

e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Sedangkan menurut R. Subekti33, akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah suatu sanksi, terdapat 4 (empat) macam sanksi yaitu :

1) Ganti Rugi

Debitur harus membayar ganti rugi sebagai akibat kerugian yang diderita kreditur, seperti yang tersebut dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan perincian ganti rugi yang meliputi :

32Purwahid Patrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 12. 33R. Subekti,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, 1995, Bandung, hlm. 28.


(37)

a. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata‐nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.

b. Rugi, yaitu kerugian yang terjadi karena kerusakan barang‐barang kepunyaan kreditur, yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.

c. Bunga, yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Undang‐undang juga memberikan ketentuan yang merupakan pembatasan tentang apa yang dituntut sebagai ganti rugi, ketentuan‐ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu menyatakan sebagai berikut :

Pasal 1247 KUH Perdata menentukan: “Si berhutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”

Pasal 1248 KUH Perdata menentukan: “Bahwa jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya di berutang, pengganti biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.”

Dengan demikian walaupun debitur dalam kenyataan lalai atau alpa tetap diberi perlindungan oleh undang‐undang terhadap kesewenangan pihak kreditur. Akan


(38)

tetapi pembatasan tersebut hanya meliputi kerugian yang dapat diduga pada kemungkinan timbulnya kerugian dan besarnya kerugian.34 Serta kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari wanprestasi, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUH Perdata.

2) Pembatalan Perjanjian

Pembatalan ini mempunyai maksud bahwa kedua belah pihak berkehendak kembali kepada keadaan semula sebelum perjanjian diadakan. Bila salah atu pihak telah memenuhi atau menerima prestasi dari pihak lain (baik barang maupun uang), maka harus dikembalikan seperti sedia kala.35 Pemutusan perjanjian karena wanprestasi debitur diatur dalam Pasal 1265‐1267 KUH Perdata, yaitu terdapat dalam bagian V Bab I buku III KUH Perdata. Menurut undang‐undang dalam hal wanprestasi, harus memenuhi syarat untuk melaksanakan pembatalan perjanjian, yaitu :

a. Debitur harus dalam keadaan wanprestasi; b. Pemutusan perjanjian dengan perantaraan hakim; c. Harus dalam perjanjian timbal balik.

3) Peralihan Resiko

Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi sesuatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek

34Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Perjanjian,Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 72. 35Suharnoko,Op.Cit,hlm. 124.


(39)

perjanjian. Disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata, bahwa atas kelalaian dari seseorang debitur maka ia akan dikenai sanksi peralihan resiko. 4) Pembayaan Ongkos Perkara

Dalam hal debitur yang lalai dan sebagai pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara, seperti yang disebutkan dalam suatu hukum acara pidana maupun acara perdata (Pasal 181 ayat (1) H.I.R). Kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan ataupun sanksinya terhadap debitur tersebut. Kreditur dapat menuntut satu atau lebih sanksi kepada debitur. Jadi selain dapat menuntut pemenuhan perjanjian saja juga dapat disertai dengan menuntut ganti rugi36.

Sedangkan bagi seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan sebagai alat untuk membela diri, yaitu37:

a. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah lalai; b. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;

c. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

b) Akibat dari Wanprestasi

Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitur harus : 1. Mengganti kerugian.

36Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2010,hlm. 82. 37Purwahid Patrik,Op.Cit, hlm, 24.


(40)

2. Benda yang dijadikan obyek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.

3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.

Di samping debitur harus bertanggung gugat tentang halhal tersebut, maka apa yang dapat dilakukan oleh kreditur menghadapi debitur yang wanprestasi itu. Kreditur dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut :

1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian. 2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.

3. Dapat menuntut pengganti kerugian.

4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian. 5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.

Wanprestasi memang dapat terjadi dengan sendirinya tetapi kadang‐kadang tidak. Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih. Ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan dalam praktek. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari bahkan lebih. Maka dari itu dalam perjanjian‐perjanjian yang tidak ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan ia betul‐betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan


(41)

waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : bahwa debitur tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba.38

Jalan keluar untuk mendapatkan kapan debitur itu wanprestasi undang‐undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (ingebrekestelling, sommasi). Pernyataan lalai ialah merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan saat terjadinya wanprestasi. Sedangkan pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) dari kreditur kepada debitur yang menerangkan kapan selambat-lambatnya debitur diharapkan memenuhi prestasinya. Biasanya diberikan waktu yang banyak bagi debitur terhitung saat pernyataan lalai itu diterima oleh debitur. Pernyataan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak diperlukan mengingat adanya bentuk wanprestasi.

1. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian.

2. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan, karena debitur dianggap masih dapat berprestasi.

3. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu, tetapi Meijers berpendapat lain apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif (positive contrackbreuk), pernyataan lalai tidak perlu.39

Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitur yang keliru itu menyebabkan kerugian kepada milik lainnya dari kreditur. Lain halnya pemutusan perjanjian yang negatif, kekeliruan prestasi tidak menimbulkan kerugian pada milik lain dari kreditur, maka pernyataan lalai diperlukan.

38Ibid, hlm. 26.


(42)

2. Konsepsi

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. Oleh karena itu konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan adanya hubungan empiris diantara variable-variable yang diteliti.40

Tinjauan yuridis adalah suatu tinjauan terhadap pelaksanaan suatu peraturan perundangan-undangan (statute approach) yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.41

Kerjasama adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara bersama antara dua pihak atau lebih baik dilakukan berdasarkan perjanjian maupun tidak.

Penjualan merupakan suatu proses dimana kebutuhan pembeli dan kebutuhan penjual dipenuhi, melalui antar pertukaran informasi dan kepentingan, jadi konsep penjualan adalah cara untuk mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan.42

Voucher hotel adalah suatu tanda bukti pembayaran atas suatu barang atau jasa berupa lembaran kertas, yang ditawarkan oleh suatu pihak yang akan diberikan kepada pihak yang memiliki voucher tersebut. Dalam hal ini voucher adalah bukti pembayaran kamar (room) di Hotel JW Marriot Medan.

40Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 21.

41Abdul Kadir Muhamad,Op.Cit, hlm. 14.


(43)

Travel adalah biro perjalanan wisata dengan salah satunya kegiatan usahanya yaitu penyelenggaraan dan penjualan paket wisata dengan cara menyalurkan melalui agen perjalanan wisata dan atau menjualnya langsung kepada wisatwan atau konsumen.43

Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi kepariwisataan dengan salah satu kegiatan adalah penyediaan kamar tempat menginap serta penyediaan fasilitas akomodasi dan pelayanan lain yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan usaha hotel.44

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif yuridis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.45

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis empiris yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder terhadap data primer di lapangan, karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam

43Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Pasal 9 ayat (1) b.

44

Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996, Pasal 61 ayat (1) a, d.

45Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 38.


(44)

masyarakat.46 Dalam penelitian ilmu hukum empiris merupakan penelitian atau pengkajian yang sistematis, terkontrol, kritis dan empiris terhadap dugaan-dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku hukum masyarakat yang merupakan fakta sosial. Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif, tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action).47

2. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.48

Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan, yaitu:

a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu berhubungan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perjanjian.

46 Mukti Fajar Nurdewata, et.al, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 43.

47

Ibid, hal. 47.

48Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 23.


(45)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi, media informasi lainnya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi pentunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum, dan jurnal.

3. Alat Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpul data dengan cara sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

b. Wawancara dengan nara sumber, yaitu Marketing Manager PT.Eka Sukma Tour dan Sales Manager Hotel JW Marriot Medan. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu.

4. Analisis Data

Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal


(46)

yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.


(47)

BAB II

PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel

1. Perjanjian Kerjasama

Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu. Perjanjian kerjasama dalam suatu bisnis bisa dilakukan secara formal maupun informal, hal ini disesuaikan dengan jenis kerjasama yang hendak dilakukan. Selain itu, pembuatan perjanjian kerjasama bisa disesuaikan dengan kesepakatan semua pihak yang terlibat didalamnya.

a. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:

1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu;


(48)

Ad. 1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.

Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan


(49)

oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya.

Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat akal pikrnya, tidak dilarang oleh Undang-undang.

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:


(50)

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3. Wanita bersuami

4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah:

a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.

b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut.

c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.

d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.

e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah


(51)

perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar.

