Perbedaan Kecemasan Antara Pasien Asma Dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Ppok) di RSUD DR. Moewardi

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIANI AQMARINA ZATADINI

G0008156

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Riani Aqmarina Zatadini, G0008156, 2011, Perbedaan Kecemasan antara Pasien Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RSUD Dr. Moewardi.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui perbedaan kecemasan antara pasien asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RSUD Dr. Moewardi.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien yang telah terdiagnosis asma dan PPOK yang berumur lebih dari 40 tahun sebanyak 46 sampel dengan masing-masing kelompok sebanyak 23 sampel. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Analisis data penelitian menggunakan uji Chi Square dengan syarat p < 0,05.

Hasil Penelitian : Hasil analisis menunjukkan perbedaan kecemasan yang signifikan dengan nilai p = 0,00 dan Odds Ratio = 24,00.

Simpulan Penelitian : Terdapat perbedaan kecemasan yang signifikan antara pasien asma dan PPOK di RSUD Dr. Moewardi dengan p = 0,00 dan Odds Ratio = 24,00.

Kata Kunci : Asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), Kecemasan

Riani Aqmarina Zatadini, G0008156, 2011, The Difference of Anxiety between Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Patient at RSUD Dr. Moewardi.

Objective: To investigating the difference of anxiety between asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patient at RSUD Dr. Moewardi.

Method : This was an observational analytic study with cross sectional approach. There Subjects are asthma and COPD patient aged over 40 years amount of 46 patients were divided by two groups. Each group contains 23 samples. The sampling methods was purposive sampling. Analysis data using Chi Square test with significance level < 0.05.

Result : The statistical test showed significant difference between asthma and COPD patient with p = 0.00 and Odds Ratio = 24.00.

Conclusion: There is a significant difference between asthma and COPD patient at RSUD Dr. Moewardi with p = 0.00 and Odds Ratio = 24.00.

Key words : Asthma, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), Anxiety

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan PPOK Jenis Bronkitis dan Emfisema …… ...................... 17 Tabel 2. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Derajat Berat Penyakit .................... 19

Tabel 3. Perbedaan PPOK dan Asma .............................................................. 22

Tabel 4. Perbedaan PPOK dan Asma .............................................................. 23

Tabel 5. Karakteristik Sampel Penelitian Menurut Umur ............................... 37

Tabel 6. Karakteristik Sampel Penelitian Menurut Jenis Kelamin ................. 38

Tabel 7. Karakteristik Sampel Penelitian Menurut Kecemasan ...................... 38

Tabel 8. Diagnosis Kecemasan Crosstabulation............................................. 39

Tabel 9. Chi Square Test ................................................................................. 39

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perbedaan Patogenesis Asma dan PPOK ..................................... 24

Gambar 2. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 30

Gambar 3. Rancangan Penelitian ................................................................... 33

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi Lampiran 4. Biodata Responden Lampiran 5. Informed Consent Lampiran 6. Kuesioner L-MMPI Lampiran 7. Kuesioner TMAS Lampiran 8. Data Hasil Penelitian Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Chi Square

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma merupakan penyakit peradangan saluran napas kronis (Dahlan, 2000) dengan karakteristik: Inflamasi, hiperreaktivitas, dan obstruksi saluran napas yang reversibel (D.M. Busse, 2001). Penyakit ini sangat berkaitan dengan penyakit keturunan. Oleh karena sudah diketahui sejak kecil/dini, gejala yang timbul pada pasien asma sudah dapat dikontrol dengan baik (PDPI, 2004).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang progresif. Penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk. PPOK merupakan kondisi irreversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran udara masuk dan keluar paru- paru (PDPI, 2003).

Perjalanan penyakit asma berbeda dengan PPOK. Asma lebih disebabkan oleh bahan sensitif atau alergen seperti debu. Sedangkan pada PPOK disebabkan oleh bahan berbahaya seperti rokok yang menyebabkan kerusakan struktur paru menetap akibat inflamasi neutrofilik. Sehingga keluhan sesak pada asma adalah reversible (bisa baik kembali di luar

Kecemasan merupakan hal normal sebagai manusia (Conley, 2006). Menurut Maramis (2009), kecemasan mudah terjadi pada keadaan yang menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan manusia, misalnya pubertas, penyakit, dan masa peralihan ke umur pertengahan. Beberapa gejala psikologis kecemasan adalah sulit tidur, keringat berlebih, kehilangan kepercayaan diri, perasaan sensitif, dan kehilangan semangat (Conley, 2006). Beberapa penyakit saluran pernapasan sering dihubungkan dengan kecemasan berupa kesulitan tidur.

Penelitian epidemiologik 1989, Dales dkk menemukan suatu hubungan positif antara gejala-gejala saluran pernapasan dan keadaan psikologis. Umumnya gangguan cemas pada pasien asma dan PPOK terjadi akibat sugesti dan beratnya keluhan sesak yang dialaminya. Dari studi terbaru diketahui bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi akibat nyeri kronis yang diderita memperlihatkan disabilitas dan kondisi emosional yang lebih buruk.

Penatalaksanaan yang diberikan oleh dokter terhadap pasien penyakit saluran pernapasan sering hanya berupa terapi medikamentosa. Banyak yang tidak memperhatikan segi psikologis pasien menghadapi penyakitnya. Sehingga tidak sedikit pasien yang mengalami kecemasan

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti kecemasan pada pasien asma dan PPOK untuk mengetahui adakah perbedaan kecemasan antara pasien tersebut dan memberikan manfaat praktis terhadap penatalaksanaan pasien di RSUD Dr. Moewardi.

