PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN ORG

PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN
ORGANIK SEBAGAI SUMBER ZAT PENGATUR TUMBUH
ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT TEBU
(Saccharum officinarum L.)

SKRIPSI

OLEH
HELENA LEOVICI
09/281768/PN/11591

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
0

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu komoditas khusus di bidang

pertanian yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung, dan juga kedelai. Bahan
baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di
Indonesia yakni tebu (Saccharum officinarum L).
Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga
mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun
2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional
mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton. Defisit yang
sangat besar tersebut dapat dicukupi oleh masuknya gula impor dengan mudah dan
harga yang kompetitif, walaupun pendapatan petani terancam menurun karena daya
saing produk gula lokal lemah. Penurunan produktivitas selama 27 tahun
(1975-2002) terutama dicerminkan penurunan rendemen, sementara produktivitas
tanaman alternatif mengalami kenaikan. Agar tebu memiliki daya saing terhadap
tanaman alternatif, maka kinerjanya harus ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang
mendekati potensi hasil dengan penerapan baku teknis pengelolaan usahatani dan
prosesing gula (Anonim, 2008).
Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi gula menjadi suatu masalah
yang hendaknya segera diatasi. Beberapa upaya dapat dilakukan dengan cara
melakukan perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai dari bibit yang
digunakan, tanah yang dipakai sebagai media tanam, pemeliharaan, hingga

penanganan pascapanen. Produktivitas tebu dapat mencapai optimal apabila upaya
perbaikan tersebut dilakukan dengan baik. Rendemen tebu yang dihasilkan sangat
dimungkinkan akan meningkat dengan produktivitas tebu yang optimal. Hal ini
berpengaruh pada kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi. Selain perbaikan pada
lahan pertanaman tebu, upaya lain yang mungkin dapat dilakukan adalah perluasan
lahan.

1

Perluasan lahan kini tidak lagi terpaku pada lahan-lahan subur saja karena
dewasa ini lahan subur sudah semakin sulit ditemukan akibat pertambahan penduduk
yang semakin tinggi dan kegiatan perekonomian yang memacu alih fungsi lahan.
Oleh sebab itu, kegiatan pertanian saat ini sudah mulai dikembangkan di lahan
marginal yang mempunyai karakteristik keterbatasan dalam sesuatu hal, baik
keterbatasan satu unsur/komponen maupun lebih dari satu unsur/komponen (Gunadi,
2002). Salah satu lahan marginal yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian ialah lahan pasir pantai.
Di Indonesia terdapat ± 1.060.000 ha lahan pasir pantai. Kendala umum lahan
ini bagi pertanian adalah tekstur kasar, daya simpan air/zat hara rendah, kandungan
bahan organik rendah, kemampuan menukar kation yang rendah, daya meluluskan

air dan udara tinggi, suhu tanah dan udara pada siang hari sangat tinggi, kecepatan
angin sangat tinggi, angin mengandung partikel garam, dan mudah tererosi oleh
angin (Kertonogero et al., 2009). Keterbatasan lahan pasir pantai perlu diatasi supaya
mampu menjadi tempat tumbuh tanaman yang baik.
Lahan pasir pantai memungkinkan bagi tebu untuk tumbuh dengan baik.
Menurut Elawad et al. (1982), tebu termasuk kelompok tanaman C¬4 yang memiliki
sifat antara lain dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang terik (panas) dan
bersuhu tinggi, fotorespirasinya rendah dimana sangat efisien dalam menggunakan
air serta toleran terhadap lingkungan yang mengandung garam.
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan hara (nutrien) tetapi
dapat merubah proses fisiologis tumbuhan. Menurut Gardner et al. (1991), seringkali
pemasokan zat pengatur tumbuh secara alami itu di bawah optimal, dan dibutuhkan
sumber dari luar untuk menghasilkan respon yang dikehendaki. Pada tahapan
pembibitan secara vegetatif (metode stek), aplikasi zat pengatur tumbuh atau hormon
tumbuh secara langsung dapat meningkatkan kualitas bibit serta mengurangi jumlah
bibit yang pertumbuhannya abnormal. Zat pengatur tumbuh memiliki potensi untuk
meningkatkan persentase keberhasilan pembibitan dan dapat mempercepat
pembentukan serta pertumbuhan akar dan tunas dari bahan stek. Terkait dengan
aplikasi ZPT eksternal untuk penyetekan, beberapa faktor seperti macam dan
konsentrasi perlu diperhatikan. Penggunaan tidak boleh sembarangan karena

penggunaan ZPT eksternal yang berlebihan justru dapat menghambat pertumbuhan.

2

Berdasarkan sumbernya, ZPT dapat diperoleh baik secara alami maupun
sintetik. Zat pengatur tumbuh alami umumnya langsung tersedia di alam dan berasal
dari bahan organik, contohnya air kelapa, urin sapi, dan ekstraksi dari bagian
tanaman. Zat pengatur tumbuh sintetik didapat melalui proses sintesa oleh manusia
dan sudah dapat dipastikan rumus kimianya (Shahab et al., 2009; Zhao, 2010). Zat
pengatur tumbuh bersumber bahan organik lebih bersifat ramah lingkungan, mudah
didapat, aman digunakan, dan lebih murah.
Aplikasi bahan organik sebagai sumber ZPT alami diharapkan dapat
mempercepat pembentukan serta pertumbuhan akar dan tajuk bibit tebu di media
pasir pantai. Selain itu, dapat menunjukkan pula macam dan konsentrasi bahan
organik yang paling optimum sebagai sumber ZPT alami bagi pertumbuhan bibit
tebu. Hal ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi usahatani ataupun perkebunan tebu
supaya dalam melakukan pembibitan dapat lebih efektif, efisien, aman, dan ramah
lingkungan.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami terhadap pertumbuhan bibit tebu.
2. Menentukan konsentrasi optimum beberapa macam bahan organik sebagai sumber
zat pengatur tumbuh alami bagi pertumbuhan bibit tebu.
C. Kegunaan
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi acuan pemanfaatan bahan organik
sebagai sumber zat pengatur tumbuh yang bermanfaat bagi pertumbuhan tebu.
2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan bagi usahatani ataupun
perkebunan tebu supaya dalam melakukan pembibitan dapat lebih efektif, efisien,
aman, dan ramah lingkungan.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tebu (Saccharum officinarum L.)
Tebu merupakan tanaman yang berasal dari India. Namun, banyak juga
literatur yang menyatakan bahwa tebu berasal dari Polynesia. Meski demikian,
menurut Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, yang telah
melakukan ekspedisi pada 1887-1942 ke beberapa daerah di Asia, Eropa, Afrika,
Amerika Selatan, dan seluruh Uni Soviet, memastikan bahwa sentrum utama asal

tanaman ini adalah India dan Indo-Malaya yang meliputi Indo-China, Malaysia,
Philipina, dan Indonesia (Ahira, 2009).
Berikut merupakan klasifikasi botani tanamaan tebu (Plantamor, 2012):
Kingdom

: Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi

: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas

: Liliopsida (berkeping satu/monokotil)

Sub Kelas

: Commelinidae


Ordo

: Poales

Famili

: Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus

: Saccharum

Spesies

: Saccharum officinarum L.

