BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) 2.1.1 Deskripsi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) - Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andalima

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

2.1.1 Deskripsi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

  Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah- rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia, tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada temperatur 15

  ˚ -18˚ C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis (Wijaya, 1999).

  Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya, 1999) menyatakan bahwa sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klass : Dicotyledonae Sub klass : Rosidae Ordo : Rutales Family : Rutaceae Genus : Zanthoxylum Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC.

  Tanaman andaliman merupakan semak atau pohon kecil bercabang rendah dan tegak. Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Batang, cabang, dan ranting berduri. Daun tersebar, bertangkai, majemuk menyirip beranak daun gasal, panjang 5-20 cm dan lebar 3-15 cm, terdapat kelenjar minyak. Rakis bersayap, permukaan bagian atas, bagian bawah rakis, dan anak daun berduri; 3-11 anak daun, berbentuk jorong hingga oblong, ujung meruncing, tepi bergerigi halus, paling ujung terbesar, anak daun panjang 1-7 cm, lebar 0.5-2.0 cm. Permukaan atas daun hijau berkilat dan permukaan bawah hijau muda atau pucat, daun muda permukaan atas hijau dan bawah hijau kemerahan. Bunga di ketiak, majemuk terbatas, anak payung menggarpu majemuk, kecil-kecil; dasar bunga rata atau bentuk kerucut; kelopak 5-7 bebas, panjang 1-2 cm, warna kuning pucat; berkelamin dua, benang sari 5-6 duduk pada dasar bunga, kepala sari kemerahan, putik 3-4, bakal buah apokarp, bakal buah menumpang. Buah kotak sejati atau kapsul, diameter 2-3 mm (Tjitrosoepomo, 1991; Steenis, 1992).

  Bentuk buah andaliman mirip dengan lada (merica) bulat kecil, berwarna hijau, tetapi jika sudah kering agak kehitaman. Bila buah andaliman digigit akan tercium aroma minyak atsiri yang wangi dengan rasa yang khas (getir) sehingga merangsang produksi air liur (Sibuea, 2002).

  (a) (b) (c)

Gambar 2.1 (a) Morfologi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

  (b) Buah Tanaman Andaliman Yang Masih Muda Berwarna Hijau (c) Buah Tanaman Andaliman Yang Sudah Kering Berwarna Coklat Kehitaman

  Menurut Hartley (1966 dalam Siregar, 2003), menuliskan bahwa Zanthoxylum adalah genus dari famili Rutaceae yang memiliki kombinasi ciri berikut: tumbuhan berduri, daun tersebar dan majemuk, bakal buah apokarp atau semikarp. Keempat ciri ini ada pada andaliman. Dari satu bunga dapat terbentuk satu hingga empat buah yang masing-masing mempunyai satu biji. Famili jeruk-jerukan ini di habitatnya berupa tanaman semak dengan tinggi sekitar 5 meter. Beberapa ciri genus

  

Zanthoxylum ialah berdaun majemuk, ibu tangkai daun bersayap, batang dan cabang

  berduri sejati atau berduri tempel. Ketiga ciri tersebut dimiliki oleh andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Permukaan batang, cabang, dan rantingnya berduri tempel (aculeus), duri yang mudah ditanggalkan. Ketiga ciri ini tidak ditemui pada spesies Piper (Steenis, 1992).

2.1.2 Kandungan Senyawa Dalam Andaliman (Zanthoxyllum acanthopodium

   DC.)

  Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.), famili Rutaceae, adalah tanaman yang khas dijumpai di Sumatera Utara, Indonesia. Buahnya umum digunakan sebagai bumbu masakan tradisional suku Batak (Siregar, 2003). Menurut Simangunsong (2008 dalam Sinaga, 2009) menyatakan bahwa andaliman adalah sumbernya senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu dalam andaliman juga terdapat kandungan minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan citronellal yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon. Sehingga jika dimakan meninggalkan efek menggetarkan alat pengecap dan menyebabkan lidah terasa kebal.

  Sementara itu, Katzer (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fraksi non volatil dari genus Zanthoxylum diidentifikasi mengandung senyawa flavonoid, terpen, alkaloid, pyranoguinoline alkaloid, quaternary isoquinoline alkaloid,

  

aporphyrine alkaloid, dan beberapa jenis ligan. Ligan ini sendiri adalah senyawa yang

diduga berperan sebagai antioksidan pada fraksi non volatil ekstrak andaliman.

  Mengingat Widiastuti (2000), menyatakan bahwa ekstrak kasar buah andaliman ini juga pernah dilaporkan memiliki aktivitas fisiologi yang aktif sebagai antioksidan dan antimikroba yang potensial. Hal ini berdasarkan hasil pengujian aktivitas antimikroba pada penelitian Siswadi (2002), yang menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman bersifat bakterisidal terhadap bakteri Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholera , dan Salmonella thypimurium.