B. Perumusan Masalah

Adakah perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK di RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dengan penelitian ini dapat diketahui ada tidaknya perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK di RSUD Dr. Moewardi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pencegahan dan penatalaksanaan kecemasan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asma

a. Definisi

Kata “asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘sukar bernapas’ (Sundaru, 1995). Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan berbagai sel yang berperan, yaitu sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Individu yang peka akan mengalami mengi, sesak napas, serta batuk terutama malam dan atau dini hari. Pada umumnya, asma berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, namun bervariasi dan bersifat reversible, baik spontan maupun melalui pengobatan. Inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006). Bila terdapat rangsangan, saluran napas akan menyempit lalu terjadi obstruksi, kemudian menjadi bronkospasme, sehingga menimbulkan keluhan (Yunus, 2006). Gejala asma yang muncul lebih buruk dari biasanya disebut dengan serangan asma (Fadden. Mc, 1998).

b. Patogenesis

Asma merupakan peradangan saluran napas kronis (Dahlan, 2000) dan penyakit paru dengan karakteristik: inflamasi saluran napas, hiperreaktivitas saluran napas terhadap berbagai rangsangan, dan obstruksi saluran napas yang reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan (D.M. Busse, 2001). Inflamasi kronis asma mengaktifkan berbagai sel inflamasi, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel (PDPI, 2004). Sel-sel inflamasi yang diaktifkan melepas berbagai mediator, sitokin, molekul adhesi, kemokin, dan berinteraksi satu sama lain. Eosinofil melepas granul-granulnya yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat kompleks dengan gejala-gejala klinis, seperti bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, mengi, dan hiperreaktivitas bronkus (Baratawidjaja, 2003).

Kepekaan saluran napas yang berlebihan atau hiperreaktivitas adalah pembeda antara orang normal dan penderita asma. Pada orang normal, faktor pemicu seperti asap rokok, iritan/debu, zat kimia, kegiatan jasmani, tekanan kejiwaan, dan alergen tidak menimbulkan asma. Pada penderita asma, rangsangan tersebut dapat menimbulkan serangan (Sundaru, 2006).

Faktor pendukung obstruksi jalan napas pada bronkus, yaitu:

1) Kontraksi otot polos bronkus: respon terhadap alergen spesifik.

2) Edema selaput lendir yang dapat disebabkan oleh bertambahnya

permeabilitas pembuluh darah.

3) Hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan penyumbatan

bronkus oleh lendir yang kental.

4) Airway remodeling. Merupakan reaksi tubuh berusaha memperbaiki jaringan rusak

akibat inflamasi terus-menerus dan biasanya terjadi pada asma yang telah kronis (Baratawidjaja, 2003). Reaksi tersebut berupa perubahan struktur jalan napas seperti hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan sel-sel goblet epitelial, fibrosis subepitelial, penebalan membran basalis (A.H. Boushey, 2000).

c. Faktor Risiko

Berikut ini faktor risiko dari asma, yaitu:

1) Faktor predisposisi Merupakan faktor kecenderungan mendapat penyakit asma yaitu atopi dan jenis kelamin.

2) Faktor penyebab Faktor sentisisasi jalan napas dan menimbulkan asma, yaitu:

a) indoor allergen (tungau, alergen binatang, alergen kecoa, jamur).

b) outdoor allergen (tepung sari, biji-bijian, rerumputan, jamur).

c) occupational agents (bahan-bahan di lingkungan kerja).

d) medikasi: aspirin dan berbagai obat lainnya.

Faktor kontribusi

Merupakan faktor yang meningkatkan risiko terjadinya asma baik karena faktor penyebab maupun adanya faktor predisposisi, yaitu infeksi pernapasan, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), merokok, baik aktif maupun pasif, dan diet.

4) Faktor pencetus Merupakan faktor risiko penyebab timbulnya eksaserbasi asma, yaitu alergen, iritan (asap rokok, polusi udara), infeksi pernapasan terutama oleh virus, faktor fisik (exercise), perubahan cuaca, makanan, tekanan jiwa, faktor endokrin (menstruasi, kehamilan, penyakit tiroid), occupational agents, dan lain-lain (PDPI, 2004).

d. Diagnosis

Diagnosis asma ditegakkan dengan:

1) Gejala klinis akibat proses patogenesis

Gejala klinis asma berupa mengi (bunyi seperti siulan dengan nada tinggi yang terdengar saat ekspirasi), episode batuk kronis berulang kali, dan sesak napas. Gejala memburuk pada malam hari yang menyebabkan penderita terbangun. Penyempitan saluran napas Gejala klinis asma berupa mengi (bunyi seperti siulan dengan nada tinggi yang terdengar saat ekspirasi), episode batuk kronis berulang kali, dan sesak napas. Gejala memburuk pada malam hari yang menyebabkan penderita terbangun. Penyempitan saluran napas

2) Faktor pencetus (inciter) Yaitu berupa iritan (debu), dan perangsang (inducer) berupa bahan kimia, infeksi, dan alergen.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik ditemukan: napas cuping hidung pada inspirasi (anak), bicara terputus-putus, agitasi, hiperinflasi toraks, dan lebih suka posisi duduk. Tanda fisik lain berupa sianosis, ngantuk, susah bicara, dan takikardi. Pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran foto toraks normal dan gambaran hipersensitivitas. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Ig E positif.

4) Tes Faal Paru Tes bronkodilator berupa peningkatan FEV1 > 15 % yang memastikan adanya hipersensitivitas, pengukuran APE dengan Peak Flow Meter pada pagi hari (sebelum inhalasi agonis beta-2) dan malam hari (setelah inhalasi agonis beta-2) menunjukkan perbedaaan

20 % atau lebih (Dahlan, 2000).

e. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan asma adalah penanganan jangka panjang. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronis dan menghilangkan faktor penyebab (Yunus, 2006). Obat– Prinsip penatalaksanaan asma adalah penanganan jangka panjang. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronis dan menghilangkan faktor penyebab (Yunus, 2006). Obat–

Obat penatalaksanaan asma terdiri dari 2 golongan, yaitu obat pelega napas (reliever) dan pengontrol asma (controller), yaitu:

1) Bronkodilator

a) Derivat xantin: teofilin, aminofilin, kolinteofilinat. Teofilin adalah bronkodilator yang digunakan sebagai pelega napas. Obat ini merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua golongan bronkodilator yang lain yaitu