Tanaman tebu memiliki morfologi yang tidak jauh berbeda dengan tumbuhan
yang berasal dari famili rumput-rumputan. Tanaman ini memiliki ketinggian sekitar
2-5 meter. Menurut Nadia (2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:
a.

Akar: berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih

b.

Batang: berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang
melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan

c.

Daun: berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar
dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua

d.

Bunga: berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.

4


Pada bagian pangkal sampai pertengahan batang memiliki ruas yang panjang,
sedangkan pada bagian pucuk memiliki ruas yang pendek. Pada bagian pucuk batang
terdapat titik tumbuh terdapat titik tumbuh yang penting untuk pertumbuhan
meninggi. Selain itu juga terdapat lapisan berlilin di bagian bawah ruas dan pada ruas
di bagian pucuk batang. Daun tanaman tebu merupakan jenis daun tidak lengkap,
karena terdiri dari helai daun dan pelepah daun saja. Sendi segitiga terdapat di antara
pelepah daun dan helaian daun. Pada bagian sisi dalamnya, terdapat lidah daun yang
membatasi antara helaian daun dan pelepah daun. dalamnya terdapat lidah daun yang
membatasi helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu bermacam-macam ada yang
hijau tua, hijau kekuningan, merah keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu
meruncing dan tepinya bergerigi. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk
piramida yang terdiri dari 3 helai daun tajuk bunga, 1 bakal buah, dan 3 benang sari.
Kepala putiknya berbentuk bulu (Putri et al., 2010).
Menurut James (2004), tanaman tebu memiliki perakaran serabut, yang dapat
dibedakan menjadi akar primer dan akar sekundar. Akar primer adalah akar yang
tumbuh dari mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik akar primer yaitu
halus dan bercabang banyak, sedangkan akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari
mata akar dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya lebih besar,
lunak, dan sedikit bercabang.

Tebu merupakan tanaman asli tropika basah. Tanaman ini tumbuh baik di
daerah beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai
kurang lebih 1 tahun. Tebu tergolong tanaman perkebunan semusim yang memiliki
zat gula di dalam batangnya (Supriyadi, 1992). Tebu juga termasuk kelompok
tanaman C¬4 yang memiliki sifat antara lain dapat beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang terik (panas) dan bersuhu tinggi, fotorespirasinya rendah dimana
sangat efisien dalam menggunakan air serta toleran terhadap lingkungan yang
mengandung garam (Elawad et al., 1982).
Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu
adalah 24 °C dan maksimum adalah 34 °C, sedangkan suhu optimum adalah 30 °C.
Pertumbuhan tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 15 °C. Sinar matahari
yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh lamanya penyinaran dan
intensitas penyinaran. Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan

5

penyinaran 12-14 jam tiap harinya. Angin dengan kecepatan kurang lebih 10 km/jam
di siang hari berdampak positif bagi pertumbuhan tebu. Kelembaban yang rendah
(45-65 %) sangat baik untuk pemasakan karena tebu sangat cepat kering.
Kelembaban tinggi dapat mempengaruhi fotosintesis dengan akibat pembentukan

gula juga terlambat. Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara
1.000-1.300 mm/tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Curah hujan
yang ideal adalah selama 5-6 bulan dengan rata-rata curah hujan 200 mm, curah
hujan yang tinggi diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi
perkembangan anakan, tinggi dan besar batang. Periode selanjutnya selama 2 bulan
dengan curah hujan 125 mm dan 4-5 bulan berkaitan dengan curah hujan kurang dari
75 mm/bulan yang merupakan periode kering. Pada periode ini merupakan
pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu (Kuntohartono, 1982). Menurut
Soepardiman (1996), bila musim kering tiba sebelum pertumbuhan vegetatif
berakhir, maka tanaman tebu yang tidak diairi akan mati sebelum mencapai tingkat
masak, sebaliknya bila hujan turun terus-menerus maka pertumbuhan vegetatif tebu
tetap giat, sehingga tidak mencapai kadar gula tertinggi.
Menurut Sudiatso (1999), tebu menghendaki tanah yang gembur sehingga
aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampai agak
berat dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30 % merupakan
tekstur tanah yang ideal bagi pertumbumbuhan tanaman tebu. Kedalaman (solum)
tanah untuk pertumbuhan tanaman tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan
kedap air dan permukaan air 40 cm. Tanaman ini membutuhkan banyak nutrisi dan
memerlukan tanah subur. Tanaman tebu juga mampu tumbuh di pantai sampai
dataran tinggi antara 0-1.400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian
1.200 m di atas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Bentuk lahan
sebaiknya bergelombang antara 0-15 %. Lahan terbaik bagi tanaman tebu di lahan
tegalan adalah lahan dengan kemiringan kurang dari 8 %, kemiringan sampai 10 %
dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng
panjang, rata dan melandai sampai 2 % apabila tanahnya ringan dan sampai 5 %
apabila tanahnya lebih berat.
Sutardjo (2002) menyatakan bahwa tebu dapat ditanam pada tanah dengan
kisaran pH 5,5-7,0. Pada pH di bawah 5,5 dapat menyebabkan perakaran tanaman

6

tidak dapat menyerap air, sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di
atas 7 tanaman akan sering kekurangan unsur fosfor. Menurut Kuntohartono (1982),
tanah dengan kapasitas penukaran kation yang tinggi dapat memberikan hara yang