  Selain kandungan senyawa tersebut di atas, andaliman juga merupakan tanaman rempah yang memiliki kandungan fenolik. Fenolik berfungsi sebagai penyumbang radikal hidrogen atau dapat bertindak sebagai aseptor radikal bebas sehingga dapat menunda tahap inisiasi pada makanan. Menurut Suryanto et al., (2008), hasil ekstraksi dan kandungan total fenolik andaliman adalah:

Tabel 2.1 Hasil Ekstraksi dan Kandungan Total Fenolik Andaliman Jenis Nama Ilmiah Ekstrak Rendemen Total Fenolik Tanaman

  (mg/g) (µg/g)

  Heksana 78,06±2,48 27,7±0,58

  Zanthoxyllum

  Andaliman Aseton 31,75±5,56 91±0,03

  acanthopodium

  Etanol 69,98±3,36 125,3±0,59 Pengekstraksian dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, heksana, dan aseton untuk memisahkan senyawa-senyawa dengan tingkat polaritasnya. Ekstraksi yang menggunakan heksana dapat melarutkan senyawa yang non polar, aseton dapat melarutkan senyawa yang semi polar, dan etanol akan melarutkan senyawa yang polar. Tujuan ketiga pelarut ini adalah untuk mencari komponen yang dapat berperan sebagai penstabilan senyawa oksigen reaktif yang terdapat dalam tanaman andaliman dengan tingkat perbedaan polaritasnya (Suryanto et al., 2008).

2.2 Hepar (Hati)

2.2.1 Struktur Anatomi Organ Hepar

  Hepar merupakan pusat metabolisme dalam tubuh (Sujono, 2002 dalam Pawitra & Mutiara, 2010). Posisi organ hepar terletak di bagian kanan atas dari rongga abdominal tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan segar warnanya merah tua atau merah coklat (Leeson et al., 1990). Akan tetapi hepar juga bervariasi baik lokasi maupun jumlah lobusnya dari satu spesies hewan ke spesies yang lain (Frandson, 1992).

  Hepar mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni: sebuah lobus median, dua lobus lateral (kiri dan kanan) dan satu lobus caudal yang terbagi setengah di bagian dorsal dan setengah lainnya di bagian ventral (Covelli, 1972 dalam Fauzi, 2005).

  Sedangkan manusia (Homo sapiens) memiliki hepar dengan dua lobus utama, yakni lobus kanan dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen. Lobus kanan dibagi menjadi segmen median dan lateral. Segmen median dibagi menjadi dua bagian, satu lobus quadratus dan satu lobus caudatus (Hage, 1982). Berat hepar manusia segitiga dan memiliki berat lebih kurang 1,5 kg serta ukurannya 7-10 cm pada orang dewasa normal (Dalimartha, 1997).

  Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah

  

vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Lobulus

  sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli kecil yang megalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang

  biliaris memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton & Hall, 1997).

  Struktur lobulus dapat ditafsirkan dalam tiga cara yang berbeda, tergantung pada hubungan fungsional yang diperhitungkan. Lobulus hati sering dikenal sebagai lobulus klasik, merupakan unit struktural yang mengitari vena sentralis. Profil sayatan melintang sayatan melintang lobulus ini secara kasar bentuknya heksagonal, dengan sinusoid yang memancar radier dari vena sentralis ke arah perifer. Saluran portal dibentuk antara tiga sampai enam lobulus hati. Pada babi, lobulus hati dikitari oleh jaringan ikat interlobularis yang cukup jelas. Pada spesies lain, jaringan ikat interlobularis kurang jelas, da parenkim lobulus berbatasan langsung dengan lobulus disekitarnya, tanpa ada batasan yang jelas (Dellmann & Brown, 1992).

  Saluran portal (segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat pada saluran empedu di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar daerah tersebut ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal. Jadi sumbu saluran portal adalah saluran empedu yang disebut duktus interlobularis, dan bagian perifer yang digambarkan dengan tiga vena sentralis. Konsep ini melukiskan aktivitas hati sebagai kelenjar eksokrin, karena aliran empedu justru menuju duktus interlobularis saluran portal, lain halnya dengan aliran darah yang justru berlawanan, mengalir dari pusat menuju tepi (Dellman & Brown, 1992).