β 2 agonis dan antikolinergik (GINA, 2006).

b) Agonis β 2 adrenergik Golongan ini mempunyai efek bronkodilatasi yang kuat dan meningkatkan kecepatan aliran lendir pada saluran napas. Terdapat dua kelompok, yaitu: β 2 agonis short acting (albuterol, bioterol, pirbuterol, terbutalin) dan β 2 agonis long acting inhalasi (salmeterol, formoterol), β 2 agonis long acting oral (bambuterol, procaterol). Obat ini juga dipakai untuk mengontrol asma. Pemakaian oral menimbulkan efek samping yang lebih banyak dibandingkan inhalasi (Setiawati, 2005).

c) Antikolinergik (atropin, ipatropium bromid, oxitropium bromid)

Obat ini mempunyai efek yang lebih lemah dibandingkan β 2

agonis dan efek aditif bila dikombinasi dengan bronkodilator lain. Efek samping berupa rasa kering pada mulut (GINA, 2006).

2) Kortikosteroid Yaitu beclamethasone diprorionat, budesonide, flutiason, ciclesonide, flunisolide, dan triamcinolon acetonide.

Kortikosteroid berdaya anti inflamasi dan mempunyai mekanisme peningkatan kepekaan reseptor β 2 sehingga efek β 2

mimetik diperkuat, melawan efek mediator seperti radang dan gatal

melalui blokade enzim fosfolipase A 2 .

3) Pengubah leukotrien (montelucas, zafirlucast, pranlukast)

Aktivitas leukotrien diturunkan dengan menghambat sintesis leukotrien pada enzimnya atau mempengaruhi ikatan leukotrien pada reseptornya. Obat ini merupakan obat terbaru yang menghambat pembentukan atau kerja dari leukotrien (Yunus, 2006).

4) Sodium kromolin dan iodium nedokromil Obat ini diberikan secara inhalasi. Efek anti inflamasinya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid. Kromolin mempunyai kemampuan untuk menstabilisasi sel mast. Nedokromil merupakan anti inflamasi yang menghambat pengeluaran mediator dan mengurangi hipersensitivitas bronkus (Steinbachier dan Glick, 2001).

5) Antibiotik, mukolitik, ekspektoran, hidrasi berdasarkan indikasi.

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis

a. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit penyebab kerusakan paru–paru. Saluran napas, yaitu pipa pembawa udara keluar masuk paru–paru, sebagian mengalami penyumbatan yang menyebabkan sulitnya udara untuk keluar masuk (U.S. Department of Health, 2006).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dikarakteristikkan sebagai proses degenerasi dan perusakan paru serta jaringan pendukungnya. PPOK terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu emfisema, bronkitis kronik, atau keduanya. Emfisema dimulai dengan penyakit saluran napas kecil kemudian berkembang menjadi perusakan alveoler, disertai keterbatasan jalan napas dan hiperplasi kelenjar mukus. Bronkitis kronik dikarakteristikkan sebagai proses inflamasi yang berkelanjutan pada cabang–cabang bronkial (Gorrol, 2002).

Respon inflamasi PPOK meliputi saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Berbagai sel inflamasi yang terlibat antara lain: makrofag, limfosit T, dan neutrofil. Sel inflamasi tesebut melepaskan mediator yaitu leukotrien B4 (LTB4), interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor- α (TNF-α), dan mediator lainnya. Mediator tersebut menyebabkan Respon inflamasi PPOK meliputi saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Berbagai sel inflamasi yang terlibat antara lain: makrofag, limfosit T, dan neutrofil. Sel inflamasi tesebut melepaskan mediator yaitu leukotrien B4 (LTB4), interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor- α (TNF-α), dan mediator lainnya. Mediator tersebut menyebabkan

b. Patofisiologi

Proses terjadinya PPOK menyebabkan gejala dan abnormalitas fisiologis tertentu. Misalnya, penurunan FEV1 disebabkan oleh inflamasi dan penyempitan saluran napas periferal. Sementara penurunan transfer gas terjadi akibat kerusakan parenkim. Besarnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat pada saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan FEV1. Cepatnya penurunan FEV1 merupakan karakteristik PPOK. Obstruksi saluran napas periferal secara progresif meyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi menurunkan kapasitas inspirasi sehingga kapasitas residu fungsional meningkat, terutama ketika menjalani aktivitas fisik. Hal ini menyebabkan dispnea dan penurunan kemampuan berolahraga.

Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis produktif, adalah ciri bronkitis kronis. Namun tidak semua pasien dengan PPOK memiliki hipersekresi mukus simptomatik. Ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosal sebagai respon terhadap iritasi saluran napas kronis. Hipertensi ringan sampai moderat dapat berkembang dan disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksi arteri pulmonali kecil yang pada akhirnya menyebabkan perubahan Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis produktif, adalah ciri bronkitis kronis. Namun tidak semua pasien dengan PPOK memiliki hipersekresi mukus simptomatik. Ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosal sebagai respon terhadap iritasi saluran napas kronis. Hipertensi ringan sampai moderat dapat berkembang dan disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksi arteri pulmonali kecil yang pada akhirnya menyebabkan perubahan

c. Diagnosis

1) Gambaran klinis (PDPI, 2003):

a) Anamnesis (1) Keluhan dengan batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

Sesak napas dengan atau tanpa mengi. (2) Ada atau tidak riwayat penyakit emfisema dalam keluarga (3) Mempunyai riwayat merokok atau tidak. (4) Mempunyai faktor predisposisi yaitu: berat badan lahir

rendah, infeksi saluran napas, polusi udara, dan asap rokok.

b) Pemeriksaan Fisik (1) Inspeksi

: Pursed lips breathing, barrel chest, sela iga melebar, pink puffer atau blue bloater

(2) Palpasi

: fremitus melemah

(3) Perkusi

: hipersonor

(4) Auskultasi : vesikuler melemah, ronki, atau wheezing

2) Uji faal paru (Hadiarto, 1998):

a) Spirometri

Merupakan pemeriksaan terpenting untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan napas maupun derajatnya. Hambatan aliran udara pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama. VEP1/FEV1 merupakan parameter terbanyak digunakan untuk menentukan obstruksi, derajat obstruksi, bahkan menilai prognosis.

b) Kapasitas difusi

Menurun pada emfisema yang menunjukkan kehilangan daya lenting statis.

c) Analisis gas darah

Kelainan gas darah arteri berupa PO2 rendah dan PCO2 tinggi pada bronkitis kronis. Pada emfisema, gambaran darah arteri umumnya normal kecuali pada stadium lanjut. Penentuan analisis gas darah penting dalam menilai derajat insufisiensi atau kegagalan pernapasan. Asidosis dapat terjadi pada eksaserbasi akut, umumnya disusul dengan kompensasi renal yang mengembalikan pH darah dalam batas-batas normal.