Ad. 3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata, yaitu yang pertama objek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). Ad. 4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian dan halal adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang.

Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya


(52)

perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan.

Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.

Selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian (unsur Subyektif)

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur Obyektif).49

Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut:

1. Syarat sah yang umum, yaitu :

a. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari 1) Kesepakatan kehendak

2) Wenang buat 3) Perihal tertentu 4) Kuasa yang legal

b. Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari

1) Syarat itikad baik

2) Syarat sesuai dengan kebiasaan

49 Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 93.


(53)

3) Syarat sesuai dengan kepatutan

4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum 2. Syarat sah yang khusus terdiri dari

i. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu ii. Syarat akta notaries untuk perjanjian-perjanjian tertentu

iii.Syarat Akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu

iv. Syarat izin dari yang berwenang.50

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan membawa konsekuensi perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan namun selama yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian yang dibuat itu tetap berlaku terus. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi yaitu tidak adanya hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian yang dibuat para pihak sejak dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.

b. Asas-asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu:51 1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.

50

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 33.


(54)

2) Asas konsensualisme

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

3) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

4) Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin siadakan para pihak.


(55)

Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo Pasal 1347 Kitab Undang-undang Hukum perdata. Menurut asas ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.

c. Risiko

Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer

(ajaran tentang risiko), yang berarti seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi obyek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht).52

Salah satu ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang risiko adalah Pasal 1553 yang berbunyi :

“Jika selama waktu sewa, pada barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.

Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan perjanjian sewanya; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itu pun ia berhak atas suatu ganti rugi”.

Pengertian risiko selalu berhubungan erat dengan adanyaovermacht, sehingga seharusnya ada kejelasan tentang kedudukan para pihak, yaitu pihak yang harus bertanggung-gugat dan pihak yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian dalam keadaan memaksa. Tentang gugurnya perjanjian yang disebabkan di atas,

52 Salim HS, Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 103.


(56)

berarti kerugian akibat kemusnahan itu menjadi tanggung jawab dan dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.

Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.53 Risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal balik.

Risiko pada perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan "Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang". Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko pada perjanjian sepihak ada pada kreditur. Sedangkan mengenai risiko pada perjanjian timbal balik terdapat dua ketentuan yang berbeda. Risiko pada perjanjian tukar menukar dapat dilihat pada pasal 1545 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan bahwa: jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam tukar menukar.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa risiko pada perjanjian tukar menukar adalah ada pada kedua belah pihak. Suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah risiko pada perjanjian jual beli untuk barang

53 R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, hlm 59.


(57)

tertentu yang diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata. Pasal tersebut pada pokoknya menentukan bahwa sejak saat terjadinya perjanjian, risiko barang yang diperjualbelikan adalah pada pihak pembeli (debitur) meskipun penyerahan belum dilakukan. Jadi, seandainya barang itu musnah sebelum terjadi penyerahan, pembeli (debitur) tetap harus membayar harganya.

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tentang risiko yang saling bertentangan tersebut. R. Subekti berpendapat bahwa yang harus dijadikan pedoman adalah ketentuan dalam Pasal 1545 KUHPerdata karena ketentuan tersebut memang tepat dan memenuhi syarat keadilan.54 Demikian juga halnya dengan Abdulkadir Muhammad. Beliau berpendapat bahwa Pasal 1545 KUHPerdata harus dianggap sebagai pedoman dalam menentukan pihak mana yang harus menanggung risiko karena pasal tersebut dapat diperlakukan secara umum dan adil. Diperlakukan secara umum mempunyai arti bahwa peraturan tersebut dapat diikuti oleh perbuatan hukum selain tukar menukar.55 Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa risiko pada perjanjian timbal balik adalah ada pada masing-masing pihak.

d. Berakhirnya Perjanjian

Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir. Menurut Handri Raharjo, perjanjian dapat berakhir karena:56

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan yang berlaku untuk waktu tertentu.

54Ibid, hlm 61. 55

Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm 82.


(1)

Dalam perjanjian baku meskipun syarat ditentukan pihak hotel, pihak travel masih memiliki kebebasan meskipun sangat kecil, yaitu travel dapat menerima atau tidak syarat-syarat yang diajukan sepihak oleh hotel. Dengan penandatanganan perjanjian dapat diartikan travel setuju dan menerima perjanjian tersebut.

3. Penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak travel, seperti tidak terpenuhinya volume kamar (room) selama waktu yang ditentukan, maka secara langsung pihak Hotel JW Marriot melakukan pemutusan hubungan kerjasama.dan pembayaran yang masih terhutang harus dibayar.dan penyelesaian hukum diperjanjian ini masih bersifat negoisasi antara pihak.dan menggunakan itikad baik.

B. Saran

Sesuai dengan kesimpulan penelitian, maka diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Sesuai dengan asas keseimbangan dan asas kebebasan berkontrak, hendaknya perjanjian kerjasama penjualan voucher bukan merupakan perjanjian baku, tetapi perjanjian yang dilakukan setelah terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak. Hal ini bertujuan untuk melaksanakan asas keseimbangan tersebut.karena hotel dan travel adalah pihak saling membutuhkan.

2. Untuk terlaksanakannya asas keseimbangan, baik terhadap pihak hotel J.W Marriot maupun terhadap pihak PT. Eka Sukma tour perjanjian kerjasama yang


(2)

dibuat harus ditegaskan.hak dan kewajiban para pihak, begitu juga hal nya dengan sanksi atau pun terhadap para pihak apabila terjadi wanprestasi dan perjanjian tersebut sebaiknya dibuat didalam akta notarial dihadapan notaris maka kedua belah pihak dapat kekuatan hukum. Karena di perjanjian ini resiko pihak hotel pun besar karena pihak hotel hanya mempunyai tanda tangan dari pihak travel, tidak di dukung data- data lengkap dari pihak travel.

3. Pembuatan perjanjian hotel dengan Travel ini bila didukung oleh akta notaril akan memberikan jaminan para pihak tanggal, tempat dan waktu menjadi kekuatan bukti yang tidak perlu dibuktikan lagi bagi hakim dan Perjanjian ini juga melibatkan konsumen, hak konsumen, jadi hendak nya didalam perjanjian ada juga pengaturan pertanggung jawaban bila konsumen tidak mendapatkan hak nya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

Badrulzaman, Mariam Darus,Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981.

_______,Perjanjian Baku (Standar Contract) Perkembangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.

_______,Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.

_______,Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Friedrich, Carl Joachim,Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,

Bandung, 2004.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra aditya Bakti, Bandung, 2001.

_______,Dinamika Teori Hukum,Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

_______,Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern Di Era Global, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

________, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Harahap, M. Yahya,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Cet. VIII, Kanisius, Yogyakarta, 1995.


(4)

Khaidandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Kotler, Philip,Manajemen Pemasaran, Erlangga, Jakarta, 2006.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Meliala, A, Qiram Syamsudin, Pokok pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangan Liberty, Yogyakarta, 1985.

Miru, Ahmadi, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004. Muhamad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. _______,Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992.

_______, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya,Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Nurdewata, Mukti Fajar, et.al, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Patrik, Purwahid, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Undip, Semarang, 1986.

_______,Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004.

Prodjodikoro, Wiryono,AzasAzas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000. Raharjo, Handri,Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2010. Rawls, John,A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan

dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Salim, H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002.


(5)

_______. Perkembangan Hukum Kontrak Indominaat di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

_______, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Satrio, J,Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999. Simatupang, Richard Button, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta,

2007

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soenandar, Taryana,Prinsip-Prinsip Unidroit, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Subekti, R. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988.

_______.Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 1990. _______,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Abadi, Bandung, 1995.

Suharnoko, Hukum Perjanjian – Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2007.

Sunggono, Bambang,Metode Penelitian Hukum. Raja Grafika Persada. Jakarta, 2001. Syahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Buku I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Wibowo, Arief, Teori Keadilan John Rawls. http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/ 12/01/teori-keadilan-john-rawls/. Diakses tanggal 19 Desember 2011.

Widjaya, I.G. Rai,Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting teori dan Praktik), Bekasi : Megapoin, 2004.

Wuismen, JJJ M., Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, Penyunting M. Hisman, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.


(6)

B. Perundang-undangan:

Kitab Undang-udang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.