Gambar 2.2 Skema Lobulus Hepar, Asini Hepar, dan Lobulus Porta. Lobulus Hepar Terdiri Dari Vena Sentralis (CV)

  dan Dibatasi Oleh Garis yang Menghubungkan Celah Porta (PS) (Paulsen, 1996)

  Unit fungsional ketiga adalah asinus hati yang diterima secara luas karena didasarkan kepada perbedaan didalam dinamika aliran darah, tekanan dan tensi oksigen yang dapat dijelaskan melalui gradien aktivitas metabolisme. Secara kasar asinus hati berbentuk diamon, daerah tersebut dibentuk oleh dua bagian lobulus hati dengan pemberian darah dari cabang vena interlobularis dan arteria hepatika. Sel hati (hepatosit) yang berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi selular. Hepatosit memiliki enam atau lebih permukaan, dan ada tiga bentuk yang berbeda: 1) permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid, dimana pada permukaan bebasnya tumbuh mikrovili; 2) permukaan yang berbatasan dengan kanalikuli empedu; 3) permukaan yang saling berhadapan antar hepatosit yang bersebelahan dan memiliki gap junction dan desmosom (Dellmann & Brown, 1992).

  Menurut Paulsen (1996), lobulus hati merupakan hubungan antara struktur dan fungsi hati terbaik yang dapat ditunjukkan melalui tiga model subdivisi hati, yaitu:

  1. Lobulus Hati Klasik Model ini berdasarkan pada aliran darah. Bagian dalamnya, menunjukkan pola substruktur hati membentuk segi enam.

  a.

  Triad Porta Satu triad menempati ruang potensial (ruang portal) di masing-masing dari enam sudut lobulus tersebut. Masing-masing berisi tiga unsur utama yang dikelilingi oleh jaringan ikat yaitu sebuah venule porta (cabang dari vena porta), sebuah arteriol hepatik (cabang dari arteri hepatik), dan saluran empedu.

  b.

  Vena Central Merupakan penanda pusat dari setiap lobulus.

  c.

  Pelat Hepatosit dan Sinusoid Hati Merupakan pelat yang memancar dari vena pusat terhadap pinggiran lobulus (seperti jari-jari roda). Pelat ini dipisahkan oleh sinusoid hati, yang menerima darah dari pembuluh kemudian berkumpul di pusat lobulus dan langsung ke vena pusat.

  2. Lobulus Porta Model ini berdasarkan arah aliran empedu, yang berlawanan dengan darah.

  Empedu diproduksi oleh hepatosit, masuk ke dalam kanalikuli empedu membran dan mengalir di dalam pelat hepatosit.

  3. Asinus Hati Model ini berdasarkan perubahan oksigen, nutrisi, dan konten toksin sebagai darah yang mengalir melalui sinusoid dan bertindak di dalam hepatosit.

2.2.2 Fungsi Metabolik Hepar (Hati)

  Hepar (hati) merupakan kelenjar tubuh yang paling besar, dan khas karena memiliki multi fungsi kompleks, misalnya ekskresi (metabolit), sekresi (empedu), penyimpanan (lipid, vitamin A dan B, glikogen), sintesis (fibrinogen, globulin, albumin, protrombin), fagositosis (benda asing), detoksifikasi (obat yang larut dalam lipid), konjugasi (zar beracun, hormon steroid), esterifikasi ( asam lemak bebas menjadi trigliserida), metabolisme (protein, hidrat arang, lemak, hemoglobin, obat), dan hemopoisis (Dellmann & Brown, 1992).

  Hati adalah organ metabolik, sekretorik dan immunologik. Semua substansi termasuk obat dimetabolisme di hati (Page et al., 2002 dalam Wiryawan, 2008). Hepar merupakan organ pertama yang dicapai oleh obat-obatan dan zat lain yang diabsorpsi usus melalui vena porta, sehingga disebutkan bahwa hepar adalah tempat utama metabolisme dan detoksikasi obat. Berbagai obat dan senyawa dapat diinaktifkan oleh oksidasi, metilasi, hidrolisis, reduksi, dan konjugasi. Penggunaan obat yang berlebihan contohnya obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat menyebabkan kerusakan hati. Parasetamol adalah OAINS yang apabila digunakan dalam dosis yang berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis hati dan kerusakan ginjal (Wiryawan, 2008).

  Secara farmakokinetik, setiap obat yang masuk ke dalam tubuh mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Gamiswarna et al., 1995). Demikian pula dengan andaliman akan diabsorbsi oleh usus, kemudian mengalami metabolisme di hepar. Hepar merupakan organ penting didalam tubuh karena hepar merupakan tempat pertama dan terbesar untuk mendetoksifikasi berbagi zat yang dicerna oleh traktus digestivus (Tambunan, 1994). Penumpukan bahan-bahan toksik dalam parenkim hati dapat melukai sel hepatosit dan menyebabkan terjadinya perubahan histopatologis yang bervariasi tergantung dosis, jenis, pengaruh zat atau penyakit lain, kerentanan dan suseptibilitas zat.