3) Elektrokardiogram (Hadiarto, 1998):

Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOK dapat diketahui dengan EKG. Gambaran abnormal EKG antara lain: Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOK dapat diketahui dengan EKG. Gambaran abnormal EKG antara lain:

P pulmonal. Deviasi aksis kekanan

b) "Low voltage" sering pada emfisema.

4) Radiologi (PDPI, 2003): a)

Hiperlusen

b) Hiperinflasi

d. Diagnosis Banding

Berikut ini merupakan diagnosis banding dari PPOK, antara lain : 1)

Asma bronkial.

Berbeda dengan asma, pada PPOK terjadi peningkatan neutrofil, makrofag, dan CD 8. Sedangkan pada asma, terjadi peningkatan CD 4 dan eosinofil.

2) TB paru

Walaupun TB tidak termasuk PPOK tetapi bekas penderita TB sering memberikan gejala yang sama. Sindrom obstruktif difus adalah istilah penderita PPOK yang mempunyai latar belakang TB.

3) Bronkiektasis

Sebagian penulis memasukkan bronkiektasis dalam kelompok PPOK, yaitu yang disertai obstruksi jalan napas. Riwayat radang saluran napas pada masa kanak-kanak merupakan ciri utama.

4) Penyakit lain

Penyakit–penyakit parenkim, intertitial yang difus seperti: silikosis, TB lanjut, sering memberi gambaran klinis yang serupa.

PPOK yang disertai atau akibat penyakit antara lain TBC paru, pasca bedah paru, bronkitis, dan lain-lain. Walaupun masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri tetapi secara klinis, radiologis dan fisiologis sering terdapat "overlapping" satu sama lain, sehingga diagnosis pasti dari salah satu golongan sukar ditetapkan (PDPI, 2003).

e. Klasifikasi PPOK

1) Klasifikasi PPOK berdasarkan perbedaan dari respon ventilasi paru dan

pemeriksaan klinis terbagi menjadi dua tipe, yaitu:

a) Tipe Pink puffer (emfisema), dengan karakteristik sebagai berikut:

(1) Pengaturan ventilasi baik (2) Dispnea dan purse–lip breathing (3) Posisi tubuh bersandar ke depan, bernapas menggunakan otot

aksesoris pernapasan (4) Hiperinflasi dengan bertambahnya kapasitas paru (5) Volume sputum sedikit (6) Pada CT Scan terdapat gambaran emfisema

(7) Tubuh kurus, kakeksia, dan deplesi otot

b) Tipe Blue bloater (bronkitis), dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Pengaturan ventilasi jelek (2) Dispnea ringan (3) Keadaan pasien mengantuk (4) Sianosis sentral, pada bibir biru, mukosa mulut, dan kuku (5) Volume sputum banyak (6) Emfisema tidak terdeteksi pada CT Scan (7) Cor pulmonale dengan peningkatan tekanan darah vena

jugularis dan hepatomegali (8) Kegagalan respirasi: hiperkapnia, hipoksia (9) Nokturnal hipoksia pada waktu tidur (10) Polisitemia (11) Tubuh biasanya gemuk

Walaupun ada dua tipe dari PPOK, sebagian besar dari penderita adalah campuran dari keduanya (Hansel & Barnes, 2004).

Tabel 1. Perbedaan PPOK Jenis Bronkitis dan Emfisema

Bronkitis

Emfisema

"Blue Bloater”

“Pink Puffer" Gejala

Sesak napas timbul setelah batuk produktif bertahun-tahun.

Sesak napas lebih dahulu diikuti batuk dengan / tanpa

Sianotik (biru)

Kemerahan Pemeriksaan Fisik

a) Dada normal b) Pekak jantung dan hepar

jelas

c) Suara napas kasar d) Ronki basah/kering pada

ekspirasi inspirasi yang berubah dengan batuk

e) Gagal jantung kanan sering didapat dan penyebab kematian

a) Dada gembung b) Pekak jantung dan hepar hilang oleh overdistensi

c) Suara napas lemah dengan ekspirasi yang memanjang d) Umumnya tidak ada suara

napas tambahan e) Gagal jantung kanan jarang, kematian karena gagal pernapasan.

Darah

Polisitemia sekunder

Polisitemia jarang. Analisis gas darah arteri

PO2 rendah CO2tinggi

PO2 normal atau rendah, PCO2 rendah.

Rontgenologik

Jantung membesar disertai tanda-tanda bendungan paru

Jantung memanjang, diafragma rendah dan hiperinflasi

EKG

Hipertrofi ventikel kanan, P pulmonal.

Mungkin terdapat P pulmonal.

Uji Faal Paru

a) Obstruksi jalan napas yang reversibel sebagian

b) Kapasitas paru total normal atau sedikit meningkat.

c) Kapasitas difusi normal.

a) Obstruksi jalan napas irreversibel. b) Kapasitas paru total

meningkat. c) Kapasitas difusi menurun.