baik. Pada pH netral efisiensi pemupukan NPK lebih tinggi, sedangkan pada pH
kurang dari 5 dapat menyebabkan tersedianya unsur P untuk Al dan Fe. Unsur Cl, Fe,
dan Al merupakan bahan racun utama dalam tanah. Tanah yang airnya buruk dapat
menimbulkan keracunan Fe, Al, dan sulfat (SO 4-). Kadar Cl 0,06-0,10 % telah
bersifat racun bagi akar tanaman. Keracunan unsur Fe dan Al dapat dikurangi dengan
bantuan kapur fiksasi. Oleh karena itu, tanah masam dengan pH di bawah 5 perlu
diberikan kapur fiksasi (CaCO3).
B. Zat Pengatur Tumbuh
Hormon tumbuhan atau fitohormon sering dikenal dengan sebutan zat pengatur
tumbuh (plant growth regulator) untuk membedakanya dengan hormon pada
hewan. Ada lima kelompok utama ZPT yaitu auksin (auxins), sitokinin (cytokinins),
giberelin (gibberellins, GAs), etilena (etena, ETH), dan asam absisat (abscisic acid,
ABA). Auksin, sitokinin, dan giberelin termasuk hormon yang bersifat positif bagi
pertumbuhan tanaman pada konsentrasi fisiologis. Etilena dapat mendukung maupun
menghambat pertumbuhan. Asam absisat merupakan penghambat (inhibitor)
pertumbuhan (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 2012).
Zat pengatur tumbuh sangat memengaruhi pertumbuhan suatu tanaman. Zat
pengatur tumbuh berbeda dengan pupuk karena sama sekali tidak memberikan hara
kepada tanaman. Zat pengatur tumbuh dalam kadar sangat kecil dapat mendorong,
menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan, dan atau pergerakan
tumbuhan. Menurut Djamal (2012), pertumbuhan tanaman ditentukan oleh
pupuknya, sementara arah dan kualitas dari pertumbuhan dan perkembangan sangat
ditentukan oleh hormon atau zat pengatur tumbuh. Pemberian hormon yang tepat,
baik komposisi dan konsentrasinya, dapat mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman apapun. Kusumo (1984) menambahkan bahwa tanggapan
tanaman terhadap pemberian zat pengatur tumbuh sangat bervariasi tergantung pada
fase perkembangan tumbuhan, konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan, dan
umur tanaman. Pada dasarnya ZPT dihasilkan oleh tanaman secara alami. Bahan ini

7

mampu mengurangi hambatan biologis yang terdapat dalam tanaman, sehingga
penggunaannya sering dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman.
Berdasarkan keberadaannya pada tanaman, ZPT digolongkan menjadi ZPT
endogen dan ZPT eksogen. Zat pengatur tumbuh endogen merupakan ZPT yang
diproduksi di dalam tubuh tanaman, sedangkan zat pengatur tumbuh eksogen adalah
ZPT yang ditambahkan/diaplikasikan pada tanaman. Dalam penyetekan, keberadaan
keduanya penting untuk diperhatikan. Jika di dalam bahan setek sudah cukup
terdapat ZPT endogen, maka penambahan ZPT eksogen tidak diperlukan.
Sebaliknya, jika bahan setek berada dalam kondisi kurang ZPT endogen, maka
keberhasilan penyetekan sangat ditentukan oleh penambahan ZPT eksogen
(Harsanto, 1997).
Zat pengatur tumbuh eksogen dapat berupa ZPT alami atau ZPT sintetis. Zat
pengatur tumbuh alami merupakan ZPT yang langsung tersedia di alam dan biasanya
banyak terdapat di sekitar kita dengan harga yang murah, contohnya: air kelapa, urin
sapi, ekstraksi dari bagian tanaman, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh sintetis
merupakan ZPT tiruan yang disintesa oleh manusia dan sudah dapat dipastikan
rumus kimianya. Keuntungan dari penggunaan ZPT sintetis adalah kemudahan
penggunaan dalam dosis yang tepat, tetapi biasanya tersedia dengan harga yang
mahal. Kelemahan dari ZPT alami adalah kondisinya yang bervariasi akibat
pengaruh lingkungan maupun fisiologis mahluk hidup yang memproduksinya. Hal
yang penting diperhatikan dalam penggunaan ZPT alami yaitu ketepatan kondisi dan
dosis yang dipakai. Meskipun demikian, usaha ini akan memberikan kemudahan
introduksi pada petani-petani kecil karena aplikasinya tidak membutuhkan biaya
besar. Apabila bahan-bahan asli (alami) maupun tiruannya diberikan pada tanaman,
maka tanaman akan menerima pengaruhnya sebagaimana pengaruh dari zat pengaruh
tumbuh sejenis yang dihasilkan oleh tanaman itu sendiri (Harsanto, 1997; Prayoga,
2013).
C. Bahan Organik sebagai Sumber Zat Pengatur Tumbuh
a. Air Kelapa
Pada umumnya, buah kelapa yang masih muda berisi air kelapa sekitar
setengah liter. Jumlah air kelapa semakin berkurang seiring dengan pertambahan
8

umur buah. Air kelapa mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan
sejumlah bahan anorganik yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
(Grimwood, 1975). Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Dwidjoseputro
(1989) menunjukkan bahwa selain mengandung kalori, protein, dan mineral, air
kelapa muda mengandung sitokinin yaitu zat pengatur tumbuh yang mempercepat
pembelahan sel. Sitokinin berpengaruh pada pertumbuhan tunas-tunas dan akar.
Air kelapa merupakan salah satu sumber alami hormon tumbuh yang dapat
digunakan untuk memacu pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tanaman.
Endosperm cair buah kelapa yang belum matang mengandung senyawa yang
dapat memacu sitokinesis (Salisbury dan Ross, 1995). Air kelapa mengandung
zeatin yang termasuk kelompok sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998). Sama halnya
seperti yang dinyatakan oleh George dan Sherington (1984) yaitu bahwa zat
pengatur tumbuh utama yang terdapat dalam air kelapa adalah sitokinin. Menurut
Salisbury dan Ross (1995), sitokinin yang terdapat dalam air kelapa terbukti
mampu mendorong pembelahan sel pada jaringan akar wortel.
Tabel 2.1. Kandungan zat yang terdapat dalam air kelapa muda
Kandungan Air Kelapa Muda
mg/l
IAA
0,24
Kinetin
0,44
Zeatin
0,25
GA3
0,46
GA5
0,26
GA7
0,05
mg/100 ml
Vitamin C
8,59
Riboflavin
0,26
Vitamin B5
0,60
Inositol
2,30
Biotin
20,52
Piridoksin
0,03
Thiamin
0,02
N
43,00
P
13,17
K
14,11
Mg
9,11
Fe
0,25
Na
21,07
Zn
1,05
Ca
24,67
Sukrosa
4,89
Sumber: Savitri (2005); Kristina dan Syahid (2012)
9