  Meskipun hepar merupakan salah satu organ yang peka terhadap zat toksik, namun hepar memiliki fungsi yang sangat penting terhadap metabolisme bahan toksik yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Setelah diabsorbsi, zat toksik maupun bahan obat akan masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian didetoksifikasikan dalam hepar menjadi bentuk non toksik dan lebih polar agar mudah diekskresikan (Martin et

  al. , 1987).

  Sementara hati yang tidak sehat tidak bisa melakukan detoksifikasi secepat yang dilakukan oleh hati yang sehat, maka bila proses detoksifikasi lebih lambat dan hati yang belum selesai bekerja men-detoksifikasi itu sudah diberi serangan racun- racun yang harus didetoksifikasi, akibatnya akan lebih banyak racun yang beredar ke seluruh tubuh lewat darah. Sebagian racun yang tidak dapat diubah atau hanya sedikit berubah akan sulit dibuang dari tubuh karena lolos dari kerja hati. Akhirnya racun- racun itu bersembunyi di jaringan tubuh berlemak, di otak, dan sel sistem saraf. Racun-racun yang tersimpan itu pelan-pelan akan ikut aliran darah dan menyumbang penyakit-penyakit kronis (BPOM, 2004 dalam Dewi, 2010).

2.2.3 Toksikologi dan Kerusakan Hepar (Hati) Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh.

  Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan sebagian besar organ itu. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Toksikologi hati dipersulit oleh berbagai kerusakan hati dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan itu (Lu, 1994).

  Menurut Lu (1994), menyatakan bahwa toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti: a.

  Perlemakan hati (steatosis) Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Adanya kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia. Meskipun berbagai toksikan itu akhirnya menyebabkan penimbunan lipid dalam hati, mekanisme yang mendasarinya beragam. Mungkin mekanisme yang paling umum adalah rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma. Karena trigliserid hati hanya disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein.

  b.

  Nekrosis hati Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut.

  Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah. Namun, ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilasi retikulum endoplasma, dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang terdahulu merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti, dan pecahnya membran plasma.

  c.

  Kolestasis Jenis kerusakan hati yang biasanya bersifat akut ini, lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis, jenis kerusakan hati ini juga lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali mungkin dengan steroid.

  d.

  Sirosis Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar hati.

  Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat ini. Patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dalam sebagian besar kasus, tampaknya sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah di dalam hati mungkin menjadi faktor pendukung.

  e.

  Degenerasi parenkimatosa Menurut Tambunan (1994) menyebutkan bahwa, degenerasi lemak atau degenerasi parenkimatosa yang terjadi dihati adalah degenerasi yang sangat sering ditemukan. Sitoplasma menjadi membengkak yang berisi lemak, sehingga inti terdesak ke pinggir. Sedangkan menurut Robbins & Kumar (1992), menyatakan bahwa kadang-kadang lemak berkumpul dalam bercak-bercak kecil tanpa pemindahan inti.

  f.

  Degenerasi hidropik Menurut Chang (1986) dalam Keliat (2011) menyatakan bahwa masuknya air biasanya akan membentuk vakuola-vakuola jernih, kecil, dan banyak. Selanjutnya vakuola tersebut bersatu dan menghasilkan vakuola lebih besar atau vakuola tunggal yang menempati di dalam sitoplasma dan menggantikan inti sel.

  Perubahan ini diikuti dengan sel mengalami pembengkakan dan sitoplasma tampak keruh. Kejadian ini sering disebut Hydropic degeneration. Pada pengamatan ultrastruktural, degenerasi hidropik ini menunjukkan terjadinya pembengkakan mitokondria.

  g.

  Karsinogenesis Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak berdiferensiasi. Sejumlah besar toksikan diketahui menyebabkan kanker hati pada hewan. Namun, karsinogenisitasnya pada hati manusia belum pasti. Sebaliknya, peran vinil klorid sebagai penyebab angiosarkoma pada manusia tidak diragukan lagi.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Segar Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.)

3 91 49

Gambaran Histologis Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW Setelah Pembersihan Ekstrak n-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

3 64 64

Pengaruh Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Limpa Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW

1 107 58

Pengaruh Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Perkembangan Struktur Kraniofacial Fetus Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW

2 104 74

Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium DC.) Selama Masa Pra Implantasi Dan Pasca Implantasi

8 98 100

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Andaliman - Pengaruh Pemberian Ekstrak Segar Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.)

0 0 7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Segar Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.)

0 1 12

Pengaruh Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Perkembangan Struktur Kraniofacial Fetus Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW

0 0 13

Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium DC.) Selama Masa Pra Implantasi Dan Pasca Implantasi

0 0 43

Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium DC.) Selama Masa Pra Implantasi Dan Pasca Implantasi

0 0 6