(Hadiarto, 1998)

2) Klasifikasi PPOK berdasarkan derajat berat penyakit dibagi menjadi tiga

kelas, yaitu ringan, sedang, dan berat. Lihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Derajat Berat Penyakit (GOLD, 2006) Berat Penyakit

Gejala

VEP 1 Prediksi

Stage I (Mild)

a) Penderita belum merasakan adanya gangguan pada sistem pernapasannya

b) Dapat diikuti dengan batuk dan produksi sputum yang bertambah

Stage II (Moderate)

a) Penderita sudah merasa perlu untuk pengobatan karena gejala sudah terasa

b) Batuk dan produksi sputum yang bertambah kadang terjadi

Stage III (Severe)

a) Pemendekan pernapasan yang lebih berat

b) Aktivitas yang menurun

c) Kelelahan

Stage IV (Very Severe)

a) Terjadi gagal napas

b) Tanda – tanda cor pulmonale

c) Peningkatan tekanan vena jugularis

f. Penatalaksanaan

1) Edukasi Seseorang dengan risiko tinggi terkena PPOK diharapkan mempunyai pengetahuan tentang penyebab penyakit, anjuran untuk berhenti merokok, mengenal dan mengatasi efek samping obat, penyesuaian aktivitas, dan lain-lain.

2) Pemberian obat–obatan

Obat–obatan PPOK terdiri dari:

a) Antikolinergik

Efek paling penting adalah penghambatan efek asetilkolin pada reseptor M3 (Anonim, 2007). Contoh: (1) Ipratropium (2) Oxitroprium (3) Tiotropium

b) β 2 -agonist

Obat yang bekerja selektif terhadap reseptor beta-2 banyak digunakan dalam pengobatan bronkospasme karena efek samping yang rendah terhadap reseptor beta-1, dibandingkan dengan preparat efedrin, adrenalin dan isoprenalin. Obat-obat ini merangsang reseptor beta-2 di otot polos bronkus melalui enzim adenylcyclase yang meningkatkan c-AMP. Bekerja sebagai bronkodilator dan merangsang mobilisasi dahak pada pemberian secara inhalasi dalam bentuk aerosol (Hadiarto, 1998). Contoh: (1) Salbutamol (2) Terbutaline (3) Formoterol (4) Salmeterol

c) Methylxanthines

Methylxanthine bertindak sebagai penghambat enzim

fosfodiesterase (menginaktivasi Cyclic AMP). Cyclic AMP dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi sehingga tetap mempunyai efek bronkodilator. Panduan obat golongan simpatomimetika dengan golongan methylxanthine meningkatkan kadar Cyclic AMP secara lebih efektif hingga masing-masing dapat diberikan dalam dosis rendah. Dengan efek terapetik yang sama apabila obat diberikan sendiri-sendiri dalam dosis tinggi, efek samping menjadi lebih kecil. Pada penderita PPOK dengan asma bronkial, pemberian aminofilin harus dihentikan bila tidak menunjukkan perbaikan objektif (Hadiarto, 1998). Contoh: (1) Aminophyline (2) Teophyline

3) Terapi Oksigen Diberikan pada keadaan hipoksemia, yaitu bila Pa O 2 < 60 mmHg, atau Saturasi O 2 < 90 %, atau bila Pa O 2 antara 55 – 59

mmHg, atau saturasi O 2 > 89 %.

Nutrisi

Kebutuhan energi pasien PPOK meningkat akibat kerja otot dan respirasi. Oleh karena itu, nutrisi harus seimbang dan cukup kalori, dianjurkan tinggi lemak dan rendah karbohidrat.

Rehabilitasi PPOK

Rehabilitasi bertujuan memperbaiki kualitas hidup dengan meningkatkan frekuensi latihan. Program rehabilitasi yang dilakukan adalah latihan fisik, rehabillitasi psikososial, dan latihan pernapasan.

Menajemen eksaserbasi

Pasien mengalami eksaserbasi apabila terjadi:

a) Riwayat penyakit: dispnea semakin buruk, peningkatan purulensi sputum, dan peningkatan volume sputum.

b) Mengalami sianosis sentral

c) Respirasi: takipnea, bernapas dengan otot tambahan, hiperinflasi.

d) Kardiovaskular: takikardi, gagal jantung kanan (tekanan vena jugular meningkat, edema di ekstremitas bawah).

Empat langkah manajemen eksaserbasi PPOK (GOLD, 2006):

a) Pemakaian bronkodilator, steroid sistemik, antibiotik di rumah.

b) Terapi oksigen di rumah sakit.

c) Ventilasi tekanan positif non-invasif di rumah sakit.

d) Ventilasi mekanik invasif.

3. Perbedaan Asma dan PPOK

Tabel 3. Perbedaan PPOK dan Asma

PPOK

Asma Umur penyakit > 40 tahun

Variasi Peran merokok Sangat berperan

Kurang berperan, dapat Kurang berperan, dapat

a) Obstruksi kronis dan menetap

b) VEP-1 menetap. Dengan bronkodilator sedikit perbaikan

a) Obstruksi episodik

b) VEP-1 normal waktu remisi

c) VEP-1 membaik dengan bronkodilator Sifat penyakit

Progresif lambat

Episodik Riwayat alergi Jarang

Sering Kapasiti

Menurun

Normal Hipoksemia

Kronis

Jarang Spirometri

Dapat membaik dengan bronkodilator

Perbaikan nyata dengan bronkodilator

(PDPI, 2003)

Tabel 4. Perbedaan PPOK dan Asma PPOK

ASMA

Onset biasanya pada usia tua Onset biasanya pada umur yang lebih muda

Riwayat paparan rokok

Paparan alergen

Tidak ada riwayat atopik keluarga Riwayat atopi atau asma pada

keluarga

Variasi diurnal tidak begitu jelas Berkaitan dengan pola nokturnal dan memberat di pagi hari

Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

4. Kecemasan

a. Definisi

Kecemasan dalam bahasa inggrisnya “anxiety” berasal dari bahasa latin “angere” yang berarti tercekik (Maramis, 2009). Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya ancaman, berkualitas menyelamatkan hidup, serta penyerta normal dari pertumbuhan, perubahan, dan pengalaman (Kaplan dan Saddock, 2005).