Menurut Abidin (1998), sitokinin dapat memacu terjadinya organogenesis
yang dapat mempercepat pertumbuhan daun. Selain berfungsi sebagai diferensiasi
tunas adventif dan organ, juga berfungsi dalam sintesis protein dan pembelahan
sel. Dengan adanya sitokinin maka bobot basah tanaman semakin bertambah.
Hormon auksin berfungsi untuk merangsang pembesaran sel, sintesis DNA
kromosom, serta pertumbuhan aksis longitudinal dan juga untuk merangsang
pertumbuhan akar pada setekan atau cangkokan. Giberelin atau sering disebut
asam giberelat (GA) merupakan hormon perangsang pertumbuhan tanaman yang
diperoleh dari Gibberella fujikuroi, aplikasi untuk memicu munculnya bunga.
Penelitian Murniati dan Zuhri (2002) mengungkapkan bahwa giberelin mampu
mempercepat pertumbuhan biji kopi. Giberelin merupakan senyawa organik yang
berperan dalam proses perkecambahan karena dapat mengaktifkan reaksi
enzimatik di dalam benih (Wilkins, 1989).
Air kelapa mempunyai aktivitas sitokinin yang tinggi dengan kehadiran dari
zeatin, zeatin glukosida, ribosida, dan 1,3-difenilurea (Wattimena et al., 2003).
Sitokinin memperlambat proses penghancuran butir-butir klorofil pada daun-daun
yang terlepas pada tanaman dan memperlambat proses senesen pada daun, buah,
dan organ-organ lainnya (Wattimena, 1988). Selain itu, air kelapa juga
mengandung IAA (Mandang, 1993) yang mempengaruhi pembesaran sel,
mencegah absisi (pengguguran daun), pertumbuhan akar yaitu mendorong
pembesaran sel-sel akar, dimana selang konsentrasi yang mendorong pembesaran
sel-sel akar adalah sangat rendah (Wattimena, 1988).
Hasil penelitian Katuuk (2000) menyatakan bahwa pemberian 250 ml/l air
kelapa menunjukkan waktu yang paling cepat dalam perkecambahan biji anggrek
macan (Grammatohyllum scriptum). Air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh juga
telah diteliti oleh Zamroni dan Darini (2009) untuk melihat pengaruhnya pada
tanaman cabe jamu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan air
kelapa 25 % berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan setek tanaman cabe jamu.
b. Urin Sapi
Urin berasal dari metabolisme nitrogen dalam tubuh (urea, asam urat, dan
kreatin) serta 90 % terdiri dari air. Urin yang dihasilkan ternak dipengaruhi oleh
10

makanan, aktivitas ternak, suhu eksternal, konsumsi air, musim, dan lain
sebagainya. Banyaknya urin dan feses yang dihasilkan adalah sebesar 10 % dari
berat ternak. Besarnya rasio urin dan feses yang dihasilkan oleh sapi perah yaitu
1:2,2 (31 % urin, 69 % feses) (Taiganides, 1978). Menurut Sauer et al. (1999),
sekitar 60-90 % nutrien yang dimakan ternak akan dieksresikan kembali melalui
feses dan urin. Di dalam urin, unsur hara yang paling dominan adalah K, N, dan
NH4-N. Urin sapi berpotensi menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Urin
memiliki keunggulan yaitu mengandung kadar N dan K sangat tinggi, mudah
diserap tanaman dan mengandung hormon pertumbuhan tanaman.
Menurut Dukes (1955), rata-rata jumlah urin yang dihasilkan sapi per hari
sebanyak 14,2 liter. Urin yang normal mengandung air, urea, kraetinin, purin
(asam urat, kantin, hipoksantin), allantion, asam hipurik, ammonia, asam amino,
sulfat, sulfur, garam anorganik, pigmen urokrom, dan urobilin. Menurut Danarto
(2008), urin sapi perah mengandung hormon yang bisa memacu pertumbuhan
tanaman, seperti giberelin, sitokinin, dan auksin. Sapi perah memakan lebih
banyak hijauan daripada sapi potong sehingga kandungan auksin hijauan dapat
disekresikan lewat urin. Menurut Prawoto dan Suprijadji (1992), ternak yang
banyak makan rumput serta hijauan lainnya mengeluarkan air seni yang
cenderung banyak mengandung auksin dan GA. Kadar auksin urin sapi betina
lebih tinggi daripada sapi jantan (Supriadji, 1985).
Abdian dan Muniarti (2007) mengatakan bahwa urin sapi mengandung
hormon dari golongan auksin (IAA), giberelin (GA), dan sitokinin. Fungsi utama
auksin adalah mempengaruhi pertambahan panjang batang, pertumbuhan,
diferensiasi,

percabangan

akar,

perkembangan

buah,

dominansi

apikal,

fototropisme, dan geotropisme. Fungsi auksin yang paling menonjol adalah
meningkatkan pembesaran sel (Widyastuti dan Tjokrokusumo, 2007). Auksin
berkapasitas tinggi untuk mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini terbukti dari
beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa auksin memiliki peranan penting
dalam mengatur struktur dan fungsi organ tanaman (William et al., 2006).
Menurut Kevin et al. (2007), berbagai jaringan pada tanaman memiliki respon
yang berbeda terhadap auksin.

11

Tabel 2.2. Kandungan zat yang terdapat dalam urin sapi perah
Kandungan Urin Sapi Perah
%
N
1,00
P
0,20
K
1,35
H20
92,00
mg/l
IAA
1852,0
GA
291,0
N-total
9195,0
P-total
181,0
K
7815,0
Mg
89,6
NH4-N
7428,0
NO3-N
0,2
pH
8,9
Sumber: Sutejo (1994); Sauer et al. (1999); Prawoto dan
Suprijadji (1992)
c. Ekstrak Kecambah Kacang Hijau
Kecambah memiliki bagian putih dengan panjang hingga tiga sentimeter.
Kecambah berasal dari biji-bijian, seperti kacang hijau. Kacang hijau termasuk
dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilonaceae. Bentuk kecambah
diperolah setelah biji diproses selama beberapa hari. Menurut Soeprapto (1992),
komponen air pada kecambah kacang hijau (tauge) merupakan bagian yang
terbesar bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Gula kacang hijau
didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Asam amino esensial
yang terkandung dalam protein kacang hijau antara lain triptofan 1,35 %, treonin
4,50 %, fenilalanin 7,07 %, metionin 0,84 %, lisin 7,94 %, leusin 12,90 %,
isoleusin 6,95 %, valin 6,25 %. Selain itu, terdapat pula sistein, tirosin, arginin,
histidin, alanin, glisin, prolin, serta serin. Menurut Rismunandar (1992), triptofan
merupakan bahan baku sintesis IAA.
Kecambah kacang hijau (tauge) mengandung vitamin dalam jumlah yang
bermakna. Vitamin tersebut antara lain vitamin C, thiamin, riboflavin, niasin,
asam pantothenic, vitamin B6, folat, kolin, β-karoten, vitamin A, vitamin E
(α-tokoferol), dan vitamin K. Mineral yang ditemukan dalam jumlah bermakna
dalam tauge adalah kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium (Mg), fosfor (P),
potasium (K), sodium (Na), zinc (Zn), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan selenium
12

(Se). Ada pula kandungan beberapa antioksidan dan zat yang berhubungan
dengan antioksidan. Kadar terbanyak dari kandungan tersebut dalam tauge adalah
fitosterol dan vitamin E, walaupun fenol dan beberapa mineral (selenium,
mangan, tembaga, zinc, dan besi) juga memiliki jumlah yang cukup bermakna
(Amilah dan Astuti, 2006; USDA, 2009; Astawan, 2005).
Tabel 2.3. Kandungan zat yang terdapat dalam kecambah kacang hijau
Kandungan Kecambah Kacang Hijau
mg/100 g
Fosfor
Kalsium
Besi
Vitamin B1
Vitamin C
Fitosterol
Vitamin E

69,00
29,00
0,80
0,07
15,00
23,00
15,30
%
Protein
2,90
Lemak
0,20
Air
92,40
Triptofan
1,35
Treonin
4,50
Fenilalanin
7,07
Metionin
0,84
Lisin
7,94
Leusin
12,90
Isoleusin
6,95
Valin
6,25
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan dalam Amilah dan
Astuti (2006)
Menurut Sandra (2011), ekstraksi senyawa bioaktif dapat dilakukan pada
kecambah kacang hijau yang mengandung auksin. Penelitian yang dilakukan
Mahanani (2003) membuktikan bahwa pemberian ekstrak kecambah kacang hijau
pada tanaman kentang varietas granola yang diberikan dua kali menunjukkan
pertumbuhan dan hasil yang terbaik dibandingkan dengan zat pengatur tumbuh
alami lain atau tanpa zat pengatur tumbuh. Perlakuan frekuensi pemberian yang
terbaik adalah dua kali, yaitu pada 24 hst dan 31 hst.
Lakitan (1995) menyatakan bahwa giberelin banyak terdapat pada organ
tanaman yang masih muda seperti akar, daun, biji, dan kecambah. Giberelin yang
berasal dari organ tanaman ini dapat digunakan sebagai giberelin eksogen untuk
mengoptimalkan giberelin endogen dan ini merupakan ZPT alternatif yang mudah
13

didapat, aman dipakai, dan efektif. Hal ini dibuktikan oleh Gardner et al. (1991)
bahwa tanaman yang diperlakukan dengan bahan yang diekstrak dari biji kacangkacangan tumbuhnya lebih tinggi dari tanaman yang tidak diperlakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Murniati et al. (2007) juga menunjukkan bahwa
perlakuan ekstrak kecambah kacang hijau dapat meningkatkan tinggi bibit nanas
sebesar 71,45 % dan berat bibit sebesar 33,93 % dibandingkan dengan perlakuan
giberelin sintetik (GA3).
E. Hipotesis
Air kelapa muda dengan konsentrasi 25 % sebagai sumber zat pengatur tumbuh
alamiah memiliki kemampuan lebih baik dalam memacu pertumbuhan bibit tebu jika
dibandingkan dengan urin sapi maupun ekstrak kecambah kacang hijau.

14

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 – April 2013 di Kebun
Tridharma

milik

Jurusan

Budidaya

Pertanian

Fakultas

Pertanian

UGM,

Banguntapan, Bantul, D. I. Yogyakarta.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu klon tebu varietas
Kidang Kencana yang berasal dari PT Madubaru, tanah pasir dari daerah pantai
selatan Yogyakarta, pupuk urea, SP-36, KCl, air murni, air kelapa (mengandung
sitokinin, auksin, dan giberelin organik), urin sapi (mengandung sitokinin, auksin,
dan giberelin organik), ekstrak kecambah (mengandung auksin dan giberelin
organik), dan kompos. Secara spesifik, air kelapa yang akan digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari buah kelapa yang masih muda (“degan”), urin sapi
diperoleh dari jenis sapi perah, dan ekstrak kecambah diperoleh dari jenis kecambah
kacang hijau (Vigna radiata). Alat yang diperlukan yakni polibag ukuran
45 cm x 45 cm, penggaris atau meteran, gelas ukur, gembor, timbangan, kantong
plastik, gunting, luxmeter, thermo-hygrometer, oven, alat-alat pertanian seperti
cangkul dan alat bantu lainnya, serta alat tulis.
C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
satu faktor dengan 5 blok sebagai ulangan. Beberapa perlakuan yang terdapat dalam
percobaan ini antara lain perlakuan air kelapa muda 25 % (Z1), air kelapa muda
50 % (Z2), air kelapa muda 75 % (Z3), urin sapi perah 25 % (Z4), urin sapi perah
50 % (Z5), urin sapi perah 75 % (Z6), ekstrak kecambah kacang hijau 25 % (Z7),
ekstrak kecambah kacang hijau 50 % (Z8), ekstrak kecambah kacang hijau 75 %
(Z9), dan kontrol/tanpa bahan organik (Z0) sebagai pembanding. Pengambilan
tanaman korban dilakukan sebanyak 3 kali, di luar itu adalah tanaman sampel yang
diamati setiap minggu. Jadi, jumlah unit percobaan adalah 10 x 5 x 4 = 200 tanaman.
15

D. Tata Laksana Penelitian
1. Persiapan media tanam
Media tanam yang digunakan berupa tanah pasir pantai yang diambil dari salah
satu pantai di daerah selatan Yogyakarta. Pada tahap ini media pasir pantai
dicampur kompos dengan takaran 20 ton/ha kompos. Kemudian campuran
tersebut dimasukkan ke dalam polibag dengan volume yang sama. Polibag yang
berisi media tanam tersebut kemudian diletakkan dan ditata di lahan sesuai dengan
rancangan percobaan yang digunakan.
2. Persiapan bahan tanam
Bahan tanam yang digunakan berupa budset dengan panjang ± 3 cm dan satu mata
tunas.
3. Persiapan larutan bahan organik sebagai sumber ZPT alami
Larutan bahan organik sebagai sumber ZPT alami disiapkan dengan prosedur
sebagai berikut: 1) larutan air kelapa 25 % dibuat dengan melarutkan 250 ml air
kelapa ke dalam akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l, 2) larutan air
kelapa 50 % dibuat dengan melarutkan 500 ml air kelapa ke dalam akuades
hingga volume total larutan menjadi 1 l, 3) larutan air kelapa 75 % dibuat dengan
melarutkan 750 ml air kelapa ke dalam akuades hingga volume total larutan
menjadi 1 l, 4) larutan urin sapi 25 % dibuat dengan melarutkan 250 ml urin sapi
ke dalam akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l, 5) larutan urin sapi
50 % dibuat dengan melarutkan 500 ml urin sapi ke dalam akuades hingga
volume total larutan menjadi 1 l, 6) larutan urin sapi 75 % dibuat dengan
melarutkan
menjadi 1 l,

750 ml air kelapa ke dalam akuades hingga volume total larutan
7) larutan ekstrak kecambah kacang hijau 25 % dibuat dengan

melarutkan 250 ml ekstrak kecambah kacang hijau ke dalam akuades hingga
volume total larutan menjadi 1 l, 8) larutan ekstrak kecambah kacang hijau 50 %
dibuat dengan melarutkan 500 ml ekstrak kecambah kacang hijau ke dalam
akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l, dan 9) larutan ekstrak kecambah
kacang hijau 75 % dibuat dengan melarutkan 750 ml ekstrak kecambah kacang
hijau ke dalam akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l, dan 10) air murni
100 % (tanpa bahan organik) digunakan untuk perlakuan kontrol.