Kecemasan adalah perasaan difus tidak menyenangkan, agak tidak menentu, dan kabut tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai reaksi fisik yang khas dan akan berulang bagi orang tertentu. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat

ASMA

PPOK

Bahan Sensitif

Bahan Berbahaya

Mediator inflamasi, CD4 + T-

Limfosit, eosinofil

Mediator inflamasi, CD4+ T- Limfosit, Makrofag, Neutrofil

Reversible

irreversible

berlebihan, sakit kepala, rasa mau kencing, atau buang air besar. Perasaan ini disertai rasa ingin bergerak dan gelisah (Maramis, 2009).

Walaupun merupakan hal yang normal dialami, namun kecemasan tidak boleh dibiarkan karena dapat menjadi nerosa cemas melalui mekanisme sebagai berikut: kecemasan akut ® represi dan konflik (tak

sadar) ® kecemasan menahun ® stres pencetus ® penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya ® nerosa cemas (Maramis, 2009).

b. Etiologi

Kartini (2000) menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari rangsangan-rangsangan sebagai berikut :

1) Pengaruh biologis: kerentanan yang diturunkan untuk mengalami kecemasan dan aktivasi sirkuit-sirkuit otak, neurotransmitter, dan sistem neurohormonal tertentu.

2) Pengaruh perilaku: perilaku menghindar terhadap berbagai situasi.

3) Pengaruh emosional dan kognitif: sensitivitas yang meningkat terhadap

situasi atau orang-orang yang dipersepsi sebagai ancaman.

4) Pengaruh sosial: dukungan sosial mengurangi reaksi terhadap pemicu kecemasan. Kurangnya dukungan sosial mengintensifkan gejala.

c. Gejala Klinis

Gejala umum dapat dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis.

Gejala somatik berupa:

1) Keringat berlebih

2) Ketegangan pada otot skelet : sakit kepala, kontraksi bagian belakang

leher atau dada, suara bergemetar, dan nyeri punggung

3) Sindroma hiperventilasi: sesak napas, pusing, dan paraestesi.

4) Gangguan fungsi gastrointestinal : nyeri abdomen, tidak nafsu makan,

mual, diare, dan konstipasi.

5) Iritabilitas kardiovaskular : hipertensi dan takikardi.

6) Disfungsi genitourinaria : sering buang air kecil, sakit saat berkemih, impoten, sakit pelvis pada wanita, dan kehilangan nafsu seksual.

Gejala psikologis berupa:

1) Gangguan mood: sangat sensitif, cepat marah, dan mudah sedih.

2) Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk dan berulang-ulang.

3) Mudah lelah

4) Kehilangan motivasi dan minat.

5) Perasaan-perasaan yang tidak nyata.

6) Sangat sensitif terhadap suara.

7) Berpikiran kosong, tidak mudah berkonsentrasi, dan mudah lupa.

8) Kikuk, canggung, dan koordinasi yang buruk.

9) Tidak dapat membuat keputusan bahkan untuk hal-hal kecil.

10) Gelisah dan tidak bisa diam.

11) Kehilangan kepercayaan diri.

12) Kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu berulang-ulang.

13) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu.

14) Terus-menerus memeriksa segala sesuatu yang sudah dilakukan.

(Conley, 2006)

d. Penatalaksanaan

Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahaan dan terapi memerlukan pendekatan yang mencakup fisik (somatik), psikologis, psikososial, dan psikoreligius, antara lain:

1) Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stres, dengan cara:

a) Konsumsi makanan yang bergizi dan seimbang.

b) Tidur cukup dan olahraga.

c) Tidak merokok

d) Menghindari alkohol

2) Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak. Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti-cemas, yaitu diazepam, clobazam, bromazepam, Terapi psikofarmaka memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak. Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti-cemas, yaitu diazepam, clobazam, bromazepam,

3) Terapi somatik

Gejala somatik sering dijumpai akibat dari kecemasan yang berkepanjangan. Untuk menghilangkan gejala somatik tersebut, diberikan obat yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

4) Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, yaitu:

a) Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan dorongan agar pasien tidak merasa putus asa dan percaya diri

b) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan evaluasi

terhadap ketidakmampuan mengatasi kecemasan.

c) Psikoterapi re-konstruktif, untuk memperbaiki kembali kepribadian

yang telah mengalami guncangan akibat stressor.

d) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif, yaitu kemampuan untuk berpikir rasional, konsentrasi dan daya ingat.

e) Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisis proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan.

f) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.

5) Terapi psikoreligius

Untuk meningkatkan keimanan yang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.

5. The Taylor Minnesota Anxiety Scale (TMAS)

TMAS adalah skala inventory kecemasan yang paling banyak digunakan. TMAS berupa kuesioner yang harus diisi oleh responden dan terdiri dari 51 pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban yaitu “ya” dan “tidak”.

Responden dinyatakan cemas bila jawaban “ya” sama atau lebih dari 21. Dan tidak cemas bila jawaban “ya” kurang dari 21.

6. Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI)

Yaitu skala validitas yang berfungsi untuk mengidentifikasi hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran subjek penelitian. L- MMPI terdiri dari 15 pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban yaitu “ya” dan “tidak”. Bila responden mempunyai nilai lebih dari atau sama dengan 10 (jawaban “tidak”) maka data hasil penelitian responden tersebut dinyatakan invalid dan responden dikeluarkan dari sampel.

B. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Berdasarkan dari tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan kecemasan antara pasien asma dengan pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).

Pasien Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi

Asma

PPOK

1. Keluhan sesak reversibel yang dapat mengganggu aktivitas

2. Beratnya serangan yang timbul secara episodik

3. Keluhan sesak timbul berkaitan dengan pola nokturnal

4. Sebagian besar stabil sepanjang hidup

1. Keluhan sesak irreversibel (tetap saja sesak setiap waktu) yang mengganggu aktivitas

2. Beratnya serangan yang timbul terus menerus

3. Kapasitas paru menurun

4. Progresif (memberat)

Perbedaan kecemasan

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan metode Cross Sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi.