16

4. Aplikasi bahan organik sebelum tanam
Sebelum ditanam, masing-masing bahan tanam (sesuai dengan perlakuannya)
terlebih dahulu direndam selama 2 jam dalam larutan bahan organik yang telah
disediakan sebagai sumber ZPT alami dan telah dicampur dithane.
5. Pemupukan
Pemupukan dasar dilakukan sebelum penanaman bibit. Takaran pupuk yang
diberikan adalah Urea 300 kg/ha, SP-36 300 kg/ha, dan KCl 200 kg/ha.
Pemupukan susulan dilaksanakan pada umur 60 hari setelah tanam (hst) dengan
dosis pupuk Urea 200 kg/ha.
6. Penanaman
Bahan tanam berupa budset ditanam pada media pasir pantai di polibag sesuai
perlakuan dengan kedalaman ± 5 cm. Masing-masing polibag ditanami 1 bahan
tanam (1 mata tunas). Kemudian dilakukan penyiraman hingga kapasitas
lapangan.
7. Penyiraman
Penyiraman dilakukan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan tanaman. Penyiraman
dilakukan sampai kapasitas lapangan.
8. Aplikasi bahan organik setelah tanam
Aplikasi selanjutnya dilakukan saat tunas sudah mulai muncul (1-2 minggu
setelah tanam). Pemberian bahan organik sebagai sumber ZPT alami disesuaikan
dengan

perlakuannya

masing-masing.

Aplikasi

dilakukan

dengan

cara

penyemprotan di seluruh permukaan tajuk bibit dengan menggunakan hand
sprayer, dilakukan secara rutin setiap 2 minggu sekali. Penyemprotan bahan
organik sebagai sumber ZPT alami pada bibit dilakukan secara adil hingga
seluruh permukaan tajuk terbasahi.
9. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
Pengendalian gulma dilakukan secara manual, yaitu dengan mencabut gulma yang
berada dalam polibag. Pengandalian terhadap hama dan patogen dilakukan dengan
pestisida sesuai prosedur yang berlaku dan terutama harus disesuaikan dengan
jenis jasad pengganggu.

17

10. Panen
Panen dilakukan setelah tebu berumur 120 hari setelah tanam (hst). Pemanenan
dilakukan secara hati-hati sampai semua organ dapat dipanen termasuk semua
akar.
E. Pengamatan
Pengamatan

dilakukan

terhadap

lingkungan

tempat

penelitian

dan

pertumbuhan bibit tebu. Pengamatan pertumbuhan tebu dilakukan pada tanaman
sampel dan tanaman korban. Tanaman sampel terdiri dari 5 tanaman pada setiap
kombinasi perlakuan. Pengamatan tanaman sampel dilakukan secara rutin setiap
seminggu sekali. Pengamatan rutin dilakukan untuk mengetahui respon tanaman
terhadap pemberian bahan organik yang berbeda sebagai sumber ZPT alami.
Pengamatan tanaman korban dilakukan pada umur 40, 80, dan 120 hst atau saat
panen.
a. Pengamatan lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Pengamatan lingkungan bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan
terhadap perlakuan aplikasi bahan organik sebagai sumber ZPT alami. Variabel
pengamatan lingkungan meliputi:
a. Suhu udara
Suhu udara diukur menggunakan thermometer. Satuan yang digunakan adalah
ºC (derajat celcius). Pengamatan dilakukan seminggu sekali sekitar pukul
08.00, 12.00, dan 16.00 WIB sampai pada minggu ke-17.
b. Kelembaban
Kelembaban udara diukur menggunakan hygrometer dalam satuan %.
Pengamatan dilakukan seminggu sekali sekitar pukul 08.00, 12.00, dan 16.00
WIB sampai pada minggu ke-17.
c. Intensitas cahaya
Pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter. Pengamatan dilakukan
seminggu sekali sekitar pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB sampai pada
minggu ke-17.

18

d. Curah hujan
Data curah hujan selama berlangsungnya penelitian dapat diperoleh dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setempat setelah akhir masa
tanam.
b. Variabel pengamatan tanaman sampel
a. Waktu muncul tunas
Waktu muncul tunas diketahui dengan mengamati waktu munculnya tunas ke
atas permukaan tanah pada awal masa tanam.
b. Tinggi tunas
Tinggi tunas diukur menggunakan meteran atau penggaris. Tinggi tunas
diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi.
c. Jumlah daun pada tunas
Jumlah daun diamati dengan menghitung daun yang telah membuka
sempurna.
d. Diameter tunas
Pengukuran diameter tunas menggunakan jangka sorong pada nodia
terbawah, nodia tengah dan nodia teratas kemudian dibuat reratanya.
e. Jumlah ruas (internodia) pada tunas
Jumlah ruas pada tunas diketahui dengan menghitung seluruh ruas yang
terdapat pada tunas dari dasar hingga ujung.
f. Panjang ruas (internodia) pada tunas
Panjang internodia pada tunas diukur dari tiga internodia yang letaknya di
atas, tengah, dan bawah, kemudian dibuat reratanya.
c. Variabel pengamatan tanaman korban
a. Luas daun
Pengukuran luas daun dilakukan dengan menggunakan metode Gravimetri.
Metode ini dilakukan dengan cara membuat pola daun pada selembar kertas
yang seragam. Luas daun diperoleh dari perbandingan antara berat pola daun
dan berat kertas yang telah diketahui luasnya.

19

Rumus perhitungan adalah sebagai berikut:

Ld =

Lk
xB
Bk d

Keterangan: Ld = Luas pola daun (cm2)
Lk = Luas kertas pembanding (cm2)
Bd = Berat pola daun (g)
Bk = Berat kertas pembanding (g)
b. Panjang akar utama
Panjang akar utama diukur dari pangkal batang sampai ujung akar utama
dengan menggunakan penggaris atau meteran.
c. Volume akar
Volume akar diketahui dengan memasukkan semua akar ke dalam gelas piala
yang telah diisi air dan dilihat pertambahan volume yang terjadi. Selisih
antara volume air awal dan volume air akhir merupakan nilai dari volume
akar yang dinyatakan dalam ml.
d. Bobot segar total
Berat segar total diperoleh dengan menimbang seluruh bagian tanaman. Berat
segar total dinyatakan dalam gram.
e. Bobot segar tajuk
Berat segar tajuk diperoleh dengan membagi tanaman menjadi dua bagian
tajuk dan akar. Bagian tajuk kemudian ditimbang dan dinyatakan dalam
gram.
f. Bobot segar akar
Berat segar akar diukur menggunakan timbangan dengan ketelitian dua angka
di belakang koma.
g. Bobot kering total
Seluruh bagian tanaman di oven dengan suhu 90-105 ºC selama 48 jam
kemudian dilakukan penimbangan yang pertama. Setelah itu tanaman
dimasukkan lagi ke oven dan ditimbang setiap 3 jam sekali sampai bobot
kering konstan. Bobot kering konstan diketahui apabila bobot hasil
pengukuran sudah sama dengan bobot pengukuran sebelumnya.

20

h. Bobot kering tajuk
Bobot kering tajuk dilakukan dengan menimbang tajuk yang bobot keringnya
telah konstan.
i. Bobot kering akar
Bobot kering akar diukur dengan cara yang sama dengan bobot kering total
akan tetapi hanya bagian akar saja yang ditimbang.
j. Nisbah akar tajuk
Nisbah akar tajuk adalah perbandingan antara bobot kering akar dan bobot
kering tajuk.
d. Analisis Pertumbuhan
Analisis pertumbuhan dilakukan terhadap variabel sebagai berikut:
a. Laju Asimilasi Bersih (LAB)
Laju asimilasi bersih merupakan kemampuan tanaman menghasilkan bahan
kering hasil asimilasi tiap satuan luas daun tiap satuan waktu. Rumus
perhitungan adalah sebagai berikut:

W2−W1 ln La2−ln La1
LAB= T2−T1 x La2−La1

g/cm2/minggu

b. Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN)
Laju pertumbuhan nisbi merupakan kemampuan tanaman menghasilkan
bahan kering hasil asimilasi tiap satuan bobot kering awal tiap satuan waktu.
Rumus perhitungan adalah sebagai berikut:

LPN=

ln W2−ln W1
T2−T1

g/g/minggu

Keterangan:
La

= Luas daun (cm2)

La1 = Luas daun awal (cm2)
La2 = Luas daun akhir (cm2)
W1 = Bobot kering awal (g)
W2 = Bobot kering akhir (g)
T1

= Waktu awal (minggu)

T2

= Waktu akhir (minggu)

21

F. Analisis Data
Data yang akan diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan
menggunakan analisis varian (Anova) taraf 5 %. Apabila terdapat beda nyata antar
perlakuan, dilanjutkan dengan uji Dunnet dengan taraf 5 %. Penentuan konsentrasi
yang optimal untuk masing-masing zat pengatur tumbuh bersumber bahan organik
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi, sedangkan hubungan antar variabel
pengamatan ditentukan dengan analisis korelasi.

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Lingkungan
Penelitian ini dilakukan di Banguntapan selama musim penghujan, yaitu pada
bulan Desember 2012 sampai April 2013. Berdasarkan data yang diperoleh dari
BMKG (2013), curah hujan yang terjadi di daerah penelitian mencapai 409 mm pada
bulan Desember, 366 mm pada bulan Januari, 268 mm pada bulan Februari, 160 mm
pada bulan Maret, dan 155 mm pada bulan April. Kondisi curah hujan yang tinggi
selama penelitian mampu mendukung terjadinya pertunasan dan pertumbuhan
vegetatif tebu yang meliputi tinggi dan besar batang. Menurut Kuntohartono (1982),
curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan awal tebu adalah sekitar 200 mm selama
5-6 bulan. Menurut Soepardiman (1996), apabila musim kering tiba sebelum
pertumbuhan vegetatif berakhir, maka tanaman tebu yang tidak diairi akan mati
sebelum mencapai tingkat masak.
Faktor lingkungan lain yang diamati selama penelitian yaitu suhu, kelembaban
udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya. Hasil rata-rata suhu yang dicapai
sekitar 33,5 C, kelembaban udara sekitar 87,62 %, kecepatan angin sekitar
12,37 km/jam, dan intensitas cahaya sekitar 625,6 lux. Hal ini masih sesuai dengan
syarat tumbuh tebu, terutama pada fase vegetatif. Kuntohartono (1982) menyatakan
bahwa suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu

adalah 24 °C, suhu maksimum adalah 34 °C, dan suhu optimum adalah 30 °C.
Apabila suhu dibawah 15 °C, pertumbuhan tanaman akan terhenti. Angin dengan
kecepatan kurang lebih 10 km/jam di siang hari berdampak positif bagi pertumbuhan
tebu. Suhu udara, intensitas cahaya, dan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan
laju fotosintesis (Salisbury and Ross, 1995).
Penelitian ini menggunakan media pasir pantai. Media ini memiliki porositas
yang besar dan laju evaporasi yang tinggi. Suhu udara, intensitas cahaya, dan
kecepatan angin yang tinggi di tempat penelitian berpotensi meningkatkan
kehilangan lengas dalam tanah, terutama pada jenis tanah pasir. Hal ini dapat
menyebabkan cekaman kekeringan pada tanaman. Tingginya curah hujan dan
dilakukannya kegiatan penyiraman selama penelitian dapat mengurangi kondisi
23

tersebut sehingga tebu masih dapat tumbuh dengan baik. Penggunaan bahan organik
berupa kompos yang dicampurkan ke dalam media tanam juga dapat meningkatkan
daya simpan air bagi tanaman.
B. Pengaruh Macam dan Konsentrasi Bahan Organik sebagai Sumber Zat
Pengatur Tumbuh Alami terhadap Pertumbuhan Bibit Tebu
1. Panjang Akar Utama
Tabel 4.1. Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat
pengatur tumbuh alami terhadap panjang akar utama bibit tebu
Panjang Akar Utama (cm)
Perlakuan
40 hst
80 hst
120 hst
Kontrol
41,02
68,46
184,03
Air kelapa muda 25 %
59,00 ns
75,90 ns
206,21 ns
Air kelapa muda 50 %
55,70 ns
69,40 ns
180,36 ns
Air kelapa muda 75 %
53,50 ns
64,16 ns
171,17 ns
Urin sapi perah 25 %
52,92 ns
77,74 ns
201,15 ns
Urin sapi perah 50 %
36,06 ns
69,01 ns
180,36 ns
Urin sapi perah 75 %
29,89 ns
64,16 ns
168,99 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %
43,20 ns
74,64 ns
198,76 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %
37,20 ns
61,50 ns
164,72 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %
32,26 ns
58,37 ns
155,20 ns
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * = berbeda nyata dengan kontrol

Berdasarkan analisis varian, terdapat perbedaan nyata pada perlakuan
macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh
alami terhadap panjang akar utama bibit tebu pada umur 40 hst, namun uji lanjut
Dunnet memberikan hasil yang tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan jika
dibandingkan dengan kontrol. Pada umur tebu 80 dan 120 hst, tidak terdapat
beda nyata berdasarkan analisis varian. Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa
perlakuan macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur
tumbuh alami tidak berpengaruh nyata terhadap variabel panjang akar utama
bibit tebu baik pada umur 40, 80, ataupun 120 hst bila dibandingkan dengan
kontrol. Perlakuan air kelapa muda 25 %, air kelapa muda 50 %, air kelapa muda
75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak
kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak
kecambah kacang hijau 75 % secara signifikan tidak mampu meningkatkan