C. Subjek Penelitian

1. Kriteria inklusi :

a. Pasien yang telah terdiagnosis asma persisten atau PPOK stabil di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi.

b. Pasien berumur 40 tahun atau lebih.

c. Pasien telah menandatangani Informed Consent.

2. Kriteria Eksklusi :

a. Pasien eksaserbasi.

b. Pasien baru mengalami kehilangan orang yang dicintai.

c. Terdapat penyakit penyerta kronis (diabetes melitus, hipertensi, kanker).

d. Pada kuesioner L-MMPI didapatkan data invalid.

Jumlah sampel:

n 1= jumlah sampel kelompok 1 n 2= jumlah sampel kelompok 2 Zα= deviat baku normal untuk α Zβ= deviat baku normal untuk β

P 1 = proporsi penyakit kelompok 1 P 2 = proporsi penyakit kelompok 2

Q 1 =1–P 1

Q 2 =1–P 2 P = 1 / 2 (P 1 +P 2 ),Q=1-P

(Taufiqurrohman, 2004)

E. Teknik Sampling

23

, 22 ,

73 , 0 27 , 0 ( 0

27 , 0 . 73 , 0 73 , 0 . 27 , 0 282 , 1 5 , 0 . 5 , 0 . 2 960 , 1 [ 1

P Q P Z PQ Z PQ

tertentu (Murti, 2010).

F. Rancangan Penelitian

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

: pasien asma dan PPOK

2. Variabel tergantung

: kecemasan

3. Variabel luar : Keadaan lain yang menyebabkan kecemasan adalah:

a. Kematian salah satu/semua anggota keluarga.

Populasi Sasaran

Populasi Sumber

Pasien RSUD Dr. Moewardi

Pasien Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi

Purposive sampling Sampel

Asma

PPOK

Kuesioner

Uji Chi Square

Perbedaan Kecemasan

H. Definisi Opersional Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

a. PPOK Penyakit dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif dan berhubungan dengan respon peradangan paru terhadap partikel berbahaya (GOLD, 2006). Merupakan variabel bebas. Diagnosis PPOK didasarkan atas diagnosis oleh Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Moewardi dan termasuk PPOK stabil (tidak eksaserbasi).

b. Asma Penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, namun bervariasi, dan reversibel (GINA, 2006). Diagnosis asma didasarkan atas diagnosis oleh Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Moewardi dan tidak eksaserbasi.

2. Variabel Terikat

a. Kecemasan. Kecemasan diukur dengan TMAS, sebagai cut of point yaitu :

1) Cemas

: bila skor TMAS ≥ 21

2) Tidak cemas

: bila skor TMAS < 21

b. Usia b. Usia

c. Eksaserbasi Pengambilan sampel tidak dilakukan pada pasien yang sedang

mengalami parahnya penyakit yang pasien derita.

I. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan media rekam medik responden dan kuesioner. Kuesioner yang digunakan antara lain:

1. Formulir Biodata

2. Informed Consent

3. Kuesioner Kecemasan TMAS

4. Kuesioner L-MMPI

J. Cara Kerja

1. Pengambilan sampel dilakukan di RSUD Dr. Moewardi yaitu 23 orang untuk pasien asma dan 23 orang untuk pasien PPOK.

2. Responden mengisi biodata serta menandatangani Informed Consent

3. Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mengetahui angka ketidakjujuran subjek.

K. Teknik Analisis Data

Penelitian ini dianalisis dengan uji Chi Square di mana:

X 2 = koefisien korelasi fo = frekuensi yang diperoleh

fh = frekuensi yang diharapkan

nk = jumlah kategori ng = jumlah golongan N = total sample

Keputusan : jika X 2 hitung >X 2 tabel maka menolak Ho Ho : Tidak ada perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK. H1 : Ada perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK.

Pengambilan keputusan didasarkan pada probabilitas, yaitu:

a. Jika probabilitas > 0,05 maka H 1 ditolak

b. Jika probabilitas < 0,05 maka H 1 diterima

fh

fo fh

nk ng

fh

)( ( )(

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan Oktober 2011, diperoleh 23 pasien asma dan 23 pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berikut adalah hasil penelitian dalam bentuk tabel yang terdiri atas beberapa karakteristik.

Tabel 5. Karakteristik Sampel Penelitian Menurut Umur

Umur (Tahun)

41 - 50

51 - 60

61 - 70

71 - 80

Total

23 100 % Sumber: Data Primer, 2011

Dari tabel 5 diketahui bahwa pada kelompok asma, sampel terbanyak didapatkan pada rentang usia 41 - 50 tahun, yaitu 13 sampel dan tidak ditemukan pada 71 - 80 tahun dan > 80 tahun. Sedangkan kelompok PPOK, terbanyak pada rentang usia 61 - 70 tahun dan 71 - 80 tahun dengan jumlah masing-masing 7 sampel dan paling sedikit pada usia 41 - 50 tahun, yaitu sebanyak 1 sampel.

Jenis Kelamin

Asma

PPOK

Jumlah

Jumlah

Laki-laki

20 86,96 % Perempuan

Total

23 100 % Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 6 memperlihatkan karakteristik menurut jenis kelamin. Pada kelompok asma, didapatkan 11 sampel laki-laki dan 12 sampel perempuan. Sedangkan pada kelompok PPOK, didapatkan sampel terbanyak pada laki-laki sebanyak 20 sampel. Sampel perempuan sejumlah 3 sampel.

Tabel 7. Karakteristik Sampel Penelitian Menurut Kecemasan

Kecemasa n

Asma

PPOK

Total

Jumlah

Jumlah

Jumlah %

Cemas

18 39,13 % Tidak

cemas

Total

46 100 % Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 7 memperlihatkan karakteristik sampel menurut kecemasan dengan menggunakan kuesioner TMAS. Pada kelompok asma, sebanyak 8,70 % dari jumlah sampel kelompoknya mengalami kecemasan dan 91,3 % tidak mengalami kecemasan. Sedangkan pada kelompok PPOK, 69,57 % dari sampel kelompoknya mengalami kecemasan dan sisanya, 30,43 % tidak mengalami kecemasan.

Kecemasan

Total

Tidak

Cemas

Diagnosis

Asma

Count

% within Kecemasan

PPOK

Count

% within Kecemasan

50 % Total

Count

% within Kecemasan

Chi-Square Tests

Value

Df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1- sided)

Pearson Chi-Square 17.889 a 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

H 0 = Tidak ada perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK

H 1 = Ada perbedaan kecemasan antara pasien asma dan PPOK Pengambilan keputusan didasarkan pada probabilitas, yaitu :

1. Jika probabilitas > 0,05 maka H 1 ditolak

2. Jika probabilitas < 0,05 maka H 1 diterima

Dari tabel signifikansi di atas menunjukkan bahwa didapatkan probabilitas 0,00 atau lebih kecil dari 0,05, dengan demikian H 0 ditolak dan H 1 diterima, dan

OR = 24,00 sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien PPOK mempunyai kemungkinan untuk mengalami kecemasan sebesar 24 kali daripada pasien asma.

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan Oktober 2011 dengan mengambil 23 sampel pasien asma dan 23 sampel pasien PPOK. Pengambilan sampel ditujukan pada pasien yang berumur lebih dari 40 tahun karena pada umumnya manifestasi PPOK muncul setelah umur 40 tahun.

Pada umur 40 tahun lebih, telah terjadi proses degenerasi dan perusakan paru serta jaringan pendukungnya akibat paparan zat kimia seperti rokok dan faktor risiko lainnya. Untuk itu, kecemasan pada usia 40 tahun lebih akan berbeda dengan 40 tahun ke bawah. Hal ini dapat dikarenakan usia di atas 40 tahun dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai penderitaan penyakit serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati. Oleh karena itu, kecemasan akan kematian menjadi masalah psikologis pada pasien penyakit kronis dan progresif seperti PPOK. Kenyataannya, umur 40 tahun lebih merupakan proses penuaan yang disertai menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi rawan terhadap penyakit. Namun, dewasa ini banyak penyakit yang menyertai proses penuaan dapat dikontrol dan diobati. Contoh penyakit tersebut adalah asma. Pada umumnya, pasien asma sudah dapat mengontrol gejala karena kesadaran dalam berobat sudah ditanamkan sejak kecil atau sejak pasien sudah mengetahui telah menderita asma yang merupakan penyakit dengan faktor genetik. Masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada pasien di atas 40

Menurut Stuart dan Sundeen (1998), kecemasan adalah suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah, ketidaktentuan, takut dari kenyataan, atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal. Faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain frustasi, konflik, ancaman, harga diri, lingkungan, pendidikan, usia dan jenis kelamin.

Menurut Varcoralis (2000), Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Hal ini berhubungan dengan kematangan pribadi seseorang. Individu yang memiliki kematangan pribadi lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan karena individu yang matur mempunyai daya adaptasi lebih besar terhadap kecemasan. Namun, beberapa penulis juga menyimpulkan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka semakin tinggi peluang seseorang tersebut untuk mengalami kecemasan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kerentanan terhadap penyakit, kesadaran akan kematian, dan faktor kesepian. Pada umumnya, kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian dapat berupa berkurangnya teman atau relasi, Meninggalnya pasangan hidup, anak-anak yang meninggalkan rumah karena beberapa hal, dan lain-lain. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia lebih berpeluang Menurut Varcoralis (2000), Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Hal ini berhubungan dengan kematangan pribadi seseorang. Individu yang memiliki kematangan pribadi lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan karena individu yang matur mempunyai daya adaptasi lebih besar terhadap kecemasan. Namun, beberapa penulis juga menyimpulkan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka semakin tinggi peluang seseorang tersebut untuk mengalami kecemasan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kerentanan terhadap penyakit, kesadaran akan kematian, dan faktor kesepian. Pada umumnya, kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian dapat berupa berkurangnya teman atau relasi, Meninggalnya pasangan hidup, anak-anak yang meninggalkan rumah karena beberapa hal, dan lain-lain. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia lebih berpeluang

Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin juga menunjukkan bahwa distribusi antara laki-laki dan perempuan pada kelompok asma seimbang, yaitu pada laki-laki sebanyak 11 pasien (47,83 %) dan perempuan sebanyak 12 pasien (52,17 %). Asma merupakan penyakit dengan faktor genetik yang tidak memandang jenis kelamin. Prevalensi kejadian asma laki-laki dan perempuan adalah hampir sama (Sundaru, 2006).

Beberapa penulis mengemukakan bahwa gangguan kecemasan lebih sering dialami oleh wanita daripada pria. Pria dan wanita memang berbeda dalam menangani dan mengekspresikan emosinya. Pria pada umumnya lebih sering didiagnosis menderita gangguan perilaku penyalahgunaan atau antisosial. Sedangkan wanita lebih sering didiagnosis menderita kecemasan atau depresi. Kesimpulan tersebut dibuat berdasarkan analisis data hasil penelitian tahun 2001 - 2002 dalam National Institute Health Survey di Amerika. Perbedaan gangguan mental itu terbentuk karena cara pria dan wanita dalam menginternalisasi dan Beberapa penulis mengemukakan bahwa gangguan kecemasan lebih sering dialami oleh wanita daripada pria. Pria dan wanita memang berbeda dalam menangani dan mengekspresikan emosinya. Pria pada umumnya lebih sering didiagnosis menderita gangguan perilaku penyalahgunaan atau antisosial. Sedangkan wanita lebih sering didiagnosis menderita kecemasan atau depresi. Kesimpulan tersebut dibuat berdasarkan analisis data hasil penelitian tahun 2001 - 2002 dalam National Institute Health Survey di Amerika. Perbedaan gangguan mental itu terbentuk karena cara pria dan wanita dalam menginternalisasi dan