24

panjang akar utama bibit tebu apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa
bahan organik. Panjang akar bibit tebu pada umur 40 hst rata-rata berkisar
29-59 cm. Panjang akar bibit tebu pada umur 80 hst rata-rata berkisar 58-77 cm,
sedangkan panjang ruas bibit tebu pada umur 120 hst rata-rata berkisar
155-206 cm.
Hasil yang tidak berbeda nyata pada variabel panjang akar utama diduga
dapat terjadi karena perakaran yang terdapat pada tebu merupakan perakaran
serabut. Pada perakaran serabut, akar primer tidak dapat bertahan lama dalam
pertumbuhan tanaman dan segera mengering, lalu dari pangkal akar tersebut
akan muncul akar baru yang disebut akar adventif. Akar-akar adventif ini yang
mempengaruhi besar kecilnya volume akar.
2. Volume Akar
Tabel 4.2. Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat
pengatur tumbuh alami terhadap volume akar bibit tebu
Volume Akar (ml)
Perlakuan
40 hst
80 hst
120 hst
Kontrol
8,00
135,30
379,50
Air kelapa muda 25 %
38,00 *
302,00 *
3678,80 *
Air kelapa muda 50 %
30,40 *
230,00 ns
2485,20 *
Air kelapa muda 75 %
24,30 ns
194,00 ns
1507,00 ns
Urin sapi perah 25 %
25,30 ns
278,00 *
1173,80 ns
Urin sapi perah 50 %
11,50 ns
223,78 ns
609,00 ns
Urin sapi perah 75 %
9,66 ns
136,00 ns
341,90 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %
11,20 ns
218,89 ns
533,50 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %
7,50 ns
128,00 ns
488,10 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %
5,90 ns
110,00 ns
253,30 ns
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * = berbeda nyata dengan kontrol

Perlakuan macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat
pengatur tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap variabel volume akar
berdasarkan analisis varian. Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel 4.2), hasilnya
berbeda nyata baik pada umur tebu 40, 80, ataupun 120 hst. Pada umur tebu
40 dan 120 hst, pemberian air kelapa muda 25 dan 50 % mampu menghasilkan
volume akar yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan
organik). Peningkatan konsentrasi air kelapa muda hingga 75 % justru

25

menghasilkan volume akar yang lebih kecil dan tidak berbeda nyata dengan
kontrol (tanpa bahan organik), sedangkan untuk perlakuan urin sapi perah 50 %,
urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah
kacang hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %, nilai volume akar
bibit tebu yang dihasilkan tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol
(tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai
volume akar seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan
organik.
Pada umur tebu 80 hst, pemberian air kelapa muda 25 % secara nyata
mampu menghasilkan volume akar bibit tebu yang lebih besar dibandingkan
kontrol (tanpa bahan organik). Penambahan konsentrasi air kelapa muda hingga
50-75 % justru menurunkan nilai volume akar bibit tebu dan tidak berbeda nyata
dengan kontrol (tanpa bahan organik). Sama halnya dengan perlakuan urin sapi
perah dan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50, ataupun
75 %, volume akar yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa
bahan organik) walaupun terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai volume
akar seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan
organik.
3. Jumlah Daun
Tabel 4.3. Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai
pengatur tumbuh alami terhadap jumlah daun bibit tebu
Jumlah Daun
Perlakuan
6 mst
12 mst
Kontrol
8,00
13,40
Air kelapa muda 25 %
9,40 *
14,80 ns
Air kelapa muda 50 %
8,40 ns
14,40 ns
Air kelapa muda 75 %
8,40 ns
14,00 ns
Urin sapi perah 25 %
8,40 ns
13,80 ns
Urin sapi perah 50 %
8,20 ns
13,60 ns
Urin sapi perah 75 %
7,60 ns
13,00 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %
7,80 ns
13,60 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %
7,40 ns
13,20 ns
Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %
7,20 ns
12,60 ns

sumber zat

17 mst
19,20
21,40 ns
20,80 ns
20,20 ns
20,00 ns
19,60 ns
18,80 ns
19,60 ns
19,00 ns
18,20 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * = berbeda nyata dengan kontrol

26

Pemberian bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami
berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah daun berdasarkan analisis varian
baik pada umur tebu 6, 12, maupun 17 mst. Berdasarkan uji lanjut Dunnet
(Tabel 4.3), perbedaan nyata hanya nampak pada umur tebu 6 mst. Pada umur
tebu 6 mst, pemberian air kelapa muda 25 % secara nyata mampu menghasilkan
bibit tebu dengan jumlah daun lebih banyak dibandingkan kontrol (tanpa bahan
organik). Penambahan konsentrasi air kelapa muda hingga 50-75 % justru
menurunkan nilai jumlah daun bibit tebu dan tidak berbeda nyata dengan kontrol
(tanpa bahan organik). Sama halnya dengan perlakuan urin sapi perah dan
ekstrak kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %,
jumlah daun bibit tebu yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol
(tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai
jumlah daun seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan
organik.
Pada umur 12 dan 17 mst, tidak nampak adanya beda nyata berdasarkan
uji lanjut Dunnet. Pada umur tersebut, pemberian air kelapa muda 25 %, air
kelapa muda 50 %, air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi perah
50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak
kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %
diketahui tidak berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah daun jika
dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan organik).
4. Luas Daun
Pada tanaman tingkat tinggi, daun berfungsi sebagai organ utama
fotosintesis. Jaringan fotosintesis yang hijau pada daun ini secara efisien dapat
menyerap radiasi matahari yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanaman cenderung
menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan
luas daun (Gardner et al., 1991).
Tabel 4.4 menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada perlakuan
macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh
alami terhadap luas daun bibit tebu baik pada umur 40, 80, maupun 120 hst
apabila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian perlakuan air kelapa muda
27

25 dan 50 % secara nyata mampu menghasilkan daun yang lebih luas
dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan organik pada umur tebu 40, 80, dan
120 hst. Peningkatan konsentrasi air kelapa muda hingga 75 % justru
menghasilkan daun yang lebih sempit dan tidak berbeda nyata dengan kontrol
(tanpa bahan organik). Meskipun terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai
luas daun seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan
organik, baik perlakuan urin sapi perah 25 %, urin sapi perah 50 %, urin sapi
perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang
hijau 50 %, ataupun ekstrak kecambah kacang hijau 75 %, nilai luas daun bibit
tebu yang dihasilkan tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan
tanpa bahan organik.
Tabel 4.4. Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai
pengatur tumbuh alami terhadap luas daun bibit tebu
Luas Daun (cm2)
Perlakuan
40 hst
80 hst
Kontrol
349,30
157